Anda di halaman 1dari 7

PETA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: M. Ainul Yaqin

JAUH sebelum terjadinya faksi-faksi (firqah) di kalangan umat Islam, Nabi


Muhammad Saw telah memprediksi bahwa jika kelak akan muncul berbagai aliran dan
golongan di kalangan umat Islam. Sebagaimana sabda Nabi Saw:

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Orang-orang


Yahudi terpecah ke dalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani.
Dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan." (HR. Sunan Abu Dawud).

“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya. Akan terpecah


umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka.
Bertanya para sahabat: 'Siapakah yang tidak masuk neraka itu ya Rasulullah?' Nabi
menjawab: 'Ahlussunnah wal Jamaah." (HR. Imam Thabrani).

Sabda Nabi SAW. diatas mengisyaratkan bahwa dinamika yang dialektis akan terjadi
pada setiap kelompok agama, tak terkecuali Agama Islam. Perbedaan-perbedaan di kalangan
umat Islam dalam perspektif akademik merupakan sunnatullah (natural), tergantung
bagaimana kita menyikapinya dan memposisikan dirinya dalam sebuah proses dialektika
keberagaman kemanusiaan dan keislaman itu sendiri. Pada konteks inilah kita harus cerdas
dan bijak dalam membaca setiap gajala dialektis yang timbul di masyarakat, tanpa harus
melakukan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Lebih-lebih pada dimensi kekinian, di
mana umat manusia (umat Islam) semakin maju dan berkembang seiring dengan dinamika
jamannya, tentu cara-cara kekerasan bukanlah sebuah tindakan yang bijak dalam membaca
setiap perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Di bawah ini akan dipaparkan tentang
pemikiran dan gerakan Islam dalam perspektif sejarah, pemikiran dan aksi, agar kita dapat
mengambil pelajaran secara utuh terhadap dinamika yang terjadi di kalangan umat Islam
tempo dulu, dan perkembangannya dalam konteks kekinian.

1. Embrio Lahirnya Aliran Dalam Islam


Ketika Nabi Muhammad Saw. mulai menyiarkan Islam di Mekkah, kota ini
memiliki sistem kemasyarakatan terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraysy.
Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri dari
kepala suku, dan dipilih berdasarkan kekayaan serta pengaruhnya di masyarakat.
Ketika Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi pemimpin, terjadi perselisihan dan
perlawanan dari mereka, khususnya para pedagang dan pebisnis Arab kala itu.
Akhirnya Rasulullah Saw. hijrah ke Yasrib/Madinah (622 M). Di Madinah Rasulullah
berperan ganda, selain sebagai pemimpin agama juga menjadi pemimpin
negara/pemerintahan. Dari kota Madinah inilah syiar dan pemerintahan Islam
dikelola, sampai akhirnya Mekkah dapat dikuasai. Bahkan daerah kekuasaannya telah
meliputi seluruh semenanjung Arabia.
Pada jaman Rasulullah Saw. sesungguhnya telah muncul embrio kelompok
penentang Nabi/Islam. Setidaknya ada tiga kelompok yang mengemuka saat itu, yaitu:
(1) kelompok inkar as-sunnah (mengingkari hadits Nabi); (2) kelompok inkar Az-
zakah (menolak membayar zakat), dan (3) kelompok murtad (meninggalkan Islam
dan kembali ke jahiliyah). Namun tiga kelompok ini, kala itu tidak diperangi, karena
masih berikrar sebagai penganut Islam, dan mengakui kenabian Muhammad Saw.
selain itu, Nabi Muhammad Saw. lebih memilih cara-cara damai dalam
menyelesaikan setiap masalah, sebagaimana sikap Nabi ketika ditekan orang-orang
Quraysy di Thaif saat menyebarkan Islam.
Di jaman Abu Bakar Ash-shiddiq, kelompok-kelompok di atas semakin
menunjukkan eksistensinya, bahkan menolak terhadap seluruh ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw., sehingga Abu Bakar meniscayakan peperangan atas
mereka. Kelompok-kelompok penentang Nabi tersebut, akhirnya berhasil ditumpas,
dan seluruh tokohnya tewas dalam pertempuran. Perang melawan mereka di jaman
Abu Bakar disebut dengan “Perang Riddah” (perang melawan kaum murtad). Tokoh-
tokohnya antara lain: (1) Al Aswad Al Ansi. Dia memimpin Pasukan Badui di Yaman
dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Abu Bakar. Ia terbunuh dalam
pertempuran tersebut, dan pasukan Islam berhasil menguasai Yaman; (2) Thulaihah
bin Khuwalid Al Asadi. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi. Pengikutnya berasal
dari: Bani Asad, Bani Gatafan, dan Bani Amir. Pasukan muslim berhasil mengalahkan
mereka di bawah panglima perang Khalid bin Walid, dalam pertempuran di
Bazakhah; (3) Malik bin Nuwairah. Dia merupakan pemimpin Bani Yarbu’ dan Bani
Tamim. Sepeninggal Nabi, ia tidak mengakui Islam. Malik bin Nuwairah juga
terbunuh dalam pertempuran yang dipimpin Khalid bin Walid; (4) Musailamah al-
Kadzab (Sang Pembohong). Musailamah adalah tokoh yang paling berbahaya. Dia
mengklaim sebagai Nabi ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, baik di kalangan
umat Islam maupun Kristen. Pengikut terbesar Musailamah adalah Bani Hanifah di
Yamamah. Pasukan muslim yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal dan Syurahbil bin
Hasanah hampir kalah dalam pertempuran melawan Pasukan Musailamah. Namun
setelah datang bantuan bala tentara muslim di bawah Khalid bin Walid, pasukan
Musailamah berhasil dikalahkan. Tercatat ada 10 ribu kaum murtad terbunuh, dan
ribuan kaum muslimin gugur menjadi syuhada dalam pertempuran ini (rata-rata
huffadz: ini pula yang menjadi cikal bakal kodifikasi Al-Qur’an).
2. Sejarah Munculnya Aliran Dalam Islam
Bibit-bibit awal kemunculan aliran dalam Islam sesungguhnya mulai terjadi
pada saat Rasulullah Saw. wafat (632 M). Persoalannya berkisar pada masalah siapa
pengganti pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Meski persoalan
itu akhirnya dapat diselesaikan, namun bibit-bibit perpecahan sudah mulai muncul
pada saat itu. Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat Khilafah
Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Utsman bin Affan ke Sayyidina Ali
Ibn Abi Thalib. Perpecahan itu semakin kuat pada saat kekuasaan Ali Ibn Abi Thalib.
Tercatat ada dua peperangan besar yang terjadi di jaman Khalifah Ali, yaitu (1)
Perang Jamal (Perang Onta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah, dibantu oleh Zubeir
bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah; (2) Perang Siffin, yang berlangsung antara
pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Damaskus kala
itu).
Perselisihan antara Kubu Sayyidina Ali dan para penentangnya itu melahirkan
aliran-aliran keagamaan dalam Islam, antara lain: Syiah, Khawarij, Murjiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jabariyah, Qadariyah, dan Ahlussunnah wal Jamaah. Aliran-
aliran tersebut, dalam perkembangannya telah menginspirasi umat Islam dunia di
berbagai bidang, seperti hukum (fiqh), akidah (teologi), dan filsafat.

3. Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia


Berbicara tentang peta gerakan Islam di Indonesia, sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Terdapat dua versi
mengenai kapan dan dari mana agama Islam itu disebarkan. Pertama, pendapat dari
Snouck Hurgronje yang menyebut bahwa pada abad ke-13 M. merupakan awal dari
masuknya agama Islam ke tanah air, melalui Persi dan Gujarat (India). Versi ini
cukup banyak menghiasi buku-buku sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia
mulai dari pendidikan dasar sampai PT. Kedua, pendapat Thomas W. Arnold, yang
menyebut Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 M dibawa oleh para
saudagar Arab (Mekah dan Mesir) sejak abad pertama Hijriyah. Pendapat ini
diperkuat oleh Buya Hamka (1982), seperti dikutip dalam bukunya “Sejarah Umat
Islam di Indonesia”. Corak dan ajaran Islam yang pertama kali berkembang
menurutnya banyak dipengaruhi oleh Madzhab Syafi'i.
Hamka memiliki sejumlah argumentasi mengenai pendapatnya itu, antara lain:
(1) dalam buku catatan perjalanannya, Ibnu Batutah menulis, ia menyaksikan Raja-
raja Samudera Pasai bermadzhab Syafi'i. Dan madzhab Syafi'i kala itu kebanyakan
dianut oleh umat Islam di Mekah (sebelum jatuh ke ibnu Saud) dan Mesir. (2) Al
Malik, gelar yang dipakai oleh raja-raja Pasai adalah sama dengan gelar yang dipakai
oleh raja-raja Mesir. Tiruan gelar ini tidak ditemukan di Iran (Persia) atau di India.
Gelar “Syah” raja-raja Malaka baru dipakai pada permulaan abad 15 M. Ini berarti
bahwa pengaruh India dan Persia datang setelah pengaruh Arab dan Mesir. Masih
menurut Hamka, jika pengaruh India yang besar maka Madzhab Hanafiyah yang
paling berpengaruh di sini. Dan Jika pengaruh Iran yang kuat, tentu Madzhab Syiah
yang paling berpengaruh di sini. Faktanya kedua madzhab tersebut tidak populer di
negeri ini, sejak permulaan Islam masuk sampai sekarang. (3) Sebelum Ibnu Batutah
melawat ke Kerajaan Pasai sudah ada ulama besar Indonesia yang mengajar ilmu
tasawuf di Adn dan Arab, yakni Syaikh Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi.
Ini merupakan bukti bahwa hubungan dalam mencari ilmu pengetahuan Islam
langsung ke tanah Arab, bukan ke India atau Malabar.
Sejalan dengan pendapat di atas, KH Abdul Muhith Muzadi (2006)
menjelaskan bahwa sejak awal para muballigh dunia Islam memilih Indonesia sebagai
lahan baru yang dapat ditanami Islam secara damai dan sukarela, setelah penyiaran
agama Islam di tempat lain diwarnai kekerasan dan peperangan. Islam yang disiarkan
di Indonesia beraliran Ahlussunnah wal Jamaah dan berhaluan madzhab yang
berwatak tawasuth dan rahmatan lil alamin. Tradisi keislaman seperti ini terus
berkembang dan dikembangkan pada masa Wali Songo sekitar abad 13-15 M.
Setelah era Wali Songo, lahirlah ulama-ulama Nusantara yang sangat terkenal yang
mewarisi tokoh Islam sebelumnya, seperti Hamzah Fansyuri, Syamsudin al
Sumaterani, dan Nuruddin Arraniri dan sebagainya sebagai ulama generasi 16 M.
Karya-karya mereka antara lain Syarah al Asyiqin (Minuman orang birahi), Asrar Al
Arifin (Rahasia Ahli Ma’rifat), muncul juga karya-karya lain bercorak sastra Taj al
Salatin (Mahkota raja-raja) dan lain-lain.
Para ulama generasi selanjutnya, sebagaimana dikutip Ahmad Ginanjar
Sya’ban (2009), antara lain: syaikh Abdurrauf Asingkili Al-Jawi (Aceh, Singkil),
Syaikh Yusuf Al Makasari (Sulawesi), Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya,
Sunda), sebagai generasi abad 17 M. Lalu, Syaikh Burhanuddin Al-Jawi (Ulakan
Minang), Syaikh Arsyad Al-Banjari (Banjarmasin), Syaikh Abdusshomad Al-
Falambangi (Palembang), sebagai generasi abad 18 M. Kemudian, Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani (Banten), Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi
(Minangkabau), dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan (Madura) sebagai generasi
abad 19 M. yang kemudian dilanjutkan generasi ulama pesantren sampai sekarang.
Corak keislaman Nusantara yang syafiiyah ini mengalami proses polarisasi
setelah dunia Arab dilanda gerakan pemurnian dan pembaharuan, yang dipelopori
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan paham Wahabiyahnya berkolaborasi
dengan penguasa baru Arab yakni Ibnu Saud. Gerakan ini tidak hanya menyangkut
aspek ibadah dan akidah, namun juga muamalah. Sejak paham Wahabi merambah
tanah air, maka sejak itulah umat Islam Indonesia yang awalnya “homogen” menjadi
terpolarisasi dengan paham Wahabi sampai sekarang dengan varian-varian yang lebih
beragam.

4. Peta Gerakan Islam di Indonesia


Peta gerakan Islam di Indonesia dapat dirunut sejarahnya pada dekade tahun
1800-1900-an, setelah Haramain jatuh ke Ibnu Saud. Penguasa baru di tanah Arab itu
kemudian menggandeng Ibnu Abdul Wahab dalam gerakan pemurnian dan
pembaharuan Islam. Ada dua missi besar yang diinginkan, (1) menjadi Khilifah
Islamiyah yang bersifat tunggal di kalangan dunia Islam, untuk menggantikan
Khilifah Usmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh Gerakan Turki Muda
pimpinan Kemal Attaturk; (2) menjadikan paham Wahabi sebagai satu-satunya
madzhab tunggal di kalangan umat Islam dunia.
Sejumlah tokoh dan organisasi yang memainkan peranan penting dalam
gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam menurut Ricklefs dalam Muhibbin (2010)
di antaranya: Syaikh Thaher bin Jamaluddin Al-Azhari (wafat, 1857), terlibat aktif
dalam penyebaran gagasan pemurnian dan pembaharuan Islam melalui surat kabar
“Al Imam” yang terbit di Singapura. Selain itu, dikenal pula nama Syaikh
Muhammad Djamil Djambek (wafat, 1947) dan Haji Rasul/Haji Karim Amrullah
(wafat, 1945). Ketiga putra minang ini dengan terang-terangan mencela tarekat dan
praktek-praktek beragama muslim melayu. Gerakan ini juga menyebar ke Tanah
Jawa. Jam’iyatul Khayr (1905) merupakan komunitas Arab di Batavia, tercatat
sebagai organisasi Islam yang mengambil prakarsa pertama dalam penyebaran paham
Wahabi di tanah air. Kemudian Perserikatan Ulama (1911) di Jawa Barat,
Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, dan Al-Irsyad atau Jam’iyatul Ishlah wal
Irsyad (1915), serta Persis (1923) di Bandung.
Paham Wahabiah yang merambah ke tanah air melalui sejumlah tokoh dan
organisasi di atas menimbulkan ketegangan di internal umat Islam Indonesia. Masalah
pokok yang menjadi sumber ketegangan sesungguhnya bukanlah substansi dari nilai
ajaran Islam, tetapi lebih menunjuk kepada aspek khilafiyah, seperti soal taqlid,
upacara kematian, tahlil dan talqin, ushalli dan sebagainya atau isu yang terkenal kala
itu adalah TBC (taklid, bid’ah dan churafat). Upaya untuk menyatukan perbedaan ini
bukan tidak ada, tetapi selalu gagal dalam beberapa kali pertemuan. Fenomena inilah
yang kemudian menjadi salah satu sebab atau motivasi kenapa Nahdlatul Ulama (NU)
harus berdiri pada tahun 1926.
Setelah NU berdiri, ketegangan di kalangan umat Islam Indonesia bukan tidak
ada, tetapi berpindah dari ranah kultural ke ranah politik. Dijelaskan oleh Djohan
Effendi (2010), sejak pembentukannya pada tahun 1926, NU menempati posisi sentral
dan memainkan peranan penting di kalangan masyarakat santri, terutama di pedesaan.
Ia menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam
Indonesia, terutama di bidang agama, sosial, kebangsaan, pendidikan dan sebagainya.
Beberapa catatan yang menjadi prestasi NU sejak jaman kolonial, revolusi dan
kemerdekaan, antara lain: (1) keputusan (ijtihat politik) NU tentang status Indonesia
di jaman Belanda; (2) Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan RI; (3)
Pemberian gelar kepada Presiden Soekarno; (4) Kembali ke UUD 1945; (5)
Pembubaran PKI; dan (6) Keputusan tentang asas tunggal dan NKRI. Seluruh
keputusan NU tersebut menjadi landasan bagi seluruh bangsa, baik Islam maupun non
Islam, dan baik NU maupun non NU. Dinamika yang terjadi di tubuh NU, baik pada
jaman Kolonial, Revolusi Kemerdekaan, era Orla dan era Soeharto merupakan salah
satu bentuk gerakan pemikiran di tengah kompetisi politik dan budaya umat Islam
Indonesia kala itu.
Berdasarkan catatan di atas, jelas sekali bahwa paham Wahabi dunia,
merupakan satu-satunya aliran yang cukup massif melakukan penetrasi terhadap
kantong-kantong umat Islam di Indonesia, sementara aliran lain, seperti Syiah dan
sebagainya (meski) diakui pernah masuk ke Indonesia tetapi tidak berdampak
signifikan terhadap mainstream Islam di negeri ini. Kini, Islam Indonesia semakin
memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan.
Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan
atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi.
Dari segi gerakan dan organisasi massa/orpol, kita mengenal beberapa
segmen, antara lain: Sarekat Dagang Islam-SDI (1905); Jamiatul Khoiriyah (1905);
SDI berubah menjadi SI (1911); Muhammadiyah (1912); Al Irsyad (tt); Persis (1923);
NU (1926); Perti (1928); Al Washliyah (1930); dll. Adapun yang berbentuk partai
politik, antara lain: PSI (1923); Perti (tt); Partai Arab (tt); Masyumi (1943); NU
(1953), PSII (tt), Parmusi (tt), dll. Kini, partai politik Islam terfragmentasi pada
berbagai partai, antara lain: PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Dikalangan pemuda dan
mahasiswanya, terdapat sejumlah organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, antara
lain: PMII, HMI, IPNU/IPPNU, PEMUDA MUHAMMADIYAH, IMM, PII, dan
lain-lain. Pada kelompok kepentingan (interest group), terdapat beberapa organisasi,
antara lain: FPI, HTI, KISDI, Lasykar Jihad, JAT, MMI, DDII, JIL, JIM dan lain-lain.
Jika dilihat dari perspektif politik, tidak selalu orang NU memilih atau
mendukung PKB, meski PKB secara resmi didirikan oleh orang-orang NU. Banyak
orang NU yang mendukung PPP, PBB, Golkar, PDIP, bahkan PKS. Begitu juga orang
Muhammadiyah tidak dapat diidentikkan dengan PAN atau PKB. Di beberapa daerah,
seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, NTB, tidak sedikit orang NU adalah orang Perti, al-
Washliyah, al-Khairat, DDI, Nahdlatul Wathan. Satu orang aktif di dua organisasi
sosial keagamaan sekaligus. Bahkan, ada orang NU yang menjadi aktivis
Muhammadiyah, Lasykar Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir. Ini betapa cair dan
dinamisnya organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang sekaligus juga menandai
betapa sulitnya membuat identifikasi dan kategorisasi berdasarkan organisasi
keagamaan.
Ragam gerakan dan pemikiran tersebut secara makro dan simplistis dapat
dikategorikan menjadi dua saja, yakni, Pertama, Islam yang orientasi perjuangan dan
cita-cita sosialnya menjunjung tinggi keluruhan Islam dan kaum muslimin (’izzul
Islâm wal Muslimîn), yakni “Islam Eksklusif”. Yang masuk dalam kategori ini secara
umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, Persis, dan sebagian orang
Muhammadiyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan
lil ‘âlamîn), yakni “Islam Inklusif”. Masuk dalam kategori inklusif secara umum
adalah organisasi NU, orang-orang (bukan keorganisasiannya) Muhammadiyyah, al-
Washliyyah, Perti, al-Khairat, dan Nahdlatul Wathan.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi PMII di tengah pergumulan pemikiran
dan gerakan Islam Indonesia? untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat ditelisik
dari akar kesejarahannya, ideologi gerakannya, komunitasnya, dan segala
performance yang melekat pada organisasi ini dan orang-orangnya. Di sini saya tidak
akan memberikan stigma dan kategorisasi apapun kepada PMII. Karena hanya PMII-
lah yang sejatinya tahu akan jati dirinya. Yang terpenting adalah bagaimana PMII
tetap menjaga komitmennya sebagai organisasi yang berbasis akademik, berbasis
keislaman, dan keindonesiaan, yang secara dinamis terus dikontekstualisasikan dalam
dimensi kekinian dan keakanan, untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat,
bangsa, agama dan kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai