Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1 TINJAUAN TEORI


2.1.1 Kebangkitan Nasional Indonesia

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20,
di mana banyak rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai
"orang Indonesia". Hari Kebangkitan Nasional Indonesia atau yang sering disingkat
Harkitnas diperingati setiap tanggal 20 Mei, bertepatan dengan berdirinya Boedi Oetomo
pada tahun 1908 oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Awalnya organisasi ini bertujuan
untuk menjaga dan memajukan kebudayaan Jawa, namun akhirnya pada tahun 1915
mulai merambah bidang politik.

Pada masa itu mulai tumbuh rasa nasionalisme pada jiwa rakyat Indonesia untuk
memperjuangkan hak-haknya yang selama ini ditindas oleh penjajah. Penderitaan yang
telah dialami oleh bangsa telah menyadarkan mereka bahwasannya kemerdekaan harus
segera diperjuangkan.

Pada tahun 1920, Boedi Oetomo menerima anggota dari rakyat biasa. Pengaruh
organisasi ini ditandai dengan pemogokan kaum buruh dalam rangka menuntut hak hidup
yang lebih baik. Tahun 1930, Boedi Oetomo merangkul seluruh rakyat Indonesia yang
ingin bergabung.

Partai politik pertama terbentuk pada 25 Desember 1912 yaitu Indische Partij.
Partai ini didirikan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi
Soerjaningrat. Bagi kolonial Belanda ini adalah bentuk pemberontakan yang nyata karena
terang-terangan menuntut kemerdekaan Indonesia.

Tak lupa juga dengan beberapa lembaga pendidikan yang dibentuk oleh RA
Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan telah membukakan mata
rakyat bahwa sesungguhnya kemerdekaan bangsa adalah tujuan yang harus didapatkan.

2.1.2 VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)

Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische


Compagnie atau disingkat VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah
persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di
Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula Geoctroyeerde Westindische Compagnie
yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini
dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan
perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah persekutuan badan dagang saja,
tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-
fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh
bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam
negara.

VOC memiliki enam bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk


Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn, dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul
sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam
tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan; delegasi Amsterdam
berjumlah delapan.

Di kalangan orang Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau


Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan
tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal Kompeni
sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara
yang sama seperti tentara Belanda.

2.1.3 Tanam Paksa (cultuur stelsel)

Cultuurstelsel (harfiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan


sebagai Sistem Budi Daya) (bahasa Inggris: Cultivation System) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya
kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah
kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap
dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli
VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC,
kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang
ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835
hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van
den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25
Desember 1839.

2.1.4 . Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan


kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk
menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Yang dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda


Kedua[1] yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta).
Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia",
dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap
"perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam berbagai surat kabar dan
dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".

Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut,
melainkan diberikan setelahnya. Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut
sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisan
menggunakan ejaan van Ophuysen.

Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik


kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi
terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb
een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih
elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju
pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju
juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan
panjang-lebar oleh Yamin.

2.1.5 Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik
tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan
Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata
pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan
dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai
panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia
Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan
politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan


untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan


pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu
sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan


membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan
dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja
rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan
dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.
Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama
lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk
kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara
orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis
merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar
melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat,
yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Anda mungkin juga menyukai