Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20,
di mana banyak rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai
"orang Indonesia". Hari Kebangkitan Nasional Indonesia atau yang sering disingkat
Harkitnas diperingati setiap tanggal 20 Mei, bertepatan dengan berdirinya Boedi Oetomo
pada tahun 1908 oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Awalnya organisasi ini bertujuan
untuk menjaga dan memajukan kebudayaan Jawa, namun akhirnya pada tahun 1915
mulai merambah bidang politik.
Pada masa itu mulai tumbuh rasa nasionalisme pada jiwa rakyat Indonesia untuk
memperjuangkan hak-haknya yang selama ini ditindas oleh penjajah. Penderitaan yang
telah dialami oleh bangsa telah menyadarkan mereka bahwasannya kemerdekaan harus
segera diperjuangkan.
Pada tahun 1920, Boedi Oetomo menerima anggota dari rakyat biasa. Pengaruh
organisasi ini ditandai dengan pemogokan kaum buruh dalam rangka menuntut hak hidup
yang lebih baik. Tahun 1930, Boedi Oetomo merangkul seluruh rakyat Indonesia yang
ingin bergabung.
Partai politik pertama terbentuk pada 25 Desember 1912 yaitu Indische Partij.
Partai ini didirikan oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi
Soerjaningrat. Bagi kolonial Belanda ini adalah bentuk pemberontakan yang nyata karena
terang-terangan menuntut kemerdekaan Indonesia.
Tak lupa juga dengan beberapa lembaga pendidikan yang dibentuk oleh RA
Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan telah membukakan mata
rakyat bahwa sesungguhnya kemerdekaan bangsa adalah tujuan yang harus didapatkan.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap
dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli
VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC,
kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang
ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835
hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van
den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25
Desember 1839.
Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut,
melainkan diberikan setelahnya. Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut
sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisan
menggunakan ejaan van Ophuysen.
Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik
tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan
Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata
pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan
dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai
panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia
Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan
politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan
dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.
Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama
lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk
kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara
orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis
merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar
melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat,
yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.