Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dua fungsi utama dari perbankan adalah pengumpulan dana dan penyaluran dana.
Penyaluran dana yang terdapat di bank konvensional dengan yang terdapat di bank syariah
mempunyai perbedaan yang esensial, baik dalam hal nama, akad, maupun transaksinya.
Dalam perbankan konvensional penyaluran dana ini dikenal dengan nama kredit sedangkan
diperbankan syariah adalah pembiayaan.
Berbeda dengan pengertian kredit yang mengharuskan debitur mengembalikan
pinjaman dengan pemberian bunga kepada bank, maka pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah pengembalian pinjaman dengan bagi hasil berdasarkan kesepakatan antara bank
dan debitur. Misalnya, pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk membeli barang,
sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapat jasa. Prinsip bagi hasil
digunakan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa
sekaligus.
Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat penting karena dengan pembiayaan
akan diperoleh sumber pendapatan utama dan menjadi penunjang kelangsungan usaha bank.
Sebaliknya, bila pengelolaannya tidak baik akan menimbulkan permasalahan dan berhentinya
usaha bank .
Oleh Karena itu diperlukan adanya suatu manajemen pembiayaan syariah yang baik
sehingga penyaluran dan atau dalam hal ini pembiayaan kepada nasabah bisa efektif dan
efisien sesuai dengan tujuan dari perusahaan maupun syariat Islam itu sendiri. Oleh karena itu
saya sebagai penulis makalah ini mencoba memaparkan bagaimana konsep dari manajemen
pembiayaan syariah itu sendiri sehingga diharapkan baik penulis, rekan mahasiswa, maupun
masyarakat bisa lebih memahami mengenai manajemen pembiayaan syariah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka akan timbul beberapa permasalahan, yaitu :
1. Apakah pengertian pembiayaan dan bisnis?
2. Apa saja kebutuhan pembiayaan berdasarkan jenis pembiayaan?
3. Bagaimana bentuk transaksi L/C?
4. Bagaimanakah bentuk akad dan sejarah syariah card?
5. Bagaimana sistematika manajemen pembiayaan bank syariah?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian pembiayaan dan bisnis.

1
2. Untuk mengetahui kebutuhan pembiayaan berdasarkan jenis pembiayaan.
3. Untuk mengetahui bentuk transaksi L/C.
4. Untuk mengetahui bentuk akad dan sejarah syariah card.
5. Untuk mengetahui sistematika manajemen pembiayaan bank syariah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembiayaan dan Bisnis


1. Pengertian Pembiayaan Syariah
Definisi pembiayaan menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
dalam pasal 1 ayat 12 menyebutkan bahwa: “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.”
Menurut M. Syafi’i Antonio (2001:160), dalam bukunya yang berjudul “Bank Syariah
dan Teori Praktek”. Pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan devisit unit. Menurut Veithzal Rival
dan Arifin (2010:681) dalam bukunya yang berjudul “Islamic Banking”, Pembiayaan atau
financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk
mendukung investasi yang telah direncanakan, baik sendiri maupun lembaga. Atau
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa :
a) Transaksi dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik.
c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang mudharabah, salam, dan istishna’
d) Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk Qard, dan
e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa.
Pembiayaan syariah secara umum kegiatan suatu bank antara lain adalah
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito, kemudian
menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan, serta
kegiatan jasa-jasa keuangan lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pembiayaan dengan prinsip syariah merupakan
bentuk penyaluran dana berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa, transaksi jual beli,
transaksi pinjam meminjam, dan transaksi multijasa dengan berlandaskan prinsip syariah
kepada pihak yang memerlukan dana dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa
imbalan, atau bagi hasil sebagai tugas utama bank.

2
2. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan
Pembiayaan merupakan sumber pendapatan bagi bank syariah. Tujuan pembiayaan
yang dilaksanakan perbankan syariah terkait dengan stake holder, yakni:
1. Pemilik. Dari sumber pendapatan diatas, para pemilik mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2. Pegawai. Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank
yang dikelolanya.
3. Masyarakat.
a. Pemilik dana; masyarakat sebagai pemilik dana mengharapkan dari dana yang
diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil.
b. Debitur yang bersangkutan; dengan penyediaan dana baginya mereka merasa
terbantu guna menjalankan usahanya (sektor produktif) atau terbantu untuk
pengadaan barang yang diinginkannya (pembiayaan konsumtif).
c. Masyarakat umumnya – konsumen; dengan pembiayaan mereka dapat
memperoleh barang-barang yang dibutuhkan.
4. Pemerintah. Pemerintah terbantu dalam pembiayaan pembangunan negara, disamping
itu akan diperoleh pajak.
5. Bank. Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan diharapkan
bank dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya agar tetap survival dan
meluaskan jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat
dilayaninya.
Ada bebarapa fungsi pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada
masyarakat penerima diantaranya:
1) Meningkatkan daya guna uang
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan dan
deposito. Uang tersebut dalam prosentase tertentu ditingkatkan kegunaannya oleh
bank guna suatu usaha peningkatan produkivitas.
2) Meningkatkan daya guna barang
Produsen dengan bantuan pembiayaan bank dapat memprodusir bahan mentah
menjadi bahan jadi sehingga utility dari bahan tersebut meningkat.
3) Meningkatkan peredaran uang
Melalui pembiayaan, peredaran uang kartal maupun giral akan lebih berkembang oleh
karena pembiayaan menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan
uang akan bertambah baik kualitatif apalagi secara kuantitatif.
4) Menimbulkan kegairahan berusaha
Bantuan pembiayaan yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian yang
digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitas.

3
5) Stabilitas ekonomi
Dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah stabilitasi pada dasarnya
diarahkan pada usaha-usaha untuk antara lain:
a) Pengendalian inflasi
b) Peningkatan ekspor
c) Rehabilitasi prasarana
d) Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat
6) Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Para usahawan yang memperoleh pembiayaan tentu saja berusaha untuk
meningkatkan usahanya. Peningkatan usaha berarti peningkatan profit/pendapatan.
7) Sebagai alat hubungan ekonomi internasional.
Bank sebagai lembaga kredit/pembiayaan tidak saja bergerak didalam negeri tapi juga
diluar negeri. Negara-negara kaya atau yang kuat ekonominya, demi persahabatan
antar negara banyak memberikan bantuan kepada negara-negara yang sedang
berkembang atau yang sedang membangun. Bantuan tersebut tercermin dalam bentuk
bantuan kredit dengan syarat-syarat tertentu.

B. Kebutuhan Pembiayaan Sesuai Dengan Jenis Pembiayaan


1. Pembiayaan modal kerja
Pembiayaan modal kerja adalah suatu pembiayaan untuk memenuhi berbagai macam
kebutuhan, antara lain yaitu untuk peningkatan produksi, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, kemudian untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari
suatu barang. Sedangkan pembiayaan modal kerja syariah adalah suatu pembiayaan jangka
pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja
usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Fasilitas dari PMK itu sendiri dapat diberikan kepada seluruh sektor/subsektor
ekonomi yang dinilai prospek, tidak bertentangan dengan syariat islam dan tidak dilarang
oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta yang dilakukan jenuh oleh Bank
Indonesia. Pemberian fasilitas pembiayaan modal kerja kepada debitur/calon debitur
dengan tujuan untuk mengeliminasi risiko dan mengoptimalkan keuntungan bank.
1. Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan likuiditas digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat
terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-
usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah
fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas

4
pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-
rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
2. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya dengan
kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang
dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
 Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana
karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan
nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah berkewajiban untuk menagih sendiri piutangnya.
Tetapi, jika bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk
menagih langsung kepada pihak yang berhutang.
 Anjak Piutang (Factoring)
Pada fasilitas ini, bank syariah, memberikan pembiayaan piutang dalam bentuk al-
qardh di mana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya administrasi. Untuk kasus
anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan piutang, yaitu yang
disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan
kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan.
3. Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)
Bank syariah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan
pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual-beli
(al-bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier secara
tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada
nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keun-tungan yang
disepakati bersama, antara bank dengan nasabah. Ada beberapa skema jual-beli yang
dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut yaitu:
 Bai’ al-Murabahah
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan
baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi barang
setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Apabila barang jadi
tersebut dijual dengan kredit, maka akan berubah menjadi piutang, dan melalui proses
collection akan berubah menjadi kas kembali.
 Bai’ al Istishna’
Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati
kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya pro-duksi ditambah keuntungan bagi produsen,
tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap,
sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti
spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk
5
proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa
bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah
keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan
kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha
berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara
membeli dari pihak lain.
 Bai’ as Salam
Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan
pembayaran di muka secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban men-deliver barang
tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank
dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.

4. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan


 Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa
saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik
pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya
perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat
tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena
barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai
penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat
adalah skema mudharabah.
 Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesaikan di tempat penjual, yaitu
seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara.
Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual
berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya
pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal
ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi
pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan
spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
2. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keprluan investasi, yaitu
keperluan penambahasan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun
pendirian proyek baru.
Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:
1. Untuk mengadakan barang-barang modal;
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yanag matang dan terarah;

6
3. Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya
cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang
mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa
dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwal
amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali) pembiayaan.

Penyusunan arus kas ini arus disertai pula dengan perkiraan keadaan-keadaan pada
masa yang akan datang, mengingat pembiayaan investasi memerlukan waktu yang cukup
panjang. Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan proyeksi
neraca dan rugi laba (projected balance sheet and projected income statement) selama
jangka waktu pembiayaan. Dari perkiaraan itu akan diketahui kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemmapuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya (solvency).
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan bank
syariah menggunkan skema musyarakah mustanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan
pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahan bank melepaskan
penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan
menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik
yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang
pemegang saham baru.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syariah adalah al-ijarah al-muntahia bit-
tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber
perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang
bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.
3. Pembiayaan Konsumsi
Pembiayaan konsumti diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan
komsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. kebutuhan
konsumtif dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan
skunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan,
minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan
pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara
kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik
berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah,

7
kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan
barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan
kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral).
Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan barupa barang lain yang
dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut
berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari
fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan
barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini:
1. Al-bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.
2. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.
3. Al-musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, dimana secara
bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi tersebut di atas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
sekunder. Adapun kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi dengan
pembiayaan komersil. Seseorang yang belum maupun memenuhi kebutuhan pokoknya
tergolong fakir atau miskin. Oleh karena itu, ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau
maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al-qardh al-hasan), yaitu pinjaman dengan
kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apa pun.
C. Transaksi Letter of Credit
1. Pengertian Letter of Credit (L/C) Syariah

Pada hakikatnya Letter of Credit (L/C) adalah sebuah surat yang mengalihkan
kelayakan menerima kredit pembeli kepada sebuah bank. Sebuah L/C dapat dianggap
sebagai jaminan berkondisi yang dikeluarkan oleh bank atas nama pembeli ditujukan
kepada penjual untuk memastikan pembayaran bila penjual memenuhi syarat yang
tercantum dalam L/C (Warren J. Keegan diterjemah oleh Alexander Sindoro; 1997 )
Letter of Credit (L/C) secara sederhana merupakan pengambil alihan tanggung jawab
pembayaran oleh pihak lain, dalam hal ini diambil alih oleh bank atas dasar permintaan
pihak yang dijamin yaitu pembeli atau nasabah bank untuk melakukan pembayaran kepada
pihak penerima jaminan atau penjual berdasarkan syarat dan kondisi yang ditentukan dan
disepakati.
Letter of Credit (L/C) biasa disebut surat kredit berdokumen yang merupakan alat
pembayaran yang dikeluarkan bank atas permintaan importir dalam transaksi perdagangan

8
internasional. Hal ini dikarenakan L/C menawarkan jaminan terbaik bagi pihak eksportir
bahwa barang yang dijual secara internasional akan dibayar. Jaminan ini timbul dari
kenyataan bahwa kewajiban membayar dengan L/C terletak ditangan bank pembeli bukan
ditangan pembeli.
Secara umum, L/C dalam pengertian bank konvensional digunakan untuk
membiayai sales kontrak jarak jauh antara pembeli dan penjual yang belum saling
mengenal dengan baik. L/C dalam bank syariah termasuk produk pembiayaan, yaitu
pembiayaan L/C impor atau ekspor syariah. Dalam transaksinya, bank syariah dapat
bertindak sebagai wakil dan penjamin importir dalam melakukan pembayaran jika
importir tidak memiliki dana yang cukup pada waktu yang disyaratkan untuk melakukan
pembayaran, maka bank syariah dapat memberikan dana talangan kepada importir,
melakukan pembelian atas barang yang diimpor, dan memberikan pembiayaan modal kerja
kepada importir. Dalam transaksi L/C syariah, ada beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu :
1. Syarat Objek Pembayaran Dijamin Oleh L/C Syariah
a. Transaksi tersebut merupakan kewajiban dari importir sendiri.
b. Jelas nilai dan spesifikasinya.
c. Objek yang dijamin tidak bertentangan dengan syariah.
2. Penetapan Imbalan Jasa (Ujrah) Bank
Dalam menetapkan besarnya imbalan yang harus diterima oleh bank tidak boleh
dalam bentuk persentase, melainkan harus dalam jumlah nominal yang jelas dan
jumlah tersebut harus dinyatakan pada awal akad.
3. Nasabah Memberikan Dana Yang Sama Dengan Jumlah Tagihan
Jika nasabah tidak memiliki dana, maka bank dapat memberikan qardh ataupun
pembiayaan mudharabah dengan sistem pengembalian baik secara mencicil maupun
secara tunai
2. Pembiayaan Letter of Credit (L/C) Syariah
Mekanisme L/C bank syariah pada umumnya sama seperti mekanisme pada bank
konvensional. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara mekanisme bank syariah dan
bank konvensional, yakni terletak pada akadnya serta kesepakatan jumlah upah
atau ujrah atau fee pada awal kesepakatan antara importir dengan bank yang merupakan
imbalan atas jasa yang dilakukan pihak bank pengurus L/C.
Akad penerbitan L/C melalui bank syariah harus ditentukan dari awal oleh bank
syariah sebagai opening bank dan importer sebagai applicant. Penentuan jenis akad
tersebut akan mempengaruhi bentuk dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Disamping itu pula ada penerapan bunga pada bank konvensional tidak dapat diterapkan

9
pada penerbitan L/C pada bank syariah. Praktek penerbitan L/C pada bank syariah
merupakan suatu mekanisme yang bersifat komperhensif. Komperhensif berarti syariah
Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual / ibadah maupun sosial / muamalah
( M. Syafi’I Antonio ; 2000) .
Pada setiap tahapan penerbitan L/C, para pihak harus konsisten menerapkan prinsip-
prinsip syariah. Permasalahan dapat timbul berkaitan dengan praktek pelaksanaannya yang
dapat menimbulkan benturan dengan ketentuan syariah. Sehingga adanya sebuah L/C
Import dan Ekspor Syariah, yaitu:
 Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 34 /DSN – MUI/ IX/2002 tentang L/C
Impor Syariah, bahwa membolehkan bank syariah menerapkan pembiayaan dengan
penerapan L/C, yaitu :
1. Wakalah bil Ujrah
Pelimpahan atau pendelegasian wewenang atau kuasa dari pihak pertama kepada
pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu atas nama pihak pertama untuk kepentingan dan
tanggung jawab sepenuhnya oleh pihak pertama. Dalam pendelegasian tersebut ditentukan
upah (ujrah/fee) atas pelaksanaan tugas oleh pihak yang mewakili. Ketentuan :
1) Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang
diimpor.
2) Importir dan bank melakukan akad wakalah bil ujrah untuk pengurusan dokumen
transaksi impor.
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan
dalam bentuk persentase
2. Qard
Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Ketentuan :
1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang
diimpor.
2) Importir dan bank melakukan akad wakalah bil ujrah dengan qardhuntuk pengurusan
dokumen transaksi impor.
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan
dalam bentuk persentase.
3. Murabahah
Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Ketentuan :
1) Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan
transaksi dengan eksportir.
2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima
atau tangguh sampai dengan jatuh tempo.

10
3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran
tunai maupun cicilan.
4. Salam / Istisha
Salam merupakan pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sementara
pembayarannya dilakukan dimuka. Istishna’ hampir menyerupai salam, namun
pada istishna’ tidak wajib mempercepat pembayaran dan tidak ada penjelasan jangka
waktu pembuatan dan penyerahan, serta tidak adanya barang seperti itu di pasar.
Ketentuan :
1) Bank melakukan akad salam atau istishna’ dengan mewakilkan kepada importir untuk
melakukan transaksi tersebut.
2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank.
3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran
tunai maupun cicilan.
4) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan
barang.
5. Mudharabah
Akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan bila rugi
ditanggung oleh pihak pemberi modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
pengelola. Ketentuan :
1) Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan
pengurusan dokumen dan pembayaran.
2) Bank dan importir melakukan akad mudharabah, dimana bank bertindak
selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang
diimpor.
6. Musyawarah
Kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketentuannya yaitu bank dan
importir melakukan akad musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk
melakukan kegiatan impor barang.
7. Hawalah
Pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Ketentuan :
1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang
diimpor.
2) Importir dan bank melakukan akad wakalah bil ujrah untuk pengurusan dokumen
transaksi impor.

11
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan
dalam bentuk persentase.
 Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 35/DSN-MUI/IX/2002, akad yang
dapat digunakan untuk pembiayaan L/C ekspor syariah adalah :
1. Wakalah bil Ujrah
Ketentuan :

1. Bank melakukan pengurusan dokumen ekspor.


2. Bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C selanjutnya dibayarkan
kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.
3. Besar ujrah harus disepakati di awal akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal,
bukan persentase.
2. Qardh
Ketentuan :

1) Bank melakukan pengurusan dokumen ekspor.


2) Bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C.
3) Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga
barang ekspor.
4) Besar ujrah harus disepakati di awal akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal,
bukan persentase.
5) Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam
akad.
3. Mudharabah
Ketentuan :

1) Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses
produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir.
2) Bank melakukan pengurusan dokumen ekspor.
3) Bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C.
4) Pembayaran dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau tangguh pada saat
jatuh tempo.
5) Pembayaran ujrah, pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil
disepakati di awal akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan persentase.
4. Musyarakah
Ketentuan :

1) Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses
produksi barang ekspor yang dipesan importir.
2) Bank melakukan pengurusan dokumen ekspor.
3) Bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C.

12
4) Pembayaran dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau tangguh pada saat jatuh
tempo.
5) Pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk pengembalian
dana musyarakah dan pembayaran bagi hasil.
5. Ba’i dan Wakalah
Ketentuan :

1) Bank membeli barang dari eksportir.


2) Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir.
3) Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir.
4) Pembayaran dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau tangguh pada saat jatuh
tempo.
D. Syariah Card
1. Pengertian Syariah Card
Menurut fatwa DSN No. 54 tentang Syari’ah Card adalah kartu yang berfungsi seperti
kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
2. Latar Belakang Munculnya Produk Syari’ah Card
Latar belakang munculnya produk syari’ah card dalam dunia perbankan dikarenakan
tingkat kebutuhan akan kartu kredit yang relatif tinggi. Akan tetapi, kartu kredit
konvensional itu berbasis pada bunga. Dalam Islam, segala sesuatu yang didasarkan pada
bunga itu dilarang. Untuk mengakomodir kebutuhan ini, maka perbankan syari’ah
mengeluarkan syaria’ah card yang secara fungsi sama dengan kartu kredit, akan tetapi
telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan menghilangkan unsur–unsur ribawi, dan
menggantinya dengan mekanisme yang disesuaikan dengan prinsip – prinsip syari’ah.
Salah satu yang paling menonjol dalam “syari’ah – isasi” kartu kredit adalah system bunga
yang diganti dengan system lain, yang menurut perspektif syari’ah tidak bertentangan.
3. Akad yang digunakan dalam kartu kredit Syari’ah (Syari’ah card)
Ada 3 akad yang digunakan dalam produk kartu kredit Syariah (Syari’ah Card)
diantaranya adalah :
1. Kafalah
Dalam hal ini penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu tergadap
Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang
kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit
Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
2. Qardh
Dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu
(muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu.
3. Ijarah
Dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan
terhadap pemegang kartu. Atas Ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee.

13
4. Batasan – batasan dalam penggunaan produk kartu kredit (Syari’ah card)
1. Tidak menimbulkan riba
2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah
3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain
menetapkan pagu maksimal pembelanjaan
4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada
waktunya
5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
5. Transparansi biaya kartu kredit syariah (Syari’ah Card)
Faktor lain yang sangat substantif dalam Islam adalah kejelasan biaya. Dalam
memanfaatkan fasilitas kartu kredit syari’ah (Syari’ah Card), ada beberapa biaya yang
harus dikeluarkan oleh pengguna kartu. Diantaranya adalah :
1. Iuran keanggotaan (membership fee), bank selaku pihak yang mengeluarkan kartu
berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-‘udhwiyah) termasuk perpanjangan
masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan
fasilitas kartu.
2. Merchant fee, bank selaku pihak yang menerbitkan kartu boleh menerima fee yang
diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas
perantara (samsarah), pemasaran (tawiq) dan penagihan (tahsil al-dayn)
3. Fee penarikan uang tunai, penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai
(rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang
besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan
4. Fee kafalah, penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas pemberian
kafalah
5. Semua bentuk fee tersebut diatas (1-4) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu
secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee

Selain biaya – biaya tersebut, biaya lain yang harus dikeluarkan adalah ketika
pegguna terlambat membayar kewajibannya setelah jatuh tempo. Tau yang disebut dengan
istilah ta’widh.
Transparansi biaya seperti ini, sekilas memberikan kesan bahwa bank syari’ah
memiliki beban biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan bank konvensional. Jika
dikalkulasi, mungkin kartu kredit syari’ah lebih banyak biaya dibandingkan dengan kartu
kredit konvensional. Akan tetapi rumitnya akad dalam produk syari’ah card, biaya – biaya
yang harus dikeluarkan, didasarkan pada prinsip kesyari’ahan yang harus diterapkan pada
seluruh produk bank syari’ah. Syari’ah atau tidak, tidak hanya menyoal murah atau murah.
Syari’ah atau tidak dapat dilihat dari mekanismenya yang secara substantif berbasis pada
nilai – nilai Islam. Terlepas dari murah atau mahalnya biaya sebuah produk, jika memang

14
itu didasarkan pada mekanisme yang berbasis pada prinsip – prinsip syari’ah, maka itu
merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus diterima.
E. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah
1. Pengertian Manajemen Pembiayaan Bank Syariah
Sebelum membahas pengertian pembiayaan, sebaiknya kita mengetahui tentang
falsafah pembiayaan di Bank Syariah. Diantaranya adalah kaitan antara uang dalam suatu
bisnis usaha adalah penting, namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya
ketidakadilan, ketidakjujuran, dan “penghisapan” dari satu pihak kepihak lain (bank
dengan nasabahnya), dan tentang kedudukan hubungan antara bank syariah dan nasabah
adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan dalam hal bank secara umumnya
adalah hubungan antara kreditur dan debitur. Dengan dikenalnya mekanisme pembiayaan
berdasarkan prinsip mitra usaha pada bank syariah, maka pembayaran bunga kepada
depositor atau pembebanan suatu bunga kepada para nasabah tidak timbul.
Dalam membahas manajemen pembiayaan bank syariah terlebih dahulu dipisahkan
dua kata yang membentuk frase tersebut : Manajemen, Pembiayaan dan Bank Syariah.
Secara etimologi manajemen berarti seni melaksanakan dan mengatur. Pembiayaan
diartikan sebagai suatu kegiatan pemberian fasilitas keuangan/finansial yang diberikan
satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung kelancaran usaha maupun untuk investasi
yang telah direncanakan. Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu
pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan deficit unit.
Berdasarkan UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah
didefinisikan sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah. Disamping itu, dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah memenuhi aspek
syar’i dan aspek ekonomi. Yang dimaksud dengan aspek syar’i adalah setiap realisasi
pembiayaan kepada nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman kepada syariat islam
(antara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar, dan riba serta bidang usahanya harus
halal. Adupun yang dimaksud dengan asspek ekonomi adalah mempertimbangkan
perolehan keuntungan baik bagi bank syariah maupun bagi nasabah.
Manajemen Pembiayaan Bank Syariah adalah sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya yang dilakukan oleh
bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dalam hal
pemberian fasilitas keuangan atau finasial yang kepada pihak lain berdasarkan prinsip-
prinsip syariah untuk mendukung kelancaran usaha maupun untuk investasi yang telah
direncanakan. Pengertian pembiayaan menurut Kamus Pintar Ekonomi Syariah,

15
pembiayaan diartikan sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiyah bit tamlik
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna‟
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh
5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah serta atau UUS dan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa
imbalan, atau bagi hasil. Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh
suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Jenis-jenis pembiayaan di bank syariah sebagaimana
dalam bukunya Adiwarman A. Karim yang berjudul Bank Islam, Analisis Fiqih Dan
Keuangan adalah sebagai berikut:
1. Pembiayaan Modal Kerja Syariah
2. Pembiayaan Investasi Syariah
3. Pembiayaan Konsumtif Syariah
4. Pembiayaan Sindikasi
5. Pembiayaan Berdasarkan Take Over
6. Pembiayaan Letter Of Credit
Dalam akad pembiayaan istilah laba tidak asing lagi. Karena dalam akad pembiayaan
bagi hasil tujuannya adalah saling mendapatkan keuntungan atau laba. Laba bersih adalah
laba operasi bersih dikurangi (ditambah) beban (pendapatan) diluar operasi, dan dikurangi
dengan pajak penghasilan badan untuk periode tersebut.
2. Penentuan Kebijakan Pembiayaan Bank Syariah
Penentuan sektor-sektor pembiayaan Bank Syariah ditetapkan bersama oleh Dewan
Komisaris, Direksi (termasuk Komite Kebijakan Pembiayaan) serta Dewan Pengawas
Syari’ah, baik mengenai jenis maupun besarnya (nilai rupiahnya) sehingga pilihan yang
ditentukan diharapkan memenuhi aspek syar’i disamping aspek ekonomisnya.
Proses pemberian pembiayaan meliputi:
1. Surat permohonan pembiayaan
Dalam surat permohonan, berisikan jenis pembiayaan yang diminta nasabah, untuk berapa
lama, berapa limit yang diminta, serta sumber pelunasan pembiayaan berasal dari mana.
Disamping itu, surat diatas dilampiri dengan dokumen pendukung, antara lain: identitas
pemohon, legalitas (akta pendirian atau perubahan, surat keputusan menteri, perizinan
perizinan), bukti kepemilikan agunan (jika diperlukan).
2. Proses evaluasi

16
Dalam penilaian suatu permohonan, bank syariah tetap berpegang pada prinsip kehati-
hatian serta aspek lainnya, sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil analisis yang cermat
dan akurat.
Langkah pengamanan yang dilakukan bank syariah untuk mengendalikan terjadinya
pembiayaan bermasalah dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum realisasi pembiayaan
Dalam tahapan ini, bank melakukan penutupan asuransi dan/atau pengikatan agunan
(jika diperlukan). Setelah ini selesai, baru pembiayaan dapat dicairkan.
2. Setelah realisasi pembiayaan
Dalam tahap awal pencairan, dana diarahkan pada pembiayaan sebagaimana diajukan
dalam permohonan atau persetujuan bank, dan jangan sampai “bocor” dalam arti lari
ke hal-hal diluar kesepakatan. Selanjutnya, bank melakukan pembinaan dan kontrol
atas aktivitas bisnis nasabah.
3. Prinsip-Prinsip Pemberian Pembiayaan
Dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing
harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara
keseluruhan calon nasabah. Di dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal dengan 5
C + 1 S , yaitu :
1. Character
Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan
tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi
kewajibannya.
2. Capacity
Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk
melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan
di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti
toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.
3. Capital
Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima
pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan
oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya.
4. Collateral
Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk
lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi , maka
jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.
5. Condition

17
Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara
spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima
pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya
usaha calon penerima pembiayaan.
6. Syariah
Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayai benar-benar
usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh
menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudharabah.”
Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama adalah karakter dari nasabah
calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun
kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur
mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan
pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Disamping itu keberadaan agunan menjadi sangat
penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana
bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan
digunakan dengan sangat hati-hati (trust and prudential).
4. Batas - Batas Pemberian Pembiayaan
Dalam menyalurkan pembiayaan, bank syariah akan memperhatikan batas-batas
pemberian pembiayaan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah ketentuan financing
deposit ratio yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Penentuan batas penyaluran
pembiayaan suatu bank syariah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah adalah sebagai berikut: Untuk peminjam dari pihak tidak terkait,
batas maksimum pemberiaan pembiayaanya adalah 30% dari modal bank syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia. Dan untuk pihak terkait, dalam hal
ini yang dimaksudkan adalah pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal
disetor bank syariah, anggota dewan komisaris, anggota direksi, keluarga dari persero
perorangan, komisaris, dan direksi, pejabat bank lainnya, serta perusahaan yang didalamnya
terdapat kepentingan dari pihak yang diatas, batas maksimum pemberian pembiayaannya
20% dari modal bank syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Disamping memperhatikan kebijakan otoritas moneter dalam menentukan batas
maksimum pemberian pembiayaan (BMPP), bank syariah juga memperhatikan kebijakan
internal bank dalam memberikan pembiayaan. Hal ini berkaitan dengan masalah kecepatan

18
pengambilan keputusan. Pada prinsipnya yang memiliki kewenangan memutus suatu
permohonan pembiayaan adalah (Pejabat) kantor pusat. namun jika seluruh permohonan
diajukan kekantor pusat, akan terjadi over loaded pada suatu unit kerja dan kekosongan
pada unit kerja lainnya yang pada akhirnya pembiayaan tidak tersedia secara“on time”.
Sehubungan dengan itu untuk limit/plafon dalam jumlah tertentu, kantor pusat
mendelegasikan wewenang memutus kepada (Pejabat) Kanwil dan kantor cabang serta
kantor cabang pembantu.
Hal yang juga diperhatikan bank dalam menentukan batas maksimum pemberian
pembiayaan adalah operasional. Dalam tataran operasional, secara umum dalam kondisi
normal, besaran/totalitas pembiayaan sangat tergantung pada besaran dana yang tersedia,
baik yang berasal dari pemilik berupa modal (sendiri, termasuk cadangan) serta dana dari
masyarakat luas-Dana Pihak Ketiga. Jelasnya, semakin besar funding suatu bank, akan
meningkat potensi bank yang bersangkutan dalam penyediaan pembiayaan. Dalam kondisi
yang situasional, besarnya porsi pembiayaan dipengaruhi oleh alokasi dana untuk itu, yang
diantaranya bank juga mempertimbangkan penyaluran kesektor lain yang lebih
menguntungkan dibanding pembiayaan, dapat meberikan hasil yang lebih banyak/baik.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Jenis-jenis
pembiayaan terdiri atas pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan
konsumsi. Sedangkan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah adalah sebuah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya yang
dilakukan oleh bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dalam hal pemberian fasilitas keuangan atau finasial yang kepada pihak lain berdasarkan
prinsip-prinsip syariah untuk mendukung kelancaran usaha maupun untuk investasi yang
telah direncanakan.

Letter of Credit (L/C) adalah sebuah surat yang mengalihkan kelayakan menerima
kredit pembeli kepada sebuah bank. Sebuah L/C dapat dianggap sebagai jaminan

19
berkondisi yang dikeluarkan oleh bank atas nama pembeli ditujukan kepada penjual untuk
memastikan pembayaran bila penjual memenuhi syarat yang tercantum dalam L/C
(Warren J. Keegan diterjemah oleh Alexander Sindoro; 1997). Syari’ah Card adalah kartu
yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah
ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah.

Daftar Pustaka

Karim, Adiarman A. 2006. Bank Islam : Analisis Fiqih Dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

Djamil, Fathurrahman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga


Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika
Syafi’i, Muhammad. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani,.
Muhammad. 2004. Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Ekonisia.
Adiwarman, Karim. 2010. Bank Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

20

Anda mungkin juga menyukai