Anda di halaman 1dari 6

SFEROSITOSIS HEREDITER

Definisi
Sferositosis herediter adalah kelompok penyakit heterogen yang mempengaruhi
sel darah merah (eritrosit). Ciri umum sferositosis herediter adalah adanya defek pada
struktur membran yang menyebabkan penurunan deformabilitas eritrosit. Manifestasi
klinis penyakit ini sangat bervariasi dan bergantung pada berat/ringannya mutasi yang
terjadi pada gen yang mengkodekan protein membran, dampak sferositosis herediter
terhadap fungsi tubuh lainnya, dan adanya riwayat sferositosis herediter pada anggota
keluarga lain.

Prevalensi
HS terjadi pada semua kelompok etnis. Frekuensi tertinggi 1:5.000 ditemukan
pada masyarakat dari negara-negara Eropa Utara. Mutasi yang terjadi pada ankyrin atau
protein membran lainnya secara de novo sering menyebabkan HS sporadis. Sekitar dua
pertiga pasien memiliki gen sferositosis herediter yang bersifat dominan sehingga dapat
diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Mayoritas kasus tersebut memiliki derajat
keparahan sferositosis herediter yang sama. Sedangkan pada sepertiga kasus memiliki
orang tua yang normal atau tidak mengalami sferositosis herediter.
Prevalensi sferositosis herediter di Jerman diperkirakan mencapai 1: 2000 -
2500. Spherocytosis herediter adalah anemia hemolitik bawaan yang paling sering
terjadi pada penduduk asli Eropa utara atau tengah.

Etiologi
Penyebab utama dari sferositosis herediter adalah adanya defek/kecacatan pada
membran sel. Defek ini dapat menurunkan deformabilitas eritrosit dan mempercepat
degradasi eritrosit di limpa. Hal ini disebabkan oleh adanya mutasi pada gen yang
mengkodekan protein membran ankyrin, band 3, dan spectrin (spektrin yang paling
sering mengalami gangguan). Mutasi gen yang mengkode protein 4.2, kompleks RH
dan kasus-kasus dengan defek yang tidak terdefinisi sampai saat ini jarang terjadi. Pada
70% kasus, penyakit ini dapat diturunkan melalui gen autosom dominan, sedangkan
sebanyak 15% kasus diturunkan melalui gen autosom resesif. Sedangkan sissnya
mendapat penyakit ini karena mengalami mutasi baru. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi
sferositosis herediter berdasarkan molekul yang mengalami gangguan

Manifestasi klinis
Gejala
Spektrum klinis sferositosis herediter dapat sangat bervariasi, mulai dari
sferositosis herediter yang parah dan memerlukan transfusi pada anak usia dini hingga
sferositosis herediter yang tidak menunjukkan gejala dan baru didiagnosis secara tidak
sengaja saat dilakukan analisis laboratorium. Ciri-ciri dan komplikasi yang khas pada
sferositosis herediter ditampilkan dalam Tabel 2 dan 3.
Krisis hemolitik dapat terjadi secara berulang apabila pasien mengalami infeksi.
Krisis hemolitik ini mayoritas masih bersifat ringan, terjadi pada orang dewasa muda,
dan tidak memerlukan transfusi darah. Krisis aplastik mayoritas hanya terjadi sekali.
Krisis aplastik ini dapat menurunkan konsentrasi hemoglobin secara hebat, sehingga
pasien memerlukan transfusi darah. Komplikasi yang jarang terjadi antara lain
gangguan pada kardiovaskular, hematopoiesis ekstrameduler, atau hemokromatosis
sekunder.

Klasifikasi

Pasien Sferositosis Herediter Asimtomatik namun dengan Parameter Laboratorium yang


Mencolok
Kelompok khusus dari sferositosis herediter adalah pasien yang membawa
kelainan genetik sferositosis herediter namun tidak menunjukkan gejala klinis dan tidak
ada keluarga yang mengalami sferositosis herediter. Dimana sferositosis herediter pada
pasien ini secara tidak sengaja ditemukan berdasarkan parameter laboratorium. Temuan
laboratorium yang menunjukkan sferositosis herediter dirangkum dalam Tabel 5.
Kombinasi beberapa parameter diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis
sementara sferositosis herediter apabila terdapat faktor predisposisi genetik. Jika tidak
ada sferosit yang terdeteksi, jika indeks eritrosit tetap tidak berubah, dan jika retikulosit
berada dalam kisaran normal, sferositosis herediter tidak dapat dikesampingkan, tetapi
tidak mungkin orang tersebut akan menunjukkan gejala apapun. Bentuk klinis
sferositosis herediter asimtomatik dapat sangat sulit dibedakan dengan bentuk
sferositosis herediter yang ringan. Bentuk ringan kadang-kadang dapat memburuk
karena splenomegali yang disebabkan oleh penyakit lain (misalnya limfoma) atau
karena infeksi virus (EBV, parvovirus).

MCHC sebagai Indikator Penyakit Membran RBC


Nilai MCHC (mean cell hemoglobin concentration) yang meningkat sangat
relevan untuk mengidentifikasi apakah pasien mengalami sferositosis atau tidak. MCHC
ini dapat melaporkan konsentrasi hemoglobin atau jumlah hemoglobin per 100ml
eritrosit.
Meningkatnya nilai MCHC dapat ditemukan dalam situasi berikut:
• Nilai hemoglobin yang ditentukan terlalu tinggi karena plasma yang diperiksa keruh
• Jumlah RBC yang digunakan terlalu rendah, mis. Dalam kasus sampel darah yang
mengalami koagulasi.
• Titer aglutinin dingin yang tinggi
• Gangguan membran sel darah merah yang dapat diturunkan/diwariskan seperti
sferositosis dan varian lainnya, mis. Xerositosis
• Anomali hemoglobin CC
• Anemia sel sabit homozigot (kadang kala)
• Pasien hemokromatosis dengan kelebihan zat besi namun juga bergantung pada
genotipnya.

Diagnosa
. Uji kerapuhan osmotik
Uji tradisional ini dilakukan dengan menggunakan 14 konsentrasi NaCl, berkisar
antara 0,1 sampai 0,8 g / dL NaCl. Namun, modifikasi uji ini dilakukan dengan metode
4 tabung menggunakan empat konsentrasi larutan NaCl (0,5 g / dL untuk sel darah
merah yang tidak diinkubasi, 0,60, 0,65, dan 0,75 g / dL NaCl untuk sel darah merah
yang diinkubasi) [93], dan pada metode tabung 17, 3 tabung terakhir menggunakan
NaCl dengan konsentrasi 0,85, 0,9, dan 1,0 g / dL (Milan). Sferosit lebih mudah
mengalami lisis pada setiap konsentrasi NaCl bila dibandingkan dengan sel darah merah
normal. Preincubation seluruh sampel darah selama 24 jam pada suhu 37 ° C akan
meningkatkan derajat lisis sel.
Kelemahan dari uji kerapuhan osmotik adalah kurang spesifik, karena cacat atau
kondisi sel merah bawaan lainnya juga dapat memberi hasil positif (yaitu peningkatan
lisis sel darah merah). Contohnya antara lain anemia hemolitik karena sistem imun,
transfusi darah yang baru saja dilakukan (yaitu lisis sel darah merah yang baru saja
ditransfusikan secara ex vivo karena minimnya ATP di sel ini), defisiensi enzim RBC
(misalnya kekurangan G6PD dan piruvat kinase), dan varian penyakit lain dengan
hemoglobin yang tidak stabil. Hasil tes kerapuhan osmotik harus ditafsirkan bersamaan
dengan anamnesis riwayat penyakit keluarga dan pemeriksaan hapusan darah perifer.
Kini flow cytometric osmotic fragility test telah tersedia. Pemeriksaan ini
didasarkan pada kerentanan sel darah merah untuk mengalami lisis dan dilakukan di
sebuah medium yang telah ditambah dengan air deionisasi. Meskipun pemeriksaan ini
memiliki spesifisitas dan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi sferositosis herediter,
namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah metode ini juga dapat digunakan
untuk mendeteksi sel darah merah dengan permeabilitas membran yang tidak normal
terhadap kation.

Acidified Glycerol Lysis Time/Rentang waktu lisis gliserol yang telah diasamkan
(AGLT)
Glycerol lysis time (GLT) yang asli digunakan untuk mengukur waktu yang
dibutuhkan bagi 50% sampel darah untuk mengalami hemolisis dalam larutan buffer
garam hipotonik/gliserol. Gliserol menghambat masuknya air ke dalam sel darah merah,
sehingga memperpanjang waktu lisis. Penambahan 0,0053M natrium fosfat dapat
menurunkan pH larutan buffer menjadi 6,85 sehingga dapat meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas uji sferositosis herediter ini. Hal ini adalah dasar dari acidified glycerol
lysis time (AGLT) test. Akibatnya, lisis sel darah merah normal dapat diukur pada waktu
yang lebih mudah diatur> 900 detik, bukan lisis pada waktu 23-45 detik. AGLT juga
dapat memberikan hasil positif pada sferositosis yang didapat, seperti AIHA, sekitar
sepertiga wanita hamil, dan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal kronis dan
dengan sindrom myelodysplastic [96, 97].
Acidified glycerol lysis time (AGLT) adalah metode yang sangat spesifik untuk
mengukur hemolisis. Sensitivitas tes berkisar antara 80 dan 95%. Tes ini harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah pengambilan sampel darah atau dengan
menggunakan sampel yang telah dikirim oleh kurir (sampel harus dingin tergantung
pada musimnya).

Flow Cytometry (Uji EMA)


Metode flow cytometry (uji EMA) telah diperkenalkan pada tahun 2000. Metode
ini didasarkan kemampuan pewarna fluorescent eosin-5-maleimide untuk berikatan
dengan eritrosit. Kemampuan pengikatan pewarna fluorescent ini lebih rendah pada
pasien dengan sferositosis herediter dibandingkan dengan orang sehat. Sensitivitas tes
ini berkisar antara 90 - 95%, spesifisitasnya adalah 95 - 99%. Hasilnya hanya berlaku
jika pengukuran dilakukan dalam waktu 48 jam sejak pengambilan sampel darah. Meski
begitu kemampuan fluoresensi untuk berikatan dengan eritrosit ini tampak lebih rendah
pada pyropoikilocytosis herediter, dan kemampuan ini meningkat pada kasus
stomatositosis.

Analisis Genetik
Diagnosis genetik molekuler dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelainan
genetik secara spesifik untuk pasien dan / atau keluarga. Namun metode diagnostik ini
hanya digunakan untuk kasus khusus karena lokasi mutasi gen pada penyakit ini sangat
bervariasi. Selain itu, biaya yang harus dikelurakan untuk melaksanakan metode ini
terbilang cukup tinggi.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding hyperegenerative, anemia normochromic dan spherocytes
pada pasien dewasa

Terapi
Tidak ada terapi kausatif pada penyakit yang disebabkan oleh adanya defek
genetik. Terapi simtomatik yang paling efektif adalah splenektomi. Kolesistektomi
dapat dilakukan apabila pasien mengalami kolelitiasis.
Splenektomi
Splenektomi sering kali dapat menekan anemia dan menurunkan angka
hemolisis. Namun, perubahan yang ditemukan dalam pemeriksaan hapusan darah tepi
akan menjadi lebih khas/jelas dari sebelumnya. Splenektomi sebagian besar dilakukan
pada masa kanak-kanak, namun sebaiknya, jika mungkin, tidak dilakukan sebelum usia
sekolah. Splenektomi juga harus dipertimbangkan pada orang dewasa dengan penyakit
simtomatik. Splenektomi merupakan pilihan terapi untuk sferositosis pada orang
dewasa dengan hematopoiesis extramedular. Masih menjadi pertanyaan terbuka apakah
hematopoiesis extramedullary dapat berkurang setelah pasien menjalani splenektomi.
Jika hemolisis berlanjut setelah splenektomi, diagnosis harus dipertimbangkan
kembali. Adanya limpa aksesori harus dicari dan, jika ada, harus dibuang. Indikasi
splenektomi tergantung pada tingkat keparahan klinis, lihat Tabel 9
Risiko splenektomi terdiri dari risiko-risiko operasi dan peningkatan risiko
pasien mengalami infeksi parah seumur hidup, terutama karena pneumokokus dengan
mortalitas 0,1 - 0,4%. Risiko tersebut dapat berkurang apabila splenektomi dilakukan
secara parsial (subtotal splenektomi) atau bukan total splenektomi. Subtotal splenektomi
dianjurkan pada pasien dengan sferositosis herediter. Kondisi anemia ringan mungkin
terjadi pada pasien dengan varian penyakit yang parah, terutama jika terjadi kerusakan
pada spectrin. Sebelum dan sesudah splenektomi, harus dipertimbangkan secara matang
mengenai vaksinasi yang akan dilakukan dan / atau pemberian antibiotik profilaksis.

Pemantauan Pasien Asimtomatik


Hingga saat ini masih belum ada bukti tentang keefektifan pemeriksaan secara
reguler. Hitung jenis sel harus dilakukan sesuai kebutuhan, terutama jika terjadi gejala
anemia yang berhubungan dengan adanya infeksi. Karena sesekali pasien dapat
mengalami kelebihan zat besi dengan derajat sedang-berat, maka disarankan bagi pasien
untuk melakukan pemeriksaan feritin serum setiap tahun. Pada saat pemeriksaan ini,
kadar vitamin B12 dan asam folat harus ditentukan karena kebutuhan mereka
meningkat. Pemeriksaan ultrasonografi saluran empedu dan limpa direkomendasikan
setidaknya setiap tiga tahun.

Anda mungkin juga menyukai