AC H . BA I QU N I , S E L I N U R S YA R I FA H , A R R I N A R R A H M A A L I YA ,
S H O L E H A N U R A P R I A N I , I S M A , A M B I YA , S U R A E J I R A M A DA N I
Pengantar Editor
Alhamdulillah Wa Syukurillah, buku dasar-dasar lmu hadis ini bisa
selesai diedit dan rampung pada malam tahun baru 2018, meskipun masih
banyak kekurangan dalam penulisannya. Buku ini merupakan kumpulan
artikel singkat tentang ilmu hadis meskipun dalam penyajiannya kurang
sempurna, karena banyak kajian ilmu hadis yang tidak dibahas dalam buku
ini.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan tugas mahasiswa STIU Amanatul
Huda Ciledug Kota Tangerang dan Santri Pondok Pesantren Tahfidul Qur’an
Amanatul Huda dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Ada sekitar tujuh tema
yang dibahas dalam buku ini antara lain: hadis mutawatir, hadis sahih, hadis
hasan, hadis dhaif, sanad dan matan, ingkar sunnah dan ilmu dirayah.
Pembahasannya cukup singkap dan semoga bermanfaat serta menjadi bacaan
bagi kalangan yang ingin mengenal dasar-dasar ilmu hadis. Sekian
terimakasih.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit thoriq
Editor
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………i
Daftar Isi…………………………………………………….....ii
Hadis Mutawatir………………………………………………1
Hadis Sahih……………………………………………………4
Hadis Hasan…………………………………………………..7
Hadis Dhaif……………………………………………………10
Sanad dan Matan……………………………………………...14
Ingkar Sunnah………………………………………………...16
Ilmu Dirayah………………………………………………….19
Hadis Mutawatir
Oleh: Sholeha Nurapriani
A. Pendahuluan
Hadis dilihat dari segi kuantitas periwayatan dibagi menjadi dua, yakni
mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir adalah hberita besar hadis yang bersifat
indrawi (didengar dan dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai
maksimal diseluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahi menurut tradisi
(adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
Keberadaan hadis mutawatr memiliki syarat-syarat begitu ketat untuk
dipenuhi, yakni diriwayatkan oleh banyak perawi adanya keseimbangan antara
perawi pada thabaqah pertama dengan thabaqah berikutnya mustahil bersepakat
bohong berdasarkan tanggapan pancaindera.
Mutawatir menurut bahasa berarti mutabi yakni yang datang berikut kita atau
yang beriringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak.1 Sedangkan pengertina
hadis mutawatir terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut:
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta” 2
Berdasarkan definisi ada 4 kriteria hadis mutawatir yaitu sebagai berikut: (1)
diriwayatkan sejumlah orang banyak, (2) adanya jumlah banyak periwayat pada
tingkatan seluruh sanad, (3) mustahil bersepakat bohong, (4) sandaran berita itu
pada pancaindera. 3
C. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
1
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 81
2
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, h. 82
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 146-147
1
D. Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawi, namun menurut sebagian yang lai
membaginya menjadi tiga yakitu hadis mutawatir lafdzi, maknawi dan amali. 4
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir
periwayatnya dalam satu lafadz.5 Sedangkan yang dimaksud dengan hadis
mutawatir maknawi adalah hadis yang maknanya mutawatir tetapi lafadznya tidak.
6
. Adapun yang dimaksud degan hadis mutawatir amali adalah suatu yang diketahui
dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat
Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau selain dari itu.
Beberapa pengertian ini merupakan ijma ulama.7
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hadis mutawatir
adalah yang datang bereriringan atau berurutan. Syarat-syaratnya ada 3: (1)
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, (2) adanya keseimbangan antara perawi
pada thabaqah pertama dan berikutnya, (3) berdasarkan tanggapan pancaindera.
4
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, h. 86
5
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 87
6
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 89
7
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, h. 90-91
2
Daftar Pustaka
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, Jakarta: AMZAH, 2013
Suparta, Mundzir dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993
3
Hadis Shahih
Oleh : Isma
A. Pendahuluan
Hadis dalam kajian keislaman menduduki posisi yang startegis sehingga
hadis menjadi rujukan utama dalam hukum Islam setelah al-Qur’an, namun antara
hadis dan al-Qur’amn mempunyai perbedaan, kalau al-Qur’an sudah diyakini
kebenarannya, tetapi tidak dengan hadis, karena dalam hadis ada hadis mutawaitir
yang sudah disekapati bahwa periwayat hadis tidak mungkiun berbohong karena
diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap tingkatan, serta ada hadis ahad yang
hanya diriwayatkan oleh beberapa orang dan kemungkinan berdusta dan
menyebarkan sesuatu yang tidak disabdakan oleh Nabi Muhammad bisa terjadi.
Hadis ahad inilah yang menyebabkan terjadinya perawi yang berdusta,
kurang sempurna ingatannya, karena hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja
dan tidak menjadi ijma’ dalam satu tempat, sehingga setelah lahirnya istilah ahad
lahir pula istilah lain untuk menunjukan kualitas dari hadis ahad tersebut, maka
lahirlah istilah hadis shahih, hasan dan dhaif. Makalah ini akan menguraikan dan
menjelaskan hadis sahih saja.
8
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis & Mustholah Hadis),
(Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014), h. 112
4
Shahih li dhatihi adahlah hadis sanadnya bersambung dari permulaan sampai
akhir, diceritakan oleh orang adil, dhabit yang sempurna serat tidak ada syuduz dan
illat. Definisi menujukan bahwa hadis tersbut menuhi kriteria hadis shahih dengan
sempurna. 9
Shahih li ghairih adalah hadis yang tidak memenuhi sifat-ifat hadis yang
diterima secara sempurna, yang awalnya bukan hadis shahih tetapi karena ada hadis
shahih dari jalur lain, maka naik derajatnya. 10
E. Kesimpulan
Penulis dapat meyimpulkan bahwa yang disebut hadis shahih adalah hadis
yang bersambung sanadnya, dirwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit serta
tidak ada ilat dalam hadis.
9
A Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung : CV Diponogoro, 1983 ), h. 29
10
A Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, h. 29
11
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis & Mustholah Hadis, h.
113
5
Daftar Pustaka
Hasan, A Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung : CV Diponogoro, 1983
Zein, Ma’sum, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis &
Mustholah Hadis), Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014
6
Hadis Hasan
Oleh : Seli Nursyarifah
A. Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur’an, hadis menempati posisi
yang sangat strategis di dalam kajian-kajian keislaman. Keberadaan dan
kedudukannya tidak diragukan. Dalam hadis ada yang periwayatnnya memenuhi
syarat tertentu untuk diterima sebagai hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul
(diterima). Namun, disisi lain terdapat hadis yang dalam periwayatannya tidak
memenuhi kriteria tertentu atau dikenal dengan hadis mardud (tidak diterima) atau
bahkan ada yang palsu (maudhu)
Dilihat dari segi kualitas hadis, maka hadis bisa dikelompokan menjadi tiga
macam: hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif. Namun, makalah ini hanya akan
membahas mengenai pengertia, klasifikasi dan hukum hadis hasan saja.
12
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 120
13
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 120
14
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 120
7
C. Klasifikasi Hadis Hasan
Para ulama hadis memabagi hadis hasan menjadi dua bagian yaitu hadis hasan
li dzatihi dan hasan li ghairihi. Yang dimaksud dengan hadis hasan li zatihi sama
dengan hadis hasan sebagaimana diuraikan di atas. Sedangkan yang dimaksud
dengan hadis hasaln li ghairihi yaitu hads hasan yang tidak memenuhi persyaratan
hadis hasan secara sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut dhaif, akan tetapi
karena sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau mutabi), maka
kedudukan hadis dhaif naik menjadi hasan li ghairihi. 15
D. Hukum mengamalkan Hadis Hasan
E. Kesimpulan
15
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 121
16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 83
8
Daftar Pustaka
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, Jakarta: AMZAH, 2013
Suparta, Mundzir dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993
9
Hadis Dhaif
Oleh : Ach Baiquni
A. Pendahuluan
Berbeda dengan al-Qur’an, periwayatan hadis mengalami kendala yang
pahit disebabkan karena pada masa sahabat fokosnya hanya mengumpulkan al-
Qur’an, sedangkan hadis baru dikumpulkan pada abad 10 hijriah ketika
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada para ulama masa itu,
untuk mengkodifikasi hadis.
Kendala lain yang menyebabkan hadis menjadi lemah karena para
periwayat (orang yang menerima hadis) pendengarannya tidak sama dan ada
perawi yang segaja menyebarkan hadis, padahal Nabi Muhammad tidak pernah
meriwayatakan hadis tersebut, kesegajaan mereka untuk mendukung
kepetinganya baik dalam politik, agama dan sosial.
Makalah singkat ini akan menyajikan hadis daif yang dimulai dari
pengertian, klasifikasi dan hukum mengamal hadis dhaif. Sebelum lebih jauh,
penulis membahasnya, supaya makalah ini menjadi fokos maka penulis
mengajukan dua pertanyaan (1) Apa yang dimaksud dengan Hadis Dhaif, (2)
Bagaimana hukum mengamalkan hadis dhaif?.
17
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, (Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014),h. 125
18
Mahmud Thahan, Taisir Musthalah al-Hadith, (Iskadaria: Markaz al-Hadi li Dirasah, 1415), h. 63
19
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, h.126
20
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, (Yogjakarta : Idea Press, 2017), h. 66
10
Zain al-Din al-Iraqi yang mengatakan bahwa cukup menyebutkan hadis hasan
tanpa menggunakan hadis sahih, karena kalau hadis hasan tidak sampai derajat
sahih. 21Sedangkan, Muh Zuhri mendifinisikan hadis yang tidak memenuhi
syarat hasan karena sanadnya ada yang terputus sera periwayatnya tidak dikenal
dikalangan ulama hadis.22
Para ahli ilmu hadis berbeda dalam mendifinisikan hadis dhaif, namun
perbedaannya hanya terjadi dalam istilah hasan, sahih dan maqbul sehingga
penulis menyimpulkan bahwa hadis dhaif adalah hadis yang tidak sampai
derajat hasan karena kelemahan ataupun keterputusan sanad hadisnya.
Ada beberapa penyebab kedhaifan hadis karena beberapa faktor antara lain:
sanadnya terputus, perawinya tidak dhabit, perawinya tidak adil, cacat yang
tersembunyi, dan karena cacat yang tersembunyi.
Beberapa faktor ini terbagi kepada beberapa bagian antara lain: sanadnya
terputus terbagi empat jenis yaitu munqati’, mualaq, mu’dhal dan mursal.
Perawinya tidak dhabit terbagi lima jenis yaitu munkar, maqlub, mudtarib,
mudraj dan muhharaf. Daif karena periwayatnya tidak adil terbagi empat yaitu
maudu’, matruk, munkar dan mubham. Daif karena cacat tersebunyi terbagi
satu muallal. 23
E. Kesimpulan
21
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, h. 66
22
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya, (Yogjakarta: Tria Wacana, 1997), h. 94
23
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, h. 67
24
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya, h. 96-97
11
Penjelasan di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hadis dhaif
adalah hadis yang syaratnya belum mencapai hadis hasan. Ulama berbeda
dalam menghukumi orang yang mengamalkan hadis dhaif ada yang tidak
membolehkan, ada yang membolhkan da nada yang membolehkan dengan
syarat hadisnya tidak terlalu daif dan mengamalkan hanya untuk fadhailul
a’mal.
12
Daftar Pustaka
Suryadilaga, Muhammad Alfatih (Ed), Ilmu Sanad Hadis, Yogjakarta : Idea
Press, 2017
Thahan, Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadith, Iskadaria: Markaz al-Hadi li
Dirasah, 1415
Zein, Ma’sum, Ilmu Memahami hadis Nabi, Yogjakarta: Pustaka Pesantren,
2014
Zuhri, Muh, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya, Yogjakarta: Tria
Wacana, 1997
13
Sanad dan Matan Hadis
Oleh : Ambiya
A. Pendahuluan
Sanad dan matan merupakan dua bagian penting dalam hadis, apabila salah
satu dari keduanya tidak ada, maka hadis tidak bisa disebut hadis karena untuk
penyebutan hadis harus ada rentetan periwayatan yang meceritakan hadis tersebut
dan harus ada isi atau berita yang disampaikan sehingga kedua kajian ini penting
dalam kajian hadis.
Kedua kajian ini menjadi fokos para peneliti hadis untuk menemukan apakah
layak hadis tersebut disebut hadis maqbul (diterima), karena untuk menentukan hal
tersebut diperlukan penelitian terhadap keduanya. Makalah ini mecoba akan
menjelaskan tentang sanad dan matan.
25
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, (Yogjakarta : Idea Press, 2017)
26
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis,
27
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, (Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014),
14
D. Contoh Sanad dan Matan
َين ع َْن أَ ِبي صَا ِلحٍ ع َْن أ َ ِبي ُه َري َْرة ِ ُف أ َ ْخ َب َرنَا أَبُو َب ْك ٍر ع َْن أ َ ِبي ح
ٍ َص َ حََ دَّث َ ِني َيحْ َيى ب ُْن يُوس
سلَّمَ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ ُاَّلل َ ِ ع َْن النَّ ِبي
Ini disebut dengan sanad
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa alur dan orang yang menceritakan atau
menyampaikan hadis disebut dengan sanad sedangkan isi atau berita yang terdapat
dalam hadis disebut dengan matan. Dua kajian ini snagat penting.
15
Ingkar Sunah
Oleh: Arrinar Rahmal Aliya
A. Pendahuluan
Hampir semua ulama menyapakati bahwa hadis sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an, namun beberapa kalangan masih banyak yang tidak mau menjadikan
hadis sebagai sumber hukum, ketidak diterimaan ini desebabkan beberapa motif
seperti ketidak percayaan terhadap orang atau perawi yang meriwayatkan hadis
atau karena hadis banyak didominasi oleh hadis ahad.
Orang yang menolak menjadikan hadis sebagai hujjah disebut ahli bidaah yang
mengikuti kemauan hawa nafsunya saja buka kemauan hatinya dan akal pikiranny.
Mereka antara lain: Khawarij, Mu’tazilah dan lain-lain. Gelar diberikan kepada
mereka karena menolak kehujahan hadis, makalah ini akan menjelaskan tentang
ingkar sunnah.
28
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah, ( Jakarta:Pranda Media Group, 2011), h. 20
29
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 39
16
orang tersebut meminta untuk diajarkan al-Qur’an saja. Kejadian yang serupa juga
terjadi pada ponakan Abdullah bin Umar, Umayyah bin Abdullah bin Khalid (w.
87 H), di mana dia hanya mencari permasalahn dalam al-Qur’an, kemudian ditegur
oleh Ibn Umar dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah
dan dia menyarankan agar Umayyah mengikuti ajaran Nabi karena itu juga adalah
wahyu.30
Seiring dengan berkembangnya Islam, pada masa sahabat masih individual
orang yang menolak hadis, namun setelah abad kedua hijriah Ingkar Sunah mulai
dilakukan seperti banyak pengikut Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah, kelompok
inilah yang dikenal dengan kelompok klasik. 31
Sedangkan kelompok modern muncul di beberapa daerah penyebaran Islam
seperti India muncul kelompok al-Qadiyanah dan al-Qur’aniyah, Mesir muncul
tokoh yang ternal Muhammad Abduh, Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin
(w. 1954 M), Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Subhiy Mansur. Ternyata kelompok
ini tidak hanya berkembang di Mesir di Indonesia juga kahir kelompok seperti
tokoh-tokohnya, Muhammad Ircham Sutarto, H.Abdurrahman, H. Sanwani.32
D. Kesimpulan
Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah
sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an dan kelompok yang seperti
bukan hanya terjadi pada masa klasik, pada masa modern pun masih tetap
berkembang di beberapa Negara antara lain: India, Mesir dan Indonesia.
30
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah, h. 52
31
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 40
32
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah, h. 53
17
Daftar Pustaka
Khon, Abdul Majid, Pemikiran Modern dalam Sunah, Jakarta:Pranda Media Group, 2011
18