T6 - Makalah Berduka Dan Kehilangan - Bu Rida FIX
T6 - Makalah Berduka Dan Kehilangan - Bu Rida FIX
T6 - Makalah Berduka Dan Kehilangan - Bu Rida FIX
KELAS A2 2014
ANGGOTA KELOMPOK 2:
Amalia Fardiana 131411131017
Hafida Oktavia 131411131023
Desna Ayu A. 131411131038
Rully Damayanti 131411131047
Retno Dewi A. 131411131059
Iftitakhur Rohmah 131411133015
Ika Lusdiana 131411133036
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan masalah Psikososial
: Kehilangan dan Berduka”. Makalah ini kami kerjakan sebatas pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Kami berterimakasih pada Ibu Khoridatul Bahiyah,
Ns., M.Kep., Sp. Kep. J.selaku dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa I yang telah
membimbing dalam mengerjakan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Asuhan Keperawatan Jiwa
pada Klien dengan masalah Psikososial : Kehilangan dan Berduka”. Kami juga
menyadari bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari apa yang
kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
(APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan
dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Perawat bekerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk
memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka
sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah proses perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu
memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan masalah
Psikososial : Kehilangan dan Berduka.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu:
1) Menjelaskan definisi dari kehilangan dan berduka.
2) Menjelaskantahapan proses kehilangan dan berduka.
3) Menjelaskan faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari
kehilangan dan berduka.
4) Menyebutkan Jenis dan bentuk kehilangan.
5) Menjelaskan manifestasi klinis dari kehilangan dan berduka.
6) Menjelaskan respon atas kehilangan.
7) Memberikan asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan masalah
psikososial : kehilangan dan berduka.
1.3 Manfaat
Makalah ini hendaknya dapat menjadi bahan sebagai pengembangan
pengetahuan mahasiswa mengenai pentingnya memahami “Asuhan
Keperawatan Jiwa pada Klien dengan masalah Psikososial : Kehilangan dan
Berduka”.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respon emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. (Yusuf,
Ah dkk, 2015)
Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi
pada individu yang menderita kehilangan seperti perubahan fisik atau
kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika individu menghadapi
kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami kehilangan,
keluarganya, dan dukungan sosial lainnya juga mengalami dukacita.
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari
kehidupan.Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau
memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan
mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau
traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total
dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
4
melalui berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan
tekanan dalam perasaan yang dalam.
3) Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan
keluarga membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima
kenyataan kehilangan.
b) Fase jangka panjang
1) Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
2) Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit
yang tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala
fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi keinginan
bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
menolak makan dan menggunakan alkohol.
2.2.2 Tahapan Proses Kehilangan(Yusuf, Ah dkk, 2015)
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan
(denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi
(depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering disebut
dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan
tersebut, tetapi cepat atau lamanya seseorang melalui bergantung
pada koping individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia,
bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
1) Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan
adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung,
mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan,
serta berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura
senang.
2) Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang
kenyataan kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus
meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda
5
di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal.
3) Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat disalurkan, individu akan
memasuki tahap tawar-menawar.
4) Tahap Depresi (Depression)
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan.
Pasien sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat
ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan
orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu
menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido.
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat
meninggal dalam tahap penerimaan dan damai.Tahap
penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi
kesedihan dan kegelisahannya.
5) Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan
kehilangan.Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang
mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan
mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai
dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain
yang baru.
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap
berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak
mencapai tahap penerimaan, di situlah awal terjadinya
gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan kembali,
maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap
penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses
yang disfungsional.
6
2.3 Faktor Predisposisi
1) Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan
dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami
kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
2) Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur
mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
3) Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk
kambuh kembali.
4) Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak
akan memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi
kehilangan di masa dewasa. (Yusuf, Ah dkk, 2015)
7
misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan
perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
8
4) Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat
dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu
satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya kehilangan
karena perpindah rumah, dirawat dirumah sakit atau berpindah
pekerjaan, pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru
dan proses penyesuaian baru,
5) Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan
respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya.Sebagian orang berespon berbeda tentang
kematian.Misalnya kehidupan karena kematian anggota keluarga, teman
dekat atau diri sendiri.
9
b. Respon Mal adaptif
1) Diam / tidak menangis
2) Menyalahkan diri berkepanjangan.
3) Rendah diri.
4) Mengasingkan diri.
5) Tak berminat hidup
6) Menarik diri
c. Respons duka cita khusus:
1) Duka cita Adaptif
Suka duka Adaptif adalah proses berkabung , koping , interaksi
,pencernaan ,dan pengenalan psikososial .Hal ini dimulai dalam
merespon terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan
dan pengenalan tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa
lalu, saat ini dan masa mendatang. Duka cita adaptif terjadi pada
mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka
panjang terhadap fungsi tubuh.Klien mungkin merasa sangat sehat
ketika didiagnosis tetapi mulai berduka dalam merespons informasi
tentang kehilangan di masa mendatang yang berkaitan dengan
penyakit. Duka cita adaptif bagi klien menjelang ajal mencakup
melepas harapan, impian, dan harapan terhadap masa depan jangka
panjang. Hal tersebut akan menghilang sejalan dengan kematian
klien meskipun duka cita berlanjut tetapi duka cita tersebut tidak
lagi adaptif. Klien, keluarga, dan perawat dihadapkan dengan
serangkaian tugas adaptasi dalam proses duka cita adaptif (rando,
1986)
2) Duka cita terselubung
Duka cita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami
kehilangan yang tidak dapat dikenali, merasa berkabung yang luas
atau didukung secara sosial. Konsep mengenali bahwa masyarakat
mempunyai serangkaian norma mengenai “aturan berduka” yang
berupaya untuk mengkhususkan siapa, kapan, dimana, bagaimana,
berapa lama, dan kepada siapa orang harus berduka cita. Duka cita
10
mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara yang
berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada iktatan keluarga
yang dikenal.Duka cita ini dapat mencakup teman, pemberi
perawatan, rekan kerja, atau hubungan non tradisional seperti
hubungan di luar perkawinan atau hubungan homoseksual dan
mereka yang hubungannya terjadi pada masa lalu seperti bekas
pasangan.
d. Rentang Respon Berduka (Kubbler Ross, 1969)
1) Denial ( Penolakan )
Reaksi syok, dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima
diagnosa dari seorang dokter atau ahli, perasaan seseorang
selanjutnya akan diliputi rasa kebingungan. Bingung atas arti
diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus
bingung mengapa hal ini dapat terjadi mereka (Santrock, 2007).
Ungkapan secara verbal “ini tidak mungkin terjadi” dengan
Menangis dan gelisah.
Perawat :
•Beri support secara verbal
•Beri waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi
2) Anger ( Marah )
Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi / marah dan
menjadi peka dan sensitif terhadap masalah – masalah kecil yang
pada akhirnya menimbulkan kemarahan.Kemarahan tersebut
biasanya ditujukan pada dokter, saudara, keluarga, atau teman –
teman dan juga marah kepada Sang Pencipta. Pernyataan yang
sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul
dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa harus saya?” atau
”Apa salah saya?” (Safaria, 2005)
Perawat:
a) Membantu untuk mengerti bahwa marah adalah suatu respon
yang normal terhadap kehilangan
b) Hindari menarik diri dan membalas dengan marah
11
c) Izinkan klien untuk mengekspresikan kemarahannya sepuas
mungkin dibawah pengawasan untuk menghindari hal yang
berbahaya yang mungkin dilakukan oleh klien.
3) Bargaining ( Tawar Menawar )
Tahapan dimana individu mulai berusaha untuk menerima dan
menghibur dirinya dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami
menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan
sendirinya”, “kalau ini bisa ditunda, saya akan lebih menjaga
kesehatan saya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan
dilakukan untuk membantu proses penyembuhan (Safaria, 2005)
Perawat: Diam, dengarkan dan memberi sentuhan terapeutik
4) Tahap Depression (depresi)
Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan
harapan.Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah
akibat dosa di masa lalu. Individu menunjukkan sikap menarik diri,
putus asa, tidak mau bicara, menolak makan, susah tidur dan letih
dengan pernyataan “apa yang terjadi denagn keluaraga saya, bila
saya sudah tiada???” (Marijani, 2003)
Perawat:
a) Biarkan klien mengekspresikan kesedihannya
b) Duduk di samping klien dengan komunikasi non verbal
c) Beri suasana tenang
5) Tahap Acceptance (penerimaan)
Tahapan dimana telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba
untuk menerima keadaannya dengan tenang.Masa depresi sudah
berlalu, mulai takut bila harus ditinggalkan sendiri dan ingin
ditemani, serta pikiran pada obyek yang hilang berkurang.
Kemampuan penyesuaian diri akan mempengaruhi psikologis dari
individu itu. Ada pernyataan “ apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh”, “ yah, saya harus operasi” (Singgih D.
Gunarsa, 2003).
12
Perawat: Dukung dan bantu untuk berpartisipasi aktif dalam
program pemulihan.
e. Teori Enggel
Enggel (1964) mengajukan bahwa proses berduka mempunyai
tiga fase yang dapat diterapkan pada seseorang yang berduka dan
menjelang kematian.
Fase pertama, individu menyangkal realitas kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak, untuk menerawang tanpa
tujuan.Reaksi fisik dapat mencakup pingsan, berkeringat, mual, diare,
frekuensi jantung meningkat, gelisah, insomnia, dan keletihan.
Fase kedua, adalah individu mulai merasa kehilangan secara
tiba-tiba dan mungkin mengalami keputusaan, secara mendadak terjadi
marah, rasa bersalah, frustasi, depresi, dan kehampaan .Menangis
adalah khas sejalan dengan individu menerima kehilangan.
Fase ketiga dikenali realitas kehilangan .Marah dan depresi tidak
lagi dibutuhkan.Kehilangan telah jelas bagi individu yang mulai
mengenali hidup dengan mengalami fase ini beralih dari tingkat fungsi
emosi dan intelektual yang lebih rendah ke tempat yang lebih
tinggi.Berkembang kesadaran diri.
f. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan kembali respons berduka menjadi
tiga kategori :
1) Penghindaran, dimana terjadi syok, penyangkalan dan
ketidakpercayaan.
2) Konfrontasi, dimana terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika
klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan
mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3) Akomodasi, ketika terdapat secara bertahap penurunan kedukaan
akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial
dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup
dengan kehilangan mereka. untuk mengharapkan klien mengalami
13
kemajuan dalam cara khusus sepanjang waktu yang ditetapkan
adalah tidak benar, tidak sesuai dan kemungkinan membahayakan.
Faktor presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stress nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosio, seperti kondisi
sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Perilaku
1. Menangis
2. Marah
14
3. Putus asa
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain
Mekanisme koping
1. Denial
2. Regrasi
3. Intelektualisasi/ rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi
B. Diagnosa keperawatan
1. Berduka
a. Definisi berduka:
Suatu keadaan ketika individu atau keluarga mengalami respon
manusia alami yang melibatkan reaksi psikologis dan fisiologis pada
kehilangan aktual yang di rasakan (obyek, orang, fungsi status,
hubungan).
b. Batasan Karakteristik Mayor:
Individu melaporkan kehilangan aktual atau yang dirasakan (orang,
obyek, fungsi, status dan hubungan antar manusia)
c. Batasan Karakteristik Minor:
Menyangkal, Rasa Bersalah, Kemarahan, Keputusasaan, perasaan
tidak berharga, pikiran bunuh diri, menangis, perilaku ingin tahu/
menyelidik, delusi, pobia, anergia, tidak mampu berkonsentrasi,
halusinasi dan perasaan merana
d. Faktor yang berhubungan:
Banyak situasi dapat menunjang perasaan kehilangan, seperti:
1) Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian sekunder
akibat neurologis, kardiovaskuler, sensoris, muskuloskeletal,
digestif, trauma, ginjal.
2) Situasional
3) Berhubungan dengan efek negatif dari kehilangan
15
4) Berhubungan dengan kehilangan dala gaya hidup yang berkaitan
dengan kelahiran anak, perkawinan, perpisahan, perceraian, anak
akan meninggalkan rumah, pensiun
5) Berhubungan dengan kehilangan hal-hal yang normal sekunder
akibat kecacatan, jaringan parut, penyakit
6) Berhubungan dengan perubahan yang menyertai penuaan: teman-
teman, fungsi tubuh, pekerjaan, rumah
7) Berhubungan dengan kehilangan harapan atau mimpi
2. Berduka disfungsional
a. Definisi:
Sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang
dirasakan dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses
berduka untuk suatu periode waktu yang terlalu lama, atau gejala
berduka yang normal menjadi berlebih-lebihan untuk suatu tingkat
yang mengganggu fungsi kehidupan.
b. Batasan Karakteristik
Idealisasi kehilangan (konsep)
Mengingkari kehilangan
Kemarahan yang berlebihan, diekspresikan secara tidak tepat
Obsesi-obsesi pengalaman-pengalaman masa lampau
Merenungkan perasaan nersalah secara berlebihan dan dibesar-
basarkan tidak sesuai dengan ukuran situasi
Regresi perkembangan
Gangguan dalam konsentrasi
Kesulitan dalam mengekspresikan kehilangan
Afek yang labil
Kelainan dalam kebiasaan makan, pola tidur, pola mimpi, tingkat
aktivitas, libido.
c. Faktor yang berhubungan dengan:
Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk
individu
16
Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari
kehilangan multiple yang belum terselesaikan)
Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan
Tidak adanya antisipasi proses berduka
Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan
konsep kehilangan.
3. Berduka adaptif
a. Definisi:
Keadaan ketika seseorang individu/kelompok mengalami reaksi-reaksi
dalam berespon terhadap ancaman kehilangan bermakna.
b. Batasan karakteristik mayor:
Mengekspresikan distres pada kehilangan potensial
c. Batasan karakteristik minor:
Menyangkal, rasa bersalah, kemarahan, penderitaan, perubahan
kebiasaan makan, perubahan dalam pola tidur, perubahan dalam pola
sosial, perubahan dalam pola komunikasi, penurunan libido
d. Faktor yang berhubungan: lihat berduka
4. Berduka Maladaptif
a. Definisi:
Keadaan ketika seseorang individu atau kelompok mengalami berduka
yang berkepanjangan dan terlibat dalam aktivitas yang menyimpang
b. Batasan karakteristik mayor:
Ketidakberhasilan adaptasi dengan kehilangan
Depresi, menyangkal yang berkepanjangan
Reaksi emosional yang labat
Tidak mampu menerima pola kehidupan yang normal
c. Batasan karakteristik minor:
Isolasi sosial atau menarik diri
Gagal untuk mengembangkan hubungan atau minat baru
Gagal untuk menyusun kembali kehidupan setelah kehilangan
17
d. Faktor yang berhubungan
1) Tidak tersedia (kurangnya sistem pendukung)
2) Pendapat negatif orang lain tentang kehilangan
3) Riwayat kesulitan berhubungan dengan orang yang meninggal atau
benda
4) Kehilangan multipel pada masa lalu atau kini
5) Riwayat ketidakefektifan strategi koping
6) Kematian yang tidak diharapkan
7) Pengharapan untuk menjadi kuat
8) Riwayat adanya kehilangan yang tidak terselesaikan
9) Respon berduka terhalang sekunder akibat peran, tanggung jawab
pekerjaan
C. Rencana intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial)
a) Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan
b) Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien secara emosional
c) Dengarkan pasirn dengan penuh pengertian. Jangan menghukum
dan menghakimi
d) Jelaskan bahwa sikap pasien dalah suatu kewajaran pada individu
yang mengalami kehilangan
e) Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan,
menepuk bahu dan merangkul
f) Jawab pertanyaan pasien dengan bahasa yang sederhana, jelas, dan
singkat
g) Amati dengan cermat respon psien selama bicara
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger)
a) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah,
menangis)
b) Dengarkan dengan empati, jangan mencela
c) Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
18
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bergaining)
a) Amati perilaku pasien
b) Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien
c) Tingkatkan harga diri pasien
d) Cegah tindakan merusak diri
4. Prinsip intervensi kperawatan pada tahap depresi
a) Observasi perilaku pasien
b) Diskusikan perasaan pasien
c) Cegah tindakan merusak diri
d) Hargai perasaan pasien
e) Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif
f) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan
g) Bahas pikiran yang timbul bersama pasien
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan
a) Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien
b) Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa
19
a. Cara verbal (mengungkapkan perasaan)
b. Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik)
c. Cara sosial (sharing melalui self help group)
d. Cara spiritual (berdoa, berserah diri)
d) Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang
tersedia untuk saling memberikan pengalaman dengan seksama
e) Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian
f) Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas
20
5. keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka
6. keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan
7. keluarga memprktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional
8. keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat
21
BAB 3
PEMBAHASAN KASUS
3.1 Kasus :
Kondisi Klien Ny. M, usia 33 tahun mempunyai seorang suami yang bekerja di
suatu perusahaan sebagai tulang punggung keluarga. Seminggu yang lalu, suami
Ibu M meninggal karena kecelakaan. Sejak kejadian tersebut, Ibu M sering
melamun dan selalu mengatakan jika suaminya belum meninggal. Ibu M terlihat
sering mengingkari kehilangan, dan menangis Selain itu, Ibu M juga tidak mau
berinteraksi dengan orang lain dan merasa gelisah sehingga susah tidur.
22
c. Tempat : “Ibu mau kita berbincang-bincang dimana? Di sini saja?
Baiklah.”
2. Tahap kerja
a) “Baiklah Ibu M, bisa Ibu jelaskan kepada saya bagaimana perasaan Ibu
M saat ini?”
b) “Saya mengerti Ibu sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi kondisi
sebenarnya memang suami Ibu telah meninggal. Sabar ya, Bu ”
c) “Saya tidak bermaksud untuk tidak mendukung Ibu. Tapi coba Ibu
pikir, jika Ibu pulang ke rumah nanti, Ibu tidak akan bertemu dengan
suami Ibu karena beliau memang sudah meninggal. Itu sudah menjadi
kehendak Tuhan, Bu. Ibu harus berusaha menerima kenyataan ini.”
d) “Ibu, hidup matinya seseorang semua sudah diatur oleh Tuhan.
Meninggalnya suami Ibu juga merupakan kehendak-Nya sebagai Maha
Pemilik Hidup. Tidak ada satu orang pun yang dapat mencegahnya,
termasuk saya ataupun Ibu sendiri.”
e) “Ibu sudah bisa memahaminya?”
f) “Ibu tidak perlu cemas. Umur Ibu masih muda, Ibu bisa mencoba
mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ibu. Saya
percaya Ibu mempunyai keahlian yang bisa digunakan. Ibu juga tidak
akan hidup sendiri. Ibu masih punya saudara-saudara, anak-anak dan
orang lain yang sayang dan peduli sama Ibu.”
g) “Untuk mengurangi rasa cemas Ibu, sekarang Ibu ikuti teknik relaksasi
yang saya lakukan. Coba sekarang Ibu tarik napas yang dalam, tahan
sebentar, kemudian hembuskan perlahanlahan.”
h) “Ya, bagus sekali Bu, seperti itu.”
3. Tahap terminasi
a) Evaluasi:
(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa Ibu sudah mulai
memahami kondisi yang sebenarnya terjadi?”
(Objektif) : “Kalau begitu, coba Ibu jelaskan lagi, hal-hal yang Ibu
dapatkan dari perbincangan kita tadi dan coba Ibu ulangi teknik
relaksasi yang telah kita lakukan.”
b) Tindak Lanjut :
a. “Ya, bagus sekali Bu. Nah, setiap kali Ibu merasa cemas, Ibu dapat
melakukan teknik tersebut. Dan setiap kali Ibu merasa Ibu tidak
terima dengan kenyataan ini, Ibu dapat mengingat kembali
perbincangan kita hari ini.
b. Bu, ini ada buku kegiatan untuk ibu.
c. Bagaimana kalau kegiatan teknik rileksasi ibu masukkan kedalam
jadwal kegiatan ibu?
d. Ibu setuju?
e. Nah, Disini ada kolom kegiatan, tanggal, waktu dan keterangan
f. Ibu bisa mengisi kegiatan tenik rileksasi pada kolom kegiatan
23
g. Kira-kira jam berapa ibu nanti melakukan teknik rileksasi bu?
h. Cara mengisi buku kegiatan ini: jika ibu melakukannya tanpa
dibantu atau diingatkan oleh orang lain ibu tulis “M” disini, jika
ibu di bantu atau diingatkan ibu tulis “B” dan jika ibu tidak
melakukannya ibu tulis “T”
i. Ibu paham Bu?”
j. Nanti ibu jangan lupa mengisi buku kegiatannya ya
c) Kontrak yang akan datang:
a. Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30
menit dan sekarang sudah 30 menit bu!
b. Bu, kapan ibu mau kita melanjutkan perbincangan kita?
c. Bagaimana kalau kita besok membicarakan tentang hobi ibu
d. Ibu maunya dimana?
e. Nah, sekarang ibu istirahat dulu
f. Sebelum saya permisi apak ada yang mau ibu tanyakan?
g. Baiklah, kalau tidak ada, saya permisi dulu ya Bu.
Assalamu’alaikum.”
24
“Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu M. Masih ingat dengan saya Bu?
Ya, betul sekali. Saya suster diah, Bu. Seperti kemarin, pagi ini dari
pukul 07.00 sampai 14.00 nanti dan saya yang akan merawat Ibu.”
b) Evaluasi validasi:
“Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Apa sudah lebih baik dari kemarin?
Bagus kalau begitu” “Nah apa saja yang ibu lakukan kemarin? “ coba
saya lihat buku kegiatan ibu? “wah bagus bu, ibu sudah melakukan
teknik rileksasi secara mandiri” “Sekarang coba ibu praktekkan lagi
cara teknik rileksasi tersebut” “ bagus sekali bu”
c) Kontrak:
Topik: “Sesuai janji yang kita sepakati kemarin ya, Bu. Hari ini kita
bertemu untuk membicarakan hobi Ibu tujuannya supaya ibu dapat
melakukan aktifitas yang sukai dan ibu dapat berinteraksi dengan
orang-orang disekeliling ibu Waktu: ibu maunya berapa lama kita
berbincang-bincang? Tempat: ibu maunya dimana? Bagaimana ditaman
depan, ibu setuju?
2) Tahap kerja
a. “Nah, Bu. Apakah Ibu sudah memikirkan hobi yang Ibu senangi?”
b. “Ternyata Ibu hobi bermain voli ya? Tidak semua orang bisa bermain
voli lho, Bu.”
c. “Selain bermain voli, apa Ibu mempunyai hobi yang lain lagi?”
d. “Wah, ternyata Ibu juga hobi menyanyi, pasti suara Ibu bagus. Bisa
Ibu menunjukkan sedikit bakat menyanyi Ibu pada saya?”
e. “Wah ternyata Ibu memang berbakat menyanyi, suara Ibu juga cukup
bagus.”
f. “Ngomong-ngomong tentang hobi Ibu bermain voli, berapa sering Ibu
biasanya bermain voli dalam seminggu?”
g. “Cukup sering juga ya Bu. Pasti kemampuan Ibu dalam bermain voli
sudah terlatih.”
h. “Apa Ibu pernah mengikuti lomba voli? Wah, ternyata Ibu hebat juga
ya dalam bermain voli. Buktinya, Ibu pernah memenangi lomba voli
antarwarga di daerah rumah Ibu.”
i. “Nah, bagaimana kalau sekarang Ibu saya ajak bergabung dengan yang
lain untuk bermain voli? Tampaknya di sana banyak orang yang juga
ingin bermain voli. Ibu bisa melakukan hobi Ibu ini bersama-sama
dengan yang lain.”
j. “Ibu-ibu, kenalkan, ini Ibu M. Ibu M juga akan bermain voli
bersamasama. Ibu M ini jago bermain voli, lho.”
k. “Nah, sekarang bisa Ibu tunjukkan teknik-teknik yang baik dalam
bermain bola voli?”
l. “Wah, bagus sekali Bu. Ibu hebat.”
m. “Ibu M, saat Ibu sedang merasa emosi tapi tidak mampu
meluapkannya, Ibu bisa melakukan kegiatan ini bersama-sama yang
25
lain. Selain itu, kegiatan ini juga dapat membuat Ibu berhubungan
lebih baik dengan yang lainnya dan Ibu tidak merasa kesepian lagi.”
3) Tahap terminasi
a. Evaluasi:
(Subjektif): “Bagaimana perasaan Ibu sekarang? Apa sudah lebih baik
dibandingkan kemarin?”
(Objektif): “Sekarang coba Ibu ulangi lagi apa saja manfaat yang dapat
Ibu dapatkan dengan melakukan kegiatan yang Ibu senangi.”
4) Tindak Lanjut :
a. “Baiklah Bu, kalau begitu Ibu dapat bermain voli saat Ibu sedang
merasa emosi.
b. “Bu, ibu sudah mempunyai buku kegiatan harian kan?”
c. “Bagaimana jika kegiatan bermain voli ini juga dimasukkan menjadi
kegiatan sehari-hari
d. Ibu maunya berapa kali main voli dalam satu minggu?
e. Kira-kira jam berapa ibu nanti mau main voli?
f. “Nah nanti kalau ibu melakukan kegiatan ini, ibu jangan lupa mengisi
buku kegiatan”
g. “Caranya sama dengan sebelumnya, jika ibu melakukan sendiri, tanpa
diingatkan dan dibantu oleh perawat atau orang lain ibu tulis “M”,
dan jika ibu di bantu dalam melakukan kegiatan , ibu tulis “B”, dan
jika ibu malas atau lupa mengerjakannya ibu tulis “T”.
h. Ibu paham bu?
5) Kontrak yang akan datang:
a. Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama 30
menit dan sekarang sudah 30 menit bu!
b. “Nah bu bagaimana kalau besok jam 08.00 setelah makan pagi, saya
akan kembali lagi untuk mengajarkan Ibu cara meminum obat dengan
benar.
c. Kita ketemu di ruangan Ibu saja, ya?
d. Apa ada yang ingin Ibu tanyakan? Baiklah, kalau tidak, saya permisi
dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum.”
26
terbayang akan suaminya saat ia akan tidur. Hal tersebut membuat Ibu M
merasa gelisah, tidur tidak nyenyak, bahkan sulit tidur.
2. Diagnosa keperawatan
Berduka Disfungsional
3. Tujuan khusus
a) Klien dapat mengetahui aturan yang benar dalam meminum obat
b) Ansietas klien berkurang sehingga klien dapat tidur dengan nyenyak
4. Tindakan keperawatan
a) Ajarkan klien cara meminum obat dengan benar
b) Awasi klien saat minum obat
5. Strategi Pelaksanaan
1) Tahap orientasi
a. Salam terapeutik: “Assalamu’alaikum, selamat pagi Ibu M.”
b. Evaluasi validasi: “Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Apa semalam Ibu
bisa tidur dengan nyenyak?” “Apa boleh saya lihat buku kegiatan ibu?
“Wah bagus bu” “Nampaknya ibu sudah lebih bersemangat dari yang
kemaren”
c. Kontrak: Topik: “Ibu tidak bisa tidur dengan nyenyak ya? Baiklah,
sesuai dengan janji kita yang kemarin, saya akan memberitahu Ibu
obat yang harus Ibu minum untuk mengurangi kecemasan Ibu dan agar
Ibu dapat tidur dengan nyenyak. Waktu: ibu maunya berapa lama kita
berbincang-bincang/ Tempat: bagaimana kalau kita berbincang-
bincang di kamar ini saja.”
2) Tahap kerja
a. “Nah, kita langsung mulai saja ya Bu. Ini ada beberapa macam
obatobatan yang harus Ibu minum.”
b. “Ini obatnya ada dua macam ya Bu. Yang warna putih ini namanya
BDZ. Fungsi dari obat ini agar pikiran Ibu bisa lebih menjadi tenang.
Kalau pikiran Ibu tenang, Ibu bias tidur dengan nyenyak.”
c. “Kemudian, yang warna kuning ini adalah HLP. Ini juga harus Ibu
minum agar perasaan Ibu bisa rileks dan Ibu tidak lagi merasakan
cemas yang berlebihan.”
d. “Nah Bu, semua obat ini diminum tiga kali sehari ya Bu, jam 7 pagi,
jam 1 siang, dan jam 7 malam. Masing-masing obat satu butir saja.
Obatobatan ini juga harus diminum setelah Ibu makan.”
e. “Apa Ibu mempunyai keluhan dalam meminum obat?”
f. “Ooh, jadi Ibu tidak tahan dengan rasa pahitnya ya? Kalau begitu,
setelah Ibu minum obat Ibu bisa memakan permen agar rasa pahitnya
dapat berkurang.”
g. “Jika setelah minum obat ini mulut Ibu menjadi terasa kering sekali,
Ibu bisa minum banyak air untuk mengatasinya agar mulut Ibu tidak
kering.”
27
h. “Tapi jika ada efek samping yang berlebihan seperti gatal-gatal,
pusing, atau mual, Ibu bisa panggil saya atau perawat lain yang sedang
bertugas.”
i. “Nah, sebelum ibu meminum obatnya, pastikan dulu ya Bu, obatnya
sesuai atau tidak. Ibu juga jangan lupa perhatikan waktunya agar obat
tersebut dapat diminum tepat waktu.”
3) Tahap terminasi
1. Evaluasi:
(subjektif): “Apa Ibu sudah mengerti apa saja obat yang harus Ibu
minum dan bagaimana prosedur sebelum meminumnya?”
(objektif): “Bagus. Kalau Ibu sudah mengerti, coba ulangi lagi apa saja
obat yang harus Ibu minum dan apa saja prosedur meminum obatnya.”
2. Tindak Lanjut :
a. “Seperti yang sudah saya katakan tadi ya Bu, jika setelah
minum obat mulut Ibu terasa kering, Ibu dapat meminum air
yang banyak. Dan kalau Ibu merasa gatal-gatal, ousing, atau
bahkan muntah, Ibu dapat menghubungi saya atau perawat lain
yang sedang bertugas.”
b. “Bu, ibu sudah mempunyai buku kegiatan harian kan?”
c. “Bagaimana jika kegiatan minum obat ini juga dimasukkan
menjadi kegiatan sehari-hari
d. Jangan lupa, ibu juga membuat jam minum obatnya ya bu
e. “Caranya mengisi buku kegiatan ini juga sama dengan
sebelumnya, jika ibu melakukan sendiri, tanpa diingatkan dan
dibantu oleh perawat atau orang lain ibu tulis “M”, dan jika ibu
di bantu dalam melakukan kegiatan , ibu tulis “B”, dan jika ibu
malas atau lupa mengerjakannya ibu tulis “T”.
f. Ini tujuannya untuk melihat kemandirian ibu, jika ibu sudah
bisa mandiri dalam melakukan sesuatu dan ibu juga sudah
dapat memenuhi kebutuhan ibu sehari-hari, ibu akan dapat
segera di pulangkan.
g. Ibu paham Bu?”
3. Kontrak yang akan datang:
a. Sesuai dengan kontrak kita tadi kita berbincang-bincang selama
30 menit dan sekarang sudah 30 menit bu!
b. “Baiklah Bu, nanti jam 14.00 setelah makan siang, saya akan
datang kembali untuk memantau perkembangan Ibu. Kita
bertemu di ruangan ini saja ya Bu.” “Sebelum saya pergi apa
ada yang ingin Ibu tanyakan? Baiklah Bu, kalau tidak ada, saya
permisi dulu. Assalamu’alaikum.”
28
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki. (Yusuf, Ah dkk, 2015)
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respon emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. (Yusuf,
Ah dkk, 2015)
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari
kehidupan.Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau
memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan
mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau
traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total
dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Tahapan proses kehilangan meliputi tahap penyangkalan (denial),
tahap marah (anger), tahap penawaran (bargaining), tahap depresi
(depression), tahap penerimaan (acceptance).
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena
peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian
integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan
biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992), karena pada dasarnya
setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs,
Dadang Hawari, 1999).
29