Anda di halaman 1dari 50

Asuhan Keperawatan Klien Anak dengan Kejang Demam

A. Definisi
Kejang demam adalah keadaan dimana kejang akan timbul ketika terjadi
kenaikan pada suhu tubuh (suhu rektal) diatas 38°C akibat suatu proses
ekstrakranial, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun.
Berdasarkan definisi yang lain yaitu International League Against
Epilepsy (ILAE), Kejang demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak
setelah usia 1 bulan, yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa
disebabkan infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak
berhubungan dengan kejang simtomatik lainnya.
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat kenaikan suhu tubuh
lebih dari 380C (suhu rektal atau dubur) yang disebabkan proses di luar otak,
tanpa ada bukti infeksi otak, namun setiap anak juga memiliki suhu ambang
kejang yang berbeda.
Kejang demam terjadi pada 2-4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun
(Kadafi, 2013). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38o C) tanpa disertai adanya infeksi
SSP, angguan elektrolit (misalnya akibat diare dan muntah yang hebat) atau
gangguan metabolik (missal kadar glukosa darah turun). Dan kondisi ini
umum terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kejang demam merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak
terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-
tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktifitas motorik atau gangguan
fenomena sensori. (Doenges, 2000)
Anak-anak kecil yang berusia di bawah 4 tahun dapat mengalami kejang
ketika mereka terkena infeksi dan mengalami panas tinggi. Tanda-tanda anak
mengalami kejang adalah tubuh anak tampak memerah, berkeringat, dan dahi
terasa panas, mata mendelik ke atas, melotot, atau mengedip, wajahnya
tampak membiru jika ia menahan napas, tubuhnya kaku dan punggungnya
melengkung ke belakang, tangan mengepal.
Pemeriksaan neurologis pada bayi merupakan hal yang tidak mudah
dilakukan, hal ini disebabkan karena bayi normal selalu bergerak aktif. Untuk
dapat menilai apakah pemeriksaan itu normal atau abnormal, maka penting
untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana proses perkembangan anak
normal. Dan pemeriksaan neurologis ini bertujuan untuk mengetahui lebih
dini bila ada kelainan neurologis pada anak sehingga dapat dilakukan
penindaklanjutan yang lebih awal.
Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis pada bayi, perlu
diketahui adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan,
yaitu:

1) Waktu Pemeriksaan.
Waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan adalah 2-3
jam setelah bayi selesai minum. Bayi dan anak yang diperiksa dalam
keadaan mengantuk atau letih akan memberikan reaksi
berlainan bila dibandingkan dengan mereka yang suda beristirahat cukup.
2) Suhu Ruang Periksa.
Suhu ruangan yang baik pada saat pemeriksaan adalah berkisar antara 27o-
29o C.
Demam kejang tejadi tergantung pada umur, serta cepatnya suhu
meningkat (Wegman,1939: Prichard dan McGreal,1958). Faktor
genetik/herediter juga berperan dalam hal ini. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang
sedangkan pada anak normalnya hingga 2%.
Selian suhu tubuh dan faktor genetik, ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi demam kejang seperti :
1. Infeksi: meningitis, ensefalitis
2. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal
hati, gangguan metabolik bawaan
3. Trauma kepala
4. Keracunan: alkohol, teofilin
5. Penghentian obat anti epilepsy
6. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,
idiopatik
Kejang Demam Sederhana kejang berlangsung sebentar tidak lebih dari
15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam, sedangkan pada Kejang
Demam Kompleks terjadi lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam.

Perbedaan dari kejang demam sederhana dan kompleks adalah dilihat


dari waktu (berapa lama pasien mengalami kejang demam) dan
kekambuhan/berulangnya kejang. Jadi jika kejang terjadi selama lebih dari
15menit dan berulang mengalam kejang maka termasuk kejang demam yang
kompleks begitu sebaliknya jika waktu kejang kurang dari 15menit dan tidak
berulang disebut kejang demam sederhana dan dapat ditangani di rumah.
Terimakasih semoga dapat diterima dan dipahami.

Kejang parsial yang menjadi kejang umum yaitu berkembangnya kejang


parsial menjadi kejang umum sekunder, yaitu:
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang parsial kompleks,
berkembang menjadi kejang umum

A. Klasifikasi kejang
Menurut International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE]
1981:
1. Kejang parsial (fokal, lokal)
a. Kejang fokal sederhana
b. Kejang parsial kompleks
c. Kejang parsial yang menjadi umum
d. Kejang umum
e. Absens
f. Mioklonik
g. Klonik
h. Tonik
i. Tonik-klonik
j. Atonik
Klasifikasi Kejang Demam menurut sumber lain:
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, durasi waktu kurang dari
15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri-ciri berikut:

a. Kejang lama durasi waktu lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.

b. Kejang fokal atau parsial (satu sisi), atau kejang umum didahului
kejang parsial.

c. Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam atau 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang parsial atau lokal adalah kejang yang hanya
melibatkan sebagian dari otak, sehingga hanya bagian tubuh tertentu yang
dipengaruhi. Tergantung dari bagian otak yang memiliki aktivitas listrik
abnormal, maka gejala dapat bervariasi.

a. Jika bagian dari otak yang mengendalikan tangan terlibat, maka hanya
tangan yang menunjukkan gerakan ritmis atau tersentak.
b. Jika daerah lain dari otak yang terlibat, maka gejala mungkin termasuk
sensasi aneh seperti perasaan kenyang di perut atau gerakan kecil berulang
seperti memilin baju atau memukul bibir.
c. Kadang-kadang orang dengan kejang parsial seperti bingung atau bengong.
Hal ini mungkin menunjukkan kejang parsial kompleks. Istilah kompleks
digunakan oleh dokter untuk menggambarkan seseorang yang berada antara
menjadi kondisi sadar dan tidak sadar.
B. Etiologi Dan Patofisiologi Kejang Demam
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.

Kejang demam akan menimbulkan kenaikan konsumsi energi otak, jantung,


otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Kejang yang lama akan
mengakibatkan hipotensi atrial, hiperereksia sekunder, akibat aktivitas motorik
dan hiperglikemia.semua hal ini mengakibatkan iskemia neuro karena kegagalan
metabolisme di otak. Kejang melebihi 15 menit biasanya diikuti
apneu,hipoksemia( naikknya kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skelet,
asidosis laktat (metabolisme anaerob), hiperkapneu, serangkaian kejadian tersebut
mengakibatkan pendarahan otak sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak
akhirnya terjadi kerusakan sel neuron

Penyebab tersering kejang pada anak:


C. Kejang demam
D. Infeksi: meningitis, ensefalitis
E. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal,gagal
hati, gangguan metabolik bawaan
F. Trauma kepala
G. Keracunan: alkohol, teofilin
H. Penghentian obat anti epilepsy
I. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan
intrakranial,idiopatik
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri
dari permukaan dalam bersifat lipoid dan permukaan luar bersifat ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terjadi perbedaan potensial
membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na - K ATP–ase yang terdapat
pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:


a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.

Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu,
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tersebut akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini besar sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya
dengan bantuan “neurotransmitter” terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda-beda dan tergantung


tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang terjadi pada suhu 380 - 400 C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak
dengan ambang kejang yang rendah daripada pada anak dengan ambang kejang
yang tinggi sehingga dalam penanggulangannya perlu memperhatikan pada
tingkat suhu berapa pasien menderita kejang. Kejang demam yang berlangsung
singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot dan
tulang yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh semakin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi “matang” dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

D. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang pada Anak dengan Kejang


Demam :

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah

b. Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk


menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada:
a) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c) Bayi > 18 bulan tidak rutin
d) Elektroensefalografi Pemeriksaan
Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien
kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan . Pemeriksaan
EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun, atau kejang demam fokal.
c. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atau (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)Paresis nervus VI
2) Papiledema

E. Pengaruh kejang demam terhadap tumbuh kembang anak

Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa
developmental window (perkembangan otak fase anak umur kurang dari 2 tahun)
mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang
mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa developmental window.

Developmental window merupakan masa perkembangan otak fase


organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari dua tahun Sehingga anak
yang mengalami serangan kejang demam pada umur di bawah dua tahun
mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam berulang.

Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya fungsi inhibisi dan atau


meningkatnya fungsi eksitasi neuron, sehingga mudah timbul kejang apabila ada
rangsangan yang memadai. Asfiksia dapat menimbulkan lesi pada hipokampus
dan lesi tersebut dapat menjadi fokus epileptogen. Pada asfiksia dapat terjadi
hipoksia iskemia ensefalopati yang berakibat kelainan neuropatologis. Kelainan
neurologis yang ditimbulkan dapat berupa gangguan saraf yang tidak progresif
seperti kejang, retardasi mental, gangguan perkembangan psikomotor dan
kelainan motor. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian Na+
intraselular sehingga terjadi edema otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak.

Salah satu resiko dari kejang karena demam tinggi dan tidak mendapatkan
perawatan yang semestinya adalah Retardasi mental atau keterbelakangan mental.
Resiko tersebut dapat terjadi karena kejang akibat demam tinggi dapat membuat
jaringan dan sel-sel otak mengalami kerusakan. Kerusakan sel otak dapat
membuat perkembangan otak menjadi tidak optimal dan kecerdasan mengalami
penurunan drastis.

Keterlambatan perkembangan terjadi apabila dijumpai kejang satu kali


atau lebih (demam kompleks) dengan tempo waktu diatas 15 menit, lebih dri satu
kali 24 jam. Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai apneu,
natrium meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang
akhirnya terjadi hipoksia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

Perkembangan mental dan neurologis penderita kejang demam tetap


normal pada kebanyakan penderita yang sebelumnya normal. Hauser menyatakan
tidak ada kelainan neurologis permanen pada penelitian retrospektif, tetapi ada
beberapa penelitian mendapatkan kelainan neurologis pada penelitian retrospektif.
Kelainan neurologis yang terbanyak adalah hemiplegic, dan yang lain seperti
diplegi, koreoatetosis, regditas.

Gangguan intelektual dan belajar tidak umum pada kejang demam


sederhana. Ellenberg dan Nelson melakukan penelitian pada 421 orang penderita
kejang demam dibandingkan dengan saudaranya yang tidak menderita kejang
demam. Ternyata IQ-nya tidak berbeda. (dongoran, 1998)
Riwayat keluarga dengan kejang demam adalah salah satu faktor risiko
yang dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat
pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam
pertama adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree
relative).Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan. Anak yang
mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas akan mudah
terjadi bangkitan kejang.
Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. Bila kedua
orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9% Apabila salah satu orang tua penderita dengan
riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%.Kejang demam
diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%.
Faktor Resiko Bangkitan Kejang Demam:
1. Faktor Demam
2. Faktor usia
3. Faktor riwayat keluarga
4. Faktor prenatal seperti usia saat ibu hamil, kehamilan dengan eklamsi dan
hipertensi, kehamilan primipara atau multipara, pemakaian bahan toksik
5. Faktor perinatal seperti asfiksia, bayi berat lahir rendah, kelahiran premature
atau postmatur, partus lama, persalinan dengan alat (forcep, vakum, seksio
sesaria), perdarahan intracranial,
6. Faktor paskanatal seperti infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala/cedera
kepala, kejang akibat toksik, gangguan metabolic.

F. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah:
1. Buka pakaiannya sampai hanya tinggal celana dalamnya saja. Pastikan ia
memperoleh banyak udara segar tanpa menjadi kedinginan
2. Singkirkan benda-benda di sekelilingnya agar ia terlindungi dari cidera.
Basuh tubuhnya dengan air hangat (bukan panas/dingin). Dimulai dari
kepala dan turun kearah tubuhnya. Jangan biarkan tubuhnya menjadi terlalu
dingin
3. Setelah tubuh mendingin, kejangnya akan berhenti. Gulingkan tubuhnya
hingga ia berbaring miring dan jaga agar kepalanya menengadah ke
belakang. Selimuti tubuhnya dengan selimut atau seprei tipis dan tenangkan
anak. Jika suhu tubuhnya naik lagi, basuh kembali.

Kejang demam berlangsung singkat dan saat pasien datang kejang sudah
berhenti. Bila pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara
pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit,
dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi
di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka
diberikan phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti,
maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif.
Sumber: Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006. Konsensus
penatalaksanaan kejang demam Ikatan Dokter Anak Indonesia. Obat selain
diazepam yaitu phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali
dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit.

Pentalaksanaan Kolaboratif

Pemberian Obat pada Saat Demam


1. Antipiretik
Menurut penelitian, Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang
demam secara signifikan, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4
kali sehari dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali,
3-4 kali sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan.
2. Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam rektal dosis
0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut dapat menyebabkan
ataksia, iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39% kasus. Phenobarbital,
carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
demam.

Pemberian Obat Rumatan


Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam menunjukkan salah satu ciri
sebagai berikut:
a. Kejang lama dengan durasi >15 menit.
b. Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, dan
hidrosefalus.
c. Kejang fokal.
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam.
b. Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
c. Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya
keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik.
Pengobatan Rumat
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko berulangnya
kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah,
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, oleh karena itu pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif
dan dalam jangka pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40–50% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutama
pada usia kurang dari 2 tahun, valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis valproic acid 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital
3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.

Peran perawat dalam menangani pasien dengan kejang demam pada


prinsipnya adalah menjaga agar tidak terjadi serangan kejang berulang dengan
cara mengontrol terjadinya peningkatan suhu tubuh pasien dan mengendalikan
infeksi penyebab demam. Selain itu perawat juga berperan untuk
mencegah terjadinya trauma atau injuri ketika kejang berlangsung.

G. Peran Orang Tua

Penyebab kejang demam maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam


biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas Kejang demam merupakan hal
yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang orang tua menganggap anaknya
akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan diberi penjelasan
tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Beberapa hal yang
bisa dikerjakan orang tua saat kejang, antara lain:
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin tergigit,
jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
h. Bila anak demam tinggi, usahakan untuk menurunkan suhu tubuh anak
dengan mengkompres tubuh anak dengan air hangat atau air biasa, lalu
berikan penurun demam bila ia sudah sadar.
i. Jangan mencoba untuk menahan gerakan-gerakan anak pada saat kejang,
berusahalah untuk tetap tenang.

Beberapa hal yang dapat dilakukan pula yaitu :


1. Apabila telah dilakukan penanganan superti menurunkan suhu, dan mencegah
adanya kemungkinan buruk juga memberikan obat maka kejang akan berhenti
dengan sendirinya. Amati berapa lama anak mengalami kejang.
2. Ukurlah suhu tubuh anak pada saat itu, hal ini bisa menjadi pegangan anda
untuk mengetahui pada suhu tubuh berapa anak anda akan mengalami kejang.

Beberapa hal yang dapat dilakukan juga yaitu :


1. Ketika demam telah terkontrol, evaluasilah. Hubungi petugas kesehatan jika
kejang berlangsung lebih lama dari 10 menit.
2. Apabila kejang telah berhenti, segeralah ke dokter untuk mencari penyebab dan
mengobati demam.
3. Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat

Tambahan untuk peran orang tua dalam mengatasi anak dengan kejang demam,
yaitu:
1. Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien, lepaskan pakaian yang
mengganggu pernapasan (misal: ikat pinggang dan lain sebagainya)
2. Bila suhu tinggi berikan kompres.
3. Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum hangat.

Untuk menangani kejang demam, sebagai orang tua dapat melakukan


pencegahan terhadap timbulnya kejang demam berulang. Paling baik memang
apabila anak mengalami demam, lalu diberi obat untuk mencegah berulangnya
kejang demam. Sayangnya tidak ada obat yang 100% dapat mencegah kejang
demam bila diberikan saat anak mulai mengalami demam. Obat yang dapat
digunakan adalah diazepam, yang dimakan selama demam, diberikan 3 kali
sehari. Cara ini berhasil mengurangi risiko kejang demam sebanyak 20-44%.

Dalam mengatasi kejang demam pada anak, penolong harus tenang,


usahakan supaya tidak panic, perlu menjaga pikiran tetap jernih. Waktu kejang
progresif biasanya sangat singkat, jangan mencoba mengekang gerakan anak,
tetapi singkirkan benda tajam apapun dari tempat sekelilingnya untuk
menghindari kemungkinan cedera sementara kejang berlangsung. Jangan
mencoba menempatkan apa pun di dalam mulutnya. Setelah gerakan kejang yang
terburuk berlalu, putar anak dengan hati-hati agar berbaring pada sisi tubuhnya,
hal ini bertujuan untuk mencegah sumbatan saluran pernapasan.

Segera setelah kejang berhenti, rawatlah anak dengan penuh kasih sayang
dan buatlah ia nyaman, karena walupun ia tidak menyadari apa yang terjadi
padanya selama beberapa menit yang lalu, ia akan merasa bingung dan takut.
Segera setelah anak tenang ukur dan catat suhu tubuhnya. Tindakan selanjutnya
adalah mendinginkannya, longgarkan pakaiannya, buka jendela, dan berikan ia
minuman dingin.
Jika demamnya tidak terlalu tinggi serta ia mengalami ketidaknyamanan
karena hal ini, isi sedikit bak mandi dengan air dingin. Dirikan dia di dalam bak
ini dan usapkan air di dalam bak padanya. (Hidayat, 2008)

Peran orang tua terhadap anak dengan kejang demam:


1. Dampingi anak sampai betul-betul sadar.
2. Memahami perasaan anak (merasa berbeda,cemas, sedih,rendah diri) dan
membangun kemandirian anak, jangan overprotektif sehingga anak tidak
mandiri.
3. Berbagi dengan anggota keluarga besar sehingga mereka juga memahami
keadaan anak dan membuat lingkungan rumah yang aman untuk anak.
Hal-hal yang dapat dilakukan ketika menghadapi anak yang mengalami kejang
demam yaitu:
1. Jangan panik berlebihan
2. Jangan masukkan sendok atau jari ke mulut
3. Jangan memberi obat melalui mulut saat anak masih kejang atau masih belum
sadar.
4. Letakkan anak dalam posisi miring, buka celananya kemudian berikan
diazepam melalui anus dengan dosis yang Sama.
5. Bila masih kejang, diazepam dapat diulang lagi setelah 5 menit, sambil
membawa anak ke rumah sakit.

H. Prognosis
Berikut beberapa prognosis dari terjadinya kejang demam pada anak-anak:
1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik
umum atau fokal.
2. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam


adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.

Berikut beberapa prognosis dari terjadinya kejang demam pada anak-anak:


1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik
umum atau fokal.
2. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
a) Riwayat kejang demam dalam keluarga
b) Usia kurang dari 12 bulan
c) Temperatur yang rendah saat kejang
d) Cepatnya kejang setelah demam
I. Manifestasi klinis
1. Kejang pada bayi dan anak Kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat.

2. Suhu biasanya diatas 38.8 0C (101.8 0F).

3. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.

4. Kejang terjadi selama suhu meningkat secara cepat daripada setelah suhu
meningkat namun bertahap

5. Umumnya kejang berhenti sendiri.

ASUHAN KEPERAWATAN
Masalah keperawatan
a. Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi.
b. Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi
otot
c. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi yang ditandai :
1. Suhu meningkat
2. Anak tampak rewel
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi
yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.
Perencanaan
Diagnosa Keperawatan :
Potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
2. Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
3. Nadi 110 – 120 x/menit (bayi)
100-110 x/menit (anak)
4. Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi)
24 – 28 x/menit (anak)
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
2. Berikan kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduksi
3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan
dilakukan.
5. Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan
panas.
6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis
Potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
Rencana Tindakan :
4. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang
rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
Rasional : meningkatkan keamanan klien.
3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika
kontrol otot volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit,
RR : 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
Rencana Tindakan :
1. Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan
pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.
2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
3. Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu
lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau
dinginnya tubuh.
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan
tidak dapat menyerap keringat.
6. Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional : Penyediaan udara bersih.
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum
Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh
meningkat.
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.
Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3. keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
kebenaran informasi yang didapat.
2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu
menambah wawasan keluarga
3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah
kejang demam, antara lain :
1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
3. Kepala dimiringkan.
4. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu
dimasukkan ke mulut.
5. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu
sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak
minum
7. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri
dalam mengatasi masalah kesehatan.
5. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak
panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang
ulang.
6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan
menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga
tidak mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang
7. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar
memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
menderita kejang demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat
menyebabkan kejang demam
Evaluasi
NO. Diagnosa/Masalah Evaluasi
1. Potensial kejang berulang berhu-bungan Klien tidak mengalami kejang selama 2x24
dengan hiperthermi. jam.
2
Potensial terjadi trauma fisik Kriteria :
3.
berhubungan kurangnya koordina-si otot. - Tidak terjadi serangan ulang
- Suhu : 36 – 37,5 º C
4. Gangguan rasa nyaman berhu-bungan
- N : 100 – 110 kali/menit
dengan hiperthermi.
- Kesadaran : composmentis

Kurangnya pengetahuan keluarga


Tidak terjadi trauma fisik selama
5.
berhubungan dengan keterbatasan
perawatan.
informasi.
Kriteria :
- Tidak terjadi traumas fisik selama
kejang.
- Mempertahankan tindakan yang
mengontrol aktivitas kejang.
- Mengidentifikasi tindakan yang harus
diberikan ketika terjadi kejang.

Rasa nyaman terpenuhi

Kriteria :
- Tanda vital :
Suhu : 36 – 37,5ºC
N : 100 – 110 kali/ menit
RR : 24 – 28 kali/menit
- Kesadaran : composmentis
- Anak tidak rewel

Pengetahuan keluarga bertambah tentang


penyakit anaknya.
Kriteria :
- Keluarga tidak sering bertanya tentang
penyakit anaknya.
- Keluarga mampu diikutserta-kan
dalam proses perawatan.
- Keluarga mentaati setiap proses
perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Deliana, Melda.2002.Tatalaksana Kejang Demam pada Anak Vol.4 No.2.Medan:


Sari Pediatri
de Siqueira LFM. Febrile seizures: Update on diagnosis and management. Rev
Assoc Med Bras. 2010; 56(4): 489-92
http://old.pediatrik.com/cd_dan_buku/061023-kxcv149-cd_dan_buku.pdf
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI.1985. Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:
Info Medika Jakarta
Mahmood KT dan Fareed T, Tabbasum R. 2011. Management of febrile seizures
in children. 3(1): 353-7.J Biomed Sci and Res.
Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine.Dalam:
McMilan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oski’s
pediatrics. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 1999.
Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1995
Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine.
Dalam: McMilan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oski’s
pediatrics. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 1999, h, 566-89.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993; 34:592-8.
Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam:
Baram TZ, Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego: Academic Press
2002. h. 1-20
Commission on Classification and Terminology of the International League
Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981
Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam: Baram
TZ, Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego: Academic Press 2002.
David, R. B. (2010). Clinical pediatric neurology, 3rdEd. USA: Demos Medical
Publishing
Berman RE, Kliegman RM Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
16. Philadelphia: WB Saunders Co;2000.
Kugler SL, Johnson WG. Genetics of the febrile seizure susceptibility trait. Brain
Development 1998
dongoran, y. m. (1998). Tumbuh Kembang Penderita Kejang Demam. Tesis , 23.
Balslev T. Parental reactions to children first febrile convulsion. Acta Paediatr
Scand 1991
Fuadi (2010) Faktor Resiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Masters the
thesis, 11.
Source: Moffat, Sir Cameron. 1994. First Aid For Children Fast. British: Dorling
Kindersley
Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006. Konsensus penatalaksanaan
kejang demam Ikatan Dokter Anak Indonesia
Baumann RJ. Technical Report: Treatment of the Child With Simple Febrile
Seizures. Pediatrics 1999; 103:e 86
Baumann RJ. Technical Report: Treatment of the Child With Simple Febrile
Seizures. Pediatrics 1999; 103:e 86
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, Ed 2, EGC, Jakarta
Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Arief, Rifqi Fadly. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta Pusat:
Continuing Medical Education
Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors prognostic of
unprovoked seizures after febrile convulsions. NEJM 1987; 316:493-8.
Berg AT, dkk. Predictors of recurrent febrile seizure: a prospective study of the
circumstances surrounding the initial febrile seizure,NEJM 1992;
327:1122-7.
Annegers JF, dkk. Reccurrence of febrile convulsion in a population based cohort.
Epilepsy Res 1990; 66:1009-14.
Knudsen FU. Recurrence risk after first febrile seizure and effect short term
diazepam prophylaxis Arch Dis Child 1996; 17:33-8.
Ngastiyah ( 1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC
Hockenberry, MJ & Wilson, D (2011), Wong’s Nursing Care of Infants and
Children 9th ed. St.Louis-Missouri: Saunders Elseveir Inc
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI.1985. Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:
Info Medika Jakarta
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-avidbintar-6716-1-
babi.pdf
Asuhan Keperawatan Klien Anak dengan Epilepsi

A. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua
kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang
diberikan oleh hughlings Jackson pada abad ke-19. Epilepsi adalah istilah untuk
cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu,
mendadak dan sangat cepat. Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan
paroksismal dimana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan
penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik (Safitri Amalia, dkk., 2008).
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi
otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, aau
psikis yang abnormal. Epilepsy merupak akibat dari gangguan otak kronis dengan
serangan kejang spontan yang berulang (Satyanegara, 2010)

B. Klasifikasi Epilepsi
Menurut Satyanegara (2010), epilelepsi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Kejang umum atau generalisata
b. Kejang parsial
c. Kejang lain (yang tidak terkelompokkan)
Klasifikasi kejang menurut Ashari (2012), yaitu:
a. Kejang parsial, meliputi:
1) Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran). Yaitu dengan
tanda motorik, kumpulan gejala sensorik, tanda atau kumpulan gejala
autonom dan kumpulan gejala psikis.
2) Kejang parsial kompleks (lobus temporalis atau kejang psikomotorik;
gangguan kesadaran).
3) Kejang parsial berkembang menjadi kejang umum sekunder (tonik-
klonik, tonik, atau klonik).
a. Kejang umum terdiri dari kejang absant, kejang mioklonik, kejang
tonik, kejang atonik, kejang klonik dan kejang tonik-klonik.
b. Kejang tidak teridentifikasi (dikarenakan data yang tidak lengkap).

C. Etiologi Epilepsi
Epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya diagnosis
ini mengharuskan dicarinya penyebab, walaupun dua pertiga kasus idiopatik, jadi
penyebabnya tak dapat ditentukan. Sebagian besar memiliki kecenderungan untuk
terus-menerus mengalami episode perubahan gerakan, fenomenan sensoris, dan
perilaku ganjil, biasanya disertai dengan perubahan kesadaran. Adanya episode
tunggal tanpa pemicu tidak cukup untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Pasien
dengan kecenderungan epilepsi cenderung mengalami serangan stereotipik (David
Rubenstein, dkk., 2007).
Banyak pasien yang datang setelah mengalami ‘serangan kejang’
sesungguhnya hanya mengalami episode tak sadar. Penting untuk
mempertimbangkan dan menyingkirkan keadaan lain yang seringkali dikelirukan
sebagai epilepsi (David Rubenstein, dkk., 2007).
Etiologi kejang pada anak menurut Perry, et. al. (2010):
Kejang akut, meliputi:
a. Demam yang berulang
b. Infeksi intrakranial
c. Pendarahan intrakranial
d. Edema cerebral akut
e. Racun
f. Tetanus
g. Encephalopathy
h. Perubahan metabolik tubuh
i. Obat-obatan
j. Anoxia
Kejang kronis, meliputi:
a. Idiopatik epilepsi
b. Epilepsi sekunder
c. Uremia
d. Alergi
e. Disfungsi kardiovaskuler
f. Migrain

D. Patofisiologi Epilepsi
Menurut Muttaqin A. (2008), patofisiologi epilepsi disebabkan karena
adanya gangguan aktivitas listrik dan sel saraf pada bagian otak. Sehingga
mengakibatkan adanya muatan listrik yang tidak normal, berlebihan yang terjadi
secara berulang dan tidak terkontrol. pada tingkat membran, neuron epileptik
ditandai oleh adanya ketidakstabilan membran sel saraf. Sehingga neuron mudah
terangsang secara berlebihan. Ini akan menyebabkan kondisi tidak terkendali yang
menyebabkan pelepasan impuls yang tidak diinginkan, dan seseorang dikatakan
epilepsi. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan
konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.
Kejang sederhana yang ditimbulkan dapat mengaktifkan peka rangsang
sehingga menyebabkan kejang berulang yang berakibat risiko tinggi cedera dan
penurunan kesadaran serta juga dapat menyebabkan gangguan perilaku, alam
perasaan, sensasi dan persepsi. Sedangkan kejang memanjang tanpa perbaikan
kesadaran penuh dapat memberikan status epileptikus. Status ini akan
menimbulkan kebutuhan metabolik yang dapat menyebabkan adanya gangguan
pernapasan. Sehingga dapat menyebabkan hipoksia otak dan edema serebral yang
akhirnya terjadi kerusakan otak permanen.
Sedangkan patofisiologi menurut Carlson, Karen K. (2009) kejang adalah
hasil dari ketidakseimbangan neurotransmiter di CNS, reseptor N-Metil-D-
aspartat (NMDA) diaktifkan oleh rangsang yang neurotransmiter glutamat dan
diyakini membutuhkan untuk penyebaran aktivitas kejang. Gamma-aminobutyric
acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibisi utama dan bertanggung jawab atas
penghentian normal kejang. Kejang yang berkelanjutan akan mengakibatkan
reseptor GABA berubah dan menjadi lebih rentan terhadap efek agonis GABA
dari beberapa obat. Perubahan ini dalam fungsi neurotransmitter meletakkan dasar
dasar untuk pilihan dan penggunaan agen farmakologis untuk status Epilepsi.
Kejang yang berkelanjutan menyebabkan hilangnya neuron selektif di daerah
rawan seperti hippocampus, korteks, dan thalamus. Status Epilepsi adalah keadaan
darurat medis utama yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Ini memiliki potensi untuk menyebabkan cedera baik karena stres
metabolik kejang otot berulang dicatat dalam GCSE dan karena aktivitas neuron
yang intens dalam SSP. Neuronal kematian dapat terjadi setelah 30 sampai 60
menit dari aktivitas kejang terus menerus, dan semakin lama episode Status
Epilepsi terus menerus, semakin besar kerusakan saraf.
Awalnya, tuntutan metabolik meningkat dari otak untuk glukosa dan
oksigen terpenuhi oleh peningkatan kompensasi dalam produksi katekolamin
dengan peningkatan berikutnya tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung.
Setelah sekitar 30 menit dari aktivitas kejang, mekanisme ini kompensasi yang
sama dapat menjadi berbahaya dan menyebabkan gejala sisa sementara atau
permanen. Autoregulasi serebral menjadi terganggu karena ada peningkatan
kesulitan dalam memenuhi tuntutan metabolisme otak. Rhabdomyolysis
menyebabkan asidosis laktat dan penurunan pH serum. Sebagai aktivitas kejang
berlangsung sehingga tekanan darah turun, pada gilirannya menyebabkan
penurunan perfusi serebral dan oksigen dan glukosa pasokan ke otak. Kadar
glukosa darah akhirnya menyebabkan peningkatan produksi insulin dan
hipoglikemia.
Hipertermia adalah umum selama Epilepsi dan umumnya merupakan hasil
dari aktivitas kejang daripada proses infeksi. Asam laktat terakumulasi, dan
glukosa dan kadar bikarbonat menurun. Asidosis metabolik dan hiperglikemia
dapat berkembang sebagai konsekuensi dari rhabdomyolysis dan dapat
menyebabkan disritmia jantung. Hipoksia hasil dari peningkatan metabolisme dan
kebutuhan oksigen saraf. Kombinasi hipoksia, hipoglikemia dan kimia hasil
perubahan sinaptik kerusakan saraf. Selain itu, hasil pasien mungkin akan lebih
terganggu oleh pneumonitis resultan aspirasi, edema paru neurogenik, dan gagal
pernafasan.
Menurut Deborah Melati, dkk. (2014) secara umum kejang terjadi apabila
neuron-neuron dalam area otak teraktivasi dengan cara sinkronisasi. Aktivasi
fokal sekelompok neuron kemudian menyebar ke neuron sekitarnya dan neuron-
neuron jauh dalam aktivasi abnormal. Terjadinya suatu kejang melibatkan
berbagai macam aspek selular atau biokimiawi seperti gangguan fungsi kanal ion,
level neurotransmitter, fungsi reseptor neurotransmitter, atau metabolisme energi
yang mengganggu eksitabilitas neuron sehingga meimbulkan kejang. Secara
umum, depolarisasi diperantarai oleh neurotransmitter eksitatori yaitu glutamat
dan aspartat. Peningkatan efektivitas sinaptik terjadi akibat meningkatnya ambilan
reseptor NMDA sehingga terjadi influks kalsium kedalam sel dan peningktan
eksitabillitas sel. Ketika proses eksitatori meningkat terjadi reduksi simultan
sirkuit inhibisi sehingga manifestasi kejang berlangsung.
Menurut Muttaqin A. (2008), adanya predisposisi yang memungkinkan
gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan
menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal,
berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan
epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan
oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesenfelon, thalamus, dan korteks
serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenic, sedangkan lesi pada serebelum
dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membrane sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa di antaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf
sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang
menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal
terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. Gerakan-
gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan
konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Status epilepticus
menimbulkan kebutuhan metabolic besar dan dapat memengaruhi pernapasan.
Terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang yang
menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak. Episode berulang anoksia dan
pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tak
reversible dan fatal. Factor-faktor yang mencetuskan status epilepticus meliputi
gejala putus obat antikonvulsan, demam, dan infeksi penyerta.

E. Manifestasi Klinis Epilepsi


Menurut Batticaca B. Fransisca (2008), manifestasi klinis status epileptikus yaitu:
a. Bicara tertahan
b. Mati rasa
c. Kesemutan
d. Seluruh otot tubuh menjadi kaku
e. Kedua lengan dalam keadaan fleksi tungkai, kepala, dan leher dalam
keadaan ekstensi
f. Apnea (henti/tidak bisa nafas)
g. Gerakan tersentak-sentak
h. Mulut tampak berbusa
i. Refleks menelan hilang.
Gejala-gejala atau tanda-tanda apabila penyakit epilepsi ini akan kambuh atau
terjadi:
a. Merasa pusing
b. Pandangan berkunang-kunang
c. Fungsi pendengaran kurang sempurna
d. Keluar keringat berlebihan
Setelah mengalami gejala di atas sesaat kemudian penderita akan jatuh pingsan
biasanya diiringi dengan jeritan.
Manifestasi klinis status epileptikus berdasarkan Harsono (2005), yaitu:
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Setiap kejang berlangsung dua
sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan
pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase
ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.
b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik.
d. Status Epileptikus Mioklonik
Sentakan mioklonus menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran.
e. Status Epileptikus Absens
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti
menyerupai“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode
yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada
masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.
f. Status Epileptikus Non Konvulsif
Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau
biasanya koma.Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),
retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar atau mulut bergerenyut takterkontrol
bicara tak dapat dimengerti mungkin pening dapat mengalami penglihatan,
suara, bau yang tak lazim atau tak menyenangkan.
1) Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari- jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu
sisi.
2) Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan.
h. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi
tidak bertujuan terhadap waktu dan tempat dapat mengalami emosi rasa
ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan tidak
mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan
yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Gejala umum epilepsi menurut Hardhi Amin (2015):
a. Kejang umum biasanya diawali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10
s.d 15 menit, bisa juga lebih.
b. Takikardia: pada bayi frekuensi sering diatas 150-200 per menit.
c. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai akibat
menurunnya curah jantung.
d. Gejala bendungan system vena: Hepatomegali dan peningkatan tekanan vena
jugularis.

F. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT scan digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskular abnormal, dan perubahan degeneratif serebral.
b. Elektroensefalogram (EEG) melengkapi bukti diagnostik dalam proporsi
substansial dari klien epilepsi dan membantu dalam mengklasikasikan tipe
kejang. Keadaan abnormal pada EEG selalu terus-menerus terlihat di
antara kejang, atau jika letupan muncul mungkin akibat dari hiperventilasi
atau selama tidur.

G. Penatalaksanaan dan Pengobatan Epilepsi


a. Penatalaksanaan Observasi dan Perawatan Epilepsi pada Anak-anak,
meliputi:
1) Jika mulai kejang, segera lihat jam lalu kita dapat menentukan berapa
lama kejang terjadi.
2) Lindungi anak-anak dari cidera dengan melonggarkan baju di leher
dan putar anak ke samping dengan lembut, hindarkan anak dari
keramaian. Jangan mengikat atau memasukkan benda apapun kedalam
mulut anak.
3) Amati pada bagian tubuh mana yang pertama kali, perkembangannya
dan terakhir yang mengalami kejang secara teliti.
4) Amati berbagai perubahan tanda sensori dan motorik sebelum kejang
atau yang menyertai kejang.
5) Ketika kejang berakhir, anjurkan anak-anak untuk beristirahat. Catat
perilaku anak sebelumnya, selama dan setelah kejang serta durasi
kejang.
6) Untuk menentukan kejang pada bayi, jika gerakan dapat muncul
karena stimulus seperti sentuhan kemungkinan adalah tremor. Jika
gerakan tidak berhenti dan tidak terkontrol dengan memutar anak
maupun diposisikan fleksi kemungkinan adalah kejang (James, S. R.,
Nelson, K. A., & Ashwill, J. W., 2013).
b. Tujuan Utama Pengobatan
Tujuan utama pada pengobatan dari Status Epilepticus (SE) adalah
mempercepat penghentian dari kejang. Hal itu dapat dipercaya bahwa
pemberian obat-obatan lebih awal menyebabkan kejang berhenti dengan
dosis dan risiko yang lebih kecil untuk pasien apabila sedang terjadi
kejang. Bagaimanapun, terapi SE sebaiknya diproses secara simultan, tiga
diantaranya adalah; penghentian SE, pencegahan kambuh, dan pengobatan
komplikasi. Tim tenaga kerja kesehatan harus menjaga jalan nafas,
pencegahan dari aspirasi, managemen dari terjadinya potensi pencetus, dan
pengobatan dari kondisi-kondisi lain yang mendasari.
Tedapat empat macam obat-obatan utama yang digunakan untuk
SE, yaitu:
1) Benzodiasepin
Benzodiasepin telah dipertimbangkan sebagai langkah utama
pengobatan untuk SE karena kecepatan dan bioavailibitasnya. Yang
paling banyak digunakan dari golongan benzodiasepin adalah
lorazepam (Ativan), diazepam (valium), dan midazolam (versed).
2) Phenytoin (dilantin)
Phenytoin adalah satu dari yang paling banyak digunakan untuk
pengobatan SE. benzodiazepin menawarkan penghentian lebih cepat
dari kejang, tapi fenitoin cocok untuk terapi pemeliharaan dan sering
digunakan setelah pemberian benzodiazepin awal.
3) Barbiturat
Barbiturate telah menjadi andalan dalam pengobatan tradisional. Obat
ini beraksi pada GABA reseptor komplek yang hamper sama dengan
benzodiasepin, dan barbiturate efektif untuk membatasi transmisi
sinaptik. Barbiturate sering dapat menyebabkan sedasi, penggunaan
dosis tinggi dapat mengakibatkan pasien stupor, koma, dan pernafasan
serta depresi CNS.
4) Propofol
Propofol, anastesi umum yang beraksi dengan cepat, dulunya
digunakan untuk SE pada tahun 1980-an. Propofol memiliki onset efek
klinis yang cepat, dan pemulihan dalam 20-30 menit setelah dosis
bolus tunggal (Carlson, K. K., 2009).
c. Penatalaksanaan Epilepsi Secara Medis pada Anak-anak
Epilepsi tonic-clonic secara umum merupakan keadaan darurat.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan
diazepam (Valium) atau lorazepam (Ativan) secara intravena. Diazepam
intravena harus diberikan segera (disuntikkan lansung ke pembuluh vena
untuk menghindari kontak dengan plastik) kurang lebih 2 mg/min.
Diazepam harus dicampur dengan obat atau larutan lain dan dapat
dilarutkan dengan PZ. Diazepam yang diberikan per rektal dapat diberikan
apabila tidak dapat disuntikkan secara intravena pada anak-anak. Obat lain
yang dapat diberikan ketika keadaan epilepsy darurat terjadi adalah
midazolam secara oral dan lorazepam intranasal. Penelitian yang sedang
berlangsung mengenai penggunaan obat anti epilepsy seperti valproate dan
levetiracetam untuk pemulihan status epilepsy. Peralatan resusitasi harus
disiapkan dan pernafasan anak-anak harus selalu diamati selama
pemberian antiepilepsi intravena (James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill,
J. W., 2013).
d. Upaya Pencegahan dan Pengobatan:
1) Pengobatan kuratif (kausal)
Selidiki apakah ada penyakit yang masih aktif (tumor otak, hematoma
subdural kronik) pada lesi aktif atau progresif ulang belum ada
obatnya.
2) Pengobatan preventif (rumat)
Klien dapat cenderung kejang secara spontan tanpa faktor yang jelas
maka diperlukan tindakan seperti, memiringkan klien fleksi kedepan
tindakan ini bertujuan untuk mencegah lidah klien jatuh kedepan
(Fransisca B. Batticaca, 2008).
e. Terapi Konservatif (Obat–obatan) dan Terapi Operatif
Pemilihan obat untuk epilepsy ditentukan oleh jenis kejang dan
juga berdasarkan gangguan penyerta yang ada pada pasien tersebut
misalnya retardasi mental atau depresi. Obat asam valporat atau
fenobarbital umumnya lebih efektif untuk epilepsy generilasata. Obat
epilespi lainnya antara lain fenitoin, karbamazepin, etoksuksimid,
primidone, dan klonazepam. Penambahan obat diberikan bila monoterapi
gagal untuk mengatasi serangan kejang. Adapun tujuan umum pemberian
terapi obat antikonvulsan adalah mengupayakan dosis yang konstan dalam
serum darah, dimana hal ini terutama ditentukan oleh waktu paruh obat
yang sangat bervariasi antara satu pasien dengan lainnya (Satyanegara,
2010).
f. Penatalaksanaan Medis
1) Farmakologis
a) Pengobatan kausal
Perlu diselidiki dahulu apakah pasien pasien epilepsy masih
menderita penyakit yang aktif misalnya tumor serebri, hematoma
subdural kronik. Jik ya perlu diobati terlebih dahulu. Pada pasien
epilepsy tidak dapat dtemukan lesinya (idiopatik, kriptogenik) atau
lesi tinggal sekuele misalnya sekuele akibat trauma lahir,
meningoensefalitis. Untuk hal ni diberi pengobatan yang
ditunjukan terhadap gejala epilepsy.
b) Pengobatan rumat
Pasien epilepsy umumnya cenderung mengalami serangan
kejang secara spontan tanpa faktor provokasi yang kuat atau nyata.
Timbulnya serangan kejang harus di cegah karena dapat
menyebabkan cedera atau kecelakaan disamping kejang itu sendiri
dapat menyebabkan kerusakan otak. Pada saat ini pasien epilepsy
diberikan pengobatan obat antikonvulsan.Biasanya pengobatan
dianjutan sampai 3 tahun bebas serangan, kemudian obat dikurangi
secara bertahap dan dihentikan dalam jangka 6 bulan. Pada
umunya lama pengobatan berkisar 2-4 tahun bebas serangan.
Orang tua perlu dijelaskan mengenai lamanya pengobatan dan
bahayanya jika obat dihentikan secara mendadak (Ngastiyah,
1997).
2) Non-Farmakologis
a) Intervensi bedah, seperti pengangkatan lobus temporal (labektomi
sementara), dan stimuli saraf vagal dapat dilakukan untuk pasien
yang tidak menanggapi pengobatan.
b) Sebagai pengobatan untuk epilepsi biasanya jangka panjang atau
seumur hidup, pasien perlu dididik mengenai pentingnya
kepatuhan dengan terapi obat.
c) Pasien harus dididik untuk perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan sebagai hasil dari memiliki epilepsi, misalnya
pekerjaan, mengemudi, dll (Muralitharam Nair, Ian Peate, 2013).
g. Manajemen Epilepsi Mempunyai Empat Pilihan Penatalaksanaan,
yaitu:
1) Terapi obat
Dalam penentuan jenis obat yang dipakai harus disesuaikan dengan
beberapa faktor yang disesuaikan dengan kondisi dari anak, seperti
jenis dari epilepsy, frekuensi dan keparahan kejang, usia dan kondisi
kesehatan yang terkait.
Obat Asam Valproat atau fenitoin, karbamazepin, etoksuksimid,
primidon, dan klonazepam. Terapi antikonvulsan diberikan pada anak-
anak dengan kejang yang kambuhan, biasanya hingga anak terbebas
dari serangan selama sedikitnya 2 tahun. Adapun tujuan umum
pemberian terapi obat antikonvulsan adalah mengupayakan dosis yang
konstan dalam serum darah, dimana hal ini terutama ditentukan oleh
waktu paruh obat yang sangat bervariasi antara satu pasien dengan
lainnya. Dosis yang digunakan adalah dosis terendah yang paling aman
untuk menekan kejang. Prognosis baik bagi anak yang sehat, memiliki
EEG normal, dan merespons baik terhadap terapi pencegahan.
Prognosis menjadi kurang baik bagi anak dengan masalah belajar atau
palsi serebral, dengan aktivitas kejang menetap pada EEG, dan
berbagai macam profilaktik obat-obatan , baik tunggal atau kombinasi,
gagal memberikan control yang cukup.
2) Diet ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, rendah karbohidrat, dan
protein adekuat. Konsumsi seperti diet memaksa tubuh untuk beralih
dari menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama untuk
menggunakan lemak dan individu mengembangkan keadaan ketosis.
Dietnya ketat. Semua makanan dan cairan yang dikonsumsi anak harus
ditimbang dan diukur dengan hati-hati. Diet ketogenik mungkin efektif
dalam mengontrol kejang.
Menurut Hockenberry, Marilyn J. and Wilson, David (2011) efek
samping potensial dari diet ketogenik adalah konstipasi, berat badan
menurun, batu ginjal.
a) Konstipasi
Diet ketogenik ini rendah serat sehingga kemungkinan besar
pasien akan mengalami kesulitan buang air besar/konstipasi. Hal
ini dapat diatasi dengan pemberian pencahar (kolaborasi dengan
dokter), sehingga pasien tidak mengalami kesulitan saat buang air
besar.
b) Muntah dan mual-mual
Seseorang yang menjalankan diet ini, pada tubuhnya akan
menerima asupan makanan yang tinggi lemak, pada fase ini tubuh
akan mulai berada pada masa transisi dimana karbohidrat yang
biasanya digunakan sebagai sumber energi justru digunakan
sebagai pembakar lemak. Hasil dari pembakaran lemak tersebut
menghasilkan keton yang akan memenuhi aliran darah pelakunya.
Saat keton masuk ke otak maka intensitas kejang dapat ditekan
sedemikian rupa. Namun, aliran darah yang dipenuhi dengan keton
sering menyebabkan mual dan muntah. Perawat dapat mengatasi
nya dengan memberikan sedikit asupan karbohidrat untuk mengusir
mual serta muntah-muntah tersebut.
c) Batu ginjal
Tercatat 3 sampai 7% anak yang menjalankan diet ketogenik
bermasalah dengan batu ginjal, seperti yang dinyatakan oleh Dr.
Eric Kossoff pada tahun 2009 dalam sebuah jurnal berjudul
Epilepsia, pembentukan batu ginjal bisa disebabkan oleh kadar
asam urat yang tinggi. Asam urat ini pada akhirnya memicu
terbentuknya kristal asam urat dalam air seni seseorang dan
berubah menjadi batu ginjal. Oleh sebab itu perawat harus selalu
menghitung dan memperhatikan selalu asupan cairan harian baik
intake maupun output pada pasien.

3) Stimulasi nervus vagus


Stimulasi nervus vagus menggunakan perangkat implan yang
mengurangi kejang pada individu yang tidak memiliki pengendalian
yang efektif dengan terapi obat. Saat ini diindikasikan sebagai terapi
tambahan pada pasien 12 tahun dan lebih tua dengan kejang onset
parsial. Generator sinyal diprogram dengan ditanamkan secara
subkutan di dada. Terowongan elektroda di bawah kulit memberikan
impuls listrik ke saraf vagus kiri. Pperangkat diprogram secara
noninvasif untuk memberikan pola yang tepat dari rangsangan pada
saraf vagus kiri. Pasien atau pengasuh dapat mengaktifkan perangkat
menggunakan magnet pada awal kejang. Studi menunjukkan
penurunan median dalam kejang dari 35% menjadi 45% setelah satu
tahun terapi.
4) Operasi epilepsy
Tindakan ini membutuhkan kerjasama multidisipliner dan
kompleks mengingat bahwa tindakan ini mempunyai potensi untuk
meninggalkan kecacatan psikologis dan social untuk jangka waktu
yang cukup lama. Tindakan operasi untuk epilepsi dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu reseksi fokal dan komisutotomi. Reseksi fokal
merupakan tindakan pengangkatan focus epileptogenik di dalam otak.
Penanganan ini diindikasikan untuk kejang parsial. Mengingat
kebanyakan epilepsy parsial mempunyai focus di area temporal, maka
reseksi fokal yang sering dilakukan adalah lobektomi temporal
anterior. Sebanyak 70-90% kasus memberikan hasil yang baik pada
kasus epilepsi parsial non-lesional. Komisurotomi adalah tindakan
pemotongan semua komisura garis tengah. Pada kurun masa terakhir
ini, yang sering dilakukan adalah kalosotomi (hanya korpus kalosum
saja yang dibelah). Tindakan ini ditujukan pada kasus epilepsi yang
tidak mempunyai lokasi focus kortikal yang jelas. Sekitar 10% saja
yang memberikan hasil baik.

H. Peran Orangtua pada Pasien dengan Status Epileptikus


a. Pandangan masyarakat tentang penyakit epilepsi sebagai kutukan
membuat orang tua wajib memberikan dukungan moril untuk anak
b. Pemberian nutrisi yang tepat juga diperlukan untuk anak dengan status
epileptikus
c. Orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus
diintruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres dingin,
obat antipiretik)
d. Minta penjelasan kepada dokter secara lengkap dan detil untuk
menghilangkan keragu-raguan, misalnya jenis obat, jumlah obat, lama
pengobatan, efek samping, dan jadwal berobat
e. Mencari informasi yang benar dari sumber yang dapat dipercaya: internet,
buku, seminar, dokter
f. Jangan percaya banyak mitos di masyarakat tentang kejang/epilepsy
a) Peran Orangtua di Rumah
a. Memahami perasaan anak (merasa berbeda, cemas, sedih, rendah diri)
b. Membangun kemandirian ank, jangan overprotektif sehingga anak tidak
mandiri
c. Berbagi dengan anggota keluarga besar sehingga mereka juga memahami
keadaan anak
d. Membuat lingkungan rumah yang aman untuk anak

b) Peran Orangtua di Sekolah


a. Menjalin komunikasi dengan guru dan pihak sekolah. Informasi yang
benar akan membantu guru dalam mendampingi anak di sekolah
b. Anak dengan epilepsi sama dengan anak lain dalam mencapai prestasi
belajar, guru diharapkan tidak underestimate
c. Bantu anak dalam menghadapi problem di sekolah
c) Peran Orangtua dalam Pemberian Nutrisi
a. Memberikan diet ketogenik (tinggi lemak, protein adekuat, rendah
karbohidrat) sesuai kebutuhan (Stafstrom, 2004)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Freeman et al, 2006
diet ketogenik berguna untuk pasien dengan epilepsi, tingkat keberhasilan
cukup sebanding dengan pemberian obat antikonvulsan
b. Pemberian suplemen zink 20mg/hari ditambah multivitamin untuk pasien
anak yang mengalami penurunan nafsu makan (Shakur et al, 2009)

I. Peran Perawat pada Pasien dengan Epilepsi


a. Memberikan asuhan keperawatan untuk pasien
b. Perawat bisa sebagai konsultan untuk pasien dan keluarganya
c. Perawat dapat menjadi Edukator bagi keluarga, dengan memberikan Health
Education
e. Menjelaskan apa itu epilepsi dan bagaimana cara penanganannnya

J. Perkembangan pada Anak dengan Epilepsi


Anak dengan epilepsi biasanya sering mengalami kejang kejang dalam
keseharian nya. Anak-anak biasanya membangun konsep diri dan harga diri dari
pengamatan reaksi orang lain kepada mereka dan dari persepsi mereka sendiri dari
kemampuan mereka. Jika kejang - kejang terjadi dan orang lain menganggap
mereka menjadi berbeda, lebih rendah atau menjadikan mereka objek ejekan hal
di atas membuat harga diri, konsep diri mereka rendah dan mengalami
keterpurukan. Epilepsi memang dapat menyebabkan gangguan perkembangan
otak, terutama jika frekuensi kejang sering. Gangguan akibat epilepsi dapat
berubah perkembangan terlambat, gangguan emosional, gangguan fungsi kognitif
(kecerdasan), anak menjadi hiperaktif, dan sebagainya (Rowen&Ashwill, 2007).
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)

b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.

c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, dan tidak sadarkan diri.

d. Riwayat penyakit dahulu:


Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
Tumor Otak
Kelainan pembuluh darah
Demam
Stroke
Gangguan tidur
Penggunaan obat
Hiperventilasi
Stress emosional

e. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan


merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat
dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f. Riwayat psikososial

Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita


Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).

g. Pemeriksaan fisik (ROS)


B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
B2 (blood): Terjadi takikardia, cyanosis
B3 (brain): penurunan kesadaran
B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alvi
B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang

B. Diagnosa dan Intervensi


Diagnosa : Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak
terkontrol (gangguan keseimbangan).

Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh

Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi
a. Identifikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya
cedera
b. Pantau status neurologis setiap 8 jam
c. Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
d. Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
e. Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
f. Pasang penghalang tempat tidur pasien
g. Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
h. Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
i. Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat
terjadi kejang
j. Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa
saat sebelum kejang
k. Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
l. Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang
m. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang

Diagnosa : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan kemungkinan


aspirasi selama kejang

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam diharapkan bersihan
jalan nafas klien efektif dengan kriteria hasil :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas efektif
b. Menunujukkan status pernapasan : kepatenan jalan nafas , yang dibuktikan oleh
indicator: kemudahan bernafas, frekuensi dan irama pernafasan baik, pergerakan
sputum keluar dari jalan nafas, pergerakan sumbatan keluar dari jalan nafas

Intervensi :
Airway Suctioning (3160)
1) Lakukan auskultasi bunyi nafas sebelum dan sesudah penyedotan
2) Menginformasikan pasien dan keluarga tentang penyedotan
3) Aspirasi nasofaring dengan semprotan atau perangkat hisap, sewajarnya
4) Masukkan napas hidung untuk memudahkan suction nasotrakeal

Aspiration Precautions (3200)


1) Memantau status paru
2) Memantau tingkat kesadaran, refleks batuk, refleks muntah, dan
kemampuan menelan
3) Pertahankan jalan napas
4) Minimalkan penggunaan narkotika dan obat penenang

Diagnosa :
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kehilangan kontrol otot terkait
dengn kejang

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 × 24 jam, anak akan
mempertahankan pola napas yang normal dengan kriteri hasil :
Domain II kelas E
Respiratory Status : Airway Patency
RR : 5
Saturasi Oksigen : 5
Kedalaman Inspirasi : 5
Penggunaan otot asesoris : 5

Intervensi
Airway Management (3140)
1. Posisikan pasien dengan potensi ventilasi maksimal
2. Monitor pernapasan dan status oksigenasi

Oxygen Therapy (3320)


1. Mempertahankan jalan napas paten
2. Atur perlengkapan oksigenasi dan sistem kelembaban
Diagnosa
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan asidosis
laktat dengan pemanjangan aktifitas kejang.

Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam perfusi jaringan otak
klien dapat dipertahankan secara adekuat dibuktikan dengan kriteria hasil :
a. Peningkatan sensori ( 5 )
b. Perbedaan rangsang ( 5 )
c. Tidak parestesia ( 5 )
d. Tidak hiperparesia ( 5 )

Intervensi
1.Monitor status neurologi setiap hari
2. Monitor tanda – tanda vital tiap hari
3. Evaluasi pupil, ukuran , bentuk kesamaan , respon terhadap cahaya
4. Kaji perubahan penglihatan kabur, lapang pandang menurun
5. Beri tirah baring dan lingkungan yang nyaman
6. Cegah mengejan saat BAB dan menahan nafas
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


dan NANDA NIC-NOC. Jakarta: Medi Action.
Ashari. 2012. Perbandingan Kualitas Hidup Paien Epilepsi Lobus Temporal yang
Bebas Kejang dengan Yang Tidak Bebas Kejang Pasca
Amigdalohippokampektomi. Skripsi, 11
Batticaca B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. (Eds.). (2014). Nursing
interventions classification (NIC). Mosby.

Carlson, K. K. 2009. Advanced Critical Care Nursing. Canada: Saunders Elsevier.


David Rubenstein, dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Deborah Melati, dkk. 2014. First Unprovoked Seizure pada Anak. Thesis, 94.
Fransisca B. Batticaca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Gloria, et. al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th Edition. USA:
Mosby Elsevier.
Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Herdman, T.H. and Kamitsuru, S. (Eds). 2014. NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions and Clasification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell.
Gloria, et. al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th Edition. USA:
Mosby Elsevier

Hockenberry, Marilyn J, and Wilson, David. 2011. Wong’s Nursing Care of


infants and Childre Ninth edition. Canada: Elsevier Mosby.
James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. 2013. Nursing Care of Children
Principles and Practice. Missouri: Elsevier Saunders.
Moorhead, S. (2014). Nursing outcomes classification (NOC). Encyclopedia for
nursing research.
Muralitharam Nair, Ian Peate. 2013. Fundamental of Applied Pathofisiology an
Essential Guide for Nursing and Health Care Students 2nd edition.
British: Wiley Blackwell.
Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Perry, et. al. 2010. Maternal Child Nursing Care. Canada: Mosby Elsevier.
Rowen James, Ashwill J W. 2007. Nursing Care of Infants and Children
Principle and Practice 3rd Edition. Canada: Elsevier Mosby.
SafitriAmalia, dkk. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi Ke-Delapan. Jakarta:
Erlangga
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum.
Sue Moorhead, et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Edition:
Measurement of Health Outcomes. USA: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai