T2
T2
A. Definisi
Kejang demam adalah keadaan dimana kejang akan timbul ketika terjadi
kenaikan pada suhu tubuh (suhu rektal) diatas 38°C akibat suatu proses
ekstrakranial, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun.
Berdasarkan definisi yang lain yaitu International League Against
Epilepsy (ILAE), Kejang demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak
setelah usia 1 bulan, yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa
disebabkan infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak
berhubungan dengan kejang simtomatik lainnya.
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat kenaikan suhu tubuh
lebih dari 380C (suhu rektal atau dubur) yang disebabkan proses di luar otak,
tanpa ada bukti infeksi otak, namun setiap anak juga memiliki suhu ambang
kejang yang berbeda.
Kejang demam terjadi pada 2-4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun
(Kadafi, 2013). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38o C) tanpa disertai adanya infeksi
SSP, angguan elektrolit (misalnya akibat diare dan muntah yang hebat) atau
gangguan metabolik (missal kadar glukosa darah turun). Dan kondisi ini
umum terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kejang demam merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak
terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-
tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktifitas motorik atau gangguan
fenomena sensori. (Doenges, 2000)
Anak-anak kecil yang berusia di bawah 4 tahun dapat mengalami kejang
ketika mereka terkena infeksi dan mengalami panas tinggi. Tanda-tanda anak
mengalami kejang adalah tubuh anak tampak memerah, berkeringat, dan dahi
terasa panas, mata mendelik ke atas, melotot, atau mengedip, wajahnya
tampak membiru jika ia menahan napas, tubuhnya kaku dan punggungnya
melengkung ke belakang, tangan mengepal.
Pemeriksaan neurologis pada bayi merupakan hal yang tidak mudah
dilakukan, hal ini disebabkan karena bayi normal selalu bergerak aktif. Untuk
dapat menilai apakah pemeriksaan itu normal atau abnormal, maka penting
untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana proses perkembangan anak
normal. Dan pemeriksaan neurologis ini bertujuan untuk mengetahui lebih
dini bila ada kelainan neurologis pada anak sehingga dapat dilakukan
penindaklanjutan yang lebih awal.
Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis pada bayi, perlu
diketahui adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan,
yaitu:
1) Waktu Pemeriksaan.
Waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan adalah 2-3
jam setelah bayi selesai minum. Bayi dan anak yang diperiksa dalam
keadaan mengantuk atau letih akan memberikan reaksi
berlainan bila dibandingkan dengan mereka yang suda beristirahat cukup.
2) Suhu Ruang Periksa.
Suhu ruangan yang baik pada saat pemeriksaan adalah berkisar antara 27o-
29o C.
Demam kejang tejadi tergantung pada umur, serta cepatnya suhu
meningkat (Wegman,1939: Prichard dan McGreal,1958). Faktor
genetik/herediter juga berperan dalam hal ini. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang
sedangkan pada anak normalnya hingga 2%.
Selian suhu tubuh dan faktor genetik, ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi demam kejang seperti :
1. Infeksi: meningitis, ensefalitis
2. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal
hati, gangguan metabolik bawaan
3. Trauma kepala
4. Keracunan: alkohol, teofilin
5. Penghentian obat anti epilepsy
6. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,
idiopatik
Kejang Demam Sederhana kejang berlangsung sebentar tidak lebih dari
15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam, sedangkan pada Kejang
Demam Kompleks terjadi lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1
kali dalam 24 jam.
A. Klasifikasi kejang
Menurut International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE]
1981:
1. Kejang parsial (fokal, lokal)
a. Kejang fokal sederhana
b. Kejang parsial kompleks
c. Kejang parsial yang menjadi umum
d. Kejang umum
e. Absens
f. Mioklonik
g. Klonik
h. Tonik
i. Tonik-klonik
j. Atonik
Klasifikasi Kejang Demam menurut sumber lain:
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, durasi waktu kurang dari
15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
a. Kejang lama durasi waktu lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
b. Kejang fokal atau parsial (satu sisi), atau kejang umum didahului
kejang parsial.
c. Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam atau 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang parsial atau lokal adalah kejang yang hanya
melibatkan sebagian dari otak, sehingga hanya bagian tubuh tertentu yang
dipengaruhi. Tergantung dari bagian otak yang memiliki aktivitas listrik
abnormal, maka gejala dapat bervariasi.
a. Jika bagian dari otak yang mengendalikan tangan terlibat, maka hanya
tangan yang menunjukkan gerakan ritmis atau tersentak.
b. Jika daerah lain dari otak yang terlibat, maka gejala mungkin termasuk
sensasi aneh seperti perasaan kenyang di perut atau gerakan kecil berulang
seperti memilin baju atau memukul bibir.
c. Kadang-kadang orang dengan kejang parsial seperti bingung atau bengong.
Hal ini mungkin menunjukkan kejang parsial kompleks. Istilah kompleks
digunakan oleh dokter untuk menggambarkan seseorang yang berada antara
menjadi kondisi sadar dan tidak sadar.
B. Etiologi Dan Patofisiologi Kejang Demam
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu,
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tersebut akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini besar sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya
dengan bantuan “neurotransmitter” terjadilah kejang.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah
Anak mendapat serangan bangkitan kejang demam pada umur awal masa
developmental window (perkembangan otak fase anak umur kurang dari 2 tahun)
mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang
mendapat serangan kejang demam pada umur akhir masa developmental window.
Salah satu resiko dari kejang karena demam tinggi dan tidak mendapatkan
perawatan yang semestinya adalah Retardasi mental atau keterbelakangan mental.
Resiko tersebut dapat terjadi karena kejang akibat demam tinggi dapat membuat
jaringan dan sel-sel otak mengalami kerusakan. Kerusakan sel otak dapat
membuat perkembangan otak menjadi tidak optimal dan kecerdasan mengalami
penurunan drastis.
F. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah:
1. Buka pakaiannya sampai hanya tinggal celana dalamnya saja. Pastikan ia
memperoleh banyak udara segar tanpa menjadi kedinginan
2. Singkirkan benda-benda di sekelilingnya agar ia terlindungi dari cidera.
Basuh tubuhnya dengan air hangat (bukan panas/dingin). Dimulai dari
kepala dan turun kearah tubuhnya. Jangan biarkan tubuhnya menjadi terlalu
dingin
3. Setelah tubuh mendingin, kejangnya akan berhenti. Gulingkan tubuhnya
hingga ia berbaring miring dan jaga agar kepalanya menengadah ke
belakang. Selimuti tubuhnya dengan selimut atau seprei tipis dan tenangkan
anak. Jika suhu tubuhnya naik lagi, basuh kembali.
Kejang demam berlangsung singkat dan saat pasien datang kejang sudah
berhenti. Bila pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara
pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit,
dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi
di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka
diberikan phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti,
maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif.
Sumber: Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006. Konsensus
penatalaksanaan kejang demam Ikatan Dokter Anak Indonesia. Obat selain
diazepam yaitu phenytoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali
dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Pentalaksanaan Kolaboratif
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya
keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik.
Pengobatan Rumat
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko berulangnya
kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah,
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, oleh karena itu pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif
dan dalam jangka pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40–50% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutama
pada usia kurang dari 2 tahun, valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis valproic acid 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital
3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.
Tambahan untuk peran orang tua dalam mengatasi anak dengan kejang demam,
yaitu:
1. Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien, lepaskan pakaian yang
mengganggu pernapasan (misal: ikat pinggang dan lain sebagainya)
2. Bila suhu tinggi berikan kompres.
3. Setelah pasien bangun dan sadar, berikan minum hangat.
Segera setelah kejang berhenti, rawatlah anak dengan penuh kasih sayang
dan buatlah ia nyaman, karena walupun ia tidak menyadari apa yang terjadi
padanya selama beberapa menit yang lalu, ia akan merasa bingung dan takut.
Segera setelah anak tenang ukur dan catat suhu tubuhnya. Tindakan selanjutnya
adalah mendinginkannya, longgarkan pakaiannya, buka jendela, dan berikan ia
minuman dingin.
Jika demamnya tidak terlalu tinggi serta ia mengalami ketidaknyamanan
karena hal ini, isi sedikit bak mandi dengan air dingin. Dirikan dia di dalam bak
ini dan usapkan air di dalam bak padanya. (Hidayat, 2008)
H. Prognosis
Berikut beberapa prognosis dari terjadinya kejang demam pada anak-anak:
1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif
melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini
biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik
umum atau fokal.
2. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
4. Kejang terjadi selama suhu meningkat secara cepat daripada setelah suhu
meningkat namun bertahap
ASUHAN KEPERAWATAN
Masalah keperawatan
a. Potensial terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi.
b. Potensial terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi
otot
c. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi yang ditandai :
1. Suhu meningkat
2. Anak tampak rewel
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi
yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.
Perencanaan
Diagnosa Keperawatan :
Potensial terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
2. Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
3. Nadi 110 – 120 x/menit (bayi)
100-110 x/menit (anak)
4. Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi)
24 – 28 x/menit (anak)
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
2. Berikan kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduksi
3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan
dilakukan.
5. Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan
panas.
6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis
Potensial terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
Rencana Tindakan :
4. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang
rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
Rasional : meningkatkan keamanan klien.
3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika
kontrol otot volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit,
RR : 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
Rencana Tindakan :
1. Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan
pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.
2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
3. Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu
lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau
dinginnya tubuh.
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan
tidak dapat menyerap keringat.
6. Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional : Penyediaan udara bersih.
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum
Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh
meningkat.
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.
Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3. keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
kebenaran informasi yang didapat.
2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu
menambah wawasan keluarga
3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah
kejang demam, antara lain :
1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
3. Kepala dimiringkan.
4. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu
dimasukkan ke mulut.
5. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu
sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak
minum
7. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri
dalam mengatasi masalah kesehatan.
5. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak
panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang
ulang.
6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan
menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga
tidak mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang
7. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar
memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
menderita kejang demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat
menyebabkan kejang demam
Evaluasi
NO. Diagnosa/Masalah Evaluasi
1. Potensial kejang berulang berhu-bungan Klien tidak mengalami kejang selama 2x24
dengan hiperthermi. jam.
2
Potensial terjadi trauma fisik Kriteria :
3.
berhubungan kurangnya koordina-si otot. - Tidak terjadi serangan ulang
- Suhu : 36 – 37,5 º C
4. Gangguan rasa nyaman berhu-bungan
- N : 100 – 110 kali/menit
dengan hiperthermi.
- Kesadaran : composmentis
Kriteria :
- Tanda vital :
Suhu : 36 – 37,5ºC
N : 100 – 110 kali/ menit
RR : 24 – 28 kali/menit
- Kesadaran : composmentis
- Anak tidak rewel
A. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua
kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang
diberikan oleh hughlings Jackson pada abad ke-19. Epilepsi adalah istilah untuk
cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu,
mendadak dan sangat cepat. Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan
paroksismal dimana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan
penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik (Safitri Amalia, dkk., 2008).
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi
otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, aau
psikis yang abnormal. Epilepsy merupak akibat dari gangguan otak kronis dengan
serangan kejang spontan yang berulang (Satyanegara, 2010)
B. Klasifikasi Epilepsi
Menurut Satyanegara (2010), epilelepsi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Kejang umum atau generalisata
b. Kejang parsial
c. Kejang lain (yang tidak terkelompokkan)
Klasifikasi kejang menurut Ashari (2012), yaitu:
a. Kejang parsial, meliputi:
1) Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran). Yaitu dengan
tanda motorik, kumpulan gejala sensorik, tanda atau kumpulan gejala
autonom dan kumpulan gejala psikis.
2) Kejang parsial kompleks (lobus temporalis atau kejang psikomotorik;
gangguan kesadaran).
3) Kejang parsial berkembang menjadi kejang umum sekunder (tonik-
klonik, tonik, atau klonik).
a. Kejang umum terdiri dari kejang absant, kejang mioklonik, kejang
tonik, kejang atonik, kejang klonik dan kejang tonik-klonik.
b. Kejang tidak teridentifikasi (dikarenakan data yang tidak lengkap).
C. Etiologi Epilepsi
Epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya diagnosis
ini mengharuskan dicarinya penyebab, walaupun dua pertiga kasus idiopatik, jadi
penyebabnya tak dapat ditentukan. Sebagian besar memiliki kecenderungan untuk
terus-menerus mengalami episode perubahan gerakan, fenomenan sensoris, dan
perilaku ganjil, biasanya disertai dengan perubahan kesadaran. Adanya episode
tunggal tanpa pemicu tidak cukup untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Pasien
dengan kecenderungan epilepsi cenderung mengalami serangan stereotipik (David
Rubenstein, dkk., 2007).
Banyak pasien yang datang setelah mengalami ‘serangan kejang’
sesungguhnya hanya mengalami episode tak sadar. Penting untuk
mempertimbangkan dan menyingkirkan keadaan lain yang seringkali dikelirukan
sebagai epilepsi (David Rubenstein, dkk., 2007).
Etiologi kejang pada anak menurut Perry, et. al. (2010):
Kejang akut, meliputi:
a. Demam yang berulang
b. Infeksi intrakranial
c. Pendarahan intrakranial
d. Edema cerebral akut
e. Racun
f. Tetanus
g. Encephalopathy
h. Perubahan metabolik tubuh
i. Obat-obatan
j. Anoxia
Kejang kronis, meliputi:
a. Idiopatik epilepsi
b. Epilepsi sekunder
c. Uremia
d. Alergi
e. Disfungsi kardiovaskuler
f. Migrain
D. Patofisiologi Epilepsi
Menurut Muttaqin A. (2008), patofisiologi epilepsi disebabkan karena
adanya gangguan aktivitas listrik dan sel saraf pada bagian otak. Sehingga
mengakibatkan adanya muatan listrik yang tidak normal, berlebihan yang terjadi
secara berulang dan tidak terkontrol. pada tingkat membran, neuron epileptik
ditandai oleh adanya ketidakstabilan membran sel saraf. Sehingga neuron mudah
terangsang secara berlebihan. Ini akan menyebabkan kondisi tidak terkendali yang
menyebabkan pelepasan impuls yang tidak diinginkan, dan seseorang dikatakan
epilepsi. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan
konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.
Kejang sederhana yang ditimbulkan dapat mengaktifkan peka rangsang
sehingga menyebabkan kejang berulang yang berakibat risiko tinggi cedera dan
penurunan kesadaran serta juga dapat menyebabkan gangguan perilaku, alam
perasaan, sensasi dan persepsi. Sedangkan kejang memanjang tanpa perbaikan
kesadaran penuh dapat memberikan status epileptikus. Status ini akan
menimbulkan kebutuhan metabolik yang dapat menyebabkan adanya gangguan
pernapasan. Sehingga dapat menyebabkan hipoksia otak dan edema serebral yang
akhirnya terjadi kerusakan otak permanen.
Sedangkan patofisiologi menurut Carlson, Karen K. (2009) kejang adalah
hasil dari ketidakseimbangan neurotransmiter di CNS, reseptor N-Metil-D-
aspartat (NMDA) diaktifkan oleh rangsang yang neurotransmiter glutamat dan
diyakini membutuhkan untuk penyebaran aktivitas kejang. Gamma-aminobutyric
acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibisi utama dan bertanggung jawab atas
penghentian normal kejang. Kejang yang berkelanjutan akan mengakibatkan
reseptor GABA berubah dan menjadi lebih rentan terhadap efek agonis GABA
dari beberapa obat. Perubahan ini dalam fungsi neurotransmitter meletakkan dasar
dasar untuk pilihan dan penggunaan agen farmakologis untuk status Epilepsi.
Kejang yang berkelanjutan menyebabkan hilangnya neuron selektif di daerah
rawan seperti hippocampus, korteks, dan thalamus. Status Epilepsi adalah keadaan
darurat medis utama yang terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Ini memiliki potensi untuk menyebabkan cedera baik karena stres
metabolik kejang otot berulang dicatat dalam GCSE dan karena aktivitas neuron
yang intens dalam SSP. Neuronal kematian dapat terjadi setelah 30 sampai 60
menit dari aktivitas kejang terus menerus, dan semakin lama episode Status
Epilepsi terus menerus, semakin besar kerusakan saraf.
Awalnya, tuntutan metabolik meningkat dari otak untuk glukosa dan
oksigen terpenuhi oleh peningkatan kompensasi dalam produksi katekolamin
dengan peningkatan berikutnya tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung.
Setelah sekitar 30 menit dari aktivitas kejang, mekanisme ini kompensasi yang
sama dapat menjadi berbahaya dan menyebabkan gejala sisa sementara atau
permanen. Autoregulasi serebral menjadi terganggu karena ada peningkatan
kesulitan dalam memenuhi tuntutan metabolisme otak. Rhabdomyolysis
menyebabkan asidosis laktat dan penurunan pH serum. Sebagai aktivitas kejang
berlangsung sehingga tekanan darah turun, pada gilirannya menyebabkan
penurunan perfusi serebral dan oksigen dan glukosa pasokan ke otak. Kadar
glukosa darah akhirnya menyebabkan peningkatan produksi insulin dan
hipoglikemia.
Hipertermia adalah umum selama Epilepsi dan umumnya merupakan hasil
dari aktivitas kejang daripada proses infeksi. Asam laktat terakumulasi, dan
glukosa dan kadar bikarbonat menurun. Asidosis metabolik dan hiperglikemia
dapat berkembang sebagai konsekuensi dari rhabdomyolysis dan dapat
menyebabkan disritmia jantung. Hipoksia hasil dari peningkatan metabolisme dan
kebutuhan oksigen saraf. Kombinasi hipoksia, hipoglikemia dan kimia hasil
perubahan sinaptik kerusakan saraf. Selain itu, hasil pasien mungkin akan lebih
terganggu oleh pneumonitis resultan aspirasi, edema paru neurogenik, dan gagal
pernafasan.
Menurut Deborah Melati, dkk. (2014) secara umum kejang terjadi apabila
neuron-neuron dalam area otak teraktivasi dengan cara sinkronisasi. Aktivasi
fokal sekelompok neuron kemudian menyebar ke neuron sekitarnya dan neuron-
neuron jauh dalam aktivasi abnormal. Terjadinya suatu kejang melibatkan
berbagai macam aspek selular atau biokimiawi seperti gangguan fungsi kanal ion,
level neurotransmitter, fungsi reseptor neurotransmitter, atau metabolisme energi
yang mengganggu eksitabilitas neuron sehingga meimbulkan kejang. Secara
umum, depolarisasi diperantarai oleh neurotransmitter eksitatori yaitu glutamat
dan aspartat. Peningkatan efektivitas sinaptik terjadi akibat meningkatnya ambilan
reseptor NMDA sehingga terjadi influks kalsium kedalam sel dan peningktan
eksitabillitas sel. Ketika proses eksitatori meningkat terjadi reduksi simultan
sirkuit inhibisi sehingga manifestasi kejang berlangsung.
Menurut Muttaqin A. (2008), adanya predisposisi yang memungkinkan
gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan
menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal,
berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan
epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan
oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesenfelon, thalamus, dan korteks
serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenic, sedangkan lesi pada serebelum
dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membrane sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa di antaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf
sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang
menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal
terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah epilepsi. Gerakan-
gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan
konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran. Status epilepticus
menimbulkan kebutuhan metabolic besar dan dapat memengaruhi pernapasan.
Terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang yang
menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak. Episode berulang anoksia dan
pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tak
reversible dan fatal. Factor-faktor yang mencetuskan status epilepticus meliputi
gejala putus obat antikonvulsan, demam, dan infeksi penyerta.
F. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT scan digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskular abnormal, dan perubahan degeneratif serebral.
b. Elektroensefalogram (EEG) melengkapi bukti diagnostik dalam proporsi
substansial dari klien epilepsi dan membantu dalam mengklasikasikan tipe
kejang. Keadaan abnormal pada EEG selalu terus-menerus terlihat di
antara kejang, atau jika letupan muncul mungkin akibat dari hiperventilasi
atau selama tidur.
A. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi
a. Identifikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya
cedera
b. Pantau status neurologis setiap 8 jam
c. Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
d. Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
e. Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
f. Pasang penghalang tempat tidur pasien
g. Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
h. Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
i. Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat
terjadi kejang
j. Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa
saat sebelum kejang
k. Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
l. Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang
m. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam diharapkan bersihan
jalan nafas klien efektif dengan kriteria hasil :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas efektif
b. Menunujukkan status pernapasan : kepatenan jalan nafas , yang dibuktikan oleh
indicator: kemudahan bernafas, frekuensi dan irama pernafasan baik, pergerakan
sputum keluar dari jalan nafas, pergerakan sumbatan keluar dari jalan nafas
Intervensi :
Airway Suctioning (3160)
1) Lakukan auskultasi bunyi nafas sebelum dan sesudah penyedotan
2) Menginformasikan pasien dan keluarga tentang penyedotan
3) Aspirasi nasofaring dengan semprotan atau perangkat hisap, sewajarnya
4) Masukkan napas hidung untuk memudahkan suction nasotrakeal
Diagnosa :
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kehilangan kontrol otot terkait
dengn kejang
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 × 24 jam, anak akan
mempertahankan pola napas yang normal dengan kriteri hasil :
Domain II kelas E
Respiratory Status : Airway Patency
RR : 5
Saturasi Oksigen : 5
Kedalaman Inspirasi : 5
Penggunaan otot asesoris : 5
Intervensi
Airway Management (3140)
1. Posisikan pasien dengan potensi ventilasi maksimal
2. Monitor pernapasan dan status oksigenasi
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam perfusi jaringan otak
klien dapat dipertahankan secara adekuat dibuktikan dengan kriteria hasil :
a. Peningkatan sensori ( 5 )
b. Perbedaan rangsang ( 5 )
c. Tidak parestesia ( 5 )
d. Tidak hiperparesia ( 5 )
Intervensi
1.Monitor status neurologi setiap hari
2. Monitor tanda – tanda vital tiap hari
3. Evaluasi pupil, ukuran , bentuk kesamaan , respon terhadap cahaya
4. Kaji perubahan penglihatan kabur, lapang pandang menurun
5. Beri tirah baring dan lingkungan yang nyaman
6. Cegah mengejan saat BAB dan menahan nafas
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2
DAFTAR PUSTAKA