KELAS X
Puji syukur kepada Tuhan YME. atas rahmat yang diberikan olehnya
sehingga kita dapat melaksanakan segala aktivitas dengan baik. Dengan ini saya
akan memberikan suatu rangkuman novel yang berjudul “LASKAR PELANGI”.
Tugas rangkuman novel ini diberikan agar saya mampu merangkum suatu
isi dari novel dan dapat diambil suatu pelajaran hidup bagi kita semua. dan tugas
ini juga diberikan agar saya mampu mengerjakan suatu kewajiban yaitu
menyelesaikan tugas dengan baik.
Sedikit isi dari novel yang saya rangkum ini adalah, novel ini
menceritakan tentang sekelompok pemuda yang terdiri dari sepuluh orang.
mereka sangat bersahabat perkumpulan pemuda itu diberi nama “LASKAR
PELANGI”.
Bercerita tentang sepuluh pemuda yang bersekolah di SD Muhammadiyah
Belitong. Tetapi sekolah mereka siswa. Untuk penjelasan lebih detail, akan saya
rangkum pada halaman selanjutnya. mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk kita
semua hanya dapat menampung sepuluh siswa. Sebelumnya hanya ada mungkin
sembilan atau sebelas.
Hormat Saya
(Dhea Nailea Allysa)
Judul Novel: Laskar Pelangi
Pengarang: Andrea Hirata
ISBN 979-3062-79-7
Sinopsis Novel:
Cerita dari sebuah daerah di Belitung, yakni di SD Muhammadiyah. Saat
itu menjadi saat yang menegangkan bagi anak-anak yang ingin bersekolah di SD
Muhammadiyah. Kesembilan murid yakni, Ikal, Lintang, Sahara, A Kiong,
Syahdan, Kucai, Borek, Trapani tengah gelisah lantaran SD Muhammadiyah akan
ditutup jika murid yang bersekolah tidak genap menjadi 10. Mereka semua sangat
cemas. SD Muhammadiyah adalah SD islam tertua di Belitung, sehingga jika
ditutup juga akan kasihan pada keluarga tidak mampu yang ingin menyekolahkan
anak-anak mereka. Di sinilah anak-anak yang kurang beruntung dari segi materi
ini berada.
Saat semua tengah gelisah datanglah Harun, seorang yang keterbelakangan
mental. Ia menyelamatkan ke sembilan temannya yang ingin bersekolah serta
menyelmatkan berdirinya SD Muhammadiyah tersebut. Dari sanalah dimulai
cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan
Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah
cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian
bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh
Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama
Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang
pergi dari rumahnya ke sekolah.
Semua kejadian tersebut sangat menghiasi kehidupan kesepuluh anak yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Bu Mus yang meupakan
guru terbaik yang mereka milikilah yang telah memberikan nama tersebut untuk
mereka. Karena bu Mus tahu mereka semua sangat menyukai pelangi. Saat susah
maupun senang mereka lalui dalam kelas yang menurut cerita pada malam harinya
kelas tersebut sebagai kandang bagi hewan ternak. Di SD Muhammadiyah itulah
Ikal dan kawan-kawannya memiliki segudang kenangan yang menarik.
Seperti saat kisah percintaan antara Ikal dan A Ling. Awalnya Ikal
disuruholeh Bu Mus untuk membeli kapur di tokoh milik keluarga A Ling. Ia
jatuh cinta pada kuku A Ling yang indah. Ia tidak pernah menjumpai kuku
seindah itu. Kemudian ia tahu bahwa pemilik kuku yang indah tersebut adalah A
Ling, Ikal pun jatuh cinta padanya. Namun, pertemuan mereka harus di akhiri
lantaran A Ling pindah untuk menemani bibinya yang sendiri.
Kejadian tentang Mahar yang akhirnya mnemukan ide untuk perlombaan
semacam karnaval. Mahar menemukan sebuah ide untuk menari dalam acara
tersebut. Mereka para laskar pelangi menari sperti orang kesetanan, hal tersebut
dikarenakan kalung yang mereka kenakan dari buah yang langkah dan hanya ada
di Balitong, merupakan tanaman yang membuat seluruh badan gatal. Alhasil
mereka pun menari layaknya orang yang tengah kesurupan. Namun berkat semua
itu akhirnya SD Muhammadiyah dapat memenagkan perlombaan tersebut.
Namun, pada suatu ketika datanglah Flo, seorang anak yang kaya
pindahan ari SD PN, ia masuk dalam kehidupan laskar pelangi. Sejak kedatangan
Flo di SD Muhammadiyah tersebut yang membawa pengaruh buruk bagi teman-
temannya terutama Mahar, yang duduk satu bangku dengan Flo. Sejak kedatangan
anak tersebut nilai Mahar seringkali jatuh dan jelek sehingga membuat bu Mus
marah dan kecewa.
Hari-hari mereka selalu dihiasi dengan canda dan tawa maupun tangis.
Namun di balik semua kecerian mereka, ada seorang murid yang benama Lintang
yakni anggota laskar pelangi yang perjuangannnya terhadap pendidikan perlu di
acungi jempol. Ia rela menempuh jarak 80 km untuk pulang dan pergi dari
rumahnya ke sekolah hanya untuk agar ia bisa belajar. Ia tidak pernah mengeluh
meski saat perjalanan menuju sekolahnya ia harus melewati sebuah danau yang
terdapat buaya di dalamnya. Lintang merupakan murid yang sangat cerdas.
Terbukti saat ia, Ikal, dan juga Sahara tengah berada pada sebuah perlombaan
cerdas cermat. Ikal dapat menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah
kaya PN yang berijazah dan terkenal, dengan jawabannya yang membuat ia
memenangkan lomba cerdas cermat.
Namun sayang, semua kisah indah laskar pelangi harus diakhiri dengan
perpisahan seorang Lintang yang sangat jenius tersebut. Lintangdan awan-kawan
membuktikan bahwa bukan karena fasilitas yang menunjang yang akhirnya dapat
membuat seseorang sukses maupun pintar, namun kemauan dan kerja keraslah
yang dapat mengabulkan setiap impian. Beberapa hari kemudian, setelah
perlombaan tersebut Lintang tidak masuk sekolah dan akhirnya mereka kawan-
kawan Lintang dan juga bu Mus mendapatkan surat dari Lintang yang isinya,
Lintang tidak dapat melnjutkan sekolahnya kembali karena ayahnya meninggal
dunia. Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah kesedihan yang mendalam bagi
anggota laskar pelangi.
Beberapa tahun kemudian, saat mereka telah beranjak dewasa, mereka
semua banyak mendapat pengalaman yang berharga dari setiap cerita di SD
Muhammadiyah. Tentang sebuah persahabatan, ketulusan yang diperlihatkan dan
diajarkan oleh bu Muslimah, serta sebuah mimpi yang harus mereka wujudkan.
Ikal akhirnya bersekolah di Paris, sedangkan Mahar dan teman-teman lainnya
menjadi seseorang yang dapat membanggakan Belitung.
Dan rangkuman dari novel ini adalah sebagai berikut:
Bab 1
Pagi itu hari pertama masuk SD. Aku duduk di depan sebuah kelas.
Ayahku duduk di sampingku. Dibangku panjang itu ada anak dan orang tua yang
mendaftar ke sekolah SD Muhammadiyah.Diujung kursi ada pintu yang terbuka.
Mereka adalah K.A.Harfan Efendy Noer, kepala sekolah. Dan ibu N.A.Muslimah
Hafsari atau Bu Mus seorang guru muda berjilbab.
Namun, Bu Mus terlihat gelisah dan cemas. Ia menghitung banyak siswa
berulang-ulang, tetapi masih sembilan anak. Pada saat itu aku cemas dan
semangatku untuk sekolah menurun. Ayahku pun begitu cemas
Setelah menunggu sampai pukul sebelas lewat lima menit. Namun, ketika
Pak Harfan mengucapkan Assalamu’alaikum, Trapani berteriak memanggil nama
Harun. Harun pria jenaka yang sudah berusia lima belas tahun dan terbelakang
mentalnya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami bersorak gembira, karena
SD Muhammadiyah tidak jadi di tutup.
Bab 2
Antedilivium
Bab 3
Inisiasi
Bab 4
Perempuan-Perempuan Perkasa
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau biasa di
panggil Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya K.A. Abdul
Hamid,pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong untuk mengobarkan
pendidikan Islam. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja
menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup
dirinya dan adik-adiknya.
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki
pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri pelajaran Budi Pekerti dan
pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi.
Karena masih kecil, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak
seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah bocor saat musim hujan.
Beliau tak menanggapi keluhan itu. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah
pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
Bab 5
Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600
tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning
berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut.
Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.
Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja
Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung
yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil
timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia
menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa
jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat
dimonopoli.
Bab 6
Gedong
Bab 7
Zoom Out
Bab 8
Center of Excellence
Bab 9
Pagi itu Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok
dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membeli kertas kajang di pasar.
Dengan polos dan tahu diri bahwa sandal dan bajunya buruk, sambil melipat
karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. Mengesankan dirinya
kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di
mata kami. Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu.
Maka sepatuku yang seperti sepatu bola kupinjamkan padanya. Borek rela
menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Seperti Lintang, Syahdan yang
miskin juga anak orang nelayan. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di
PN Timah. Seperti halnya A Kiong, tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya,
yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-lakinya
itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena kelurga Hokian itu,
yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Meskipun
wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada
Sahara.
Namun, pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan
berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau
menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Ia kekurangan
gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias
rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20
derajat. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami
ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu
menyebalkan karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik.
Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan, namun setiap
kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai
pun luluh dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Mendapati dirinya sebagai
seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggung jawaban setelah mati nanti,
ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena ia berdiri dan berdalih
secara diplomatis.
Kucai tampak emosional, tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan
napasnya tesengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah
dipendamnya bertahun-tahun. Bu Mus juga terkejut, beliau ingin bersikap
seimbang maka beliau menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang
kami inginkan. Kucai senang sekali. Suasana menjadi tegang menunggu detik-
detik penghitungan suara. Kucai terkulai lemas, karena ia masih menjadi ketua
kelas kami.
Trapani atau si rapi jali adalah maskot kelas kami, berwajah seindah
rembulan. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan
kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa,
cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan
pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Ia sangat berbakti kepada
kedua orang tuanya, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan,
dan selalu menduduki peringkat tiga.
Bodenga
Pagi itu Lintang terlambat masuk kelas. Dia tidak bisa melintas, karena
seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalanginya di tengah
jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa dimintai bantuan. Dia hanya berdiri
mematung, dan berbicara dengan dirinya sendiri. Buaya sebesar itu takkan mampu
menyerangnya dalam jarak lima belas meter, buaya itu lamban pasti kalah
langkah. Lintang maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan,
berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar buaya merayap pergi. Tapi buaya
itu bergeming, ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya
memperlihatkan dia penguasa rawa itu. Walaupun lebih dari setengah perjalanan
Lintang tak kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh itu, tak ada kata bolos
dalam kamusnya.
Dalam jarak dua belas meter, Lintang hanya sendirian. Jika ada orang lain
ia berani lebih frontal. Lintang tidak berani lebih dekat, buaya itu menganga dan
bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan. Ia diam menunggu, tak ada
jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Lintang mulai frustasi, suasana
sunyi senyap, yang ada hanya ia dan buaya ganas yang egois, dan intaian maut.
Tiba-tiba dari arah samping ia mendengar riak air, Lintang terkejut dan
takut. Menyeruak diantara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada,
seorang laki-laki seram naik dari rawa. Laki-laki itu menghampiri Lintang,
kakinya bengkok seperti huruf O. Laki-laki itu adalah Bodenga. Lintang lebih
takut padanya daripada buaya mana pun. Pria itu tak mau dikenal orang tapi
sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa yang tak kenal dia.
Dia melewati Lintang seperti Lintang tidak ada dan dia melangkah tanpa
ragu mendekati binatang buas itu. Dia menyentuh buaya itu, menepuk-nepuk
lembut kulitnya sambil mengumamkan sesuatu. Buaya itu seperti takluk,
mengibas-ngibaskan ekornya. Dari permukaan air yang bening jelas ia lihat
binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong
sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air.
Bodenga berbalik ke arah Lintang, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan
ucapan terima kasih. Kenyataannya Lintang tak berani menatap dia, nyalinya
runtuh. Tapi Lintang merasa beruntung karena ia telah menyaksikan langsung
kehebatan ilmu buaya Bodenga.
Bodenga kini sebatang kara, satu-satunya keluarga adalah ayahnya yang
buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya, ayahnya seorang
dukun buaya terkenal. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-
kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke
Sungai Mirang. Ayahnya sengaja menggumpan tubuhnya pada buaya-buaya ganas
itu.
Bab 11
Langit Ketujuh
Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia.
Jika ingin menemui kebodohan maka berngkatlah dari tempat di mana saja di
planet biru dengan meggunakan tabung roket atau semacamnya,meluncur keatas
secar vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam
lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembuslapisan ozon,
ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing, serta teruslah melaju menaklukkan
langit ketujuh.
Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di
samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-
kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menjelmakan biji zarah kecerdasan,
zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang. Matanya menyala-
nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya, jarinya tak
pernah berhenti mengacung. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia
paling hebat.
Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah
terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongkak, dia
sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat,
lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungannya
keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya adalah tulisannya yang cakar
ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu
mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
Saat Bu Mus menantang kami di depan kela, dengan soal matematika yang
cukup banyak. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat
segenggam lidi, untuk di kelompok-kelompokkan. Otak terlalu penuh untuk
mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis. Kesalahan fatal
yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan
waktu hampir selama 7 menit.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, hanya
memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. Bu Mus pun
tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. Kami berkecil hati,
termangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari 7 detik, tanpa membuat
catatan apa, tanpa keraguan, tanpa tergesa-gesa, bahkan tanpa berkedip, Lintang
pun berkumandang.Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap
Lintang seolah telah seumur mencari murid seperti ini. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang
melakukan semua itu.
Dan inilah resepnya. Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka
ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian
dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol,
kerjakan sisanya kemudian dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan
membuat telinga tuli dan otak tumpul.Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak
orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan
tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya, ia tak pernah tinggi hati, karena ia
merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada
habis-habisnya.
Bab 12
Mahar
Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-
Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Mahar pula yang
membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD Muhammadiyah.
Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun.
Dikisahkan bahwa wanita pemarah mengupah seorang budak untuk membunuh
Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati
wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti
Hindun. Juga karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah
grup band. Alat-alat musik kami adalahelectone yang dimainkan Sahara, standing
bassyang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta
dua buah rebana yang dipinjamkan dari badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang
dan seruling yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan
sebuah kawat agar seruling dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan
kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan tangan
kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari kirinya menutup-nutup enam
lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Trapani
adalah salah satu daya tarik terbesar bandkami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu
ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah porpol ingin
memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarik massa melalui
iming-iming uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-
mentah. Kami tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu.
Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tak akan menjual kehormatan
kita demi sebuah jam tangan plastik murahan.
Bab 14
Bab 15
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya, dan semakin lebat hujan
itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk
kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati
kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Kami
akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir,
berpura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat
terbang yang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan,
langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.
Yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-
pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah,
kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah dengan kencang.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah sedangkan penumpang di
belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh
paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong mereka penarik pelepah.
Puncak permainan ini adalah ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat
kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di
belokan. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke
arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang
licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur
menyamping dengan tubuh rebah, dengan gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat
menikung aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik.
Karena sudut belokan tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak kan pernah
bisa diselesaikan. Para bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh
jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan
terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di
dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecil-kecil bermunculan.
Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, dan ada rasa pening di bagian
kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar. Lalu aku
mencari-cari Syahdan, ia terbanting agak jauh dariku, tubuhnya telentang,
tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit, dan ia
tak bergerak. Kami menghambur ke arah Syahdan. Karena ia tak bernafas sama
sekali dan ia terpelanting. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat
darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam. Sahara
mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain,
semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil
ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipi Syahdan, aku pegang urat lehernya. Namun
sayang aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani menggoyang-
goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak
bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin. Sahara menangis keras, diikuti oleh
A Kiong. Kami mengigil ketakutan dan Samson mengisyarat agar mengangkat
Syahdan. Tiba-tiba kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Rupanya ia
hanya berpura-pura tewas. Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha
menahan nafas agar kami menyangka ia mati. Lalu kami membalas penipuannya
dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor. Ia terpingkal-pingkal
melihat kami kebingungan, kami pun ikut tertawa. Makin lama tawa kami makin
keras, yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang.
Bab 16
Bab 17
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda laki punya Pak Harfan dan membuat perjanjian, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuah
kuburan Tionghoa. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan
tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustasi. Ditambah lagi satu syarat
cerewet lainnya, yaitu setiap jalan menanjak kami harus turun dari sepeda lalu
sepeda dituntun bergantian dengan jumlah langkah yang diperhitungkan secara
teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak diatas batang sepeda laki
punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar
untuknya sehingga tampak seperti kendaraan yang tak bisa ia kuasai, apalagi
dibebani tubuhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh
sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pandangan itu pasti prihatin sekaligus
tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku
duduk dibelakang, tak acuh pada kesusahannya.
“Turun dulu, tuan raja...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami
menanjak. Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana
seorang penjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun. Termasuk
menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di
kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil
melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan beberapa
wanita muda pujaannya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan
kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan pria kecil
ini.
Kami sampai disebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan ditengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca.
Lelehan lilin merah berserakan disekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud tadi
dalam perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan
roda yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko
busuk itu dan pengaturan bodoh yang kami buat. Aku menggerutu karena rantai
sepeda reyot itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga
mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu
tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang
berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernah adil, dan buat dinamo
sepeda yang longor sehingga gir-nya menempel di ban akibatnya semakin berat
mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan
pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan laguSemalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendengar
ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang
gembira tak alang kepalang. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai
ke pasar. Pulangnya pun berlaku aturan yang sama. Tugas membeli kapur adalah
pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-
satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Sesampainya di sebuah toko yang
sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek. Setelah menunggu sekian lama,
A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak
kapur.
Bab 18
Moran
Bab 19
Miang Sui
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat
duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling
yang berjudul Bunga Krisan. Ketika memasukkan puisi itu ke dalam sampul surat,
aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Aku tak mau ambil
pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak karuan karena pada kotak
kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan: Jumpai aku di acara sembahyang rebut.
Dadaku sesak karena rindu dan marah. Ketika aku akan mengayuh sepeda,
aku mendengar suara yang lembut. Aku berbalik cepat dan terkejut. A Ling
menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari
melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit
setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional.
Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
Bab 21
Rindu
Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau
biasa menerima kiriman majalah syiar Islam dari sebuah kantor Muhammadiyah
di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali!
Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos.Pak Pos tersenyum menggoda.
Beliau mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting. Sekarang aku
paham, kurampas suratku. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu. Aku duduk sendiri
dibawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru ituberisi
puisi yang berjudul Rindu dari A Ling. Malamnya aku tak bisa tidur karena
wajahmu tak mau pergi dari kamarku
Kepala pusing sejak itu...
Siapa dirimu?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....
A Ling
Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu
dengan menaggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku
bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu
biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan
berubah menjadi laki-laki manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang
duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai
seekor buaya terbujur kaku di sampingnya. Ia tampak samar-samar dan terlihat
sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu tampak mendekat, ia menoleh ke
arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik hitam. Hari
itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau
di lapangan, basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah
trauma, dan hari itu, setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga
mengunjungiku.
Bab 22
Bab 23
Billitonite
Senin pagi yang cerah. Sepucuk puisi kertas ungu bermotif kembang api.
Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona
puncak gunung diikat pita rambut biru muda.
Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam
vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah
A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak
itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris
terantuk pada kaleng-kaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat
tangan yang menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar.
Tangan itu bukan tangan A Ling.
Syahdan mendekatiku yang berdiri terpaku, wajahnya sendu. A Miauw
yang dari tadi memerhatikan dan menghampiriku dengan tenang. Aku terdiam dan
menunduk, tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar
puisi. A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus persis sama dengan
kertas sampul puisiku.
Pukul 09.05.
Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal
penduduk Gedong itu memisahkan diri dari rombongan teman-teman sekelasnya
ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing
kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para
penduduk yang berpengalaman tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang
kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang
melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-
saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya
menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda
dimana ia berada. Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di
kapaI keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin mengkhawatirkan. Kabut tebal yang
menyelimuti gunung sangat menulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang
mulai kelihatan cemas dan putus asa.
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaannya di
tengah hutan rimba gunung itu. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik.
Malam pun turun. Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam
gelap gulita rimba.
Di tengah kepanikan ada kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang
mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang
terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula.
Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti,
biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.
Rencana B
Be There or Be Damned!
Flo dipersilakan duduk dengan Sahara oleh Bu Mus. Sahara senang karena
selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Tapi di luar
dugaan ternyata Flo tak beranjak. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan
tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil
keputusan yang sulit. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar.
Dunia gelap yang memicu Flo dan itu juga salah satu tujuannya mendekati
Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi
memosisikan diri sebagai murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan.
Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para
penggemar paranormal. Karena organisasi sangat sibuk, sehingga mereka
membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara.
Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya, meskipun tidak
ada honornya sepeser pun. Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah
buku register. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan rahasia. Seperti sore ini
misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya:
Be there or be damned!
Bab 27
Detik-Detik Kebenaran
Bab 28
Societeit de Limpai
Pulau Lanun
Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit
berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan
karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Mereka sadar bahwa mereka
menghadapitrade off, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah
atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun
godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka
tidak ingin meninggalkan keduanya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi
mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Seluruh anggota
Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.
Mereka mempersiapkan diri dengan teliti karena perjalanan ke Pulau Lanun tak
mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan
kemampuan paling tidak 40 PK, dan juga seorang nahkoda berpengalaman.
Mereka semuanya dan juga aku serta orang-orang yang ingin ikut ke Pulau Lanun
harus merelakan barang-barang berharganya. Ketika uang patungan digelar di atas
meja gaple terkumpul sebanyak Rp 1,5 juta.
Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nahkoda
akhirnya pas tengah hari kami berangkat. Pada awalnya perjalanan cukup lancar,
cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, menjelang sore angin bertiup
sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk
mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Sebuah
gelombang yang dahsyat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara
seperti papan patah. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan
lautan buih putih meluap-luap mengerikan.
Bab 30
Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku
melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Kelas tak sama
tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan
menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat
tinggal Lintang.
Bab 31
Zaal Batu
Maka inilah aku sekarang. Karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir,
bagian kiriman peka waktu, shif pagi, yang bekerja mulai subuh. Eryn Resvaldya
Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik
hati. Usianya 21 tahun. Ia mahasiswa universitas paling bergengsi di Indonesia di
kawasan Depok, jurusan psikologi. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat
Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar
dari sinar matanya.
Saat itu Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali
ditolak. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan
mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas
pemenangaward. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan
ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi, dari sebuah rumah sakit
jiwa di Sungai Liat, Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Ia merampas surat
dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-loncat gembira. Eryn
memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Kami sekalian
pulang kampung setelah ia riset. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.
Mungkin zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu.
Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar
bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Setelah melewati selasar kami
berhadapan dengan sebuah pintu teruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan
digembok. Kami terhenti disitu. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh
menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Suasana di
situ mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi
kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.
Aku yang keluar terakhir menutup pintu itu. Tepat pada saat aku
terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku. Kami saling
berpandangan. Salah seorang dari pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar
gagang pintu dan menghambur ke dalam. Aku mengenal dengan baik kedua anak
beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.
Bab 32
Agnostik
Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata
mendukungku. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu
kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara. Setelah membaca buku
itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima
pelajaran-pelajaran baru. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu
karena aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar
Pelangi, Sekoalh Muhammadiyah, dan Herriot.
Anakronisme
Bab 34
Gotik
Aku bangga duduk di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu
yang selalu menimbulkan rasa iri yaitu Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor
Aziz Panelis. Terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumaidi
Ahlan bin Zubair bin Awam. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel
tentang persahabatan yang sangat indah.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.
Ada juga Kucai, sekarang ia adalah Drs.Mukharam Kucai Khairani. Ia menjadi
seorang ketua fraksi di DPRD Belitong. Mahar berniat mengembalikan nama-
nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat.Tapi lebih dari
semua itu aku rindu pada Ikal. Ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai
mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di
rantau orang. Aku melihat seorang pria yang sangat gagah. Ia menenteng plastik
kresek belanjaan, berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya.
Aku kenal pria ganteng itu adalah Trapani. Aku terkenang lima belas tahun yang
lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk
merantau ke Jawa. Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak mampu
meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya sangat ramah. Beliau menyatakan rindu
kepada kami. Kucai berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga
serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambulnya kacau
balau. Kucai berulang kali meminta maaf pada ibu Ikal bukan pada Mahar, tapi
wajahnya mengangguk-angguk menghadap ke Nur Zaman.
TERIMA KASIH.