Anda di halaman 1dari 51

TUGAS PERBAIKAN NILAI BAHASA INDONESIA

KELAS X

Dhea Nailea Allysa / X IIS A (10)

SMAK SANG TIMUR


Jl. Karmel Raya no. 2
Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME. atas rahmat yang diberikan olehnya
sehingga kita dapat melaksanakan segala aktivitas dengan baik. Dengan ini saya
akan memberikan suatu rangkuman novel yang berjudul “LASKAR PELANGI”.
Tugas rangkuman novel ini diberikan agar saya mampu merangkum suatu
isi dari novel dan dapat diambil suatu pelajaran hidup bagi kita semua. dan tugas
ini juga diberikan agar saya mampu mengerjakan suatu kewajiban yaitu
menyelesaikan tugas dengan baik.
Sedikit isi dari novel yang saya rangkum ini adalah, novel ini
menceritakan tentang sekelompok pemuda yang terdiri dari sepuluh orang.
mereka sangat bersahabat perkumpulan pemuda itu diberi nama “LASKAR
PELANGI”.
Bercerita tentang sepuluh pemuda yang bersekolah di SD Muhammadiyah
Belitong. Tetapi sekolah mereka siswa. Untuk penjelasan lebih detail, akan saya
rangkum pada halaman selanjutnya. mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk kita
semua hanya dapat menampung sepuluh siswa. Sebelumnya hanya ada mungkin
sembilan atau sebelas.

Hormat Saya
(Dhea Nailea Allysa)
Judul Novel: Laskar Pelangi
Pengarang: Andrea Hirata
ISBN 979-3062-79-7

Sinopsis Novel:
Cerita dari sebuah daerah di Belitung, yakni di SD Muhammadiyah. Saat
itu menjadi saat yang menegangkan bagi anak-anak yang ingin bersekolah di SD
Muhammadiyah. Kesembilan murid yakni, Ikal, Lintang, Sahara, A Kiong,
Syahdan, Kucai, Borek, Trapani tengah gelisah lantaran SD Muhammadiyah akan
ditutup jika murid yang bersekolah tidak genap menjadi 10. Mereka semua sangat
cemas. SD Muhammadiyah adalah SD islam tertua di Belitung, sehingga jika
ditutup juga akan kasihan pada keluarga tidak mampu yang ingin menyekolahkan
anak-anak mereka. Di sinilah anak-anak yang kurang beruntung dari segi materi
ini berada.
Saat semua tengah gelisah datanglah Harun, seorang yang keterbelakangan
mental. Ia menyelamatkan ke sembilan temannya yang ingin bersekolah serta
menyelmatkan berdirinya SD Muhammadiyah tersebut. Dari sanalah dimulai
cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan
Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa di mana A Kiong yang malah
cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian
bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh
Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama
Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang
pergi dari rumahnya ke sekolah.
Semua kejadian tersebut sangat menghiasi kehidupan kesepuluh anak yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Bu Mus yang meupakan
guru terbaik yang mereka milikilah yang telah memberikan nama tersebut untuk
mereka. Karena bu Mus tahu mereka semua sangat menyukai pelangi. Saat susah
maupun senang mereka lalui dalam kelas yang menurut cerita pada malam harinya
kelas tersebut sebagai kandang bagi hewan ternak. Di SD Muhammadiyah itulah
Ikal dan kawan-kawannya memiliki segudang kenangan yang menarik.
Seperti saat kisah percintaan antara Ikal dan A Ling. Awalnya Ikal
disuruholeh Bu Mus untuk membeli kapur di tokoh milik keluarga A Ling. Ia
jatuh cinta pada kuku A Ling yang indah. Ia tidak pernah menjumpai kuku
seindah itu. Kemudian ia tahu bahwa pemilik kuku yang indah tersebut adalah A
Ling, Ikal pun jatuh cinta padanya. Namun, pertemuan mereka harus di akhiri
lantaran A Ling pindah untuk menemani bibinya yang sendiri.
Kejadian tentang Mahar yang akhirnya mnemukan ide untuk perlombaan
semacam karnaval. Mahar menemukan sebuah ide untuk menari dalam acara
tersebut. Mereka para laskar pelangi menari sperti orang kesetanan, hal tersebut
dikarenakan kalung yang mereka kenakan dari buah yang langkah dan hanya ada
di Balitong, merupakan tanaman yang membuat seluruh badan gatal. Alhasil
mereka pun menari layaknya orang yang tengah kesurupan. Namun berkat semua
itu akhirnya SD Muhammadiyah dapat memenagkan perlombaan tersebut.
Namun, pada suatu ketika datanglah Flo, seorang anak yang kaya
pindahan ari SD PN, ia masuk dalam kehidupan laskar pelangi. Sejak kedatangan
Flo di SD Muhammadiyah tersebut yang membawa pengaruh buruk bagi teman-
temannya terutama Mahar, yang duduk satu bangku dengan Flo. Sejak kedatangan
anak tersebut nilai Mahar seringkali jatuh dan jelek sehingga membuat bu Mus
marah dan kecewa.
Hari-hari mereka selalu dihiasi dengan canda dan tawa maupun tangis.
Namun di balik semua kecerian mereka, ada seorang murid yang benama Lintang
yakni anggota laskar pelangi yang perjuangannnya terhadap pendidikan perlu di
acungi jempol. Ia rela menempuh jarak 80 km untuk pulang dan pergi dari
rumahnya ke sekolah hanya untuk agar ia bisa belajar. Ia tidak pernah mengeluh
meski saat perjalanan menuju sekolahnya ia harus melewati sebuah danau yang
terdapat buaya di dalamnya. Lintang merupakan murid yang sangat cerdas.
Terbukti saat ia, Ikal, dan juga Sahara tengah berada pada sebuah perlombaan
cerdas cermat. Ikal dapat menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah
kaya PN yang berijazah dan terkenal, dengan jawabannya yang membuat ia
memenangkan lomba cerdas cermat.
Namun sayang, semua kisah indah laskar pelangi harus diakhiri dengan
perpisahan seorang Lintang yang sangat jenius tersebut. Lintangdan awan-kawan
membuktikan bahwa bukan karena fasilitas yang menunjang yang akhirnya dapat
membuat seseorang sukses maupun pintar, namun kemauan dan kerja keraslah
yang dapat mengabulkan setiap impian. Beberapa hari kemudian, setelah
perlombaan tersebut Lintang tidak masuk sekolah dan akhirnya mereka kawan-
kawan Lintang dan juga bu Mus mendapatkan surat dari Lintang yang isinya,
Lintang tidak dapat melnjutkan sekolahnya kembali karena ayahnya meninggal
dunia. Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah kesedihan yang mendalam bagi
anggota laskar pelangi.
Beberapa tahun kemudian, saat mereka telah beranjak dewasa, mereka
semua banyak mendapat pengalaman yang berharga dari setiap cerita di SD
Muhammadiyah. Tentang sebuah persahabatan, ketulusan yang diperlihatkan dan
diajarkan oleh bu Muslimah, serta sebuah mimpi yang harus mereka wujudkan.
Ikal akhirnya bersekolah di Paris, sedangkan Mahar dan teman-teman lainnya
menjadi seseorang yang dapat membanggakan Belitung.
Dan rangkuman dari novel ini adalah sebagai berikut:

Bab 1

Sepuluh Murid Baru

Pagi itu hari pertama masuk SD. Aku duduk di depan sebuah kelas.
Ayahku duduk di sampingku. Dibangku panjang itu ada anak dan orang tua yang
mendaftar ke sekolah SD Muhammadiyah.Diujung kursi ada pintu yang terbuka.
Mereka adalah K.A.Harfan Efendy Noer, kepala sekolah. Dan ibu N.A.Muslimah
Hafsari atau Bu Mus seorang guru muda berjilbab.
Namun, Bu Mus terlihat gelisah dan cemas. Ia menghitung banyak siswa
berulang-ulang, tetapi masih sembilan anak. Pada saat itu aku cemas dan
semangatku untuk sekolah menurun. Ayahku pun begitu cemas
Setelah menunggu sampai pukul sebelas lewat lima menit. Namun, ketika
Pak Harfan mengucapkan Assalamu’alaikum, Trapani berteriak memanggil nama
Harun. Harun pria jenaka yang sudah berusia lima belas tahun dan terbelakang
mentalnya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami bersorak gembira, karena
SD Muhammadiyah tidak jadi di tutup.

Bab 2

Antedilivium

Bu Mus mendekati setiap orang tua murid di bangku panjang, berdialog


ramah, dan mengabsen murid. Semua telah mendapatkan teman sebangku masing-
masing. Aku duduk bersama Lintang, yang sekolah disini dan pulang pulang pergi
setiap hari naik sepeda empat puluh kilo meter dari rumahnya.

Trapani bersama Mahar karena mereka paling tanpan. Trapani


memandangi jendela,melirik kepada ibunya yang sekali-kali muncul di antara
kepala orang tua lainnya. Borek dan Kucai di dudukkan bersama karena mereka
sama-sama sudah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng
muka Kucai dengan penghapus papan tulis.
Tingkah Borek diikuti oleh Sahara yang sengaja menumpahkan air minum
A Kiong sehingga ia menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dengan
setan. Sahara gadis kecil yang berkerudung memang keras kepala sekali. Tangisan
A Kiong merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.
Bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun
mendatang karena aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah
pensil yang besar belum disurut. Salah satunya ujungnya berwarna merah dan
ujung lainnya biru. Sepertinya ayahnya keliru membelikan pensil itu.
Begitu juga dengan bukunya, juga keliru. Buku bersampul biru tua
bergaris tiga. Hal yang tak akan pernah ku lupakan, bahwa pagi itu aku
menyaksikan anak pesisir melarat teman sebangku memegang pensil dan buku.

Bab 3

Inisiasi

Sekolah kami memiliki enam kelas yang kecil. Pagi untuk SD


Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Sekolah kami kekurangan
guru, bahkan siswa yang datang ke SD Muhammadiyah menggunakan sandal dan
juga tidak punya seragam, serta kotak P3K pun tidak punya. Ketika salah satu dari
kami sakit, guru kami akan memberikan obat yang bertuliskan APC.
Sekolah kami tidak ada yang menjaga karena tidak ada benda berharga
yang layak untuk dicuri. Ketika malam tiba sekolah kami dipakai untuk
menyimpan hewan ternak, atapnya bocor, berdinding papan dan juga berlantai
tanah. Jika dilihat dari kejauhan sekolah kami akan roboh karena tiang-tiang kayu
yang sudah tua.
Pak Harfan bercerita tentang Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang
yang selamat dari banjir, Perang Badar dan juga Zubair bin Awam. Tetapi Pak
Harfan harus mohon diri, satu jam dengannya terasa satu menit. Kami mengikuti
setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas.
Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya yaitu perkenalan dan pada
akhirnya tiba pada giliran A Kiong. Tangisannya telah reda tapi masih terisak.
Ketika diminta kedepan ia senangnya bukan main.Ketika Bu Mus mempersilakan
perkenalan nama dan alamat rumahnya, A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu
dan kemudian tersenyum.
Bapaknya menyeruak diantara kerumunan orang tua lainnya. Namun,
meskipun berulang kali A Kiong ditanya tidak menjawab sepatah kata pun. Ia
terus tersenyum dan hanya tersenyum. Ketika Bu Mus mempersilakan sekali lagi.
Namun, A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum.ia berkali-kali
melirik pada bapaknya. Namun sampai waktu akan berakhir pun A Kiong masih
saja tersenyum. Sampai-sampai Bu Mus membujuknya lagi.
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tidak menjawab. Ia
tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Maka berakhirlah perkenalan di
bulan Februari yang mengesankan itu.

Bab 4

Perempuan-Perempuan Perkasa

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau biasa di
panggil Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya K.A. Abdul
Hamid,pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong untuk mengobarkan
pendidikan Islam. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja
menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup
dirinya dan adik-adiknya.
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki
pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri pelajaran Budi Pekerti dan
pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi.
Karena masih kecil, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak
seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah bocor saat musim hujan.
Beliau tak menanggapi keluhan itu. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah
pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Bab 5

The Tower of Babel

Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600
tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning
berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut.
Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.
Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja
Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung
yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil
timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia
menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa
jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat
dimonopoli.

Bab 6

Gedong

Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah


Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. PN
melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan,
promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding
kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum
berjuis, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong.
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus
Timah. Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak. Di
sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria, setiap rumah memiliki empat
bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar.
Sore itu terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil yang
tertutup rapat berpilar-pilar dia adalah Floriana atau Flo. Dia seorang anak yang
tomboi, salah satu siswa dari sekolah PN, yang sedang les piano. Guru privatnya
sangat bersemangat tapi Flo terkantuk-kantuk tanpa minat.
Bapaknya seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk. Bapak Flo
adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia geram pada tingkah
anaknya dan malu pada sang guru, beliau tak henti-henti memohon pada wanita
Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya. Karena beliau telah memiliki
beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, anak perempuan satu-satunya. Namun
anak perempuannya bersikeras ingin menjadi laki-laki, mungkin pengaruh dari
saudara laki-lakinya.

Bab 7

Zoom Out

Tidak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami adalah kampung


terkaya di Indonesia. Namun jika di zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. Di antara
rumah panggung berdesak-desakan kantor polisi, gudang logistik PN, kantor
polisi, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan
pemerintah yang dibuat sehingga menjadi kosong, tandon air, warung kopi, rumah
gadai, dan rumah suku Sawang.
Keseharian orang pinggiran amat monoton. Pagi yang sunyi menjadi
berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang
10. Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing. Tepat pukul 7 sirine
dibunyikan kembali tanda jam resmi masuk kerja. Pukul 12 sirine kembali
berbunyi sebagai tanda istirahat. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil
mereka bekerja, dan pada pukul 5 sore para kuli kembali pulang ke peraduan,
berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Di sepanjang jalur perdesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-
hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh
orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi
eksploitasi timah. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan
perbedaannya sangat mencolok dibanding kelas di atasnya.

Bab 8

Center of Excellence

Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal


yang terbaik. Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur dengan
rumah bergaya Victoria. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertama.
Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru bergaji mahal,
dan penjaga sekolah.
Murid PN pada umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya
menjadi petinggi di PN. Mereka semua bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar.
Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba kecerdasan, bahkan
sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas
sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan benchmarking, yang seharusnya ilmu
pengetahuan ditransfer dan anak kecil dididik secara ilmiah.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN sebagai sebuah perayaan penuh
sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang
kaya mendaftar. Ketika mendaftar, badan mereka langsung diukur untuk seragam
dan dua macam pakaian olahraga dan juga langsung mendapat kartu perpustakaan.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa. Kalau


sempat berbicara dengan beliau, pembicaraan tentang fasilitas-fasilitas sekolah
PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang muridnya yang telah
menjadi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di
kota atau bahkan di luar negeri. Sekolah kampung tentu saja perguruan
Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.
Laksana the Tower of Babel yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
surga yang di tegakkan bangsa Babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600
tahun lalu. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning
berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
Pantulan cahaya itu adalah citra yang kemilau dari riak-riak gelombang laut.
Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu.
Belitong dalam batas kuarsa eksklusif PN Timah adalah kota praja
Konstantinopel yang makmur. PN Timah adalah penguasa tunggal Pulau Belitung
yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. PN merupakan penghasil
timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia
menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa
jutaan dolar. Lahan eksplotasinya disebut kuasa penambangan dan secara ketat
dimonopoli.

Bab 9

Penyakit Gila No. 5

Pagi itu Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok
dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membeli kertas kajang di pasar.
Dengan polos dan tahu diri bahwa sandal dan bajunya buruk, sambil melipat
karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. Mengesankan dirinya
kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di
mata kami. Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu.

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola kupinjamkan padanya. Borek rela
menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Seperti Lintang, Syahdan yang
miskin juga anak orang nelayan. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di
PN Timah. Seperti halnya A Kiong, tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya,
yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-lakinya
itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena kelurga Hokian itu,
yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Meskipun
wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada
Sahara.
Namun, pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan
berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau
menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Ia kekurangan
gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias
rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20
derajat. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami
ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu
menyebalkan karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik.
Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan, namun setiap
kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai
pun luluh dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Mendapati dirinya sebagai
seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggung jawaban setelah mati nanti,
ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena ia berdiri dan berdalih
secara diplomatis.
Kucai tampak emosional, tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan
napasnya tesengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah
dipendamnya bertahun-tahun. Bu Mus juga terkejut, beliau ingin bersikap
seimbang maka beliau menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang
kami inginkan. Kucai senang sekali. Suasana menjadi tegang menunggu detik-
detik penghitungan suara. Kucai terkulai lemas, karena ia masih menjadi ketua
kelas kami.

Trapani atau si rapi jali adalah maskot kelas kami, berwajah seindah
rembulan. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan
kata-kata yang dipilih dengan baik. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa,
cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan
pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Ia sangat berbakti kepada
kedua orang tuanya, khususnya ibunya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan,
dan selalu menduduki peringkat tiga.

Sahara satu-satunya hawa di kelas kami, ia ramping dan berjilbab.


Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan
di PN. Sifatnya penuh perhatian, kepala batu, dan pintar. Peringkatnya bersaing
ketat dengan Trapani. Sifat lain dari Sahara adalah kejujurannya yang luar biasa
dan benar-benar menghargai kebenaran. Musuh abadi Sahara ialah A Kiong.
Sepertinya mereka dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.

Sebaliknya, Sahara sangat lembut kepada Harun. Harun adalah seorang


pria santun, pendiam, dan murah senyum. Harun selalu menceritakan kucingnya
yang berbelang tiga melahirkan tiga ekor yang berbelang tiga dan tanggal tiga
kemarin. Sahara selalu sabar walaupun Harun menceritakannya setiap hari,
berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas
tiga SMP.
Jika kami naik kelas Harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya
rapor. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada
didalam pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku, Harun adalah
anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa.
Pria kedelapan adalah Borek, aku tak mengerti dari mana ia mendapat
pengetahuan membesarkan otot dada. Ia menarik tanganku berlari menuju
belakang sekolah. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan bola tenis yang dibelah dua.
Namun belum sempat aku berfikir jauh, tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku
dan dengan keras menekankan bola tenis ke dadaku. Bola tenis itu alat bekam
yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.
Di dadaku melingkar bulat merah kehitaman. Ketika ibuku bertanya
tentang dada itu, maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku
sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah aku
mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila. Gila yang no.1 ialah jika
orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan. Dan gila
no.5 adalah gila yang aku buat dengan bola tenis itu.
Bab 10

Bodenga

Pagi itu Lintang terlambat masuk kelas. Dia tidak bisa melintas, karena
seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalanginya di tengah
jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa dimintai bantuan. Dia hanya berdiri
mematung, dan berbicara dengan dirinya sendiri. Buaya sebesar itu takkan mampu
menyerangnya dalam jarak lima belas meter, buaya itu lamban pasti kalah
langkah. Lintang maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan,
berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar buaya merayap pergi. Tapi buaya
itu bergeming, ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya
memperlihatkan dia penguasa rawa itu. Walaupun lebih dari setengah perjalanan
Lintang tak kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh itu, tak ada kata bolos
dalam kamusnya.
Dalam jarak dua belas meter, Lintang hanya sendirian. Jika ada orang lain
ia berani lebih frontal. Lintang tidak berani lebih dekat, buaya itu menganga dan
bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan. Ia diam menunggu, tak ada
jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Lintang mulai frustasi, suasana
sunyi senyap, yang ada hanya ia dan buaya ganas yang egois, dan intaian maut.
Tiba-tiba dari arah samping ia mendengar riak air, Lintang terkejut dan
takut. Menyeruak diantara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada,
seorang laki-laki seram naik dari rawa. Laki-laki itu menghampiri Lintang,
kakinya bengkok seperti huruf O. Laki-laki itu adalah Bodenga. Lintang lebih
takut padanya daripada buaya mana pun. Pria itu tak mau dikenal orang tapi
sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa yang tak kenal dia.

Dia melewati Lintang seperti Lintang tidak ada dan dia melangkah tanpa
ragu mendekati binatang buas itu. Dia menyentuh buaya itu, menepuk-nepuk
lembut kulitnya sambil mengumamkan sesuatu. Buaya itu seperti takluk,
mengibas-ngibaskan ekornya. Dari permukaan air yang bening jelas ia lihat
binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong
sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air.
Bodenga berbalik ke arah Lintang, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan
ucapan terima kasih. Kenyataannya Lintang tak berani menatap dia, nyalinya
runtuh. Tapi Lintang merasa beruntung karena ia telah menyaksikan langsung
kehebatan ilmu buaya Bodenga.
Bodenga kini sebatang kara, satu-satunya keluarga adalah ayahnya yang
buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya, ayahnya seorang
dukun buaya terkenal. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-
kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke
Sungai Mirang. Ayahnya sengaja menggumpan tubuhnya pada buaya-buaya ganas
itu.

Bab 11

Langit Ketujuh

Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia.
Jika ingin menemui kebodohan maka berngkatlah dari tempat di mana saja di
planet biru dengan meggunakan tabung roket atau semacamnya,meluncur keatas
secar vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam
lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembuslapisan ozon,
ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing, serta teruslah melaju menaklukkan
langit ketujuh.
Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di
samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-
kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menjelmakan biji zarah kecerdasan,
zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang. Matanya menyala-
nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya, jarinya tak
pernah berhenti mengacung. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia
paling hebat.
Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah
terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongkak, dia
sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat,
lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungannya
keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya adalah tulisannya yang cakar
ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu
mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
Saat Bu Mus menantang kami di depan kela, dengan soal matematika yang
cukup banyak. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat
segenggam lidi, untuk di kelompok-kelompokkan. Otak terlalu penuh untuk
mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis. Kesalahan fatal
yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan
waktu hampir selama 7 menit.
Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, hanya
memejamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. Bu Mus pun
tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. Kami berkecil hati,
termangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari 7 detik, tanpa membuat
catatan apa, tanpa keraguan, tanpa tergesa-gesa, bahkan tanpa berkedip, Lintang
pun berkumandang.Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap
Lintang seolah telah seumur mencari murid seperti ini. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang
melakukan semua itu.
Dan inilah resepnya. Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka
ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian
dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol,
kerjakan sisanya kemudian dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan
membuat telinga tuli dan otak tumpul.Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak
orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan
tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya, ia tak pernah tinggi hati, karena ia
merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada
habis-habisnya.
Bab 12

Mahar

Di siang yankolah kampung tentu saja perguruan Muhammadiyah dan


beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong.g panas menggelegak, ketika
pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin
Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar.
Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan
sebuah lagu, dan seperti diduga dan sudah delapan belas kali terjadi ia akan
membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud. A
Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia
memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati
dahan-dahan rendah filiciumserta buah-buahnya yang gendut-gendut
bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke arah kami, ia
mengkhianati penonton.
Lalu giliran aku. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong
Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit kemajuan dengan lagu baruIndonesia
Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damodoro IS. Namun,
aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat kukendalikan
sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan.
Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi
sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson.
Kenyataanya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh
Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh
raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk
dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.
Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya
bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar.
Lagu tentang topi ini adalah lagu super ringkas dengan bait yang dibalik-balik.
Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas
itu cepat selesai. Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan
lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahara menyanyikan
lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat
bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai juga dari kelas satu
SD hanya menampilkan dua buah lagu yang sama yaitu Rukun Islam dan Rukun
Iman.
Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap
kali tiba gilirannya, azan zuhur terlanjur berkumandang sehingga ia tak pernah
mendapat kesempatan tampil. Setelah memandangi kami cukup lama, ia
memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk.
Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog. Mahar bersiap-siap, kami menunggu
penuh keingintahuan, dan kami semakin takjub ketika ia membuka tasnya dan
mengeluarkan sebuah alat musik ukulele.
Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro
lagunya dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele
dipeluknya dengan sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh
kesedihan yang mengharu biru, pias menahankan rasa. Lalu
dengan interlude yang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam
tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante
maestoso yang tak tertuliskan kata-kata. Seketika kami tersentak dalam pesona,
lagu yang berjudul Tennesse Waltz dan sangat terkenal karya Anne Muray.
Intonasinya lembut membelai-belai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam
rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil menitikkan air mata.Tak dinyana,
beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acak untuk
menyayi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang
bertindak selaku pemandu bakat.
Bab 13

Jam Tangan Plastik Murahan

Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-
Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Mahar pula yang
membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD Muhammadiyah.
Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun.
Dikisahkan bahwa wanita pemarah mengupah seorang budak untuk membunuh
Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati
wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong
memerankan Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti
Hindun. Juga karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah
grup band. Alat-alat musik kami adalahelectone yang dimainkan Sahara, standing
bassyang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta
dua buah rebana yang dipinjamkan dari badan amil Masjid Al-Hikmah.
Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang
dan seruling yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan
sebuah kawat agar seruling dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan
kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan tangan
kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari kirinya menutup-nutup enam
lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Trapani
adalah salah satu daya tarik terbesar bandkami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu
ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.
Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah porpol ingin
memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarik massa melalui
iming-iming uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-
mentah. Kami tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu.
Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tak akan menjual kehormatan
kita demi sebuah jam tangan plastik murahan.
Bab 14

Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang

Sayangnya, sore itu, pemandangan seperti butiran-butiran cat berwarna-


warni yang dihamburkan dari langit serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur
berantakan karena serbuan sepuluh sosok Homo Sapiens. Makhluk brutal
memanjati dahan-dahan filicium, bersorak-sorai, dan bergelantungan mengklaim
dahannya masing-masing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama Kucai,
Kucai mengangkangi dahan tertinggi.
Sedangkan Sahara, satu-satunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki
di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya
patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena pakaian
Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang
menjaga aurat rapat-rapat. Kepentingan kami tak kalah mendesak dan makhluk
lainnya terhadap filiciumkarena dari dahannya kami dapat dengan leluasa
memandang pelangi.Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah
lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak
tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim
hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan.
Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok
kami Laskar Pelangi.
Sore itu, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna,
setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung
kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin
sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung
Selumar. Dahan filicium menjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan
pendapat tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur.
Ketika kami mendesank Mahar, ia sempat ragu-rag. Dia diam membuat
pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang
memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual.
Wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir
saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A
Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya dengan sepenuh jiwa apa pun yang
dikatakan Mahar. Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang tengger persis di
belakang pendongeng itu, menyilangkan jari di atas keningnya dan menggesek-
gesekkannya beberapa kali. Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar,
menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan berpura-
pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan
pelangi tapi kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan
diri. Sampai akhirnya, azan Magrib menggema.

Bab 15

Euforia Musim Hujan

Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya, dan semakin lebat hujan
itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk
kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati
kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Kami
akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir,
berpura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat
terbang yang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan,
langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.

Yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-
pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah,
kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah dengan kencang.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah sedangkan penumpang di
belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh
paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong mereka penarik pelepah.
Puncak permainan ini adalah ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat
kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di
belokan. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke
arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang
licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur
menyamping dengan tubuh rebah, dengan gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat
menikung aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik.
Karena sudut belokan tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak kan pernah
bisa diselesaikan. Para bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh
jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan
terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di
dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecil-kecil bermunculan.
Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, dan ada rasa pening di bagian
kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar. Lalu aku
mencari-cari Syahdan, ia terbanting agak jauh dariku, tubuhnya telentang,
tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit, dan ia
tak bergerak. Kami menghambur ke arah Syahdan. Karena ia tak bernafas sama
sekali dan ia terpelanting. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat
darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam. Sahara
mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain,
semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil
ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipi Syahdan, aku pegang urat lehernya. Namun
sayang aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani menggoyang-
goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak
bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin. Sahara menangis keras, diikuti oleh
A Kiong. Kami mengigil ketakutan dan Samson mengisyarat agar mengangkat
Syahdan. Tiba-tiba kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Rupanya ia
hanya berpura-pura tewas. Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha
menahan nafas agar kami menyangka ia mati. Lalu kami membalas penipuannya
dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor. Ia terpingkal-pingkal
melihat kami kebingungan, kami pun ikut tertawa. Makin lama tawa kami makin
keras, yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang.

Bab 16

Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau

Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai


terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena,
sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk
pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-
bahan yang didapat di pinggir pantai. Aku mengumpulkan sebuah karangan puisi
yang berjudul Aku Bermimpi Melihat Surga. Dengan puisi itu, untuk pertama
kalinya aku mendapat nilai yang sedikit lebih baik dari nilai Mahar.
Burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, dimana saja,
terutama di pesisir. Sebagian orang menganggap burung itu semacam makhluk
gaib. Pelintang pulau adalah kebiasaan burung itu terbang sangat kencang dan
jauh tinggi melintasi pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu
hinggap di puncak dari pohon-pohon yang tinggi. Mahar mengaku melihat burung
pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia
pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang dilihatnya, tetapi
yang kami saksikan hanya dahan-dahan yang kosong. Maka, seperti biasa,
mengalirkan ejekan untuk Mahar. Sayangnya upaya Mahar untuk meyakinkan
kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual.
Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang
Pulau”, sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burungg yang
tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon
meranti. Ketika Mahar sudah berpikir tataran imajinasi, simbol, dan substansi
Samson, Syahdan, dan Sahara masih berpikir harfiah. Karena kecewa sebab
karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai
Mahar agak berkurang sedikit, yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan
tugas, bukan karena pertimbangan artistik.

Bab 17

Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu

Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda laki punya Pak Harfan dan membuat perjanjian, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuah
kuburan Tionghoa. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan
tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustasi. Ditambah lagi satu syarat
cerewet lainnya, yaitu setiap jalan menanjak kami harus turun dari sepeda lalu
sepeda dituntun bergantian dengan jumlah langkah yang diperhitungkan secara
teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak diatas batang sepeda laki
punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar
untuknya sehingga tampak seperti kendaraan yang tak bisa ia kuasai, apalagi
dibebani tubuhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh
sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pandangan itu pasti prihatin sekaligus
tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku
duduk dibelakang, tak acuh pada kesusahannya.
“Turun dulu, tuan raja...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami
menanjak. Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana
seorang penjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun. Termasuk
menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di
kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil
melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan beberapa
wanita muda pujaannya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan
kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan pria kecil
ini.
Kami sampai disebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan ditengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca.
Lelehan lilin merah berserakan disekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud tadi
dalam perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan
roda yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko
busuk itu dan pengaturan bodoh yang kami buat. Aku menggerutu karena rantai
sepeda reyot itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga
mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu
tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang
berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernah adil, dan buat dinamo
sepeda yang longor sehingga gir-nya menempel di ban akibatnya semakin berat
mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan
pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan laguSemalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendengar
ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang
gembira tak alang kepalang. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai
ke pasar. Pulangnya pun berlaku aturan yang sama. Tugas membeli kapur adalah
pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-
satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Sesampainya di sebuah toko yang
sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek. Setelah menunggu sekian lama,
A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak
kapur.

Aku berjalan cepat melintasi karung-karung bawang putih tengik sambil


menutup hidung. Bersamaan dengan teriakan anak itu suara puluhan batangan
kapur jatuh di atas lantai ubin. Kupunguti kapur-kapur itu. Ketika aku sampai
pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai, karena amat cepat, tanpa
disangka sama sekali, si nona itu tiba-tiba membuka tirai dan tindakan cerobohnya
itu membuat kami yang sama-sama terperanjat hampir bersentuhan. Saat itu aku
merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak. Kami
berdua masih terpaku tanpa mampu berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mulutku
terkunci rapat.
Kejadian itu membuat pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan
matanya yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Ia bangkit
dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Aku tak peduli lagi dengan
kotak kapur yang isinya tinggal setengah.ketika mempersiapkan sepeda untuk
pulang, aku mencuri pandang ke dalam toko. Dalam perjalanan pulang aku
dengan sengaja melanggar perjanjian. Karena aku sedang bersukacita.
Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggung jawabkan kapur yang kurang. Aku diam mematung, tak mau
berdusta, tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dantak mau membantah
apa pun yang dituduhkan. Hukumannya adalah harus mengambil ember yang
dijatuhkan Trapani di sumur horor.

Bab 18

Moran

Pak Harfan yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka dibawah


pohon filicium. Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut
karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Pak
Harfan telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami sangat
mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena akan digarap oleh
Mahar.
Lalu pada Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul
kami paham ia telah mendapat pencerahan. Semua diam siap mendengarkan. Ia
sengaja mengukur waktu, kami sudah sangat penasaran, ia menatap kami satu per
satu. Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena
selain akan menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di
Afrika adalah ide yang cerdas.
Setelah itu, setiao sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras
berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan
Mahar tarian itu harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Sedangkan
para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan
properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengan berbagai
latihan. Marching Band sekolah PN ssepanjang sore melakukan geladi sepanjang
jalan kampung. Baru latihan saja penontonnya sudah membludak. Meneror
semangat peserta lain. Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi.
Melihat kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami
meletup-letup.

Bab 19

Sebuah Kejahatan Terencana

Tibalah hari karnaval. Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan


bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga anak dua puluh
orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis. Tiga
puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat
putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh.
Sedangkan dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah,
mereka menggunakan penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, menggunakan
jubah merah dan membawa tombak panjang.
Kami memakai celana merah tua, seluruh tubuh kami dicat cokelat muda,
wajah dilukis berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai,
dipinggang dililitkan selendang lebar dari bulu ayam, anting-anting besar yang
dijepit dan gelang yang dibuat dari akar-akar kayu. Penutup kepala adalah
mahkota yang sangat besar, berbagai jenis diselipkan, dan dijepit. Kalung besar
yang terbuat dari buah aren masih hijau yang ditusuk.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan
yang terjadi berikutnya tak kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami
menyerbu arena dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh.
Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para
sapi ini, mulai bergerak-gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan
seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian
hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami.
Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk
bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat.
Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas kesana kemari maka
getah aren itu menyebar keseluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda
gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak mengaruk-garuk karena hal itu akan merusak
koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk
hanya akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-
satunya cara mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak
jumpalitan seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri
tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling
menanduk, saling menerkam, saling mencakar, merayap, berguling-guling di
tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak terdapat dalam skenario. Lintang
komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama
sekali menguap ketampanannya. Wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo
yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan
keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api
dan urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.

Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng


cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat
kami sangat menjiwai, para pemain tablapun terbakar semangatnya. Mereka
mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. kami menari
dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari
seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla. Menimbulkan
pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang Afrika sendiri tak pernah menari
sehebat ini.

Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen


menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira
suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini,
kesurupan, maka mereka bertepuk tangan gegap gempita karena kagum dengan
daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan
salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton
semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur kedepan
meninggalkan tempat-tempat duduknya
Sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur
tak beraturan menguasai arena podium. Gerakan mereka mengagetkan. Dengan
dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat dinamis, penonton
pun terperanjat. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak
yang tak terduga.
Kami semakin tunggang langgang, berputar-putar, kami sudah tak peduli
dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan.ketika cheetah menyerang,
kami berbalik menyerang. Para cheetah kebingungan, ketika mereka menerjang,
kami membalas,cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian
terjadi berulang-ulang.
Kami masih tak tahu ketika Mahar diarak oleh warga Muhammadiyah
setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi
yang telah dua puluh tahun kami idamkan dan selama itu bercokol di sekolah PN.
Baru pertama kali trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak
akan membuat sekolah kami dihina lagi.
Bab 20

Miang Sui

Aku tak dapat menggambarkan perasaanku bahwa A Ling adalah sepupu


A Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Kami giring A Kiong
menuju kebun bunga sekolah dan kami duduk di bangku kecil. A Kiong
menyimak dengan saksama ceritaku tapi ia tak bereaksi apa-apun, tak ada sedikit
pun perubahan air mukanya, ia tidak mengerti apa maksud pembicaraan kami. Ia
mengernyitkan dahinya.

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat
duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling
yang berjudul Bunga Krisan. Ketika memasukkan puisi itu ke dalam sampul surat,
aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Aku tak mau ambil
pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak karuan karena pada kotak
kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan: Jumpai aku di acara sembahyang rebut.
Dadaku sesak karena rindu dan marah. Ketika aku akan mengayuh sepeda,
aku mendengar suara yang lembut. Aku berbalik cepat dan terkejut. A Ling
menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari
melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit
setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional.
Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.

Bab 21

Rindu

Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau
biasa menerima kiriman majalah syiar Islam dari sebuah kantor Muhammadiyah
di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali!
Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos.Pak Pos tersenyum menggoda.
Beliau mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting. Sekarang aku
paham, kurampas suratku. Dadaku berdebar-debar.
Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu. Aku duduk sendiri
dibawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru ituberisi
puisi yang berjudul Rindu dari A Ling. Malamnya aku tak bisa tidur karena
wajahmu tak mau pergi dari kamarku
Kepala pusing sejak itu...
Siapa dirimu?
Yang berani merusak tidur dan selera makanku?
Yang membuatku melamun sepanjang waktu?
Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!
Namun ingin kukatakan padamu
Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu
Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....

A Ling

Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu
dengan menaggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku
bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu
biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan
berubah menjadi laki-laki manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang
duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai
seekor buaya terbujur kaku di sampingnya. Ia tampak samar-samar dan terlihat
sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu tampak mendekat, ia menoleh ke
arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik hitam. Hari
itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau
di lapangan, basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah
trauma, dan hari itu, setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga
mengunjungiku.
Bab 22

Early Morning Blue

Malam minggu ini kami akan menginap di Masjid Al-Hikmah karena


setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu mendaki gunung. Gunung
Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di
Belitong Timur.
Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang
dituntun akan terasa berat. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti
dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju,
daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana.Setelah tiga jam mendaki kami
tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada
setiap orang.
Aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas dari memandang
sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh dibawah sana, atap sebuah
rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku,
sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-
bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan
cantik di dalam genggaman.
Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku
merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi
itu berjudul Jauh Tinggi, aku membuatnya pada saat ini aku berada di puncak
Gunung Selumar. Puisi inilah misi rahasiaku.

Bab 23

Billitonite

Senin pagi yang cerah. Sepucuk puisi kertas ungu bermotif kembang api.
Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona
puncak gunung diikat pita rambut biru muda.
Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam
vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling.
Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah
A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak
itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris
terantuk pada kaleng-kaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat
tangan yang menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar.
Tangan itu bukan tangan A Ling.
Syahdan mendekatiku yang berdiri terpaku, wajahnya sendu. A Miauw
yang dari tadi memerhatikan dan menghampiriku dengan tenang. Aku terdiam dan
menunduk, tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar
puisi. A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus persis sama dengan
kertas sampul puisiku.

Pukul 09.05.

Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan diatas


lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga
pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Pesawat itu semakin lama semakin
kecil dan pandanganku semakin kabur, karena air mata tergenang pelupuk
mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.

Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah


buku berjudulSeandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan
sebuah diary yang memuat berbagai catatanharian dan lirik-lirik lagu. Tak ada
yang istimewa dan tak ada yang khusus ditunjukan untukku. Namun pada suatu
halaman aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal,
judulnya Bunga Krisan. Pada lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi
yang dulu pernah kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling
menyalin kembali seluruh puisiku dalam diarynya.
Bab 24
Tuk Bayan Tula

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal
penduduk Gedong itu memisahkan diri dari rombongan teman-teman sekelasnya
ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing
kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para
penduduk yang berpengalaman tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang
kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang
melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.
Sampai senja Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-
saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya
menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda
dimana ia berada. Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di
kapaI keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Hari
beranjak gelap dan keadaan semakin mengkhawatirkan. Kabut tebal yang
menyelimuti gunung sangat menulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang
mulai kelihatan cemas dan putus asa.
Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaannya di
tengah hutan rimba gunung itu. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik.
Malam pun turun. Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam
gelap gulita rimba.
Di tengah kepanikan ada kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang
mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang
terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula.
Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti,
biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Keadaan panik yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi


mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan
Tual. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga
diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan
Tula. Utusan itu berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah yang
berkecepatan tinggi. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali.
Namun utusan itu tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk
Bayan Tula.
Cerita itu dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa
ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka
melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya.
Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana
tertulis: jika ingin menemukan anak perempuan itu maka carilah dia di dekat
gubuk ladang yang ditinggalkan, temukan segera atau dia akan tenggelam di
bawah akar bakau.
Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang
biru, agung, dan samar-samar. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan
mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang
mengalungkan teropong kecil di lehernya, ia meneropongi tepian Sungai Buta.
Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak.Kami
membalikkan badan terkejut dan Mahar sertamerta merampas teropong Syahdan.
Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama.
Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak kan menemukan Flo
di pinggir Sungai Buta. Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah
berada di lembah Sungai Buta. Untuk pertama kalinya aku ke sana dan rasa
angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa
lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya.
Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat
karena persis di atas kami, di sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger
santai seekor kera putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan
seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja
bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai
keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengong-bengong pucat pasi. Flo
yang berandal telah ditemukan.
Bab 25

Rencana B

Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk


mengembangkan minat dan kemampuan utama, dalam kasusku berarti bulu
tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan
tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu
menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian
akhir dari semua usaha dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan
prestasi. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana A, aku
mengalami kesulitan untuk tidur.

Rencana A sesungguhnya adalah cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki


cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu menjadi pemain bulu
tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus
kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai
kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.

Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B dibuat jika


rencana A gagal. Rencana B-ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu
meninggalkan rencana A. Aku menghabiskan sekian banyak waktu untu membuat
rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis
dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku,
seluruhnya ada tiga yaitu TATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS,
FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.

Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat


bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Buku itu
akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta
wawancara yang luas.
Bab 26

Be There or Be Damned!

Mahar sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera


disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan.
Semuanya harus masuk kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan
mengembalikannya ke jalan yang lurus. Mahar menunduk. Ia pemuda yang
tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya. Suasana menjadi tegang. Kami
harap Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia
malah menjawab dengan nada bantahan. Wajah Mahar aneh. Ia sangat menyesal
dan merasa bersalah tapi di sisi lain yakin bahwa ia sedang mempertahankan
sebuah argumen yang benar.

Tiba-tiba terdengar assalamu’alaikum. Bu Mus menjwab dan


mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan
seorang anak perempuan tampil seperti laki-laki. Anak itu berpostur tinggi, ia
seperti sekeping papan. Sepatunya bot yang mahal dan itu adalah sepatu laki-laki.
Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis. Ia jelas bukan orang
Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. Ia memakai rok
besar bermotif kotak-kotak besar merah. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih
sangat halus, dan wajahnya cantik.

Orang penting itu menggaruk-garuk kepalanya. Nada bicaranya jelas


sekali seperti orang yang kehabisan akal mengatasi anaknya itu. Kami semua
termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang baru saja marah
juga tersenyum. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan
seksama, di balik kedua matanya yang gelap coklat tersembunyi kebaikan yang
sangat besar.

Flo dipersilakan duduk dengan Sahara oleh Bu Mus. Sahara senang karena
selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Tapi di luar
dugaan ternyata Flo tak beranjak. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan
tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil
keputusan yang sulit. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar.

Dunia gelap yang memicu Flo dan itu juga salah satu tujuannya mendekati
Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi
memosisikan diri sebagai murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan.
Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para
penggemar paranormal. Karena organisasi sangat sibuk, sehingga mereka
membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara.

Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya, meskipun tidak
ada honornya sepeser pun. Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah
buku register. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan rahasia. Seperti sore ini
misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya:

Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat.

Be there or be damned!

Bab 27

Detik-Detik Kebenaran

Kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi, yaitu


lomba kecerdasan. Suasana menjadi tegang ketika ketua dewan juri, bangkit dari
tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai.
Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius,
ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela. Detik-detik kebenaran yang
hakiki dan mencemaskan tergelegar didepan kami. Seluruh peserta memasang
telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan
pertanyaan. Suasana mencekam.
Luar biasa! Tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang
dari 5 detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
Sementara parapeserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan,
bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang
disediakan panitia. Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di
ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak.

Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba seseorang di


antara penonton menyela. Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah
seorang pemuda yang kecewa. Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN.
Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau tidak kami akan habis di sini.
Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Bantahannya yang
terkhir itu adalah pelecehan. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong
Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan
perguruan tinggi terkemuka itu.
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik,
sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Sang Drs. terkulai lemas,
wajahnya pucat pasi. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot
layu di batang hidungnya yang bengkok.
Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan besar yang tersembunyi
dan keajaiban di luar perkiraan. Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi
besar kemenangan. Di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-
kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
sedang tidak duduk di situ.

Bab 28

Societeit de Limpai

Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang


aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-
diam. Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka sering
menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga disebut sebagai
ilmuwan dalam definisi mereka sendiri. Mereka secara rutin berkelana. Suatu
ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong.
Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik di cabang-cabang pohon
untuk mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu
menganalisisnya.
Tak ayal Societeit mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di
lokasi yang terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan
mencari benda-benda magis pusaka warisan antah berantah. Mereka dianggap
orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk hal-hal tak
bermanfaat. Mereka berhasil menghancurkan mitos angker pohon jemang yang
telah puluhan tahun menciutkan nyali orang kampung.
Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa
cerita-cerita seru ke sekolah. Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-
piring dari tanah liat di sekitar kuburan, ia juga menemukan berbagai jenis kendi
yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Sebaliknya versi Mahar jauh lebih
menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan
purba bertambak superbesar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog terkenal
seperti Barry Chamis atau Harold T.
Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatapnya, dan dia
melanjutkan cerita seperti orang berbisik. Menegangkan sekali. Kami semakin
merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang,
Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan,
Trapani memeluk Harun. Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut
bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang meluap-luap. Kami
terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dadaku berdegup
kencang. Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat
membocorkan kisah ini.
Bab 29

Pulau Lanun

Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit
berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan
karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Mereka sadar bahwa mereka
menghadapitrade off, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah
atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun
godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka
tidak ingin meninggalkan keduanya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi
mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Seluruh anggota
Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.
Mereka mempersiapkan diri dengan teliti karena perjalanan ke Pulau Lanun tak
mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan
kemampuan paling tidak 40 PK, dan juga seorang nahkoda berpengalaman.
Mereka semuanya dan juga aku serta orang-orang yang ingin ikut ke Pulau Lanun
harus merelakan barang-barang berharganya. Ketika uang patungan digelar di atas
meja gaple terkumpul sebanyak Rp 1,5 juta.
Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nahkoda
akhirnya pas tengah hari kami berangkat. Pada awalnya perjalanan cukup lancar,
cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, menjelang sore angin bertiup
sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk
mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Sebuah
gelombang yang dahsyat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara
seperti papan patah. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan
lautan buih putih meluap-luap mengerikan.

Nahkoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin,


menutup palka, menjauhkan benda tajam, dan mematikan mesin. Kami melilit-
lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang ke tiang. Ketika kulihat Mujis
menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat
aku pun muntah, semua penumpang perahu mengalaminya. Aku mendengar
samar-samar suara orang berteriak. Rupanya Syah Bandar melepaskan
pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang.
Setelah azan selesai perlahan-lahan gelombang laut turun, gelombang laut yang
meluap-luap berbuih tiba-tiba surut. Seberkas sinar menyelinap di antara
gumpalan awan hitam yang memudar.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap karena senja telah turun. Perahu
pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Ada perasaan seram diam-diam
menyelinap, kami ketakutan. Tiba-tiba nahkoda menunjuk lurus ke depan dan
mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak. Kami serentak berdiri
terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama Pulau Lanun.
Teronggok sepi dan Pulau Lanun tampak kecil sekali.
Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang
dan batu-batu tadi. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok
itu tidak menginjak bumi. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik
tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret
Mahar menghadap datuk. Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik
pada sang datuk. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Ia
mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya dengan penuh
hormat pada datuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak
masuk akal beliau kembali masuh ke dalam gua.
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua
tangannya. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola
badmintondan kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Kami lari terbirit-birit
menuju perahu. Nahkoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur
pulang.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di pohon filicium. Seluruh
temanku dan semua warga kampung berkumpul juga. Setelah seluruh guru pulang
Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri. Mahar memegangi
gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato
singkat. Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi
akan segera membukanya, di kertas itu tertulis dengan jelas:

INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA


UNTUK KALIAN BERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU, BELAJAR!!

Bab 30

Elvis Has Left the Building

Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku
melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Kelas tak sama
tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.
Suasana kelas menjadi sepi. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan
menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat
tinggal Lintang.

Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus


tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus.
Banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di
SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis.
Air matanya berjatuhan di atas surat itu. Ibunda guru, ayahku telah meninggal,
besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.

Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya


terdiam, hatiku kosong. Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun
duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan
Syahdan berulang kali mengambil wudu menghapus air mata. A Kiong melamun
sendirian tak mau diganggu. Flo menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Kami
melepas seorang sahabat genius, salah seorang pejuang Laskar Pelangi.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran
bayang kobaran api. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah
dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak tertepi.
Suasana sepi membisu. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan
kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat
kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Saat itu aku menyadari bahwa kami
sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami adalah
lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.

Dua belas tahun kemudian

Bab 31

Zaal Batu

Maka inilah aku sekarang. Karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir,
bagian kiriman peka waktu, shif pagi, yang bekerja mulai subuh. Eryn Resvaldya
Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik
hati. Usianya 21 tahun. Ia mahasiswa universitas paling bergengsi di Indonesia di
kawasan Depok, jurusan psikologi. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat
Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar
dari sinar matanya.

Saat itu Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali
ditolak. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan
mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas
pemenangaward. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan
ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi, dari sebuah rumah sakit
jiwa di Sungai Liat, Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Ia merampas surat
dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-loncat gembira. Eryn
memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Kami sekalian
pulang kampung setelah ia riset. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.
Mungkin zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu.

Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar
bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Setelah melewati selasar kami
berhadapan dengan sebuah pintu teruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan
digembok. Kami terhenti disitu. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh
menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Suasana di
situ mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi
kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.

Profesor Yan membimbing kami menelusuri lorong menuju sebuah pintu


paling ujung. Disana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka
pintu pelan-pelan. Dan dibangku panjang itu duduk berdua rapat-rapat, seorang
ibu dan anaknya. Mereka berdua melihat kami sepintas tapi kebanyakan
menunduk. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang
baik dalam melakukan wawancara pendahuluan dengan kedua pasien. Kemudian
wawancara pun selesai Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu
dan anak itu.

Aku yang keluar terakhir menutup pintu itu. Tepat pada saat aku
terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku. Kami saling
berpandangan. Salah seorang dari pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar
gagang pintu dan menghambur ke dalam. Aku mengenal dengan baik kedua anak
beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.
Bab 32

Agnostik

Dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses.


Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shiftsortir subuh
yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena aku dapat pulang lebih
awal.

Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata
mendukungku. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu
kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara. Setelah membaca buku
itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima
pelajaran-pelajaran baru. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu
karena aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar
Pelangi, Sekoalh Muhammadiyah, dan Herriot.

Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlangsung selama berbulan-


bulan. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut
penentuan akhir atau wawancara dilakukan oleh seorang mantan menteri. Dan
untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian rapi. Bapak ini terkenal sangat
pintar bukan hanya di dalam negeri tapi di luar negeri, sumbangannya tak
kecil untuk bangsa ini. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa.
Aku lega karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu
Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor.

A Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu yang


percaya Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, ia tidak pernah beribadah. Ia
berkelana mengamati agami demi agama dan keadilan Tuhan. Hari demi ia
semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun. Pada usia dewasa ia setiap
mendengar suara azan sering disergap perasaan sepi nan indah menyelusup ke
dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan menjatuhkan air matanya. Ia
merenung dan pada suatu hari dengungan azan magrib membuatnya berputar
seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman
haram. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. Ia memeluk Islam, disunat,
dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus
menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman.

Penerimaan cahaya itu merisaukannya adalah cinta yang telah


disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Wanita itu adalah Sahara,
katanya, telah membuat malam-malamnya gelisah. Dengan basmallah, ia
menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orang tuanya, menyatakan
keinginannya melamar. Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka
toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa. Mereka memperkerjakan seorang
kuli, kulinya adalah Samson. Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi
Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang melahirkan anak tiga, berbelang
tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Kalau dulu Harun adalah anak
kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah
sebaliknya.

Lintang sekarang adalah kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang


gizi. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang.
Sekarang kecerdasan Lintang terbuang sia-sia. Sejak kecil aku tak pernah punya
kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengaguminya. Mantan kawan sebangku
ku yang sekarang menjadi kuli ternyata masih sharp! Aku kecewa pada kenyataan
begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.
Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan
anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di


jendela kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus. Kedua anak
berandal itu bergantian mencium tangan Bu Mus. Keesokan harinya Mahar
membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya, kami menerima kejutan luar
biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan
jilbab. Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Sekarang Flo
menempuh perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di
Universitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan
bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia menikah dengan
seorang teller bank BRI mantan anggota Societeit. Allah memberinya dua kali
persalinan empat anak laki-laki yang tampan jaraknya hanya setahun. Dua kali
anak kembar.
Dalam kaar (peta laut) TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di
perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atu
ketidakstabilan permukaan laut. Pensiunan Syah Bandar yang dulu
mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai
sekarang menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah.
Mahar hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah
dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan
tanggung jawab pada keluarga. Ia pernah menganggur dan setiap hari, tanpa
berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia mulai berusaha menulis artikel
kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya
membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Sekarang Mahar sibuk
mengajar dan mengorganisasi berbagai kegiatan budaya.
Syahdan yang kecila, santun, dan lemah lembut agaknya memang
ditakdirkan menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Cita-citanya untuk
menjadi aktor sangat tidak realistis. Setelah tamat SMA ia berangkat ke Jakarta.
Setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar menjadi aktor. Sampai tiga tahun
berkutnya ia masih menjadi aktor figuran. Ia juga bosan menjadi pesuruh di
sebuah grup sandiwara tradisional kecil. Syahdan baru tahu kalau ia berbakat
mengutak-atik program komputer ketika sudah dewasa. Ia mendapat
beasiswa short course di bidang computer networkdi Kyoto University, Jepang. Ia
berhasil mencapai kualifikasi keahliannya menjadi segelintir orang Indonesia
memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Dari sudut pandang material Syahdan
adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses. Namun Syahdan tak pernah
menyerah pada cita-citanya menjadi aktor sungguhan. Syahdan tak pernah
melepaskan mimpinya karena ia adalah seorang pejuang.
Bab 33

Anakronisme

Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa


berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi
Belitong. Ekonomi Belitong yang sempat pelan-pelan menggeliat, berputar lagi
karena aktivitas para pendulang.
Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan
terang yang gagah berani meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak
pernah mati. Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah
Belitong telah menjadi orang yang sukses. Perasaan beruntungku karena
didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu. Fondasi budi pekerti
Islam dan kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku menggema hingga
kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam. Tak ada mantan
warga Muhammadiyah yang menjadi para kriminal atau koruptor. Mereka adalah
orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan.
Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini
tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir
sebagai pembela agama. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6
Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak
pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.

Bab 34

Gotik

Aku bangga duduk di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu
yang selalu menimbulkan rasa iri yaitu Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor
Aziz Panelis. Terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumaidi
Ahlan bin Zubair bin Awam. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel
tentang persahabatan yang sangat indah.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.
Ada juga Kucai, sekarang ia adalah Drs.Mukharam Kucai Khairani. Ia menjadi
seorang ketua fraksi di DPRD Belitong. Mahar berniat mengembalikan nama-
nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat.Tapi lebih dari
semua itu aku rindu pada Ikal. Ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.

Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai
mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di
rantau orang. Aku melihat seorang pria yang sangat gagah. Ia menenteng plastik
kresek belanjaan, berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya.
Aku kenal pria ganteng itu adalah Trapani. Aku terkenang lima belas tahun yang
lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk
merantau ke Jawa. Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak mampu
meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.

Ibu tua berwajah keras itu awalnya sangat ramah. Beliau menyatakan rindu
kepada kami. Kucai berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga
serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambulnya kacau
balau. Kucai berulang kali meminta maaf pada ibu Ikal bukan pada Mahar, tapi
wajahnya mengangguk-angguk menghadap ke Nur Zaman.

TERIMA KASIH.

Anda mungkin juga menyukai