Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

OLEH :
NI NYOMAN PRADNYA PARAMITHA DEWI
(0802105038)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
1. KONSEP DASAR PENYAKIT CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

A. Definisi
Penyakit ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
bersifat progresif dan menetap sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya (Situmorang, 2010:6).
.Jadi, penyakit ginjal kronis adalah merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible yang dimanifestasikan melalui kerusakan ginjal dengan atau
tanpa penurunan LFG (Laju Filtrat Glomerolus).

B. Epidemiologi
Saat ini, jumlah penderita penyakit ginjal kronik terus meningkat dan
diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian
epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di
beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit
ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta
penduduk. Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan dan pelaporan di
Ruang Melati Lantai 2 Rumah Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tercatat selama
kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2008, klien yang dirawat dengan gagal
ginjal kronik mencapai 22 orang dengan persentase 27,5 %. Indonesia sendiri belum
memiliki sistem registri yang lengkap di bidang penyakit ginjal, namun di Indonesia
diperkirakan 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun
(Raka widiana, 2007).

C. Penyebab PGK
1) Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu
pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,
2006)
2) Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.
3) Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik,
dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
4) Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2002).
 Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
 Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
 Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis
tubulus ginjal
 Penyakit metabolik misalnyaDM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
 Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
 Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
 Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

D. PATOFISIOLOGI
Banyak penyakit yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal, secara keseluruhan
intinya adalah perubahan adaptif pada ginjal akan mengarah pada konsekuensi yang
maladaptif. Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang
tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular
menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai konsekuensi adaptif untuk
mempertahankan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), namun akan menyebabkan cedera
pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan
glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis (Conchol, 2005 dalam Situmorang,
2010).
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang
merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstitium. Mekanisme selanjutnya berupa kerusakan progresif, ditandai adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa yang diikuti dengan penurunan massa
ginjal terlepas dari penyebab yang mendasarinya. Respon dari pengurangan jumlah
nefron diikuti dengan vasoaktif hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan. Akhirnya,
adaptasi jangka pendek dari hipertropi dan hiperfiltrasi menjadi maladaptasi berupa
peningkatan tekanan dan aliran pada nefron sehingga sebagai predisposis munculnya
sklerosis dan pengurangan jumlah nefron yang tersisa. Peningkatan aktivitas dasar
renin-angiotensin-aldosteron di intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Selanjutnya aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian menstimulasi perubahan growth factor ß. Proses ini
menjelaskan tentang penurunan massa ginjal dari penyakit di tempat yang kecil di
dalam tubuh yang dapat menyebabkan penurnan fungsi ginjal secara progresif selama
bertahun-tahun (Skorecki & Bargman, 2010 dalam Jameson dan Loscalzo, 2010).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisa. (Smeltzer & Bare,
2002).
Pathway (terlampir)

E. Klasifikasi
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
- Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
- Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
- Stadium5: kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.

Adapun pembagian stadium CKD/PGK menurut K/DOQI dapat dilihat pada


tabel di bawah ini:

Tabel 1 Derajat Penyakit Ginjal Kronik


Nilai LFG/GFR
Derajat Deskripsi
(ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG yang normal ≥ 90
atau yang mengalami menurun.
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan 60-89
nilai LFG
3 Penurunan moderat nilai LFG 30-59
4 Penurunan berat nilai LFG 15-29
5 Gagal ginjal ≤ 15
(Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI), 2002 dalam Eknoyan, 2006)

F. Manifestasi Klinis
Menurut Sukandar (2006), gambaran klinik Penyakit Ginjal Kronik berat disertai
sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:
kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan
neuropsikiatri.
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokromik dan normositer, sering ditemukan pada pasien PGK.
Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien PGK
terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus.
c. Kelainan mata
Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan PGK
yang adekuat, misalnya hemodialisa. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
oleh hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien Penyakit Ginjal
Kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala
red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Kulit biasanya kering dan bersisik,
tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
pasien PGK terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah
satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisa.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia dan
depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis. Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan
pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian menjadi koma.
g. Kelainan kardiovaskular
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi
mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien PGK terutama pada stadium
terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.
h. Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang
peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron,
penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor
hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. Pemeriksaan penunjang diagnosis harus
selektif sesuai dengan tujuannya. Menurut Suhardjono (2002), pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu:
 Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat PGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Blood ureum
nitrogen (BUN) atau kreatinin meningkat, kalium meningkat, magnesium
meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan
abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
 Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu
atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.
 Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
 Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
 Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
 Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload),
efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
 Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b) Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

c) Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada
tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas
hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo,
2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
.
I. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi CKD,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ
dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Inspeksi: konjungtiva klien pucat, klien tampak kurus, bengkak di ekstremitas
dan jaringan ikat longgar, menggaruk-garuk tubuhnya
Palpasi: CRT > 2 detik
Auskultasi: tekanan darah lebih dari 130/90 mmHg

J. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain:
1) Hiperkalemia, Akibat penurunan eksresi asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diit berlebih
2) Perikarditis dan tamponade jantung
3) Hipertensi, Akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angioaldosteron
4) Anemia, Akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah,
pendarahan gasstrointestinal akibat iritasi
5) Penyakit tulang, Akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah
metabolisme vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar aluminium

K. Prognosis
Prognosis gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi penyakit.
Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi komplikasi penyakit anemia,
asidosis metabolik, hiperkalemia, tekanan darah yang cenderung tidak normal,
edema, edema paru, fluktuasi berat badan, dan penyakit dasar batu ginjal,
glomerulonefretis, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit dasar yang lainnya
(Suharto, 2004)
2. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan CKD
a. Pengkajian
Data Subjektif:
- Mengeluh penurunan keinginan makan
- Mengeluh mual
- Mengeluh lemas
- Mengeluh bengkak pada kedua kaki, tangan, dan perut
Data Objektif:
- ekstremitas edema
- penurunan Hb (< 12-16 gr/dL) dan hematokrit (< 36-46%)
- dispnea (RR > 24 x per menit)
- oliguria (volume urin < 300-700 ml)
- azotemia (peningkatan BUN > 8-25 mg/dL)
- peningkatan saliva
- klien tampak pucat
- klien berkeringat dingin.
- penurunan kadar albumin (< 3,5 meq/dL)
- klien tampak kurus
- kulit tampak pucat
- CRT > 2 detik
- akral dingin

b. Diagnosa Keperawatan (sesuai prioritas)


1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi natrium dan cairan
ditandai dengan ekstremitas edema, penurunan Hb (< 12-16 gr/dL) dan
hematokrit (< 36-46%), dispnea (RR > 24 x per menit), oliguria (volume urin <
300-700 ml), azotemia (peningkatan BUN > 8-25 mg/dL)
2) Nausea berhubungan dengan peningkatan asam lambung ditandai dengan klien
mengeluh mual, takikardi, peningkatan saliva, klien tampak pucat, klien
berkeringat dingin.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan keinginan makan akibat peningkatan produksi HCl ditandai dengan
penurunan kadar albumin (< 3,5 meq/dL), klien tampak kurus, berat badan
menurun.
4) PK Pruritus
5) PK Anemia
6) Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin dalam darah ditandai dengan kulit tampak pucat, CRT > 2 detik,
akral dingin.
7) PK Hipertensi
c. Rencana Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi natrium dan cairan
ditandai dengan ekstremitas edema, penurunan Hb (< 12-16 gr/dL) dan
hematokrit (< 36-46%), dispnea (RR > 24 x per menit), oliguria (volume urin <
300-700 ml), azotemia (peningkatan BUN > 8-25 mg/dL).
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan volume cairan
klien seimbang dengan kriteria hasil:
Cardiopulmonal status
- RR 16-20 x/menit (skala 5 = no deviation from normal range)
- TD 110-120/80-90 mmHg (skala 5 = no deviation from normal range)
- Kedalaman pernafasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)
- Nadi perifer teraba kuat (skala 5 = no deviation from normal range)
Fluid balance
- Turgor kulit elastis ( skala 5 = not compromised)
- Intake dan output cairan 24 jam seimbang ( skala 5 = not compromised)
- Membrane mukosa lembab ( skala 5 = not compromised)
- Kadar BUN, kreatinin, kalium serum, natrium serum, Hb dan hematokrit
dalam batas normal (Hb 12-16 gr/dL, hematokrit 36-46%, BUN 8-25
mg/dL, (natrium serum 135-145 mg/dL, dan kalium serum 3,5-5,5
nMol/lt) ( skala 5 = not compromised)
Fluid overloaded severity
- Edema ekstremitas berkurang (skala 3 = moderately)
- Ascites berkurang (skala 3 = moderately)
- Klien tidak melaporkan letargi (skala 5 = none)

Intervensi
Fluid management
1. Pantau intake output cairan klien, lakukan pemasangan kateter untuk
menghitung output bila terdapat indikasi
Rasional: penghitungan balance cairan diperlukan untuk mengevaluasi
keseimbangan cairan klien
2. Pantau status hidrasi klien (membrane mukosa dan turgor kulit)
Rasional: hidrasi yang adekuat akan ditunjukkan dengan turgor kulit elastis
dan membrane mukosa lembab
3. Pantau TTV
Rasional: perubahan tanda-tanda vital dapat menunjukkan tanda
ketidakseimbangan cairan tubuh
Hipervolemia Management
4. Pantau hasil pemeriksaan serum albumin klien
Rasional: penurunan kadar albumin dapat menyebabkan perembesan cairan
ke ekstrasel dan menyebabkan klien oedem dan ascites
5. Pantau perubahan pada oedem perifer setiap hari
Rasional: pemantauan perubahan oedem dapat dilakukan dengan
pengukuran lingkar ascites dan oedem tungkai dan mencatat perubahan
setiap hari sehingga mengetahui apakah oedem telah berkurang
6. Berikan diet rendah garam dan batasi asupan cairan
Rasional: pembatasan cairan dan garam bertujuan untuk mengurangi
kelebihan cairan akibat intake dari klien
7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (BUN, kreatinin, kalium serum,
natrium serum, Hb dan hematokrit).
Rasional :
- pemeriksaan BUN, kreatinin dilakukan untuk mengkaji berlanjutnya dan
penanganan gagal ginjal. Kreatinin merupakan indikator yang lebih baik
untuk fungsi ginjal karena tidak dipengaruhi oleh hidrasi, diet, dan
katabolisme jaringan.
- Natrium serum : hiponatremia dapat diakibatkan dari kelebihan cairan
(dilusi) atau ketidakmampuan ginjal untuk menyimpan natrium.
Sedangkan hipernatremia menunjukkan defisit cairan tubuh total.
- Kalium serum : kekurangan ekskresi ginjal dan atau retensi selektif
kalium untuk mengekskresikan kelebihan hidrogen (memperbaiki
asidosis) menimbulkan hiperkalemia.
- Hb dan hematokrit : penurunan nilai dapat mengidentifikasikan
hemodilusi (hipervolemia), namun anemia juga dapat terjadi karena
penurunan produksi sel darah merah (akibat penurunan eritropoetin)
maupun kemungkinan penyebab lain seperti perdarahan aktif atau nyata
juga harus dievaluasi.
8. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional: manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari
semua sumber ditambah perkiraan kehilangan cairan yang tidak tampak
(metabolisme dan diuresis).
9. Kolaborasi pemberian obat diuretik sesuai indikasi.
Rasional: diberikan dini pada fase oliguria pada upaya mengubah ke fase
nonoliguria, untuk melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalemia, dan meningkatkan volume urine adekuat.
10. Kolaborasi untuk menjalani terapi dialisis.
Rasional: dilakukan untuk memperbaiki kelebihan volume,
ketidakseimbangan elektrolit, asam/basa, dan untuk menghilangkan toksin.

2. Nausea berhubungan dengan peningkatan asam lambung ditandai dengan


klien melaporkan mual, peningkatan saliva, terasa asam di mulut.
Setelah diberikan askep selama …x24jam, diharapkan nausea klien dapat berkurang
dengan kriteria hasil:
Nausea & Vomiting Control
- Kien dapat mengenali onset terjadinya mual
- Klien dapat menjelaskan faktor penyebab mual
- Klien mampu menggunakan antiemetik yang direkomendasikan
Nausea & Vomiting Severity
- Tidak terdapat ekskresi saliva yang berlebih
Intervensi:
Nausea Management
1. Identifikasi faktor penyebab adanya nausea
Rasional: Untuk menentukan intervensi yang tepat pada klien.
2. Kurangi faktor risiko terjadinya nausea.
Rasional: Menurunkan frekuensi nausea dan beratnya nausea
3. Ajarkan klien untuk tidur dan istirahat yang adekuat untuk mengurangi nausea.
Rasional: Mengurangi respon mual/nausea pada klien.
4. Ajarkan makan sedikit tapi sering dan dalam kondisi hangat
Rasional:Untuk mempertahankan asupan makanan yang adekuat dan mencegah
penurunan berat badan akibat penurunan nafsu makan akibat mual.
5. Berikan informasi tentang nausea yang muncul, seperti : penyebab dan
lamanya.
Rasional :Memberikan informasi yang jelas tentang nausea dapat membantu
pasien mengatasi nauseanya secara mandiri.
6. Kolaborasi pemberian obat antiemetik yang efektif untuk mencegah mual, jika
memungkinkan.
Rasional : Untuk mengurangi respon mual dan mencegah adanya muntah pada
klien.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan keinginan makan akibat peningkatan produksi HCl
ditandai dengan penurunan kadar albumin (< 3,5 meq/dL), klien tampak
kurus, berat badan menurun.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan intake nutrisi
klien adekuat dengan kriteria hasil:
Nutritional status
- Intake makanan adekuat ( skala 5 = not compromised)
- HCT normal 40-45% (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tonus otot normal ( skala 5 = not compromised)
Nutritional status: fluid and food intake
- Intake makanan adekuat ( skala 5 = not compromised)
Biochemical status
- Albumin meningkat atau normal (3,5-5 gr/dL) (skala 5 = no deviation from
normal range)
Intervensi
Nutrition monitoring
1. Pantau adanya mual, muntah dan kelemahan pada klien
Rasional: adanya mual, muntah dapat menyebabkan klien anoreksia dan
kelemahan merupakan akibat yang terjadi akibat nutrisi tidak adekuat
2. Pantau turgor kulit klien
Rasional: perubahan turgor kulit merupakan tanda bahwa terjadi kekurangan
nutrisi
3. Pantau hasil pemeriksaan kadar albumin, HCT
Rasional: merupakan tanda biochemical kekurangan nutrisi, normalnya
albumin 3,5-5 gr/dL
4. Awasi masukan / pengeluaran nutrisi dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mendukung keaktifan nutrisi dan dukungan cairan.
Nutrition Therapy
5. Pantau status nutrisi klien
Rasional: pengkajian status nutrisi meliputi Indeks massa tubuh dan BB
6. Pantau intake makanan dan minum klien
Rasional: intake makan dan minum perlu dipantau tiap hari untuk
memastikan asupan nutrisi adekuat
7. Anjurkan klien untuk tidur dan istirahat yang adekuat
Rasional : Mengurangi respon mual/nausea pada klien.
8. Berikan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : Makanan hangat dapat menurunkan perasaan mual dan muntah
Nutrition management
9. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang kebutuhan kalori klien, Dianjurkan
pemberian lemak dalam bentuk rantai sedang karena absorbsi-nya tidak
memerlukan asam empedu (apabila sudah tidak puasa)
Rasional: perhitungan kebutuhan kalori diperlukan untuk memberikan nutrisi
yang adekuat
10. Kolaborasi tranfusi albumin
Rasional: tranfusi albumin diperlukan untuk mencapai nilai albumin
mendekati normal

4. PK Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…x24 jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
- TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 x/menit,
suhu: 36-37,5°C, RR: 16-20 x/menit).
- Konjungtiva berwarna merah muda.
- Hb klien dalam batas normal (12-16 g/dL).
- Mukosa bibir berwarna merah muda.
- Klien tidak melaporkan lemas dan lesu.
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia klien penting dilakukan agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut.
2. Pantau tanda-tanda vital klien.
` Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi klien.
3. Anjurkan klien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi dan
vit B12.
Rasional: konsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat
dapat menstimulasi pemebntukan Hemoglobin.
4. Minimalkan prosedur yang bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional: prosedur yang menyebabkan perdarahan dapat memperparah kondisi
klien yang mengalami anemia.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia klien buruk untuk
menambah jumlah darah dalam tubuh
5. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin dalam darah ditandai dengan kulit tampak pucat,
CRT > 2 detik, akral dingin.
Setelah diberi asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan perfusi jaringan
perifer klien efektif dengan kriteria hasil:
Tissue perfusion: peripheral
- CRT klien normal < 2 detik
- Temperature kulit dan akral normal tidak teraba dingin
- Nadi perifer klien teraba normal (16-20 x/menit) dan cukup
kuat
Intervensi:
Circulatory Precaution
1. Lakukan pengkajian komprehensif terhadap sirkulasi perifer (nadi perifer,
oedem, CRT, warna, dan temperature)
Rasional: pengkajian komprehensif sangat diperlukan untuk menentukan
ketidakefektifan perfusi
2. Pertahankan hidrasi adekuat untuk mencegah peningkatan viskositas darah
Rasional: apabila viskositas darah meingkat maka semakin memperburuk
perfusi darah ke perifer
3. Hindari pemberian terapi intravena dan terapi invasive lain pada daerah dengan
sirkulasi yang kurang baik
Rasional: pada daerah dengan perfusi yang tidak baik jika timbul injuri maka
akan sulit untuk penyembuhannya
4. Lakukan perawatan kuku dan kaki pada klien
Rasional: area ekstremitas rentan mengalami injuri akibat penurunan perfusi ke
perifer
5. Kolaborasi pemberian terapi O2 sesuai indikasi
Rasional: terapi oksigen dapat membantu meningkatkan aliran oksigen ke
jaringan

6. PK : Pruritus
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan PK: Pruritus
dapat diatasi dengan kriteria hasil :
- Klien melaporkan rasa gatal berkurang
- Kulit klien lembab, skuama berkurang
- Bekas garukan (erosi/ekskoriasi) (-), lesi sekunder (-)
- Klien mampu mempertahankan personal hygiene scr adekuat, lingkungan klien
lembab, suhu ruangan tidak dingin
- Klien tidak mengkonsumsi makanan yang dapat meningkatkan produksi
histamin
- Klien kooperatif dengan program terapi yang direncanakan
Intervensi
1. Monitoring karakteristik pruritus yang dirasakan klien
Rasional: untuk mengetahui karakteristik dari gatal sehingga memudahkan
intervensi yang akan diberikan
2. Monitoring kepatuhan pola hygiene klien. Edukasi klien untuk mandi air
hangat setidaknya 1x/hari, menggunakan sabun antiseptik berbahan dasar air.
Rasional: pola hygiene klien akan mempengaruhi proses perkembangan
penyakitnya
3. Monitoring kemampuan klien Untuk memotong siklus gatal dan garukan.
Edukasi klien untuk tidak menggaruk/menggosok dengan kasar bagian yang
gatal, memberikan pelembab setelah mandi
Rasional : beberapa jenis gangguan kulit akan diperparah karena garukan yang
dilakukan klien
4. Anjurkan klien untuk mengganti pakaian setelah mandi
Rasional : untuk menunjang kebersihan kulit
5. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian dengan bahan yang menyerap
keringat.
Rasional : penumpukan keringat yang berlebih dapat menjadi media
pertumbuhan bakteri
6. Berikan lingkungan yang tenang untuk klien beristirahat
Rasional : istirahat pada pasien dengan pruritus biasanya susah untuk dilakukan
sehingga modifikasi lingkungan diperlukan pada pasien
7. Anjurkan klien untuk menghindari makanan, seperti telur ikan , kacang-
kacangan untuk sementara waktu
Rasional : jenis protein dapat meningkatkan proliferasi sel atau meningkatkan
pelepasan mediator kimia
8. Hindarkan pemakaian bedak untuk mengurangi gatal, terutama pada lesi yang
terbuka
Rasional : bedak dapat bersifat iritatif terhadap lesi

7. PK Hipertensi
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan perawat dapat
meminimalkan komplikasi hipertensi dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah klien normal tidak lebih dari 130/90 mm Hg
- Klien menunjukkan perilaku membatasi makanan yang mengandung garam
tinggi
- Keluhan nyeri tengkuk pada klien berkurang
Intervensi
1. Lakukan pengkajian tekanan darah pada klien
Rasional: pengkajian dilakukan untuk mengkaji tingkat hipertensi klien
2. Anjurkan klien untuk membatasi asupan garam sesuai indikasi
Rasional: pembatasan asupan garam dapat membantu agar volume vaskuler dan
tekanan kapiler tidak meningkat
3. Kolaborasi pemberian obat-obatan anti hipertensi
Rasional: agen antihipertensi membantu untuk mengontrol hipertensi klien
4. Anjurkan untuk tingkatkan asupan kalium seperti pisang dan buah lainnya
Rasional: obat antihipertensi dapat meningkatkan haluaran kalium

d. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai perencanaan

e. Evaluasi
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan garam
ditandai dengan adanya oedem, input cairan lebih dari output cairan,
peningkatan berat badan yang cepat dalam waktu pendek.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan klien tidak
mengalami kelebihan volume cairan dengan kriteria hasil:
Cardiopulmonal status
- RR 16-20 x/menit
- TD 110-120/80-90 mmHg
- Kedalaman pernafasan normal
- Nadi perifer teraba kuat
Fluid balance
- Turgor kulit elastis
- Intake dan output cairan 24 jam seimbang
- Membrane mukosa lembab
- Kadar BUN, kreatinin, kalium serum, natrium serum, Hb dan hematokrit
dalam batas normal (Hb 12-16 gr/dL, hematokrit 36-46%, BUN 8-25
mg/dL, (natrium serum 135-145 mg/dL, dan kalium serum 3,5-5,5
nMol/lt)
Fluid overloaded severity
- Edema ekstremitas berkurang
- Ascites berkurang
- Klien tidak melaporkan letargi
2. Nausea berhubungan dengan peningkatan asam lambung ditandai dengan
klien melaporkan mual, peningkatan saliva, terasa asam di mulut
Setelah diberikan askep selama …x24jam, diharapkan nausea klien dapat
berkurang dengan kriteria hasil:
Nausea & Vomiting Control
- Kien dapat mengenali onset terjadinya mual
- Klien dapat menjelaskan faktor penyebab mual
- Klien mampu menggunakan antiemetik yang direkomendasikan
Nausea & Vomiting Severity
- Tidak terdapat ekskresi saliva yang berlebih
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan keinginan makan akibat peningkatan produksi HCl
ditandai dengan penurunan kadar albumin (< 3,5 meq/dL), klien tampak
kurus, berat badan menurun.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
Nutritional status
- Intake makanan adekuat ( skala 5 = not compromised)
- HCT normal 40-45% (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tonus otot normal ( skala 5 = not compromised)
Nutritional status: fluid and food intake
- Intake makanan adekuat ( skala 5 = not compromised)
Biochemical status
- Albumin meningkat atau normal (3,5-5 gr/dL) (skala 5 = no deviation from
normal range)
4. PK Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama…x24 jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
- TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, suhu:
36-37,5°C, RR: 16-20 x/menit).
- Konjungtiva berwarna merah muda.
- Hb klien dalam batas normal (12-16 g/dL).
- Mukosa bibir berwarna merah muda.
- Klien tidak mengalami lemas dan lesu.
5. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin dalam darah ditandai dengan kulit tampak pucat,
CRT > 2 detik, akral dingin.
Setelah diberi asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan perfusi
jaringan perifer klien efektif dengan kriteria hasil:
Tissue perfusion: peripheral
- CRT klien normal < 2 detik
- Temperature kulit dan akral normal tidak teraba dingin
- Nadi perifer klien teraba normal (16-20 x/menit) dan cukup kuat

6. PK : Pruritus
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan PK:
Pruritus dapat diatasi dengan kriteria hasil :
- Klien melaporkan rasa gatal berkurang
- Kulit klien lembab, skuama berkurang
- Bekas garukan (erosi/ekskoriasi) (-), lesi sekunder (-)
- Klien mampu mempertahankan personal hygiene scr adekuat, lingkungan
klien lembab, suhu ruangan tidak dingin
- Klien tidak mengkonsumsi makanan yang dapat meningkatkan produksi
histamin
- Klien kooperatif dengan program terapi yang direncanakan
7. PK Hipertensi
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan perawat
dapat meminimalkan komplikasi hipertensi dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah klien normal tidak lebih dari 130/90 mm Hg
- Klien menunjukkan perilaku membatasi makanan yang mengandung garam
tinggi
- Keluhan nyeri tengkuk pada klien berkurang

DAFTAR PUSTAKA

Eknoyan MD, Garabed. 2006. The Global Burden of Chronic Kidney Disease—
Challenges, Opportunities, and Solutions to Improve Patient Care and
Outcomes. Texas : Baylor College of Medicine

Himmelfarb dan Sayegh. 2010. Chronic Kidney Disease, Dialysis, and Transplantation:
A Companion to Brenner and Rector’s The Kidney. USA: Saunders

Jameson, J.L. & Loscalzo, J. (Eds). 2010. Harrison’s : Nephrology and Acid-Base
Disorders. US : The McGraw-Hill Companies.Kader et al. 2009. Symptom
Burden, Depression, and Quality of Life in Chronic and End-Stage Kidney
Disease, (online), (http://cjasn.asnjournals.org/content/4/6/1057.short, diakses 20
Januari 2012)

Johnson, Marion, dkk. 2008. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes


Classifcation (NOC), Second edition. USA : Mosby.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid II. Jakarta : EGC.
McCloskey, Joanne C. dkk. 2004. IOWA Intervention Project Nursing Intervention
Classifcation (NIC), Second edition. USA : Mosby.

National Kidney Foundation, 2002. Association of Level of GFR with Indices of


Functioning and Well-being. New York: National Kidney Foundation, (online),
(http://www.kidney.org/professionals/Kdoqi/guidelines_ckd/p6_comp_g12.htm,
diakses 10 Januari 2012)
Raka Widiana. 2007. Jurnal Gagal Ginjal Kronis. Available at:
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2_edited.pdf (Acessed: 15 Juli 2011)

Situmorang, EY. 2010. Gambaran Pola Makan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang
Menjalani. Hemodialisa Rawat Jalan Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun
2009. Medan : Universitas Sumatera Selatan

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC

Suharto. 2004. Prognosis Penyakit Ginjal Kronis. Available at:


http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-suharto-969-cox
(Acessed: 15 Juli 2011)

Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD

Anda mungkin juga menyukai