Anda di halaman 1dari 25

Morfologi Bentuk Bangunan Tradisi Minangkabau Sebagai Refleksi Budaya

Oleh. Drs. Nasbahry Couto, M. Sn. & Ir. Harmaini Darwis, M. Sc.
A. PENGANTAR
1. Teori proses kreatif
Salah satu dari pemula pemikir teori proses kreatif di bidang desain adalah Cristhoper Jones
(1971). Dia menjelaskan metodologi seni dan desain dalam beberapa kategori seperti medode
craft, black box, glass box dan problem solving.

Khusus untuk desain tradisional, dia dengan mengutip Sturt (1923) menyebut desain tradisional
adalah hasil suatu penyaluran informasi yang tidak mencolok selama berabad-abad, sebab
informasi tertulis tidak ada, metoda desain tradisional disebut Jones sebagai metoda kriya (craft
method). Yaitu suatu metoda desain yang posesnya terjadi secara evolusi atau "trial and error",
sebab para tukang tidak dan seringkali tidak dapat menggambarkan karya-karya di atas kertas,
dan tidak pula mereka dapat memberikan alasan yang memadai bagi keputusan-keputusan desain
yang mereka ambil.

Bentuk sebuah produk atau desain dirobah oleh kegagalan dan keberhasilan yang tidak terhingga
banyaknya, dalam suatu proses coba-coba selama berabad-abad lamanya. Pencarian
berkelanjutan yang lambat dan mahal ini ditujukan kepada "garis-garis" yang tidak tampak dari
sebuah hasil desain yang baik, akhirnya menghasilkan produk yang seimbang dan cocok bagi
keperluan-keperluan pemakai kemudian hari.

Hal yang sama juga dapat berlaku pada bangunan tradisi Minangkabau. Tulisan Jones ini
memberikan inspirasi kepada Charles Jenk untuk memberikan sebuah kriteria kepada
arsitekturfolk (rakyat) yang disebutnya sebagai arsitektur vernacular, yaitu arsitektur yang tidak
disadari oleh masyarakatnya atau "unconciousness architecture". Sebab arsitektur itu tidak
menjelaskan secara rasional, kenapa itu harus terjadi dan apa alasannya terjadi, kecuali hanya
sebagai suatu "konvensi" atau kesepakatan yang telah mengakar dalam masyarakat sejak lama.

Menurut Attoe, dalam Snyder (1984), lambat laun semua hasil percobaan itu kemudian menjadi
kesepakatan komunitas tradisional, yang melahirkan aturan-aturan yang tidak tertulis. Diantara
aturan-aturan itu dapat dilihat antara lain :
• Aturan sistem tanda untuk menyampaikan pengertian pada bangunan.
• Aturan penggunaan waktu membangun.
• Aturan hubungan manusia di dalam bangunan atau komunikasi dalam
bangunan.
• Aturan sumber-sumber bahan, tenaga, dan teknologi bangunan.
• Pengaturan tentang citra bangunan.
• Pengaturan habitat manusia, lingkungan sekitar.
• Aturan bentuk dan dan fungsi ruang.
• Aturan pelayanan dalam bangunan.
• Aturan nilai dan makna bangunan.
• Aturan untuk mengubah atau meruntuhkan bangunan.

Banyak teori proses kreatif lainnya, misalnya dalam bidang seni (arts), yang melihat produk
kreatif dari segi inovator, seniman dan desainer atau profesi tertentu. Dibidang Arsitektur
misalnya, Paul Alan Jhonson (1994) melihat desain sebagai akumulasi pengalamanm manusia.
Di bidang seni Herbert Read (1955) menjelaskan kreasi seni visual sebagai penciptaan bentuk-
bentuk yang menyenangkan (estetik), yang lainnya seperti Leo Tolstoy, melihat kreasi seni
visual sebagai ekspresi internal kejiwaan dan keinginan berkomunikasi, dan Susanne K.Langer,
melihat produk kreatif sebagai ekspresi lambang-lambang.

Yang agak relevan dengan tulisan ini adalah tulisan Hauser (1978, 82) dalam kacamata sosiologi
seni (sociology of Art), melihat proses kreatif dalam rangka institusionalisasi (kelembagaan)
sosial. Sebuah karya kreatif dalam masyarakat bisa dalam kondisi anonim (tidak dikenal
penciptanya), terlembaganya sebuah produk kreatif adalah atas dasar resepsi (reception) atau
penerimaan atas kehadirannya, kemudian terlihat keterpakaiannya, replikasinya secara kontinu
yang dilihat sebagai hasil convention (kesepakatan) komunitas.

Prosesnya adalah : Kreasi-Resepsi-Konvensi dan Instituonalisasi


Hal ini dapat menjelaskan perbedaan produk kreatif dan persepsi terhadap ragam produk kreatif
tersebut berdasar komunitas sosial. Misalnya: seni tinggi (hight art), folk arts, feodal
arts,traditional arts, urban and rural arts, seni urban pinggiran. dsb)

Gambar 1. Proses kreatif menurut Paul Alan Jhonson (1994), dalam bukunya The Theori of
Architecture; Conscepts Themes & Practice.

Sebagai penutup tentang proses kreatif, kita dapat mengakhirinya dengan teori Paul Alan
Jhonson (1994), dalam bukunya The Theory of Architecture; Conscepts Themes & Practice.
Produk kreatif desain adalah akumulasi pengalaman visual, intuisi dan ekspresi visual, yang
diturunkan dari meme.

Meme, adalah peniruan, yaitu sebuah prinsip di mana semua ilmu pengetahuan, budaya manusia
diturunkan melalui peniruan. Konsep meme ini pertamakali berasal dari Richard Dawkins,
1989, The Selfish Gene lihat Journal of Memetics, http//ww.jom-emit.org. atau teorinya.
Dari konsep ini kita mudah memahami bahwa sebenarnya tidak ada yang baru dalam seni dan
desain, sebab semua bentuk yang ada adalah peniruan atau modifikasi dan tranformasi atas
bentuk–bentuk yang telah dikenali sebelumnya. Cuma kita saja yang melihat sesuatu yang baru
dikenal secara unik atau secara budaya, dan atau mencari-cari perbedaan atas apa yang kita lihat
(keyakinan, kepercayaan dan mitos) atas temuan sebelumnya.

2. Arsitektur tradisional

Istilah arsitektur, sebenarnya tidak dikenali oleh komunitas tradisi. Mereka hanya mengenal
bangunan sebagai tempat tinggal. Dan menyadari sebuah tempat dan ruang yang dibedakan atas
keyakinan, kepercayaan, oleh mitologi dan menciptakan tempat untuk kegiatan khusus atau
kegiatan sehari-hari dimana mereka dapat berdiam, aman dari berbagai gangguan (Waterson,
Snyder, Attoe, dsb). Jadi dilihat dari sudut pandang kreatifitas, tradisi sebenarya juga sebuah
bentuk lain dari meme (pengulangan dan peniruan)

Kritik terhadap istilah tradisi itu adalah tentang batasan makna tradisi sebagai sesuatu yang
diwariskan satu generasi ke generasi lain (KBBI, 1991). Konotasi tradisi dalam hal ini lebih
menjelaskan proses belajar, dan kurang menjelaskan frekuensi kehadiran artefak.

Padahal istilah tradisi lebih diarahkan untuk menjelaskan terlembaganya sesuatu hal dalam
masyarakat (Hauser). Ilmu sosial menjelaskan fenomena komunitas, ilmu budaya menjelaskan
fenomena perilaku komunitas yang umum, sedangkan kajian historis menjelaskan
kronologinya.

Tetapi hanya perbuatan yang terjadi dalam situasi sosial yang berlangsung terus-menerus akan
terjadi kelembagaan (institusional) itu. Misalnya cara berbicara dan berbahasa, cara tingkah-
laku, cara berkarya atau, pengaturan ruang atau tata atur bentuk bangunan, atau kekerabatan dan
perkawinan, baru syah disebut tradisi kalau terjadi pengulangan menerus dan atau memepleks (
Couto, 2008)

Jadi apabila sebuah jenis bangunan, bentuk bangunan, tata ruang secara berulang nampak
kehadirannya di suatu tempat (A) dan di tempat lain (B) hanya sesekali nampak, maka di tempat
A dapat disebut tradisi lokal (A), dan di tempat (B) dapat diasumsikan sebagai pengaruh dari
(A). Demikian juga halnya dengan berbahasa, berperilaku, berfikir, kepercayaan dan mitologi,
seni dan banyak lainnya lagi. Jadi sebuah fenomena arsitektur lokal di nagari tertentu di
Sumatera Barat, kemudian diangkat dan diatasnamakan sebagai tradisi Minangkabau sebenarnya
perlu dikaji ulang. Dan hal ini pulalah yang menjadi alasan artikel ini dibuat untuk mengkaji
morfologi bangunan tradisi Minangkabau.

3. Budaya Minangkabau
Budaya ada hubungannya dengan tradisi dan adat yaitu perilaku yang dilakukan secara berulang
oleh karena paksaan aturan tidak tertulis. Para ahli budaya Minang sepakat bahwa budaya
minang itu berasal dari luhak nan tigo (sekarang Kabupaten Tanah datar, Agam dan 50 Kota),
lainnya disebut rantau. Karena aturan tidak tertulis (adat) itu juga dibagi berdasarkan adat yang
tidak boleh dirubah (adat yang sebenar adat) dan yang boleh dirubah (adat istiadat) Budaya
visual masuk kategori yang terakhir ini sebagai “adat salingka nagari” .
Konsep tradisi bangunan tradisional menjadi lemah kedudukannya, jika terdapat perbedaan yang
mencolok di lokasi yang berbeda. Oleh sebab itu perlu diketahui bentuk asal dan sebarannya.

Misalnya mana yang asal tradisi dan mana yang sudah dirobah di lain nagari di Sumatera Barat,
bagaimana pedomannya, mana yang bentuk asal dan mana pula bentuk pengaruh dan yang suah
dikembangkan.Hal ini mendasari pemikiran untuk menganalisis bentuk asal ruang hunian atau
bangunan tradisi Minangkabau, yaitu untuk mencari morfologi bentuk bangunan, termasuk
bentuk denah bangunan.

B. BENTUK ASAL RUANG BANGUNAN TRADISI MINANGKABAU


Gambar 2. denah bangunan asli tradisi Minangkabau (hasil penelitian Couto,1998, Asri 2002,)

Banyak teori yang menjelaskan bahwa sebuah bangunan masyarakat primordial mestinya
sederhana dan bukan kompleks atau rumit (Snyder, 1984, Roxana Waterson, Holt, 1967) dsb.
Berdasarkan pemikiran ini, dan dari hasil penelitian dapat diperoleh bentuk dasar bangunan
tradisi Minangkabau. Menurut Darwis (1978), Usman, (1985), Couto (1998), Asri (2002) adalah
berbentuk persegi panjang, yang dibangun oleh susunan tiang-tiang, seperti yang diperlihatkan
oleh gambar berikut ini. (gambar 2).

Hasil penelitian beberapa penulis itu menunjukkan kecendrungan yang sama, bahwa bentuk asal
bangunan tradisi itu memiliki lima ruang, berlanjar empat, dan terdiri dari 30 tiang. Bentuk
denah ini adalah sebuah thesis tentang asal bangunan tradisi Minangkabau karena baik dari
teknologi membangun, maupun dalam bentuknya, dan penamaannya diprediksi memiliki
kesamaan di setiap nagari Minangkabau (terutama di luhak nan tigo). Perbedaan nya adalah
dalam membentuk kulit bangunan (enclosure), terutama bentuk atap dan badan bangunan.

Dengan tidak mengenyampingkan tulisan-tulisan para penulis sebelumnya seperti penulisan


tentang bangunan tradisi dari pihak museum (Bustami, 1977), atau sastrawan (A.A.Navis, 1984),
dan ahli seni (Ibenzani Usman, 1985), seperti pada uraian di atas. Kategorisasi dan
klassifikasi bangunan tradisi yang diungkap penulis di atas belum tentu sesuai dengan
kenyataan di lapangan. Arsip-arsip lama dari negeri Belanda yang diteliti oleh Capistrano
(1991), seorang peneliti dari Pilipina memperlihatkan corak bangunan sederhana yang dimaksud,
atapnya dari ijuk dan berdiri di atas tiang-tiang, seperti catatan berikut ini.

Deskripsi tentang bangunan asli


(hasil penelitian Couto, 1998, Asri, 2002 )

(1) Badan rumah adat bentuknya persegi panjang


(2) Atapnya berbentuk runcing dan bentuk atap segi tiga dari samping
(3) Kolom atau tiang, susunannya berjejer, satu jejer 5 buah tiang, untuk
satu bangunan dengan 5 ruang diperlukan 30 buah tiang;
(4) Lantai berlanjar 4 ( blik, bandua, labuah, balai)
(5) Dinding depan kayu, dinding belakang dengan jalinan bambu
(6) Jendela yang disebut “pintu”
(7) Pintu masuk tidak pakai tangga
C. DESKRIPSI CORAK BANGUNAN RUMAH
ADAT MENURUT TAFSIRAN BEBERAPA
PENULIS

1. Penelitian Boestami dkk, tentang rumah adat, terbitan Museum Aitiyawarman


(1979:24-42)
1. Gajah Maharam yang dianggap sebagai rumah adat yang berpaham adat KP,
2. Rajo babandiang dan Bapaserek sebagai rumah adat luhak 50 Kota.
2. Tulisan A.A.Navis (1984) (dalam buku :Alam Takambang jadi guru)
1. Rumah Adat Koto Piliang (Sitinjau Lauik, Luhak Tanah Datar)
2. Rumah Adat Bodi Chaniago, Surambi Papek (Agam)
3. Rumah Adat Rajo Babandiang (luhak 50 Koto)
3. Penelitian Usman (1985) ( disertasi S3, Seni Ukir Tradisional
Minangkabau, ITB, Bandung)
1. Tipe Gajah Maharam
2. Tipe Rajo Babandiang
3. Pola Bodi Chaniago
4. Pola Koto Piliang
Untuk meneliti kebenaran apa yang diungkap oleh peneliti sebelumnya dan juga untuk mencari
morfologi bangunan itu maka tulisan ini diturunkan. Apakah benar apa yang telah diungkapkan
oleh penulis sebelumnya ?
Gbr 3. Pelukisan bangunan tradisi Oleh Maaß (1910), seorang pelancong Barat yang datang ke
pedalaman Sumatera, sumber Capistrano (1991). Pada gambar ini tangga sudah memiliki atap,
bentuk ini sebenarnya perkembangan lanjut dari bangunan yang asli yang tangganya tanpa atap.

D. KONSEP DASAR PEMBENTUK RUANG :


UPACARA ADAT DAN DASAR TEORI

1. Teori Fungsi Ruang Musyawarah


Sebuah teori klasik yang mendasari terbentuknya denah bangunan seperti gambar (1) yaitu
kebutuhan untuk melakukan upacara adat adalah pada area/bagian depan bilik bangunan yang
disebut dengan lanjar balai, labuah, bandua. Dari penelitian terungkap, bahwa pada awalnya
musyawarah itu di lakukan di luar bangunan. Susunan orang bermusyawarah mirip
dengan seperti susunan batu itu. Bentuk dan susunan orang bermusyawarah yang terdapat di di
rumah gadang nagari Pariangan atau beberapa nagari di Minangkabau, memperlihatkan
kemiripan dengan susunan batu itu. Seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut : (hasil
wawancara dengan tukang tuo, analisis ke lapangan, 1980, Syamsul Asri).
Gbr. 4. Susunan batu tempat duduk untuk musyawarah adat.Susunan batu ini dapat kita
bandingkan dengan susunan bermusyawah pada upacara adat di rumah gadang lazimnya sebagai
berikut ini.

Gbr. 5. Susunan tempat duduk untuk musyawarah adat dalam rumah gadang

2. Teori Makna (lambang)/ Kajian Semiotika

Teori lain mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau paling awal mengenal lambang yang
empat (siampek) Lih. A.A.Navis, 1994), dan Nasbahry Couto (1998)., dsb

Lambang yang empat itu direpresentasikan dalam bentuk verbal dan visual. Dalam verbal
misalnya seperti berikut ini.

1. Kato nan ampek (kato malereng, mandaki, manurun, mandata)


2. Keponakan nan ampek macam
3. Urang sumando nan ampek macam
4. Bilik/ kamar ada empat
5. Urang nan ampek jinih
6. Gonjong nan ampek dst.

Jadi ketentuan gonjong, mesti empat buah itu diikuti oleh nagari, yang patuh terhadap aturan adat
ini, nagari lain yang menganggap hal ini tidak penting tidak mengikutinya. Misalnya rumah adat
di Muarolabuah, ada yang delapan ,enam dsb, gonjongnya.

Untuk menggambarkan serba empat itu dalam bangunan maka lanjar dibuat empat
(biliak, bandua, labuah, balai:lihat gambar). Salah satu kesulitan dalam membangun empat ruang
(bilik) adalah karena adanya pantang-larang sebuah bilik tidur tidak boleh bertentangan dengan
pintu masuk (kepercayaan animisme, dan magisme). Sebagai jalan keluarnya maka dibangun 5
buah, satu yang ditengah dianggap tabu untuk dipakai karena bertentangan dengan pintu masuk.
Biasanya bilik kosong ini dipakai sebagai penyimpan barang (gudang). Angka genap adalah
angka yang dipakai ditambah dengan satu ruang, maka bilangan bilik selalu dalam angka 3,5,7
dan 9, yang dipakai dalam membangun rumah adat atau rumah gadang

Dari penelitian di lapangan ternyata etnik Minang masa lampau menghubungkan simbolisasi
rumah gadang dengan unsur animistik, kepercayaan Hindu dan berbaur dengan unsur magis.
Demikian juga dalam hal angka-angka ganjil seperti angka 5,7,9 yang dipakai dalam tata atur
bangunan (Couto, 1998).

3. Teori Sejarah dan perkembangan budaya, warisan budaya masa


lalu: Fenomena Simbol Serba Empat = Hindu-Budha (Hasta Brata)
Lambang empat itu digambarkan pada jumlah gonjong, jadi walaupun jumlah bilik bangunan 3,
5, 7, 9 dan seterusnya. Gonjong tetap di buat empat buah. Contoh di atas memperlihatkan
bangunan rumah gadang di Sulit Air Solok, yang jumlah ruangnya 20 kamar (ruang)
Lambang ini juga diterapkan pada pembagian komunitas misalnya:

1. Taratak, Dusun, Koto, Nagari


2. Pada pembagian lanjar : bilik, bandua, labuah, balai
3. Pada pembagian suku : Koto, Piliang, Bodi, Chaniago
4. Pada simbol tiang rumah gadang, dsb

Gbr. 6. Bangunan 20 ruang di nagari Sulit Air Kab.Solok. walaupun bangunan memanjang dan
banyak ruang gonjong tetap berjumlah empat. Lihat lokasi

Repro bangunan tradisi darek (daerah Minagkabau darat), sekitar 150 tahun yang lalu, di daerah
Baso (kota Bukittinggi). Bangunan ini tidak beranjung. Penempatan dan model ukiran mirip
dengan bangunan asli yang ada di Pariangan. Tangga tanpa atap,memiliki lima ruang, ditandai
dengan empat buah jendela, ditambah dengan satu pintu masuk di tengah bangunan. Bangunan
ini bertingkat (tingkek), dengan gonjong empat buah.Sumber Rusli Amran.
Peta Minangkabau sekitar tahun 1847, sewaktu regen dan kepala Laras memerintah
Minangkabau sebagai perpanjangan pemerintahan Belanda. Pada peta ini diperlihatkan daerah
pesisir (bagian gelap) sebelah kiri untuk membedakannya dengan daerah Minangkabau darek.
E. PERKEMBANGAN BENTUK DENAH DAN RUANG
Sejalan dengan waktu maka terjadi modifikasi dan perubahan bentuk asli ini ke bentuk yang
lebih bervariasi antara lain sebagai berikut ini.
1. Pengembangan menjadi 7 dan 9 ruang

Gbr. 7 Pengembangan denah bangunan dari 5 ruang menjadi 7, 9 dst


2. Pengembangan menjadi bangunan raja (bangunan beranjung)

3. Model bangunan khusus beranjung

Dalam perkembangannya, bangunan beranjung tidak hanya jadi model untuk bangunan raja.
Tetapi juga model bagi bangunan Balai Adat, Museum, dan kantor–kantor pemerintahan.
Contoh di atas adalah balai adat di nagari Saning Bakar Solok.

4. Perubahan jumlah bilik menjadi tiga ruang

Pada waktu tertentu, terjadi kebakaran hebat disebuah kampung attau akibat resesi ekonomi,
maka sulit untuk pengadaan kayu untuk membangun rumah gadang. Jalan keluarnya adalah
dengan mengurangi, jumlah ruang. Dan diakui sebagai bangunan rumah gadang, dengan syarat
harus memiliki gonjong 4. Contoh di bawah adalah sebuah surau yang bergonjong dua
Gbr. 8 Pengurangan jumlah ruang menjadi 3 ruang, (kiri) Bentuk atap “surambi papek” yang
memiliki tiga ruang (kanan)

5. Perubahan dari tangga yang tidak beratap menjadi beratap

Gbr. 9 Denah bangunan dengan tangga beratap


Bangunan yang asli di nagari Pariangan, adalah contoh dari bangunan asal yang tangganya tidak
memiliki atap. Perubahan terjadi dengan memberikan atap pada tangga.
6. Tambahan bangunan dengan ruang tamu (Serambi Aceh)

Gbr. 10 Denah dan tampak depan bangunan berserambi di Pariangan


Di beberapa nagari bangunan yang berserambi disebut dengan rumah gadang serambi Aceh,
pada lain nagari mungkin namanya lain lagi. Bangunan ini muncul sewaktu jaman kolonial,
dimana Belanda tidak boleh masuk ke dalam rumah gadang, oleh karena itu mereka di terima di
ruang tamu ini.

7. Perubahan pintu masuk dari belakang (Gaya daerah Agam)

Gbr. 11 Denah, tampak depan dan tangga belakang bangunan surambi papek corak Agam
Gbr. 12 Denah, tampak depan bangunan gaya 50 Kota.
Gambar perspektif di atas, memperlihatkan pergeseran letak gonjong , Pintu masuk dari samping
kiri atau kanan bangunan (gaya 50 Kota)

9. Gaya Campuran 50 kota dan Agam


10. Pengembangan Ruang pada bagian depan dan belakang bangunan
Bangunan seperti ini banyak ditemukan pada nagari-nagari di Solok dan Solok selatan seperti di
Muara Labuh dan daerah lainnya.

11. Campuran bangunan daerah pesisir dengan daerah darek di kota


Padang
12. Campuran bangunan darek dengan Melayu-Aceh-

Nias
Gambar-gambar hasil penelitian di daerah Pauh Padang yang memperlihatkan Rumah tradisional
Kajang Padati. Atapnya tidak berbentuk gonjong, tata ruangnya sudah diperuntukkan untuk anak
laki-laki tinggal di rumah hunian. Hal ini berbeda dengan bangunan darek yang tidak
membolehkan anak laki-laki desa tinggal di rumah gadang. Unsur-unsur luar yang masuk dapat
di lihat dari bentuk tangga yang mirip dengan bentuk tangga Gayo Aceh, dan juga ukirannnya.
Denah rumah Padang umumnya mirip dengan rumah Aceh Selatan (gambar denah kiri). Denah
Rumah yang mirip dengan bangunan rumah adat darek (kanan).

Gbr. Rumah Gadang/Adat Kajang Padati di kota Padang (pesisir Minang) sebagai pengaruh
bangunan Nias, Aceh dan Minang (campuran)

Untuk melihat lokasi pengambilan foto atau rumah ,(klik kanan peta ini)
KESIMPULAN

Dari analisis terhadap beberapa bentuk denah bangunan baik di daerah daratan (darek) atau di
“luhak nan tigo), seperti luhak 50 koto ( sekarang kabupaten 50 kota), luhak Agam (sekarang
kabupaten Agam) dan luhak Tanah Datar ( sekarang Kab.Tanah Datar), dan perbandingannya
dengan denah bangunan yang ada di pesisir serta kota Padang; dapat disimpulkan.
1. Bangunan tradisi Minangkabau yang berasal dari Pariangan (Lareh Nan
Panjang) menunjukkan salah satu bentuk asal bangunan tradisi Minangkabau
2. Bangunan asal ini kemudian mengalami perkembangan dengan penambahan pada
berbagai sisi bangunan dan juga pada bentuk atap. Hal ini diperlihatkan pada
pengembangan bentuk bangunan yang dapat berbeda pada setiap nagari.
3. Bangunan tradisi yang berada di daerah pesisir pantai, umumnya dipengaruhi oleh
tradisi bangunan luar seperti pengaruh Nias, Aceh dan juga Betawi (di jaman kolonial),
tetapi tradisi bangunan darek, tetap menonjol terutama dalam hal teknologi
membangunannya.
4. Jumlah tiang pada bangunan pesisir umumnya lebih sedikit dari pada bangunan
darek (antara 12-20 tiang).Sedangkan ukiran atau hiasan bangunan umumnya
menampakkan pengaruh Aceh Selatan.
5. Hasil penelitian ini perlu untuk membentuk persepsi lain tentang ikon-ikon yang
dipakai dalam bidang seni rupa dan desain. Sebab selama ini ikon yang
ditonjolkan digambarkan dalam bentuk bangunan beranjung yang sebenarnya dapat
keliru, dan menipu sejarah sosial budaya tradisi Minangkabau lama.
KEPUSTAKAAN
1. Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang ( Bagian pertama),
Sinar Harapan, Jakarta.
2. Amran, Rusli.1984. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (Bagian kedua), Sinar
Harapan, Jakarta.
3. Asri, Syamsul. “ Minangkabau ( The design Construction and the meaning of
traditional house in Minangkabau , west Sumatera) “.(Seminar, “traditional dwellngs in
Westeren Indonesia and ways of their inhabitation”, Leiden 28-29 march, 1996)
4. Boestami (Dkk), 1979. Arsitektur Tradisional Minangkabau: Rumah Gadang.
Kanwil P& K Sumbar.Proyek Sasana Budaya Jakarta.
5. Capistrano, Florina H..1997. Recunstruction The Past: The Notion Of Tradition in
West Sumatran Architecture 1791-1991, Columbia University, 1997.
6. Couto,Nasbahry, 1998.Makna dan unsur-unsur visual pada bangunan rumah
gadan, (tesis Pasca Sarjana tidak diterbitkan) Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB, Bandung
7. -------------------2008. Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau, Padang: UNP
Press
8. Darwis, Harmaini. 1981. Sebuah Tinjauan Tentang Arsitektur Moderen dengan
ciri Tradisional Minangkabau (Seminar Jurusan Arsitektur STT-SB, 1981)
9. Dawson, Barry & Gillow, John .1994.The Traditional Architecture of
Indonesia.London: Thames & Hudson
10. Frick, Heinz..1989. Traditional Rural Architecture and Building Methods in the
Hill of Central - Easteren Nepal.
11. Geertz, Clifford, 1992. Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius
12. Holt, Claire. 1967.Art In Indonesia: Continuities and change, New York:Cornell
University Press,
13. Jamal, Mid. 1985. Manyigi Tambo Alam Minangkabau, Bukittinggi : CV.Tropic
14. Kuntjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Universitas
15. Kuntjaraningrat.1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D.Aksara.
16. LKKM, Sumatera Barat.1987.Pelajaran Adat Alam Minangkabau ( Sejarah dan
Budaya), Padang
17. Manan, A.R.P., ST.Mahmoed BA 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan
Bukti Sejarah (monografi). Tidak diterbitkan
18. Manggis,.M.Rasjid., Dt.Radjo Pangoeloe.1967.Minangkabau: Sejarah Ringkas
dan Adatnya. Jakarta: P.Mutiara
19. Mansoer. M.D. (Dkk) 1970. Sedjarah Minangkabau . Djakarta: Pen. Bhratara
20. Martamin, Mardjani & Amir Brenson . 1976. Ragam Ukiran Rumah Gadang
Minangkabau . Padang: Penelitian Jurusan Sejarah FKPS IKIP Padang.
21. Murad, Krisnamurty (1991), Suatu kajian Perkembangan Bentuk Atap Arsitektur
Tradisional Minangkabau : studi kasus Rumah Gonjong di Ranah Minang, Program
Pasca Sarjana, ITB,. Bandung.
22. Nasroen,.M.1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau . Jakarta: P.Bulan Bintang
23. Navis, A.A; 1984.Alam Terkembang jadi Guru : Adat Kebudayaan
Minangkabau, Jakarta .Penerbit PT Pustaka Grafitipres
24. Revisionery, Riza (Dkk) 1979.Arsitektur Minangkabau .Laporan kuliah Kerja
Lapangan-I.Sumetera Barat,Dep.Arsitektur ITB .Bandung
25. Rifai, Abu (ed).1977/1978 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan Daerah dep.Pendidikan Dan
Kebudayaan
26. Sangguno Diradjo.Dt.1987.Curaian Adat Alam Minangkabau . Bukittinggi:
Pustaka Indonesia
27. Sumintardja, Djauhari 1991.Kompedium Sejarah Arsitektur, Jilid I. Bandung :
LPMB
28. Tuo, Datuk. 1986. Tambo Alam Minangkabau, Penerbit Limbago, Payakumbuh.
29. Usman. Ibenzani. 1984. Seni Ukir Tradisional Minangkabau, Disertasi, Program
pasca Sarjana, Institut Technologi Bandung.
30. Waterson, Roxana.1990. The living House: An Antropology of Architecture in
South-East Asia. Singapore: Oxford University Press.
Lampiran: Perubahan Bentuk Denah Bangunan Tradisi Minangkabau
Catatan Akhir
1. Jadi syah atau tidaknya sebuah perkataan tradisi adalah pengulangan perilaku
yang terus-menerus, yang menyebabkan terjadinya kelembagaan dalam sosial. Sama
halnya dengan bahasa, terlembaganya bahasa dalam sebuah masyarakat karena
dipakai setiap hari dengan cara yang sama. Terjadinya pembaharuan dalam pemakaian
bahasa karena ada istilah baru, atau sebuah perkataan untuk menunjuk benda baru.
Sebaliknya ada kata-kata yang tidak terpakai lagi, tetapi hal itu tidak pernah merubah
bahasa itu secara keseluruhan.
2. Hasil penelitian Syamsul Asri (Disertasi S3, tahun 2000) misalnya menjelaskan
bahwa dari 300 buah bangunan di kawasan pusat budaya, Kabupaten Tanah Datar yang
diteliti, hanya 5 buah yang beranjung dan 4 diantaranya adalah berada di Limo Kaum
(pusat keselarasan Bodi Chaniago), hal ini membuktikan bahwa tulisan pada box di atas
(hasil pernyataan A.A. Navis, Ibenzani, dan Boestami) belum bisa dipercaya
kebenarannya.

Anda mungkin juga menyukai