Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Konsep Dasar Kompres

A. Pengertian Kompres

Dalam bidang keperawatan kompres telah dikenal sejak dulu sebagai

cara untuk mengurangi nyeri.

Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan

menggunakan cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau dingin

pada bagian tubuh yang memerlukan.

Kompres panas dan dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat

meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan

B. Jenis-Jenis Kompres

1) Kompres Dingin

Kompres dingin adalah memasang suatu zat dengan suhu rendah pada

tubuh untuk tujuan terapeutik .

2) Kompres Hangat

Kompres hangat merupakan metode memberikan rasa hangat pada klien

dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada

bgian tubuh yang memerlukan.

Efek hangat dari kompres dapat menyebabkan vasodilatasi pada

pembuluh darah yang nantinya akan meningkatkan aliran darah ke

jaringan.

C. Pengertian Kompres Hangat


Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat untuk memenuhi

kebutuhan rasa nyaman, mengurangi atau membebaskan nyeri, mengurangi

atau mencegah spasme otot dan memberikan rasa hangat pada daerah

tertentu (Uliyah dan Hidayat, 2008). Kompres hangat dapat dilakukan

dengan menempelkan kantong karet yang diisi air hangat atau handuk yang

telah direndam di dalam air hangat, ke bagian tubuh yang nyeri. Sebaiknya

diikuti dengan latihan pergerakan atau pemijatan. Dampak fisiologis dari

kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot tubuh lebih

rileks, menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri, dan memperlancar aliran

darah (Kompas, 2009).

Kompres hangat bermanfaat untuk meningkatkan suhu kulit lokal,

melancarkan sirkulasi darah dan menstimulasi pembuluh darah, mengurangi

spasme otot dan meningkatkan ambang nyeri, menghilangkan sensasi rasa

nyeri, serta memberikan ketenangan dan kenyamanan (Simkin, 2005).

Air merupakan sarana yang baik bagi suhu panas, dan lebih baik

daripada udara. Dengan air, kita tidak terlalu banyak terpengaruh oleh panas

maupun dinginnya suhu udara, seperti saat kita mencelupkan (merendam)

tubuh kita ke dalam air panas maupun dingin. Maksudnya, suhu udara di luar

bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi (rasa tubuh), tetapi media

pemindah dan penyampai rasa dan juga berperan besar dalam menghasilkan

pengaruh rasa. Misalnya, suhu air panas yang dapat digunakan dalam

kondisi biasa berkisar sekitar 46oC (Mahmud, 2007).

Tugas utama air di sini adalah memompa suhu panas kepada tubuh,

hingga secara perlahan terjadi peringatan mekanis dan kimiawi yang

berdampak positif. Pengaruh lainnya juga kepada tubuh bagian luar,


anggota-anggota tubuh bagian dalam, dan sirkulasi darah. Suhu panas

(panas tubuh) menjadi pendorong yang positif bagi energi tubuh. Ini terjadi

berkat pengaruh efektifnya terhadap komponen-komponen sel yang terdiri

dari berbagai elektron, ion-ion dan lain sebagainya (Mahmud, 2007). Air

hangat (46,5-51,5oC) memiliki dampak fisiologis bagi tubuh, yaitu pelunakan

jaringan fibrosa, mempengaruhi oksigenisasi jaringan sehingga dapat

mencegah kekakuan otot, memvasodilatasikan dan memperlancar aliran

darah, sehingga dapat menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri.

Jenis-jenis kompres hangat:

a. Kompres hangat kering

Yakni dengan menggunakan pasir yang telah dipanasi sinar

matahari guna mengobati nyeri-nyeri rematik pada persendian.

Selain itu, terapi ini juga dapat mengurangi berat badan dan

menghilangkan kelebihan berat badan.

b. Kompres hangat lembab

Kompres jenis ini digunakan dengan sarana atau mediasi sebuah

alat yang dikenal dengan nama hidrokolator. Yakni alat elektrik yang

diisi air, digunakan untuk memanaskannya hingga mencapai suhu

tertentu. Di dalam alat ini dicelupkan beberapa alat kompres dengan

bobot bervariasi yang cocok untuk menutupi seluruh bagian tubuh.

Terapis mengeluaran kompres-kompres ini dengan menggunakan

penjepit khusus, lalu melipatnya dengan handuk dan meletakkannya

di atas tubuh pasien agar kompres tersebut berfungsi menghilangkan

penyusutan otot dan membuatnya lentur kembali. Selain itu juga


untuk membatasi atau mencegah nyeri dan memulihkan sirkulasi

darah.

c. Kompres bahan wol hangat

Yakni dengan memanaskan bahan wol di atas uap kemudian diperas.

Kompres macam ini memiliki kelebihan dengan kepanasannya yang

tinggi dan tidak akan mencederai atau berbahaya bagi kulit. Kompres

ini terdiri dari kompres dalam yang ditutup dengan tutup plastik tahan

air. Juga memiliki bungkus luar terbuat dari bahan wol untuk

mencegah atau membatasi masuknya hawa panas. Kompres ini

digunakan untuk menghilangkan nyeri-nyeri dan penyusutan otot-

otot. Kompres ini juga dapat digunakan 3-4 kali selama 5-10 menit.

d. Kompres gelatine (jelly)

Kompres model ini memiliki keistimewaan yang mampu menjaga

panas atau dingin untuk beberapa lama. Kelebihan kompres ini

terletak pada fleksibelitas bentuknya yang dapat dicocokkan dengan

anggota tubuh sehingga mampu menghasilkan suhu yang diharapkan

dan sanggup menggapai seluruh bagian tubuh. Proses pendinginan

kompres ini dihasilkan melalui alat khusus (hidrokolaktor) yang

memungkinkan suhu panas untuk diatur. Kompres gelatine ini

memiliki pengaruh dan cara penggunaan yang sama dengan kompres

dingin (Mahmud, 2007).

Ketika memberikan kompres hangat pada klien, harus tetap

diperhatikan suhu dari kompres itu sendiri untuk keefektifan kompres

dalam mengurangi nyeri dan menghindari cedera pada kulit akibat

suhu yang terlalu panas (Potter and Perry, 2010).


D. Tujuan Kompres

1) Kompres dingin

a) Menurunkan suhu tubuh

b) Mencegah peradangan meluas

c) Mengurangi kongesti

d) Mengurangi perdarahan setempat

e) Mengurangi rasa sakit pada suatu daerah setempat

2) Kompres Hangat

a) Memperlancar sirkulasi darah

b) Mengurangi rasa sakit

c) Memberi rasa hangat,nyaman dan tenang pada klien

d) Memperlancar pengeluaran eksudat

e) Merangsang peristaltik usus

II. Konsep Dasar Nyeri

A. Pengertian Nyeri

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan. Sifatnya

sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam

hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat

menjelaskan dan mengevakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008).

Nyeri adalah suatu antithesis dari rasa senang atau suatu keadaan yang

tidak menyenangkan (Aristoteles).

Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefenisikan nyeri

sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut


yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter

and Perry, 2005).

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan

potensial yang tidak menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian

tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan

rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,

perasaan takut dan mual (Judha, 2012).

B. Sifat Nyeri

Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut Mahon

(1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri

bersifat individual, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang

mendominasi, bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013). Menurut

Caffery (1980), nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang

tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa

ia merasa nyeri. Apabila seseorang merasa nyeri, maka perilakunya akan

berubah (Potter, 2006).

C. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,

secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.


Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep

somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda

inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang

berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6 - 30

m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat

hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5

m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri

biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri

yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan

jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek,

nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini

meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak

sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif

terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.


D. Mekanisme Nyeri

Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat

kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian

ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf tidak

bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks serebri.

Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas

dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan

disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat

berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin) dan agen kimiawi

yang dilepaskan karena trauma/inflamasi.

Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk

mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial

aksi yang dijalarkan ke system saraf pusat.

Perasaan nyeri tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf,

yang meliputi reseptor nyeri afferent primer, sel-sel saraf penghubung (inter

neuron) di medulla spinalis dan batang otak, sel-sel di traktus ascenden, sel-

sel saraf di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri. Bermacam-macam

reseptor nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-

sendi, otot-otot dan alat-alat dalam pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda

menghasilkan kuatitas nyeri tertentu. Sel-sel saraf nyeri pada kornu dorsalis

medulla spinalis berperan pada reflek nyeri atau ikut mengatur pengaktifan

sel-sel traktus ascenden. Sel-sel saraf dari traktus spinothalamicus

membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih


berperan pada pengaktifan system kontrol desenden atau pada timbulnya

mekanisme motivasi-afektif.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa thalamus lebih berperan dalam

sensasi nyeri dibandingkan daerah kortek serebri (Willis, 1995). Meskipun

demikian penelitian-penelitian lain membuktikan peranan yang cukup berarti

dan kortek serebri dalam sensasi nyeri. Struktur diensepalik dan telesepalik

seperti thalamus bagian medial, hipotalamus, amygdala dan system limbic

diduga berperan pada berbagai reaksi motivasi dan afektif dari nyeri.

E. Teori-Teori Nyeri

1. Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)

Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini menjelaskan

bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang spesifik melalui

jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak (Andarmoyo, 2013).

Teori spesivitas ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari

nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana yakni paparan

biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo,

2010).

2. Teori Pola (Pattern theory)

Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini

menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori

yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat

dari stimulasi reseprot yang menghasilkan pola dari implus saraf

(Andarmoyo, 2013).

Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola ini

bertujuan untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang


mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada

spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang

mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat mengahasilkan

trasmisi nyeri (Andarmoyo, 2013).

3. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan

bahwa implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme

pertahanan disepanjang sistem saraf pusat, dimana implus nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat

sebuah pertahanan tertutup (Andarmoyo, 2013).

4. Endogenous Opiat Theory

Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan

bahwa terdapat substansi seperti opiet yang terjadi selama alami

didalam tubuh, substansi ini disebut endorphine (Andarmoyo, 2013).

Endorphine mempengaruhi trasmisi implus yang diinterpretasikan

sebagai nyeri. Endorphine kemugkinan bertindak sebagai

neurotrasmitter maupun neoromodulator yang menghambat trasmisi

dari pesan nyeri (Andarmoyo, 2013).

F. Klasifikasi Nyeri

1. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

a) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,

penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat


dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan

berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013).

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan

menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih

kembali (Prasetyo, 2010).

b) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap

sepanjang suatu priode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan

intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6

bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter and Perry, 2005).

2. Klasifikasi Nyeri Berdasrkan Asal

a) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas

atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor khusus

yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri

nosiseptor ini dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang

mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain

(Andarmoyo, 2013).

b) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau

abnormalitas yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun

sentral , nyeri ini lebih sulit diobati (Andarmoyo, 2013).

3. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

a) Supervicial atau kutaneus


Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.

Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi.

Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Potter and

Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Contohnya tertusuk jarum suntik

dan luka potong kecil atau laserasi.

b) Viseral Dalam

Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-

organ internal (Potter and Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013). Nyeri

ini bersifat difusi dan dapat menyebar kebeberapa arah. Nyeri ini

menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan berkaitan dengan mual

dan gejala-gejala otonom. Contohnya sensasi pukul (crushing)

seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti pada ulkus

lambung.

c) Nyeri Alih (Referred pain)

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna

banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat

terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat

terasa dengan berbagai karakteristik (Potter and Perry, 2006 dalam

Sulistyo, 2013). Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard,

yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu,

yang mengalihkan nyeri ke selangkangan.

d) Radiasi

Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari tempat

awal cedera ke bagian tubuh yang lain (Potter and Perry, 2006

dalam Sulistyo, 2013). Karakteristik nyeri terasa seakan menyebar


ke bagian tubuh bawah atau sepanjang kebagian tubuh. Contoh

nyeri punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang

ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi

saraf skiatik.

G. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat

sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua

orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin

adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri,

namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat

memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007 dalam

Andarmoyo, 2013).

Beberapa skala intensitas nyeri :

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif Sederhana

(Andarmoyo, 2013. Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,

Jogjakarta: Ar-Ruzz).
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale,

VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih objektif. Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri”

sampai ”nyeri yang tidak tertahankan” (Andarmoyo, 2013).

Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien

untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini

memungkinkan klien memilih sebuah ketegori untuk

mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

b. Skala Intensitas Nyeri Numerik

(Andarmoyo, 2013. Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,

Jogjakarta: Ar-Ruzz.).

Skala penilaian numerik (Numerical rating scale atau NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal

ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala

paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan

setelah intervensi (Andarmoyo, 2013).

c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analog Scale


(Andarmoyo, 2013. Konsep & Proses Keperawatan Nyeri,

Jogjakarta: Ar-Ruzz.).

Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu

garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya

(Andarmoyo, 2013).

d. Skala Intensitas Nyeri dari FLACC

Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat

digunakan pada pasien yang secara non verbal yang tidak dapat

melaporkan nyerinya (Judha, 2012).

Skala Intensitas Nyeri dari FLACC

Skor
Kategori
0 1 2

Muka Tidak ada ekspresi Wajah cemberut, Sering dahi tidak

atau senyuman dahi mengkerut, konstan, rahang

tertentu, tidak menyendiri. menegang,

mencari perhatian. dagu gemetar.

Kaki Tidak ada posisi Gelisah, resah Menendang

atau rileks. dan menegang


Aktivitas Menggeliat,
Berbaring, posisi Menekuk, kaku
menaikkan
normal, mudah atau
punggung dan
bergerak. menghentak.
maju, menegang.

Menangis Tidak menangis. Merintih atau Menangis keras,

merengek, sedu sedan,

kadangkadang sering

mengeluh. mengeluh.

Hiburan Rileks. Kadang-kadang Kesulitan untuk

hati tentram menghibur atau

dengan kenyamanan.

sentuhan,

memeluk,

berbicara untuk

mengalihkan

perhatian.

Total Skor 0-10

Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan skala

numerik yaitu:

1. 0 : Tidak Nyeri

2. 1-2 : Nyeri Ringan

3. 3-5 : Nyeri Sedang


4. 6-7 : Nyeri Berat

5. 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Judha, 2012).

H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

1. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat

harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka

mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan

mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

diperiksakan.

2. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda

secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor

budaya (contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita

boleh mengeluh nyeri).

3. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada

nyeri.

4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang

terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian

yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan

upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

Teknik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi

nyeri.

6. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

7. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa

lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah

mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri

tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi

nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri.

9. Support keluarga dan social

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.
I. 3 Fase Pengalaman Nyeri

Menurut Meinhart & McCaffery mendiskripsikan ada 3 fase pengalaman

nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting,

karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini

memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk

menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat

penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu

bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-

beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang

dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi

terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,

sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah

merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi

tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya

orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya

mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan

bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus

yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan


endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit

endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan,

mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang

ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola

perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan

pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya,

karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak

mengalami nyeri.

Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan

perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara

efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada

fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri

bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa

pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka

respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk

meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

III. Konsep Dasar Gout Arthritis

A. Pengertian Gout Arthritis

Asam urat merupakan sebutan orang awan untuk rematik pirai (gout

artritis). Selain osteoartritis, asam urat merupakan jenis rematik artikuler


terbanyak yang menyerang penduduk indonesia. Penyakit ini merupakan

gangguan metabolik karena asam urat (uric acid) menumpuk dalam jaringan

tubuh, yang kemudian dibuang melalui urin. Pada kondisi gout, terdapat

timbunan atau defosit kristal asam urat didalam persendian (Wijayakusuma,

2006).

Gout Arthritis adalah penyakit metabolik atau inflamasi sendi yang paling

sering ditemukan, ditandai dengan adanya penimbunan kristal monosodium

urat monohidrat di jaringan atau akibat adanya supersaturasi asam urat

didalam cairan ekstraseluler (Roddy and Doherty, 2010). Secara umum,

Gout menyerang lutut, tumit dan jempol kaki. Sendi yang diserang tampak

bengkak, merah, panas dan terasa nyeri di kulit (Sukarmin, 2015). Gout

Arthritis lebih umum terjadi pada laki-laki, terutama yang berusia 40-50 tahun,

sedangkan perempuan persentasenya kecil dan baru muncul setelah

menopause (Sutanto, 2013).

Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit

dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak

lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu

sendi. Gout adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang

paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada

jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan

kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak

dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu,

tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat

mempengaruhi beberapa sendi.


B. Etiologi Gout Arthritis

Berdasarkan penyebabnya, gout arthritis digolongkan menjadi 2, yaitu:

1) Gout Primer

Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga

berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan

meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau berkurangnya

pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan

terjadinya gout primer. Hiperurisemia primer adalah kelainan

molekular yang masih belum jelas diketahui. Berdasarkan data

ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer.

Gout primer yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri

dari hiperurisemia karena penurunan ekskresi (80 - 90%) dan karena

produksi yang berlebih (10 - 20%).

Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya

1% yaitu karena peningkatan aktivitas varian dari enzim

phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan

sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT).

Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan

disebabkan oleh faktor genetik dan menyebabkan gangguan

pengeluaran asam urat yang menyebabkan hiperurisemia.

Hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan

diperkirakan terdapat 3 mekanisme.

 Pertama, kekurangan enzim menyebabkan kekurangan

inosine monopospate (IMP) atau purine nucleotide yang


mempunyai efek feedback inhibition proses biosintesis

de novo.

 Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan

peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan.

Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de

novo meningkat.

 Ketiga, kekurangan enzim HPRT menyebabkan

hipoxantine tidak bisa diubah kembali menjadi IMP,

sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantine menjadi

asam urat.

2) Gout Sekunder

Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan

yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang

menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam

nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun.

Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo

terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim

HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glukosa-6

phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena

kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis

anaerob. Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat

disebabkan karena keadaan yang menyebabkan peningkatan

pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari intisel.

Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut

membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin,


sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi dikelompokkan

dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,

penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid

clearence dan pemakaian obat- obatan.

Menurut (Ahmad, 2011) penyebab asam urat yaitu :

a. Faktor dari luar

Penyebab asam urat yang paling utama adalah makanan atau

faktor dari luar. Asam urat dapat meningkat dengan cepat antara lain

disebabkan karena nutrisi dan konsumsi makanan dengan kadar purin

tinggi.

b. Faktor dari dalam

Adapun faktor dari dalam adalah terjadinya proses penyimpangan

metabolisme yang umumnya berkaitan dengan faktor usia, dimana usia

diatas 40 tahun atau manula beresiko besar terkena asam urat. Selain

itu, asam urat bisa disebabkan oleh penyakit darah, penyakit sumsum

tulang dan polisitemia, konsumsi obat-obatan, alkohol, obesitas, diabetes

mellitus juga bisa menyebabkan asam urat.

C. Manifestasi Klinis

Pada gout biasanya serangan terjadi secara mendadak (kebanyakan

menyerang pada malam hari). Jika gout menyerang sendi-sendi yang

terserang tampak merah, mengkilat, bengkak, kulit diatasnya terasa panas

disertai rasa nyeri yang hebat, dan persendian sulit digerakan

(Wijayakusuma, 2006).
Gejala lain adalah suhu badan menjadi demam, kepala terasa sakit, nafsu

makan berkurang, dan jantung berdebar. Serangan pertama gout pada

umumnya berupa serangan akut yang terjadi pada pangkal ibu jari kaki.

Namun, gejala-gejala tersebut dapat juga terjadi pada sendi lain seperti tumit,

lutut dan siku. Dalam kasus encok kronis, dapat timbul tofus (tophus), yaitu

endapan seperti kapur pada kulit yang membentuk tonjolan yang menandai

pengendapan kristal asam urat ( Wijayakusuma, 2006).

Pada manifestasi sindrom gout mencakup atritis gout yang akut (serangan

rekuren inflamasi artikuler dan periartikuler yang berat), tofus (endapan kristal

yang menumpuk dalam jaringan artikuler, jaringan oseus, jaringan lunak

serta kartilago), nefropati gout (gangguan ginjal) dan pembentukkan batu

asam urat dalam traktus urinarius. Ada empat stadium penyakit gout:

a. Tahap 1 (Tahap Gout Artritis akut)

Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada

laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25

tahun merupakan bentuk tidak lazim artritis gout, yang mungkin

merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit

ginjal atau penggunaan siklosporin. Pada 85 - 90% kasus, serangan

berupa artritis monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa

disebut podagra. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi

yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien

tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang

hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri,

bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam,

menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan endap


darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan

pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat

membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun.

Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi

yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti

pergelangan tangan atau kaki, jari tangan atau kaki, lutut dan siku, atau

bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama

durasinya, dengan interval serangan yang lebih singkat, dan masa

penyembuhan yang lama. Diagnosis yang definitive atau gold

standard, yaitu ditemukannya kristal urat (MSU) di cairan sendi atau

tofus.

Gambar 1. Bengkak dan kemerahan pada podagra

b. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)

Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang

waktu tertentu. Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda, dari

rentang waktu 1 - 10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya

antara 1 - 2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada tahap ini

menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita


serangan gout artritis akut. Atau menyangka serangan pertama kali

yang dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit Gout Artritis.

c. Tahap 3 (Tahap Gout Artritis Akut Intermitten)

Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-

tahun tanpa gejala, maka penderita akan memasuki tahap ini yang

ditandai dengan serangan arthritis yang khas seperti diatas.

Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh)

yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya

makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin

panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak. Misalnya

seseorang yang semula hanya kambuh setiap setahun sekali, namun

bila tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan akan

makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan

seterusnya, hingga pada suatu saat penderita akan mendapat

serangan setiap hari dan semakin banyak sendi yang terserang.

d. Tahap 4 (tahap Gout Artritis Kronik Tofaceous)

Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10

tahun atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan

disekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi.

Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang

merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Thopi ini akan

mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya. Bila

ukuran thopi semakin besar dan banyak akan mengakibatkan

penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi.


Gambar 2. Tangan pasien yang memasuki stadium gout tahap lanjut

D. Tahap Perkembangan Penyakit Gout Arthritis

Menurut (Wijayakusuma, 2006) ada 4 tahap penyakit gout yaitu :

a. Asimptomatik

Pada tahap ini, meskipun kadar asam urat dalam darah

meningkat, tetapi tidak menimbulkan gejala.

b. Akut

Serangan pertama mendadak dan memuncak, menyebabkan

rasa nyeri yang hebat pada sendi yang terkena. Biasanya, disertai tanda

peradangan, seperti pembengkakan sendi, panas, dan tampak

kemerahan. Serangan dapat cepat berlalu dan kembali lagi dalam waktu

tertentu.

c. Interkritikal

Merupakan masa bebas dari gejala sakit diantara dua serangan

gout akut. Banyak penderita yang mengalami serangan kedua dalam 6

bulan sampai 2 tahun. Serangan yang tertunda tersebut dapat terjadi

karena tidak diobati secara terus-menerus.

d. Kronis
Jika gout tidak dirawat secara baik, akhirnya akan menjadi kronis.

Pada kondisi ini, rasa nyeri disendi berlangsung secara terus-menerus

serta terdapat timbunan kristal asam urat yang banyak didalam jaringan

lunak, tulang rawan, selaput diantara tulang dan rendo, timbunan asam

urat tersebut membentuk tofu. Adapun radang kronik dan endapan asam

urat, membuat persendian susah digerakan.

E. Faktor Resiko Gout Arthritis

Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout

 Suku bangsa /ras

Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku

Maori di Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit

asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang

paling tinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di

daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau pola makan

dan konsumsi alkohol.

 Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena

alkohol meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah

meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme

normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat

oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.

 Konsumsi ikan laut


Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin

yang tinggi. Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam

urat.

 Penyakit

Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan

hiperurisemia, misalnya: obesitas, diabetes melitus, penyakit

ginjal, hipertensi, dislipidemia, dan sebagainya. Adipositas tinggi

dan berat badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout

pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan adalah faktor

pelindung.

 Obat-obatan

Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya

hiperurisemia, misalnya: diuretik, antihipertensi, aspirin, dan

sebagainya. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah

keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan

darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat

menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal

ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam

darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan

oleh pemakaian diuretik dapat disembuhkan dengan

menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh kondisi

seperti cedera dan infeksi, hal tersebut dapat menjadi potensi

memicu asam urat. Hipertensi dan penggunaan diuretik juga

merupakan faktor risiko penting independen untuk gout. Aspirin

memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah


menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam

urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.

 Jenis Kelamin

Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi

dibandingkan perempuan pada semua kelompok umur, meskipun

rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut.

Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III,

perbandingan laki-laki dengan perempuan secara keseluruhan

berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam populasi managed care di

Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan

perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih

muda dari 65 tahun, dan 3:1 pada mereka 50% lebih dari 65 tahun.

Pada pasien perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan

keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan

proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80

tahun.

 Diet tinggi purin

Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang

merupakan bagian dari kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan

oleh asupan makanan dengan purin tinggi.

F. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria

dewasa kurang dari 7 mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila

konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar dari 7 mg/dl dapat
menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan gout

tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara

mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat

mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan

dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang

berulang-ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan

thopi akan mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan

dan telinga. Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan

disertai penyakit ginjal kronis.

Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal

monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada

beberapa pasien gout atau dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat

ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella yang sebelumnya

tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout ataupun

pseudogout dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian

penulis didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat

peranan temperature pH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout.

Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada

sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal

monosodium urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi

untuk pengendapan kristal monosodium urat pada metatarsofalangeal-1

(MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang

pada daerah tersebut.


G. Diagnosis

Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik

serta dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis,

dan cairan sendi.

1. Pemeriksaan Laboratorium

Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila

pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam

darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita.

Bukti adanya kristal urat dari cairan sinovial atau dari topus melalui

mikroskop polarisasi sudah membuktikan, bagaimanapun juga

pembentukan topus hanya setengah dari semua pasien dengan

gout.

Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan

tidaknya penyakit diabetes mellitus. Ureum dan kreatinin diperiksa

untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal. Sementara itu

pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan

tidaknya gejala aterosklerosis.

2. Pemeriksaan Cairan Sendi

Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop.

Tujuannya ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate

(kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis

artritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi.

Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka

pasien akan merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan

memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi


tentunya, maka pasien akan lebih cepat sembuh. Mengenai

metode penyedotan cairan sendi ini, Ketria mengatakan bahwa titik

dimana jarum akan ditusukkan harus dipastikan terlebih dahulu oleh

seorang dokter. Tempat penyedotan harus disterilkan terlebih

dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan cairan disedot dengan

spuite.

Pada umunya, sehabis penyedotan dilakukan, dimasukkan obat

anti-radang ke dalam sendi. Jika penyedotan ini dilakukan dengan

cara yang tepat maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum yang

dipilih juga harus sesuai kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik

dilakukan pembiusan pada pasien terlebih dahulu. Jika lokasi

penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan infeksi sendi.

Perdarahan bisa juga terjadi jika tempat suntikan tidak tepat dan

nyeri hebat pun bisa terjadi jika teknik penyuntikan tidak tepat.

Selain memeriksa keadaan sendi yang mengalami peradangan,

dokter biasanya akan memeriksa kadar asam urat dalam darah.

Kadar asam urat yang tinggi adalah sangat sugestif untuk diagnosis

gout artritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan dalam

kondisi normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien

dengan pengobatan asam urat tinggi sebelumnya. Karena, kadar

asam urat sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pengobatan

maka kadar standar atau kadar normal di dalam darah adalah

berkisar dari 3,5 - 7 mg/dL.

Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang

terbaik. Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang
mengalami peradangan akan tampak keruh karena mengandung

kristal dan sel-sel radang. Seringkali cairan memiliki konsistensi

seperti pasta dan berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang

jelas kristal yang terkandung maka harus diperiksa di bawah

mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam urat

berbentuk jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di

luar sel. Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic

artritis.

3. Pemeriksaan dengan Rontgen

Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali

pemeriksaan sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan

roentgen ini dilakukan pada penyakit sendi yang sudah berlangsung

kronis. Pemeriksaan rontgen perlu dilakukan untuk melihat kelainan

baik pada sendi maupun pada tulang dan jaringan di sekitar sendi.

Seberapa sering penderita asam urat untuk melakukan

pemeriksaan rontgen tergantung perkembangan penyakitnya. Jika

sering kumat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen ulang.

Bahkan kalau memang tidak kunjung membaik, kita pun dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI).

Tetapi demikian, dalam melakukan pemeriksaan rontgen, kita

jangan terlalu sering. Sebab, pemeriksaan roentgen yang terlalu

sering mempunyai risiko terkena radiasi semakin meningkat.

Pengaruh radiasi yang berlebihan bisa mengakibatkan kanker,

kemandulan, atau kelainan janin dalam kandungan pada

perempuan. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati dan harus
bisa meminimalisasi dalam melakukan pemeriksaan rontgen ini

untuk menghindari kemungkinan terjadinya berbagai risiko tersebut.

H. Penatalaksanaan

Secara umum, penanganan gout artritis adalah memberikan edukasi,

pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan

secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain.

Pengobatan gout arthritis akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri

sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain: kolkisin, obat

antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat

penurun asam urat seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak dapat

diberikan pada stadium akut. Namun, pada pasien yang secara rutin telah

mengkonsumsi obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pada

stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah menurunkan

kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan.

Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin

dan pemakaian obat alupurinol bersama obat urikosurik yang lain.


 Nonstereoidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)

NSAIDs dimulai dengan dosis maksimum pada tanda

pertama dari serangan, dan dosis diturunkan pada saat gejala

sudah mulai mereda. Namun pemberian obat harus terus

diberikan sampai 48 jam setelah gejala sudah tidak muncul lagi.

 Kolkisin

Kolkisin terbukti efektif digunakan untuk menangani akut

gout artritis, kolkisin dapat memberikan efek meredakan nyeri

dalam waktu 48 jam untuk sebagian pasien. Kolkisin akan

menghambat polimerisasi mikrotubul dengan mengikat mikrotubul

subunit mikroprotein dan mencegah agregasinya. Kolkisin juga

menghalangi pembentukan kristal, mengurangi mobilitas dan

adhesi leukosit polimorfonuklear dan menghambat fosoforilasi

tirosin dan generasi leukotriene B4. Dosis efektif kolkisin pada

pasien dengan akut gout artritis sama dengan penyebab gejala

pada saluran gastrointestinal, sehingga pemberian obat ini

diberikan secara oral dengan dosis inisiasi 1 mg dan diikuti

dengan dosis 0,5 mg setiap dua jam sampai rasa tidak nyaman

pada perut atau diare membaik atau dengan dosis maksimal yang

diberikan perharinya adalah 6 mg - 8 mg. Sebagian besar pasien

akan merasakan nyerinya berkurang dalam 18 jam dan diare

dalam 24 jam. Peradangan nyeri sendi berkurang secara

bertahap dari 75 % - 80 % dalam waktu 48 jam. Pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal atau hati, ataupun pada pasien

usia tua, pemberian kolkisin pada dosis ini dikatakan aman


meskipun akan menimbulkan sedikit ketidaknyamanan pada

pasien.

 Kortikosteroid dan Hormon Adenokortikotropik

Pada pasien yang kontraindikasi dengan menggunakan

kolkisin, atau pada pasien yang gagal diterapi dengan kolkisin

dapat diberikan ACTH. Prednison 20 - 40 mg per hari dapat

diberikan 3 - 4 kali dalam sehari. Dosis kemudian diturunkan

secara bertahap setiap 1 - 2 minggu. ACTH diberikan secara

intramuscular dengan dosis 40 - 80 IUm dengan dosis inisial 40

IU setiap 6 - 12 jam untuk beberapa hari. Pasien dengan gout di

1 atau 2 sendi besar dapat mengambil keuntungan dari drainase,

yang diikuti dengan injeksi intra- articular triamcinolone 10 - 40 mg

atau dexamethasone 2 - 10 mg yang dikombinasikan dengan

lidokain.

Gout biasanya akan merespon dengan pemberian dosis

single dari kolkisin, NSAIDs atau kortikosteroid. Akan tetapi

apabila terapi ditunda atau merupakan serangan yang berat, 1

agen mungkin tidak bisa efektif. Pada situasi ini diperlukan

terapi kombinasi dan terapi nyeri juga perlu ditambahkan.

I. Komplikasi

Penderita gout minimal mengalami albuminuria sebagai akibat gangguan

fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan

hiperurisemia dan gout, yaitu:


a. Nefropati urat

Yaitu deposisi kristal urat pada interstitial medulla dan pyramid

ginjal, merupakan proses yang kronis, ditandai oleh adanya reaksi

sel giant di sekitarnya.

b. Nefropati asam urat

Yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar pada duktus

kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal

ginjal akut. Disebut juga sindrom lisis tumor dan sering didapatkan

pada pasien leukemia dan limfoma pascakemoterapi.

c. Nefrolitiasis

Yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10 - 25% dengan gout

primer.

Anda mungkin juga menyukai