Anda di halaman 1dari 27

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

RUANG PARU RSUP DR.M.DJAMIL PADANG

LAPORAN PENDAHULUAN

HYDROPNEUMOTHORAKS

Oleh :

TIARA LINALTI, S.Kep


1841313018

PRAKTEK PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
LAPORAN PENDAHULUAN HYDROPNEUMOTHORAKS

A. LANDASAN TEORITIS PENYAKIT


1. Definisi
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara
dancairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan
paru.Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini
dinamakan dengan piopneumotoraks. Sedangkan pneumotoraks itu sendiri
ialah suatukeadaan, di mana hanya terdapat udara di dalam rongga pleura
yang juga mengakibatkan kolaps jaringan paru. (Alsagaff & Hood, 2010).
Hidropneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara
pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara
sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara
dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

1) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut
sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.
2) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktusrespiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open pneumothorax (British Thoracic Society, 2003).
Menurut Hudak & Gallo, (2006) hidropneumotoraks dapat dibagi berdasarkan
atas beberapa hal, yaitu :

a. Berdasarkan kejadian
1) Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya
tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Umumnya disebabkan oleh
pecahnya suatu bleb sub pleura yang biasanya terdapat di daerah apeks
paru. Factor resiko utama adalah merokok. Pada beberapa kasus faktor
herediter juga memegang peranan, umumnya penderita berpostur
tinggi dan kurus

2) Pneumotoraks spontan sekunder


Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya telah
menderita penyakit, mungkin merupakan komplikasi dari pneumonia,
abses paru, tuberkulosis paru, asma kistafibrosis dan karsinoma
bronkus. Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya
(underlying lung disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi
penyebab pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan
tuberkulosis paru

3) Pneumotoraks traumatika
Pneumotoraks yang timbul disebabkan robeknya pleura viseralis
maupunpleura parietalis sebagai akibat dari trauma.

4) Pneumotoraks artifisialis
Pneumotoraks yang sengaja dibuat dengan memasukkan udara ke
dalamrongga pleura, dengan demikian jaringan paru menjadi kolaps
sehingga dapat beristirahat. Pada zaman dulu pneumotoraks artifisialis
sering dikerjakan untuk terapi tuberkulosis paru.

b. Berdasarkan tingkat kolapsnya jaringan paru


1) Pneumotoraks totalis, apabila seluruh jaringan paru dari satu
hemitoraks mengalami kolaps.
2) Pneumotoraks parsialis, apabila jaringan paru yang kolaps hanya
sebagian. Derajat kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat
dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut
Rumus mengukur volumenya : (A x B) – (a x b) X 100%
(A x B)

c. Berdasarkan jenis fistel


1) Pneumotoraks ventil. Di mana fistelnya berfungsi sebagai ventilasi
sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura tetapi tidak dapat
ke luar kembali. Akibatnya tekanan udara di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan dapat mendorong mediastinum kearah
kontra lateral.
2) Pneumotoraks terbuka. Di mana fistelnya terbuka sehingga rongga
pleura mempunyai hubungan terbuka dengan bronkus atau dengan
dunia luar; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan di
udara bebas.
3) Pneumotoraks tertutup. Di mana fistelnya tertutup udara di dalam
rongga pleura, terkurung, dan biasanya akan diresobsi
spontan.Pembagian pneumotoraks berdasarkan jenis fistelnya ini
sewaktu-waktu dapatberubah. Pneumotoraks tertutup sewaktu-waktu
dapat berubah menjadi pneumotoraks terbuka, dan dapat pula berubah
menjadi pneumotoraks ventil.

2. Etiologi
Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau
kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah
permukaan pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus
superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan
udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke
lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya
dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua
faktor sebagai penyebabnya.

a. Faktor infeksi atau radang paru. Infeksi atau radang paru walaupun
minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang akan
menjadi titik lemah.
b. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa hidropneumotoraks
spontan sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan
pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara akan
masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula bronkopleura.
Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi sebagai
ventil
c. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Hidropneumothorax jenis ini
disebut sebagai closed hidropneumothorax. Apabila kebocoran pleura
visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi
tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya,
udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum
kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension
hidropneumothorax.
d. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open hidropneumothorax (Darmanto, Djojodibroto, 2009).
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada Pneumotoraks tergantung pada
besarnya kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya komplikasi
penyakit paru. Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba - tiba
bersifat unilateral diikuti sesak napas. Gejala ini lebih mudah ditemukan bila
penderita melakukan aktivitas berat. Tapi pada sebagian kasus gejala – gejala
masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat. Selain itu
terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara melemah, nyeri menusuk pada
dada waktu inspirasi, kelemahan fisik. Pada tahap yang lebih berat gejala
semakin lama akan semakin memberat, penderita gelisah sekali, trakea dan
mediastinum dapat mendorong kesisi kontralateral. Gerakan pernafasan
tertinggi pada sisi yang sakit fungsi respirasi menurun, sianosis disertai syok
oleh karena aliran darah yang terganggu akibat penekanan oleh udara, dan
curah jantung menurun

a. Biasanya akan ditemukan adanya nyeri dada yang terjadi secara tiba-tiba,
nyerinya tajam dan dapat menimbulkan rasa kencang di dada.
b. Nafas yang pendek
c. Nafas yang cepat
d. Batuk
e. Lemas
f. Pada kulit bisa ada keluhan sianosis
Manifestasi Klinis (Barbara Engram, 1997)

1. Pneumotoraks tertutup :
- Nyeri tajam pada sisi yang sakit sewaktu bernafas
- Disnea dan takipnea
- Penggunaan otot asesori pernafasan
- Takikardi
- Diaforesis
- Gelisah dan agitasi
- Bunyi hipertimpani diatas daerah yang sakit
- Luka memar pada dada
- Tidakadanya bunyi nafas seirama dengan gerakan dinding dada
2. Pneumotoraks tension :
- Distensi vena leher
- Kemungkinan emfisesma subkutan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
3. Pneumotoraks terbuka
- Observasi luka dada terbuka terhadap bunyi seperti hisapan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
4. Hemotoraks
- Pekak dengan perkusi di atas sisi yang sakit
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup

4. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis.
Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura
normal berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa
tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses
respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : Fase inspirasi dan fase eksprasi.
Padafase inspirasi tekanan intrapleura :- 9 s/d - 12 cm H2O; sedangkan pada
fase ekspirasi tekanan intrapleura: - 3 s/d - 6 cm H2O. Pneumotorak adalah
adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura
menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan
penyebabnya.

a. Pneumotorak spontan oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder


(infeksi, keganasan), neonatal.
b. Pneumotorak yang di dapat oleh karena : iatrogenik, barotrauma, trauma.
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:

a. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock.


b. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan luar
menjadi :

a. Open pneumotorak.
b. Closed pneumotorak Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak
mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak,
tension pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi
karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding
alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang
menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat
inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura
yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon
yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar
menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan, paru-
paru kolpas, udara inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga
tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang
sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses
yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi
paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja
dengan sempurna. Terjadinya hiper ekspansi cavum pleura tanpa disertai
gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple pneumotorak.
Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan
dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak. Pada saat
ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic
recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses
ini semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi
menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada
paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan
napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena
penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
(Hudak, C.M. 2010)
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura
dengan lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi.
Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) ataukomplit (pleura
parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada
saat inspirasi udara luar akan masuk kedalam cavum pleura. Akibatnya paru
tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya
akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi
paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat.
Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat
inspirasi dapat terjadi hiper ekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke
sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan
paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan
napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena
penekanan venacava. Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak
(Hudak, C.M. 2010).

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
hidropneumotoraks antara lain:
1) Bagian hidropneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang
paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
2) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radioopaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
3) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi hidropneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
4) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai keapeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto Rontegen hidropneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panahmerupakan bagian paru yang kolaps

b. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi


meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
c. CT-scan thorax. CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan
intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks
spontan primer dan sekunder. Komplikasi dapat berupa
hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisemakutis, fistel
bronkopleural dan empiema (Sjahriar Rasad, 2009).

6. Komplikasi
a. Gagal jantung
b. Gagal nafas
7. Penatalaksanaan

Tindakan pengobatan hidropneumotoraks tergantung dari luasnya


permukaan hidropneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan ini yaitu
untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura, sehingga paru-paru bisa
kembali mengembang. Pada hidropneumotoraks yang kecil biasanya tidak
perlu dilakukan pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah
pernafasan yang serius dan dalam beberapa hari udara akan diserap.
British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah
memberikan rekomendasi penanganan hidropneumotoraks adalah :
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen.
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari
hemitoraks. Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup,
udara dalam rongga pleura perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju
resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks perhari. Laju
resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan oksigen.
Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada
serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus
dirawat dirumah sakit. Jika pasien dirawat dirumah sakit dianjurkan untuk
memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumotoraks kecil
unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dandalam 2-
3 hari pasien harus control lagi
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis..
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumotoraks
yang luasnya>15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara drongga
pleura (dekompresi).Tindakan dekompresi ini dapat dilakukan dengan
cara:
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura,
sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil,
yaitu dengan :
a) Jarum infuse set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga
pleura, kemudian ujung pipa plastik dipangkal saringan tetesan
dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem
dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara didalam
botol.
b) Jarum abbakoth no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah
mandarin di cabut, dihubungkan dengan pipa infuse set,
selanjutnya.
c) Water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter urin) yang steril dimasukkan kerongga
pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum
trokar dimasukkan ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan
insisi kulit pada ruang antar sela iga ke enam pada linea aksilaris
media. Insisi kulit juga bisa dilakukan pada ruang antar iga kedua
pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan insisi kulit, daerah
tersebut harus dibersihkan cairan disinfektan dan dilakukan injeksi
anastesi local dengan lidokain atau prokain 2% dan kemudian
ditutup dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk kedalam
rongga pleura, pipa khusus (kateter urin) segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian trokar dicabut sehingga hanya pipa
khusus itu yang masih tinggal di ruang pleura.
Pemasukan pipa khusus tersebutdiarahkan ke bawah jika
lubang insisi kulitnya ada diruang antar iga kedua. Pipa khusus
atau kateter tersebut kemudian dihubungkan dengan pipa yang
lebih panjangdan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke
dalam air di dalam botol. Masuknya pipa kaca ke dalam air
sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung udara
mudah keluar. Apabila paru sudah mengembang penuh dantekanan
rongga pleura sudah negative, maka sebelum dicabut dilakukan uji
coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam.
Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto
dada, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau
tekanan rongga pleura menjadi positif lagi. Apabila tekanan rongga
pleura menjadi positif lagi maka pipa tersebut belum dapat dicabut.
Bilaparu sudah mengembang maka WSD dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan saatpasien dalam keadaan ekspirasi maksimal
3) Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya
bleb/bulla4.
4) Torakotomi
8. WOC
B. LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas pasien
a) Nama
b) Umur
c) Jenis Kelamin
d) Agama
e) Status Perkawinan
f) Pendidikan
g) Pekerjaan
h) Tanggal Masuk
i) No Register
j) Diagnosa Medic
2) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat penyakit saat ini
Keluhan sesak seringkali datang mendadak dan semakin
lama semakin berat, nyeri dada dirasakan pada sisi yang
sakit, rasa berat dan tertekan, terasa lebih nyeri pada
gerakan pernafasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat
trauma yang mengenai rongga dada seperti peluruh yang
menembus rongga dada dan paru, ledakan yang
menyebabkan peningkatan tekanan udara dan terjadi
tekanan di dada yang mendadak menyebabkan tekanan
dalam paru meningkat, kecelakaan lalulintas biasanya
menyebabkan trauma tumpul didada atau tusukan benda
tajam langsung menembus pleura.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit
TB paru, PPOM, kanker dan tumor metastase ke pleura.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga perlu ditanyakan apakan pernah keluarga klien
pernah menderita penyakit yang sama.
3) Pemeriksaan Fisik

a. Sistem Pernapasan :
Sesak napas? Nyeri, batuk-batuk.? Terdapat retraksi
klavikula/dada? Pengambangan paru tidak simetris? Fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain? Pada perkusi
ditemukan adanya suara sonor / hipersonor / timpani, hematotraks
(redup)? Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang
berkurang / menghilang? Pekak dengan batas seperti garis miring /
tidak jelas? Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat? Gerakan
dada tidak sama waktu bernapas.

b. Sistem Kardiovaskuler :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk? Takhikardia,
lemah, Pucat, Hb turun / normal, Hipotensi atau hipertensi.

c. Sistem Persyarafan :
Kaji 12 saraf cranial klien

a) Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan


daya penciuman dan anosmia bilateral.
b) Nervus II (Optikus): memperlihatkan gejala berupa penurunan
gejala penglihatan.
c) Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
d) Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya
anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis
yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat
menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada
2/3 bagian lidah anterior lidah.
e) Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa
menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh.
f) Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI
(Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan
meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya
Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus,
yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya
lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan
adanya kesulitan menelan. .

d. Sistem Perkemihan.
Kaji ada dan tidak adanya nya oliguri merupakan tanda pre shock
dan kaji ada tidaknya kelainan pada system perkemihan.

e. Sistem Pencernaan :
Akibat sesak napas klien mungkin akan mengalami mual muntah
dan penurunan nafsu makan dan berat badan.

f. Sistem Muskuloskeletal – Integumen


Kemampuan sendi terbatas? Ada luka bekas tusukan benda tajam
atau tidak? Terdapat kelemahan atau tidak ada? Kulit pucat,
sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi subkutan.

g. Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme? Kelemahan.

h. Sistem Sosial / Interaksi.


Tidak ada hambatan.

i. Spiritual
Kaji adanya ansietas, gelisah, bingung, pingsan

4) Pola Fungsional Gordon


a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
 Ada riwayat pernah trauma dada, penyakit infeksi paru
(TBC).
 Distres pernapasan
 Penyakit infeksi paru
 Kebiasaan merokok
 Lingkungan (polusi udara).
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
 Ada diaphoresis
 Sianosis.
c. Pola Eliminasi
Sebelum sakit: BAB pada pagi hari, kencingnya juga normal.
Setelah sakit: Klien malas untuk BAB karena dada terasa sakit
ketika mengejan.
d. Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri
 Sesak napas pada waktu aktifitas
 Nafas cepat
 Batuk
 Agitasi
 Hipotensi
 Tachicardia
 Nyeri saat inspirasi.
e. Pola Istirahat Tidur
 Kesulitan tidur bila timbul sesak napas atau nyeri dada.
f. Pola Kognisi dan Persepsi Sensori
 Nyeri dada saat inspirasi.
g. Pola Konsep Diri Gambaran diri
 Malu terhadap penyakitnya.
h. Pola Peran-Berhubungan
 Hubungan klien dengan keluarga masih harmonis
seperti saat klien sehat.
i. Pola seksual dan seksualitas
 Bagaimana hubungan suami istri pasien.
j. Pola Mekanisme Koping
 Ansietas.
2. Diagnosa Keperawatan

No Nanda Noc Nic


1 Pola nafas tidak efektif Respiratory status: Ventilation, Airway Management
Definisi : Pertukaran udara Respiratory status: Airway 1. Posisikan pasien untuk
inspirasi dan/atau ekspirasi tidak Patency, Vital Sign Status. memaksimalkan ventilasi
adekuat Setelah dilakukan tindakan 2. Identifikasi pasien perlunya
keperawatan selama (3x60 pemasangan alat bantu nafas
Batasan karakteristik : menit) kriteria hasil klien akan: buatan
- Penurunan tekanan 1. Mendemonstrasikan batuk 3. Auskultasi suara nafas, catat
inspirasi/ekspirasi efektif, suara paru yang adanya suara tambahan
- Penurunan pertukaran udara bersih, tidak ada sianosis dan 4. Pasang mayo jika perlu
per menit dyspneu (mampu 5. Lakukan fisioterapi dada jika
- Menggunakan otot pernafasan mengeluarkan sputum, perlu
tambahan
mampu, mampu bernafas 6. Berikan bronkodilator jika
- Nasal flaring perlu
dengan mudah, tidak ada
- Dyspnea 7. Berikan pelembab udara
- Orthopnea pursed lips).
kassa basah Nacl lembab
- Perubahan penyimpangan 8. Atur intake cairan untuk
2. Menunjukkan jalan nafas
dada mengoptimalkan
yang paten (klien tidak
- Nafas pendek
merasa tercekik, irama nafas, keseimbangan
- Assumption of 3-point position
frekuensi pernafasan dalam 9. Monitor respirasi dan status
- Pernafasan pursed-lip
rentang normal, tidak ada oksigen
- Tahap ekspirasi berlangsung
suara nafas abnormal). 10. Keluarkan Sekret dengan
sangat lama
- Peningkatan diameter batuk atau suction
anterior-posterior 3. Tanda-tanda vital dalam Oxygen theraphy
- Pernafasan rata-rata/minimal rentang normal (tekanan 1. Pertahankan jalan nafas paten
 Bayi : < 25 atau > 60 2. Atur peralatan oksigenasi
 Usia 1-4 : < 20 atau > 30 darah, nadi, pernafasan). 3. Monitor aliran oksigen
 Usia 5-14 : < 14 atau > 25 4. Observasi adanya tanda-tanda
 Usia > 14 : < 11 atau > 24 hipoventilasi
- Kedalaman pernafasan 5. Monitor kecemasan pasien
 Dewasa volume tidalnya 500 terhadap oksigenasi
ml saat istirahat Vital Sign Monitoring
 Bayi volume tidalnya 6-8 ml/Kg
1. Monitor TD, Nadi, Suhu, dan
- Timing rasio
RR
- Penurunan kapasitas vital
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
Faktor yang berhubungan :
3. Monitor Kualitas Nadi
- Hiperventilasi
- Deformitas tulang
4. Monitor frekuensi dan irama
- Kelainan bentuk dinding pernapasan
dada 5. Monitor suara paru
- Penurunan energi/kelelahan 6. Monitor pola pernapasan
- Perusakan/pelemahan abnormal
muskulo-skeletal 7. Monitor suhu, warna,
- Obesitas kelembapan kulit
- Posisi tubuh 8. Monitor sianosis perifer
- Kelelahan otot pernafasan 9. Monitor adanya cushing triad
- Hipoventilasi sindrom (tekanan nadi yang melebar,
- Nyeri bradikardi, peningkatan
- Kecemasan sistolik
- Disfungsi Neuromuskuler 10. Identifikasi penyebab
- Kerusakan persepsi/kognitif perubahan vital sign
- Perlukaan pada jaringan
syaraf tulang belakang
- Imaturitas Neurologis
2 Gangguan pertukaran gas  Respiratory Status : Gas Airway Management
exchange  Buka jalan nafas, guanakan
Definisi : Kelebihan atau
 Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust bila
kekurangan dalam oksigenasi
ventilation perlu
dan atau pengeluaran
 Vital Sign Status  Posisikan pasien untuk
karbondioksida di dalam
Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
membran kapiler alveoli
 Mendemonstrasikan  Identifikasi pasien perlunya
peningkatan ventilasi dan pemasangan alat jalan nafas
Batasan karakteristik : oksigenasi yang adekuat buatan
 Gangguan penglihatan  Memelihara kebersihan paru
 Penurunan CO2  Pasang mayo bila perlu
paru dan bebas dari tanda tanda  Lakukan fisioterapi dada jika
 Takikardi distress pernafasan
 Hiperkapnia perlu
 Mendemonstrasikan batuk  Keluarkan sekret dengan batuk
 Keletihan efektif dan suara nafas yang
 somnolen atau suction
bersih, tidak ada sianosis dan
 Iritabilitas  Auskultasi suara nafas, catat
dyspneu (mampu mengeluarkan
 Hypoxia adanya suara tambahan
sputum, mampu bernafas
 kebingungan  Lakukan suction pada mayo
dengan mudah, tidak ada
 Dyspnoe  Berika bronkodilator bial perlu
pursed lips)
 nasal faring  Tanda tanda vital dalam  Barikan pelembab udara
 AGD Normal  Atur intake untuk cairan
rentang normal mengoptimalkan keseimbangan.
 sianosis
 warna kulit abnormal (pucat,  Monitor respirasi dan status O2
kehitaman)
 Hipoksemia Respiratory Monitoring
 hiperkarbia  Monitor rata – rata, kedalaman,
 sakit kepala ketika bangun irama dan usaha respirasi
frekuensi dan kedalaman nafas  Catat pergerakan dada,amati
abnormal kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
 Monitor suara nafas, seperti
dengkur
 Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
 Catat lokasi trakea
 Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan paradoksis)
 Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan
 Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan napas utama
 auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya

3 Nyeri akut Pain level, Pain Management


Definisi : pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri
Sensori yang tidak comfort level secara komptehensif
menyenangkan dan Setelah dilakukan tindakan 2. Observasi reaksi nonverbal dari
pengalaman emosional yang keperawatan selama (1x60 ketidaknyamanan
muncul secara aktual atau menit) nyeri klien akan 3. Evaluasi pengalaman nyeri
potensial kerusakan jaringan berkurang dengan kriteria hasil masa lampau
atau menggambarkan adanya klien akan: 4. Ajarkan teknik non
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri farmakologi
Internasional): serangan 1. Mampu mengenali nyeri 5. Kolaborasikan dengan dokter
mendadak atau pelan (skala, intensitas, frekuensi, jika ada keluhan dan tindakan
intensitasnya dari ringan sampai dan hal yang memperberat nyeri
berat yang dapat diantisipasi nyeri) Analgesic administration
dengan akhir yang dapat
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
diprediksi dan dengan durasi 2. Mampu mengontrol nyeri kualitas dan derajat nyeri
kurang dari 6 bulan. (tahu penyebab nyeri, sebelum pemberian obat.
mampu menggunakan 2. Cek instruksi dokter tentang
Batasan karakteristik : teknik nonfarmakologi
- Laporan secara verbal atau jenis obat, dosis dan frekuensi
untuk mengurangi nyeri) 3. Cek riwayat alergi
non verbal
- Fakta dari observasi 4. Tentukan pilihan analgesik
3. Melaporkan bahwa nyeri
- Posisi antalgic untuk tergantung tipe dan beratnya
berkurang dengan
menghindari nyeri nyeri
menggunakan manajemen 5. Pilih rute pemberian
- Gerakan melindungi
nyeri pengobatan nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Muka topeng 4. Menyatakan rasa nyaman 6. Monitor vital sign sebelum dan
- Gangguan tidur (mata sayu,
setelah nyeri berkurang sesudah pemberian analgesik
tampak capek, sulit atau pertama
gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi waktu,
kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan, menemui
orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan tekanan
darah, perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot (mungkin
dalam rentang dari lemah ke
kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Faktor yang berhubungan :


Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)
3. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan hydropneumotoraks adalah :
a. Pola pernafasan efektif.
b. Nafsu makan bertambah
c. Nyeri berkurang
d. Pasien dapat menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tidak terjadi.
f. Pengetahuan klien bertambah

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukti dkk (2009) Pedoman Diagnosis dan Terapi lab ilmu penyakit paru
RSUD Dr Soetomo Surabaya. Surabaya

Afif Muttaqin, (2008). Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan sistem


pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Alsagaf Hood dan Mukti Abdul H, (2002). Dasar-Dasar Ilmu Diagnostik Fisik
Paru. Surabaya: Airlangga.

Alsagaff Hood, (2010), Dasar Ilmu Penyakit Paru, Jakarta: EGC


Amirulloh R. Penatalaksanaan Pneumotoraks di Dalam Praktek. http://www.

Budi Swidarmoko, Agus dwi Susanto. (2010). Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Nafas.Jakarta: FK UI.

Carpenito,L.J (2008) Buku Saku Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC

Darmanto Djojodibroto, 2009, Respirologi, Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi


3. Jakarta: EGC.

Herdman. T. Heather (2012). NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC

Mansjoer dkk, (2007). Kapita Selekta Kedokteran.Edisi-3Jilid 2. Jakarta: Media


Aesculapius.

Sjahriarrasad, (2009), Radiologi Diagnostik, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wilkinson. M. Judhit, (2006).BukuSaku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi


NIC dan Kreteria Hasil NOC. Edisi-7. Jakarta: EGC

Hudak, C.M. (2010) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai