Dunia
Pendahuluan
Ilmu Kedokteran Forensik disebut juga Ilmu Kedokteran Kehakiman (Legal Medicine),
merupakan salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia,
dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter untuk membantu melaksanakan
pemeriksaan kedokteran forensik bagi kepentingan pengadilan bilamana diminta oleh polisi
penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan
nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
yang dimilikinya amat diperlukan.
Penemuan mayat mencurigakan merupakan sebuah peristiwa dalam ilmu Forensik yang
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa kriteria telah ditetapkan dalam mencurigai
adanya peristiwa yang berkaitan dengan penemuan mayat yang mencurigakan, diantaranya adalah
pembunuhan. Dalam masyarakat kejadian pembunuhan bukan merupakan hal yang jarang ditemui
lagi. Oleh karenanya, penting bagi seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis,
dapat memperkirakan cara dan sebab mati dengan memiliki pengetahuan tentang berbagai aspek
ilmu forensik.
Isi
Aspek Hukum
Prosedur medikolegal
Penyelidikan
Dilakukan oleh penyelidik untuk mengetahui apakah benar ada kejadian seperti yang
dilaporkan.
Menurut Pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia.
Penyidikan
Dilakukan oleh penyidik
Tindak lanjut setelah diketahui benar-benar terjadi suatu kejadian.
Penyidik dapat meminta bantuan seorang ahli.
Menurut pasal 2 PP No 27/1983, penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, dan pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sekurang-kurangnya
Pengatur Muda Tingkat 1(golongan II/b).
Pemberkasan perkara
Penuntutan
Dilakukan oleh penuntut umum di sidang pengadilan setelah berkas perkara yang lengkap
diajukan ke pengadilan.
Persidangan
Persidangan pengadilan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim.
Dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi dan juga para ahli.
Dokter dapat dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau selaku
dokter pemeriksa.
Putusan pengadilan
Vonis dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan, yaitu keyakinan pada diri hakim bahwa
memang telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwa memang bersalah.
Keyakinan hakim harus ditunjang oleh sekurang-kurangnya dua dari lima alat bukti yang
sah, sebagaimana yang tertulis dalam pasal 184 KUHAP.
Pemeriksaan
I. PEMERIKSAAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP)
Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang
mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta/
memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut
sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan sesuai pula dengan Undang-Undang Pokok
Kepolisian tahun 1961 no. 13 pasal 13 atau sesuai dengan ketentuan pasal 3 Keputusan Men Han
Kam/ Pangab No. Kep/B/17/V1/1974.
Bila dokter menolak maka ia dapat dikenakan hukuman berdasarkan pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 224.
Selama melakukan pemeriksaan harus dihindari tindakan-tindakan yang dapat mengubah,
menganggu atau merusak keadaan di TKP tersebut walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan
itu harus mengumpulkan segala benda bukti (trace evidence) yang ada kaitannya dengan manusia,
seperti mengumpulkan bercak air mani atau darah yang terdapat pada pakaian atau benda-benda
di sekitar korban, yang pada dasarnya tindakan pengumpulan benda bukti tadi akan merusak
keadaan di TKP itu sendiri.
Dengan demikian sebelum pemeriksaan dilakukan, TKP harus diamankan, dijaga keasliannya
dan diabadikan dengan membuat foto-foto dan atau sktesa sebelum para petugas menyentuhnya.
Sebelum datang di TKP ada beberapa hal yang harus dicatat sehubungan dengan alasan atau
persyaratan yuridis, demi kepentingan kasus itu sendiri, yaitu:
a. Siapa yang meminta/ memerintahkan datang ke TKP, otoritas, bagaimana permintaan/
perintah itu sampai keterangan dokter, di mana TKP dan kapan saat permintaan/ perintah
tersebut dikeluarkan. Dokter dapat meminta sedikit gambaran mengenai kasus yang akan
diperiksa dengan demikian ia dapat mempersiapkan perlengkapannya dengan baik.
b. Perlu diingat motto : “to touch as little as possible and to displace nothing”.
Ia tidak boleh menambah atau mengurangi benda bukti: tidak boleh sembarangan
membuang puntung rokok, perlengkapan jangan tertinggal, jangan membuang air kecil di
kamar mandi oleh karena ada kemungkinan benda-benda bukti yang ada di tempat tersebut
akan hanyut dan hilang.
c. Di TKP dokter/ penyidik membuat foto dan sketsa yang mana harus disimpan dengan baik,
oleh karena kemungkinan ia akan diajukan sebagai saksi selalu ada; foto dan sketsa tersebut
berguna untuk memudahkan mengingatkan kembali keadaan yan sebenarnya.
Dari distribusi darah yang terdapat di lantai dapat diduga apakah kasusnya kasus bunuh diri
(tergenang, setempat), ataukah pembunuhan (bercak dan genangan darah tidak beraturan, sering
tampak tanda-tanda bahwa korban berusaha menghindar atau tampak bekas diseret).
Pemeriksaan bercak darah yang telah kering. Di dalam melakukan pemeriksaan bercak darah
yang telah kering di TKP atau pada barang-barang bukti seperti pisau, palu, tongkat pemukul, dan
lain sebagainya, penyidik harus memperoleh kejelasan di dalam 3 hal yang pokok, yaitu:
Apakah bercak tersebut memang bercak darah?
Jika bercak darah, apakah berasal dari manusia?
Jika berasal dari manusia, apakah golongan darahnya?
Kejelasan dari ketiga hal yang pokok tersebut penting dalam penyelesaian kasus, oleh karena
bercak darah yang kering tidak dapat dibedakan dari bercak-bercak lainnya.
Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati,
berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi forensik merupakan usaha
untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu
kepentingan proses peradilan.
Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil
positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:
a. Identifikasi primer :
Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria identifikasi lain.
Teknik identifikasi primer yaitu :
• Pemeriksaan DNA
• Pemeriksaan sidik jari
• Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai tiga metode
pemeriksaan dengan hasil positif.
b. Identifikasi sekunder :
Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu
didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara
ilmiah. Cara sederhana adalah melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan,
pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu
seperti pemeriksaan medis. Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:
2) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan korban (terutama wajah). Oleh
karena metode ini hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat
akurasi dari pemeriksaan ini kurang baik.
3) Pemeriksaan dokumen
Metode ini dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, kartu golongan darah,
paspor dan lain-lain) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan. Namun perlu
diingat bahwa dalam kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam saku, tas atau dompet pada
jenazah belum tentu milik jenazah yang bersangkutan.
7) Serologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil baik dari tubuh korban
atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di tempat kejadian perkara. Ada dua tipe orang
dalam menentukan golongan darah, yaitu:
• Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani dan cairan tubuh.
• Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan darah.
8) Metode ekslusi
Metode ini digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah orang yang
dapat diketahui identitasnya. Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan
menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan
dengan metode tersebut di atas, maka sisa diidentifikasi menurut daftar penumpang.
Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, maupun teraba,
baik terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain, juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri. Sistematika pemeriksaan luar adalah seperti berikut:
1. Label mayat
Mayat laki-laki yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik diberi label dari pihak
kepolisian, merupakan sehelai label berwarna merah muda dengan materai lak merah terikat pada
ibu jari kaki kanan. Adalah kebiasaan yang baik, bila dokter pemeriksa dapat meminta keluarga
terdekat dan mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/pemastian identitas.
2. Tutup mayat
Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan ditutupi oleh sesuatu. Jenis/bahan,
warna serta corak dari penutup ini dicatat. Bila terdapat pengotoran pada penutup, catat pula letak
pengotoran serta jenis/bahan pengotoran tersebut.
3. Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus. Bungkus mayat ini
harus dicatat jenis/bahannya, warna, corak, serta adanya bahan yang mengotori. Dicatat pula tali
pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/bahan tali tersebut, maupun cara pengikatan serta letak
ikatan tersebut.
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dan pakaian yang dikenakan pada bagian tubuh sebelah
atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai lapisan yang terdalam. Pakaian
dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya disimpan untuk barang
bukti. Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus diperiksa dan dicatat isinya dengan
teliti pula.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan meliputi jenis
perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
Benda di samping mayat. Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pula
pengiriman benda di samping mayat, misalnya bungkusan atau tas.
6. Benda di samping mayat
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pula pengiriman benda di samping
mayat, misalnya dompet atau tas. Terhadap benda-benda ini pun dilakukan pencatatan yang teliti
dan lengkap.
7. Tanda kematian
8. Identifikasi umum
Tanda umum seperti jenis kelamin/ bangsa/ ras/ umur/ warna kulit/ status gizi/
berat badan / panjang atau tinggi badan/ zakar disirkumsisi atau tidak/ striae
albicans ada atau tidak.
9. Identifikasi khusus
15. Lain-lain
Tanda perbendungan/ikterus/sianosis/edema
Bekas pengobatan
Bercak kotoran
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka
Berdasarkan kasus korban mempunyai tanda-tanda kekerasan oleh benda tajam. Ada tiga hal yang
ciri khas/ hasil dari trauma yaitu :
1. Adanya luka
2. Perdarahan dan/ atau skar
3. Hambatan dalam fungsi organ
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik , atau
gigitan hewan atau juga gangguan pada ketahanan jaringan tubuh yang disebabkan oleh kekuatan
mekanik eksternal, berupa potongan atau kerusakan jaringan, dapat disebabkan oleh cedera atau
operasi. Pemeriksaan terhadap luka meliputi:
i. Penyebab luka
Gambaran luka seringkali dapat memberi petunjuk mengenai bentuk benda yangmengenai
tubuh, misalnya luka yang disebabkan oleh benda tumpul berbentuk bulat panjang akan
meninggalkan negative imprint oleh timbulnya marginal haemorrhage.
Luka lecet tekan memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.
Pada luka lecet geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini sangat
membantu dalam melakukan rekonstruksi terjadinya perkara.
iii. Cara terjadinya luka
Luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Bagian tubuh
yang terlindung seperti ketiak dan daerah lipat siku jarang mendapat luka suatu kecelakaan.
Luka akibat pembunuhan dapat ditemukan tersebar pada seluruh bagian tubuh.
Jika korban pembunuhan sempat mengadakan perlawanan, dapat ditemukan luka tangkis
yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan.
Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan(tentative
wounds) yang mengelompok dan berjalan kurang lebih sejajar.
iv. Hubungan antara luka yang ditemukan dengan sebab mati
PEMBEKAPAN
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam mulut dan
atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung dengan
menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana
yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih mampu
untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga hidung
maupun mulut untuk menjadi asfiksia.
Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut
maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat berlangsung.
Selain pembekapan yang juga termasuk mati lemas adalah : tindakan menyumpal rongga mulut
dengan benda asing (“choking”); menindih atau menekan dada korban sehingga dada tidak dapat
bergerak (“overlying”), dan tertimbunnya tubuh korban misalnya tertimbun tanah longsor atau
bangunan runtuh (“traumatic or crush asphyxia”).
Kecuali pembekapan dan penyumpalan atau penyumbatan rongga mulut yang pada umumnya
merupakan kasus pembunuhan; maka yang lainnya yaitu : overlying, dan traumatic asphyxia
biasanya bersifat kecelakaan.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa yang
berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena pembekapan adalah
berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering
juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan
dengan gigi.
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
1. Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita
penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu dengan“membenamkan”
wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi
hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang menutupi hidung dan
mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya,
terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Selain itu
juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur berdampingan dengan
orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya menindih si anak sehingga tidak dapat
bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan dewasa muda bisa terjadi
kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya
terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja
atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan
hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi
pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh
obat atau minuman keras.
Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara hidung dan mulut
diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan dengan menindih atau
menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan burking.
Penyebab kematian
Penyebab kematian adalah asfiksia dan syok (jarang). Biasanya dalam waktu 4-5 menit setelah
mengalami sufokasi komplit. Pada beberapa kasus terjadi kematian mendadak.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin
tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari
jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku, dan luka
memar pada ujung hidung, bibir, pip, dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
Luka memar atau lecet pada bagian / permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan
menekan gigi, gusi, dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada pembedahan
jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel
kulit si pelaku.
Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki
saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik misalnya penutupan saluran
pernapasan bagian atas (pembekapan dan penyumbatan), penekanan dinding saluran pernapasan
(penjeratan, pencekikan, gantung), dan penekan dinding dada dari luar.
Pada orang asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan dalam 4 fase yaitu :
a. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi pernafasan
akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis
terutama pada muka dan tangan.
b. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi, yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi
kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung
menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi
dalam otak akibat kekurangan O2.
c. Fase apnea. Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin dan tinja.
d. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernafasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda asfiksia
akan lebih jelas dan lengkap.
Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah ditemukan sianosis pada bibi, ujung jari, dan kuku. Perbendungan
sistemik maupul pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian
akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas
akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktifitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku
dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses
kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktifitas pernapasan
pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara
yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah
akibat pecahnya kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan
palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibat tekanan hhidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan Tardieu’s spot.5
Penutup
Kesimpulan
Ilmu Kedokteran Forensik adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum. Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan
suatu usaha ilmiah, dan bukan sekedar common sense, nonscientific belaka. Dengan demikian, dalam
penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan
pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan. Seperti
kasus yang dibahas pada makalah ini dimna korban yang ditemukan diduga adalah korban pembunuhan
akibat pembekapan hingga membuat korban meninggal. Untuk memastikannya kita dapat melihat
beberapa aspek-aspek penting seperti aspek hukum dam medikolegal, pemeriksaan tanatologis untuk
intepretasi temuan sehingga kita dapat menyimpulkan saat mati, sebab mati dan mungkin cara mati
korban.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kedokteran. Hukum Acara Pidana, Prosedur Medikolegal, dan Kejahatan terhadap Tubuh
dan Jiwa Manusia. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994.