Anda di halaman 1dari 25

Tindakan Pembekapan pada Korban sehingga Membuat Korban Meninggal

Dunia

Sixtus Resa Tandisau


102013183
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
e-mail : rezajuve30@gmail.com

Pendahuluan
Ilmu Kedokteran Forensik disebut juga Ilmu Kedokteran Kehakiman (Legal Medicine),
merupakan salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia,
dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter untuk membantu melaksanakan
pemeriksaan kedokteran forensik bagi kepentingan pengadilan bilamana diminta oleh polisi
penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan
nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
yang dimilikinya amat diperlukan.
Penemuan mayat mencurigakan merupakan sebuah peristiwa dalam ilmu Forensik yang
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa kriteria telah ditetapkan dalam mencurigai
adanya peristiwa yang berkaitan dengan penemuan mayat yang mencurigakan, diantaranya adalah
pembunuhan. Dalam masyarakat kejadian pembunuhan bukan merupakan hal yang jarang ditemui
lagi. Oleh karenanya, penting bagi seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis,
dapat memperkirakan cara dan sebab mati dengan memiliki pengetahuan tentang berbagai aspek
ilmu forensik.
Isi
Aspek Hukum

Pasal 338 KUHP


Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339 KUHP


Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340 KUHP


Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun.

Pasal 351 KUHP


(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak 4500 rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 354 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan
penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.

Pasal 355 KUHP


(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.

Prosedur medikolegal

Penemuan dan pelaporan


 Dilakukan oleh warga masyarakat yang melihat, mengetahui atau mengalami suatu
kejadian yang diduga merupakan suatu tindak pidana.
 Pelaporan dilakukan ke pihak yang berwajib,dalam hal ini Kepolisian RI dan lain-lain.

Penyelidikan
 Dilakukan oleh penyelidik untuk mengetahui apakah benar ada kejadian seperti yang
dilaporkan.
 Menurut Pasal 4 KUHAP, penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia.

Penyidikan
 Dilakukan oleh penyidik
 Tindak lanjut setelah diketahui benar-benar terjadi suatu kejadian.
 Penyidik dapat meminta bantuan seorang ahli.
 Menurut pasal 2 PP No 27/1983, penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, dan pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sekurang-kurangnya
Pengatur Muda Tingkat 1(golongan II/b).

Pemberkasan perkara

 Dilakukan oleh penyidik, menghimpun semua hasil penyidikannya dan diteruskan ke


penuntut umum.

Penuntutan
 Dilakukan oleh penuntut umum di sidang pengadilan setelah berkas perkara yang lengkap
diajukan ke pengadilan.

Persidangan
 Persidangan pengadilan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim.
 Dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi dan juga para ahli.
 Dokter dapat dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau selaku
dokter pemeriksa.

Putusan pengadilan
 Vonis dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan, yaitu keyakinan pada diri hakim bahwa
memang telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwa memang bersalah.
Keyakinan hakim harus ditunjang oleh sekurang-kurangnya dua dari lima alat bukti yang
sah, sebagaimana yang tertulis dalam pasal 184 KUHAP.

I. Kewajiban Dokter Membantu Peradilan


Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat, dilak dengan cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari
kaki atau bagian lain badan mayat.

Penjelasan Pasal 133 KUHAP


(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.

Pasal 179 KUHAP


(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau
ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.

II. Bentuk Bantuan Dokter Bagi Peradilan Dan Manfaatnya


Pasal 183 KUHAP
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya.

Pasal 184 KUHAP


(1) Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Pertunjuk
e. Keterangan terdakwa
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 186 KUHAP


Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 180 KUHAP


(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, Hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim memerintahkan agar hal
itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu.

III. Sangsi Bagi Pelanggar Kewajiban Dokter


Pasal 216 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat
berdasarkan tugasnya. Demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa
tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan
umum.
(3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang
menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidanya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 222 KUHP


Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 224 KUHP


Barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau jurubahasa,
dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undang-undang ia harus
melakukannnya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.

Pasal 522 KUHP


Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa, tidak datang
secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.1

Pemeriksaan
I. PEMERIKSAAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP)

Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang
mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta/
memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut
sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan sesuai pula dengan Undang-Undang Pokok
Kepolisian tahun 1961 no. 13 pasal 13 atau sesuai dengan ketentuan pasal 3 Keputusan Men Han
Kam/ Pangab No. Kep/B/17/V1/1974.
Bila dokter menolak maka ia dapat dikenakan hukuman berdasarkan pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 224.
Selama melakukan pemeriksaan harus dihindari tindakan-tindakan yang dapat mengubah,
menganggu atau merusak keadaan di TKP tersebut walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan
itu harus mengumpulkan segala benda bukti (trace evidence) yang ada kaitannya dengan manusia,
seperti mengumpulkan bercak air mani atau darah yang terdapat pada pakaian atau benda-benda
di sekitar korban, yang pada dasarnya tindakan pengumpulan benda bukti tadi akan merusak
keadaan di TKP itu sendiri.
Dengan demikian sebelum pemeriksaan dilakukan, TKP harus diamankan, dijaga keasliannya
dan diabadikan dengan membuat foto-foto dan atau sktesa sebelum para petugas menyentuhnya.
Sebelum datang di TKP ada beberapa hal yang harus dicatat sehubungan dengan alasan atau
persyaratan yuridis, demi kepentingan kasus itu sendiri, yaitu:
a. Siapa yang meminta/ memerintahkan datang ke TKP, otoritas, bagaimana permintaan/
perintah itu sampai keterangan dokter, di mana TKP dan kapan saat permintaan/ perintah
tersebut dikeluarkan. Dokter dapat meminta sedikit gambaran mengenai kasus yang akan
diperiksa dengan demikian ia dapat mempersiapkan perlengkapannya dengan baik.
b. Perlu diingat motto : “to touch as little as possible and to displace nothing”.
Ia tidak boleh menambah atau mengurangi benda bukti: tidak boleh sembarangan
membuang puntung rokok, perlengkapan jangan tertinggal, jangan membuang air kecil di
kamar mandi oleh karena ada kemungkinan benda-benda bukti yang ada di tempat tersebut
akan hanyut dan hilang.
c. Di TKP dokter/ penyidik membuat foto dan sketsa yang mana harus disimpan dengan baik,
oleh karena kemungkinan ia akan diajukan sebagai saksi selalu ada; foto dan sketsa tersebut
berguna untuk memudahkan mengingatkan kembali keadaan yan sebenarnya.

Metode pencarian barang bukti


Untuk dapat memperoleh barang bukti yang diperlukan didalam proses penyidikan dikenal
5 macam metode, yaitu: strip method, double strip or grid method, spiral method, zone method,
dan wheel method. Metode-metode tersebut tentu sudah diketahui penyidik, namun perlu juga
diketahui oleh dokter yang melakukan pemeriksaan di TKP agar tidak mengubah atau merusak
keaslian keadaan TKP.
Pemeriksaan darah di TKP
Pemeriksaan darah di TKP kasus kriminal dapat memberikan informasi yang berguna bagi proses
penyidikan. Pemeriksaan yang sederhana dan dapat dilakukan oleh setiap penyidik adalah
pemerhatian terhadapa bentuk dan sifat bercak darah sehingga dapat diketahui:

 Perkiraan jarak antara lantai dengan sumber perdarahan


 Arah pergerakan dari sumber perdarahan baik dari korban maupun dari si pelaku kejahatan
 Sumber perdarahan, darah yang berasal dari pembuluh balik (pada luka yang dangkal),
akan berwarna merah gelap, sedangkan yang berasal dari pembuluh nadi (pada luka dalam)
akan berwarna terang. Darah yang berasal dari saluran pernafasan atau paru-paru berwarna
merah terang dan berbuih (jika telah mengering tampak seperti gambaran sarang tawon).
Darah yang berasal dari saluran pencernaan akan berwarna merah-cokelat sebagai akibat
dari bercampurnya darah dengan asam lambung.
 Darah dari pembuluh nadi akan memberikan bercak kecil-kecil menyemprot pada daerah
yang lebih jauh dari daerah perdarahan; sedangkan yang berasal dari pembuluh balik
biasanya membentuk genangan (ini karena tekanan dalam pembuluh nadi lebih tinggi dari
tekanan atmosfir sedangkan tekanan dalam pembuluh balik lebih rendah sehingga tidak
mungkin menyemprot).
 Perkiraan umur/ tuanya bercak darah. Darah yang masih baru bentuknya cair dengan bau
amis, dalam waktu 12-36 jam akan mengering sedangkan warna darah akan berubah
menjadi cokelat dalam waktu 10-12 hari. Oleh karena banyak faktor yang memengaruhi
darah maka didalam prakteknya hanya disebutkan bahwa darah tersebut “sangat baru”
(beberapa hari), “baru”, “tua”, dan “sangat tua” (beberapa tahun): yaitu berdasarkan
perubahan-perubahan warna serta perbandingan jumlah dengan intensitas reaksi terhdap
uji-uji yang dilakukan di laboratorium.

Dari distribusi darah yang terdapat di lantai dapat diduga apakah kasusnya kasus bunuh diri
(tergenang, setempat), ataukah pembunuhan (bercak dan genangan darah tidak beraturan, sering
tampak tanda-tanda bahwa korban berusaha menghindar atau tampak bekas diseret).
Pemeriksaan bercak darah yang telah kering. Di dalam melakukan pemeriksaan bercak darah
yang telah kering di TKP atau pada barang-barang bukti seperti pisau, palu, tongkat pemukul, dan
lain sebagainya, penyidik harus memperoleh kejelasan di dalam 3 hal yang pokok, yaitu:
 Apakah bercak tersebut memang bercak darah?
 Jika bercak darah, apakah berasal dari manusia?
 Jika berasal dari manusia, apakah golongan darahnya?

Kejelasan dari ketiga hal yang pokok tersebut penting dalam penyelesaian kasus, oleh karena
bercak darah yang kering tidak dapat dibedakan dari bercak-bercak lainnya.

II. IDENTIFIKASI PERSONAL

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati,
berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi forensik merupakan usaha
untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu
kepentingan proses peradilan.
Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil
positip (tidak meragukan). Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:

a. Identifikasi primer :
Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu oleh kriteria identifikasi lain.
Teknik identifikasi primer yaitu :
• Pemeriksaan DNA
• Pemeriksaan sidik jari
• Pemeriksaan gigi

Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan dua sampai tiga metode
pemeriksaan dengan hasil positif.

b. Identifikasi sekunder :
Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu
didukung kriteria identifikasi yang lain. Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara
ilmiah. Cara sederhana adalah melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan,
pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu
seperti pemeriksaan medis. Ada beberapa cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:

1) Pemeriksaan sidik jari


Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem.
Pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi akurasinya dalam
penentuan identitas seseorang, oleh karena tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama.

2) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara keluarga/rekan memperhatikan korban (terutama wajah). Oleh
karena metode ini hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat
akurasi dari pemeriksaan ini kurang baik.

3) Pemeriksaan dokumen
Metode ini dilakukan dengan dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, kartu golongan darah,
paspor dan lain-lain) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan. Namun perlu
diingat bahwa dalam kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam saku, tas atau dompet pada
jenazah belum tentu milik jenazah yang bersangkutan.

4) Pengamatan pakaian dan perhiasan


Metode ini dilakukan dengan memeriksa pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenzah. Dari
pemeriksaan ini dapat diketahui merek, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat
membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah. Untuk kepentingan lebih
lanjut, pakaian atau perhiasan yang telah diperiksa, sebaiknya disimpan dan didokumentsikan
dalam bentuk foto.
5) Identifikasi medik
Metode ini dilakukan dengan menggunakan data pemeriksaan fisik secara keseluruhan, meliputi
tinggi dan berat badan, jenis kelamin, warna rambut, warna tirai mata, adanya luka bekas operasi,
tato, cacat atau kelainan khusus dan sebagainya. Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh
karena dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.
6) Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan manual, sinar x, cetakan gigi serta rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah,
bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus dari seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang
yang identik pada dua orang yang berbeda, bahkan kembar identik sekalipun.

7) Serologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil baik dari tubuh korban
atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di tempat kejadian perkara. Ada dua tipe orang
dalam menentukan golongan darah, yaitu:
• Sekretor : golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani dan cairan tubuh.
• Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan darah.

8) Metode ekslusi
Metode ini digunakan pada identifikasi kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah orang yang
dapat diketahui identitasnya. Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan
menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan
dengan metode tersebut di atas, maka sisa diidentifikasi menurut daftar penumpang.

9) Identifikasi kasus mutilasi


Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah potongan berasal dari manusia atau binatang.
Bila berasal dari manusia ditentukan apakah potongan tersebut berasal dari satu tubuh. Untuk
memastikan apakah potongan tubuh berasal dari manusia dilakukan pengamatan jaringan secara
makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik.
10) Identifikasi kerangka
Identifikasi ini bertujuan untuk membuktikan kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras,
jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas dan bila memungkinkan
dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Kemudian dicari pula tanda kekerasan pada tulang serta
keadaan kekeringan tulang untuk memperkirakan saat kematian.
11) Forensik molekuler
Pemeriksaan ini memanfaatkan pengetahuan kedokteran dan biologi pada tingkatan molekul dan
DNA. Pemeriksaan ini biasa dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan berbagai
pemeriksaan identifikasi personal pada kasus mayat tak dikenal, kasus pembunuhan, perkosaan
serta berbagai kasus ragu ayah (paternitas).2

III. AUTOPSI FORENSIK

Autopsi forensik dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan undang-


undang, setelah menerima surat permintaan visum et repertum dari pihak penyidik. Agar
pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat mungkin, pemeriksaan harus mengikuti sistematika
yang telah ditentukan. Autopsi terbagi kepada dua; pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam.

Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, maupun teraba,
baik terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain, juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri. Sistematika pemeriksaan luar adalah seperti berikut:
1. Label mayat
Mayat laki-laki yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik diberi label dari pihak
kepolisian, merupakan sehelai label berwarna merah muda dengan materai lak merah terikat pada
ibu jari kaki kanan. Adalah kebiasaan yang baik, bila dokter pemeriksa dapat meminta keluarga
terdekat dan mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/pemastian identitas.
2. Tutup mayat
Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan ditutupi oleh sesuatu. Jenis/bahan,
warna serta corak dari penutup ini dicatat. Bila terdapat pengotoran pada penutup, catat pula letak
pengotoran serta jenis/bahan pengotoran tersebut.
3. Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus. Bungkus mayat ini
harus dicatat jenis/bahannya, warna, corak, serta adanya bahan yang mengotori. Dicatat pula tali
pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/bahan tali tersebut, maupun cara pengikatan serta letak
ikatan tersebut.
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dan pakaian yang dikenakan pada bagian tubuh sebelah
atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai lapisan yang terdalam. Pakaian
dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya disimpan untuk barang
bukti. Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus diperiksa dan dicatat isinya dengan
teliti pula.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan meliputi jenis
perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
Benda di samping mayat. Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pula
pengiriman benda di samping mayat, misalnya bungkusan atau tas.
6. Benda di samping mayat

Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pula pengiriman benda di samping
mayat, misalnya dompet atau tas. Terhadap benda-benda ini pun dilakukan pencatatan yang teliti
dan lengkap.

7. Tanda kematian

A. Tanda kematian tidak pasti


a. Pernafasan berhenti, dinilai lebih dari 10 menit
b. Terhentinya sirkulasi, dinilai lebih dari 15 menit, nadi karotis tidak teraba
c. Kulit pucat
d. Tonus otot menghilang dan relaksasi
e. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi
f. Pengeringan kornea

B. Tanda kematian pasti


a. Lebam mayat (livor mortis). Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati bagian
terbawah akibat gaya tarik bumi, mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah
ungu pada bagian terbawah tubuh kecuali pada bagian yang tertekan alas keras. Lebam mayat
biasanya akan mulai tampak pada 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitas makin
bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat
masih bisa memucat pada penekanan dan berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya
lebam akan lebih cepat dan sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut
dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi walaupun setelah 24 jam, darah masih
dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Lebam mayat
digunakan sebagai tanda pasti kematian dan memperkirakan sebab kematian, karena pada
keracunan zat-zat tertentu akan muncul warna lebam yang berbeda.
b. Kaku mayat (rigor mortis). Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat
mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot kecil) ke
arah dalam. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12
jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Faktor-faktor yang mempercepat
terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh
kurus dengan otot-otot kecil dan suhu lingkungan yang tinggi.
c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis). Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva
sigmoid. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban
udara, bentuk tubuh, posisi tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu untuk perkiraan saat
kematian. Penurunan suhu yang cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin
dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian atau
berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil. Penurunan suhu biasa ditentukan
dengan rumus Marshall Hoare dengan penurunan 0.55 derajat celcius pada 3 jam pertama, 1.1
derajat celcius pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0.8 derajat celcius pada periode selanjutnya.
Hal ini ditentukan dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang
sama (minimal 15 menit).
d. Pembusukan. Baru terjadi kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada perut kanan
bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat
dengan dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met-hemoglobin.
Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau
busukpun mulai tercium. Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca
mati, terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan binatang
pengerat khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi. Larva lalat akan muncul
setelah pembentukan gas pembusukan nyata. Sekitar 36-48 jam pasca mati. Telur lalat akan
muncul dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva,
maka dapat diketahui usia larva tersebut,yang dapat digunakan sebagai asumsi bahwa lalat
biasanya secepatnya meletakkan telur seetlah seseorang meninggal. Perbandingan kecepatan
pembusukan mayat yang berada pada tanah : air : udara adalah 1 : 2: 8.
e. Adiposera. Terbentuknya bahan yang berwarna keputihan lunak dan berminyak serta berbau
tengik. Faktor-faktor yang mempermudah adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang
cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit. Udara
yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang hangat mempercepat. Invasi
bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan memepercepat pembentukannya.
f. Mumifikasi. Adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Jaringan berubah menjadi keras dan kering, gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena
kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi pada
suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu
yang lama (12-14 minggu).3

Perkiraan Saat Kematian


Selain tanda-tanda pasti kematian yang dijelaskan di atas, terdapat beberapa perubahan lain yang
dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian korban. Perubahan-perubahan tersebut
adalah seperti yang berikut.
 Perubahan pada mata: Kekeruhan menyeluruh pada kornea terjadi kira-kira 10-12 jam
pasca mati
 Perubahan dalam lambung: Pengosongan lambung yang terjadi dalam 3-5 jam setelah
makan terakhir, misalnya sandwich akan dicerna dalam waktu 1 jam sedangkan makan
besar membtuhkan waktu 3 sampai 5 jam untuk dicerna. Kecepatan pengosongan lambung
ini dipengaruhi oleh penyakit-penyakit saluran cerna, konsistensi makanan dan kandungan
lemaknya.
 Perubahan rambut: Panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk
memperkirakan saat kematian, kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari
 Pertumbuhan kuku: Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm/hari
 Perubahan dalam cairan serebrospinal : Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg%
menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, Kadar nitrogen non protein kurang 80 mg%
menunjukkan kematian belum 24 jam
 Metode Entomologik: Larva Musca domestica mencapai panjang 8 mm pada hari ke-7,
berubah menjadi kepompong pada hari ke-8, menjadi lalat pada hari ke-14. Larva
Sarcophaga cranaria mencapai panjang 20 mm pada hari ke-9, menjadi kepompong pada
hari ke-10 dan menjadi lalat pada hari ke-18. Necrophagus species akan memakan jaringan
tubuh jenazah. Sedangkan predator dan parasit akan memakan serangga Necrophagus.
Omnivorus species akan memakan keduanya baik jaringan tubuh maupun serangga. Telur
lalat biasanya akan mulai ditemukan pada jenazah sesudah 1-2 hari postmortem. Larva
ditemukan pada 6-10 hari postmortem. Sedangkan larva dewasa yang akan berubah
menjadi pupa ditemukan pada 12-18 hari.
 Reaksi supravital: Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti
reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Rangsang listrik dapat menimbulkan
kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati, mengakibatkan sekresi kelenjar
sampai 60-90 menit pasca mati, trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit
sampai 1 jam pasca mati

8. Identifikasi umum

 Tanda umum seperti jenis kelamin/ bangsa/ ras/ umur/ warna kulit/ status gizi/
berat badan / panjang atau tinggi badan/ zakar disirkumsisi atau tidak/ striae
albicans ada atau tidak.

9. Identifikasi khusus

 Rajah/tattoo : letak,bentuk,warna,tulisan dan dokumentasi foto


 Jaringan parut : disebabkan penyembuhan luka atau bekas luka operasi
 Callus
 Kelainan kulit
 Anomali dan cacat pada tubuh

10. Pemeriksaan rambut

 Distribusi/warna/keadaan rambut/sifat rambut

11. Pemeriksaan mata

 Kelopak mata terbuka/tertutup


 Apakah ada kekerasan pada mata/kelainan
 Apakah ada pembuluh darah yang melebar/bintik atau bercak perdarahan

12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung

 Bentuk daun telinga dan hidung


 Kelainan dan tanda kekerasan yang ditemukan
 Apakah ada cairan/busa/darah yang keluar

13. Pemeriksaan mulut dan rongga mulut

 Meliputi bibir,lidah,rongga mulut dan gigi


 Data gigi yang lengkap
 Apakah ada sumbatan/benda asing dalam rongga mulut

14. Pemeriksaan alat kelamin

 Apakah ada kelainan atau tanda kekerasan

15. Lain-lain

 Tanda perbendungan/ikterus/sianosis/edema
 Bekas pengobatan
 Bercak kotoran
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka

Berdasarkan kasus korban mempunyai tanda-tanda kekerasan oleh benda tajam. Ada tiga hal yang
ciri khas/ hasil dari trauma yaitu :
1. Adanya luka
2. Perdarahan dan/ atau skar
3. Hambatan dalam fungsi organ
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik , atau
gigitan hewan atau juga gangguan pada ketahanan jaringan tubuh yang disebabkan oleh kekuatan
mekanik eksternal, berupa potongan atau kerusakan jaringan, dapat disebabkan oleh cedera atau
operasi. Pemeriksaan terhadap luka meliputi:
i. Penyebab luka

 Gambaran luka seringkali dapat memberi petunjuk mengenai bentuk benda yangmengenai
tubuh, misalnya luka yang disebabkan oleh benda tumpul berbentuk bulat panjang akan
meninggalkan negative imprint oleh timbulnya marginal haemorrhage.
 Luka lecet tekan memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.

ii. Arah kekerasan

 Pada luka lecet geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini sangat
membantu dalam melakukan rekonstruksi terjadinya perkara.
iii. Cara terjadinya luka

 Luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Bagian tubuh
yang terlindung seperti ketiak dan daerah lipat siku jarang mendapat luka suatu kecelakaan.
 Luka akibat pembunuhan dapat ditemukan tersebar pada seluruh bagian tubuh.
Jika korban pembunuhan sempat mengadakan perlawanan, dapat ditemukan luka tangkis
yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan.
 Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan(tentative
wounds) yang mengelompok dan berjalan kurang lebih sejajar.
iv. Hubungan antara luka yang ditemukan dengan sebab mati

 Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh


kekerasan yang menyebabkan luka
 Harus dapat dibuktikan bahwa luka yang ditemukan adalah benar-benar luka
yang terjadi semasa korban masih hidup (luka intravital)
 Adanya tanda intravitalitas luka berupa reaksi jaringan terhadap luka: ditemukannya
resapan darah, proses penyembuhan luka, sebukan sel radang, pemeriksaan histo-
enzimatik, pemeriksaan kadar histamin bebas dan serotonin jaringan
 Sekiranya ditemukan bahwa luka bukan penyebab kematian, harus dicari penyebab
lainnya.

Gambaran umum luka yang diakibatkan oleh benda tajam seperti:


 Tepi dan dinding luka yang rata
 Berbentuk garis
 Tiada jembatan jaringan
 Dasar luka berbentuk garis/titik
 Kedalaman luka tidak melebihi panjang luka
 Jika didapatkan satu sudut luka lancip dan satu lagi tumpul, benda tajam yang digunakan
bermata satu.
 Jika kedua sudut luka lancip, benda tajam yang digunakan bermata dua.4

PEMBEKAPAN

Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam mulut dan
atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung dengan
menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau seluruhnya, dimana
yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang dibekap masih mampu
untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga hidung
maupun mulut untuk menjadi asfiksia.
Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut
maupun lubang hidung tertutup sehingga proses pernafasan tidak dapat berlangsung.
Selain pembekapan yang juga termasuk mati lemas adalah : tindakan menyumpal rongga mulut
dengan benda asing (“choking”); menindih atau menekan dada korban sehingga dada tidak dapat
bergerak (“overlying”), dan tertimbunnya tubuh korban misalnya tertimbun tanah longsor atau
bangunan runtuh (“traumatic or crush asphyxia”).
Kecuali pembekapan dan penyumpalan atau penyumbatan rongga mulut yang pada umumnya
merupakan kasus pembunuhan; maka yang lainnya yaitu : overlying, dan traumatic asphyxia
biasanya bersifat kecelakaan.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa yang
berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena pembekapan adalah
berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering
juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan
dengan gigi.
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
1. Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita
penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu dengan“membenamkan”
wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi
hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang menutupi hidung dan
mulut.
2. Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya,
terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Selain itu
juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur berdampingan dengan
orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya menindih si anak sehingga tidak dapat
bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan dewasa muda bisa terjadi
kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya
terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja
atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan
hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi
pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh
obat atau minuman keras.

Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara hidung dan mulut
diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan dengan menindih atau
menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan burking.

Penyebab kematian
Penyebab kematian adalah asfiksia dan syok (jarang). Biasanya dalam waktu 4-5 menit setelah
mengalami sufokasi komplit. Pada beberapa kasus terjadi kematian mendadak.
Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin
tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari
jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku, dan luka
memar pada ujung hidung, bibir, pip, dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
Luka memar atau lecet pada bagian / permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan
menekan gigi, gusi, dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada pembedahan
jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel
kulit si pelaku.

Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki
saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik misalnya penutupan saluran
pernapasan bagian atas (pembekapan dan penyumbatan), penekanan dinding saluran pernapasan
(penjeratan, pencekikan, gantung), dan penekan dinding dada dari luar.
Pada orang asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan dalam 4 fase yaitu :
a. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi pernafasan
akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis
terutama pada muka dan tangan.
b. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi, yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi
kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung
menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi
dalam otak akibat kekurangan O2.
c. Fase apnea. Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin dan tinja.
d. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernafasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda asfiksia
akan lebih jelas dan lengkap.

Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah ditemukan sianosis pada bibi, ujung jari, dan kuku. Perbendungan
sistemik maupul pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian
akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas
akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktifitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku
dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses
kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktifitas pernapasan
pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara
yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah
akibat pecahnya kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan
palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibat tekanan hhidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan Tardieu’s spot.5

Penutup

Kesimpulan
Ilmu Kedokteran Forensik adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum. Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan
suatu usaha ilmiah, dan bukan sekedar common sense, nonscientific belaka. Dengan demikian, dalam
penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan
pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan. Seperti
kasus yang dibahas pada makalah ini dimna korban yang ditemukan diduga adalah korban pembunuhan
akibat pembekapan hingga membuat korban meninggal. Untuk memastikannya kita dapat melihat
beberapa aspek-aspek penting seperti aspek hukum dam medikolegal, pemeriksaan tanatologis untuk
intepretasi temuan sehingga kita dapat menyimpulkan saat mati, sebab mati dan mungkin cara mati
korban.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kedokteran. Hukum Acara Pidana, Prosedur Medikolegal, dan Kejahatan terhadap Tubuh
dan Jiwa Manusia. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994.

2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Kapita selekta kedokteran.


Edisi ke-3. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius;2000.h.171-82.
3. Staf pengajar ilmu kedokteran forensik FKUI. “Teknik Autopsi Forensik”. Cetakan ke-4.
Jakarta : bagian kedokteran Forensik FKUI, 2000.
4. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik bab Identifikasi. Jakarta : Binarupa
Aksara, 2002.
5. Budyanto A, Wibisana W, dan Sudiono S dkk. “Ilmu Kedokteran Forensik”. Cetakan
pertama dan edisi kesatu dan kedua. Tempat Kejadian Perkara. Jakarta: Bagian ilmu
kedokteran forensik FKUI. 1997. Pg 203-6.

Anda mungkin juga menyukai