Anda di halaman 1dari 12

Laporan Pendahuluan

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) on Hemodialisis (HD)


oleh Firda Eka Lestari dan Indri Lufiyani
Mahasiswa Program Sarjana Keperawatan, Universitas Indonesia

A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan sebah kondisi yang mana ginjal rusak
dan tidak mampu untuk melakukan filtrasi darah sebagaimana fungsi ginjal normal
(CDC, 2014). Gagal ginjal adalah sebuah kondisi dimana ginjal gagal untuk
mengeluarkan produk limbah metabolic dari darah dan kegagalan meregulasi cairan dan
elektrolit, serta keseimbangan PH pada cairan ektraseluler (Grossman & Porth, 2014)
Selain itu, CKD juga merupakan kondisi yang lambat, progresif, dan ireversibel dimana
kemampuan ginjal untuk berfungsi semakin lama akan semakin memburuk (White, Gena,
& Wendy, 2013)

B. Etiologi
Menurut Hall, 2016 menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penyakit
CKD adalah sebagai berikut.

Kondisi Penyakit
Gangguan metabolik Diabetes melitus, obesitas, amyloidosis
Hipertensi Aterosklerosis, nephrosklerosis-hipertensi
Gangguan vaskular renal
Gangguan imunologi Glomerulonefritis, polyatrteritis nodosa, lupus
erythematosus
Infeksi Pyelonephritis, tuberkulosis
Gangguan tubular primer Neprhrotoxin (analgesik, heavy metal)
Obstruksi saluran kemih Kalkuli renal, hipertrofi prostat, konstriksi uretral
Gangguan kongenital Penyakit polisistik, hipoplasia renal

Sedangkan menurut White, Duncan & Baumle (2013) mengklasifikasikan


penyebab gagal ginjal menjadi 3 letak kesalahannya, yaitu
a. PRERENAL
Gagal ginjal akut prerenal terjadi saat kondisi berkurangnya aliran darah menuju
ginjal (White, Duncan & Baumle, 2013). Situasi prerenal ARF bisa reversibel jika
penyebab penurunan aliran darah tersebut dapat diidentifikasi dan ditangani dengan
cepat sebelum terjadi kerusakan pada ginjalnya (bagian intrarenal). Prerenal failure
disebabkan oleh beberapa hal seperti perdarahan berat, infeksi, syok, gagal jantung
kongestif, infeksi miokardial, atau dehidrasi berat (White, Duncan & Baumle, 2013).
Umumnya klien tampak pucat, kulit dingin, hipotensi dan oliguria. Rasio nilai BUN-
kreatinin klien meningkat dari 10:1 menjadi lebih dari 20:1, natriumnya rendah
(<120 mEq/L), osmolalitas tinggi (>500 mOsm/L), dan berat jenis tinggi (>1.020)
(White, Duncan & Baumle, 2013). Hal ini menyebabkan karena ginjal
mempertahankan natrium dan air sebagai respon kompensasi defisit volume cairan.
Pengobatan yang bisa diberikan pada pasien dengan kondisi benar-benar memiliki
defisit volume cairan yaitu infus dan albumin, plasma, atau darah (White, Duncan &
Baumle, 2013). Jika penyebabnya gagal ginjalnya masalah curah jantung maka bisa
diberikan agen inotropik seperti dobutamin hidroklorida (dobutrex) atau amrinon
laktat (inocor) (White, Duncan & Baumle, 2013).

b. INTRARENAL
Kondisi ini diakibatkan karena kerusakan pada struktur ginjalnya yaitu jaringan
parenkim di glomerulus, pembuluh darah, tubulus atau interstitium (Grossman &
Porth, 2014). Penyebab dari kerusakan ini karena iskemia yang berhubungan dengan
prerenal failure, toxic atau nekrosis didalam tubulus, obstruksi intratubular, dan
glomerulonefritis yang menjadi penyebab utama kerusakan jaringan (White, Duncan
& Baumle, 2013).

c. POSTRENAL
Terjadi karena adanya obstruksi yang menutupi jalan untuk aliran urin keluar dari
tubuh. Hal ini menyebabkan urin kembali ke ginjal dan terjadi kerusakan pada
nefron. Sama seperti prerenal, pada gagal ginjal postrenal bisa reversibel jika
diketahui dan ditangani dengan cepat. Obstruksi dapat disebabkan oleh batu gnjal,
pembekuan darah, edema, tumor, BPH (benign prostatic hyperplasia), kehamilan,
atau gangguan saraf (White, Duncan & Baumle, 2013). Klien bisa teridentifikasi
oliguria atau bisa anuria (White, Duncan & Baumle, 2013). Untuk mendiagnosis
tingkat keparahan obstruksi pasien dapat dilakukan tes diagnostik berupa kateterisasi,
USG, dan pielogram retrograde (White, Duncan & Baumle, 2013).
C. Klasifikasi
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau
tingkat filtrasi ginjal (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,72 m2 yang berlangsung selama
minimal 3 bulan atau lebih (Porth, 2009: Smeltzer, 2010: Hall, 2016). Klasifikasi CKD
berdasarkan kategori laju filtrat glomerulus dibedakan menjadi 5 stage yaitu sebagai
berikut (Thomas, 2014)

GFR
Stage Deskripsi (ml/min/ Deskripsi
1,73 m2)
G1 Normal atau >90  Kerusakan ginjal dengan GFR normal (urin,
GFR ↑ imaging, atau kelainan histologis).
(resiko)  Istilah CKD tidak diterapkan apabila tidak
adanya albuminuria atau imaging abnormal.
 Klien tidak menunjukkan tanda-tanda yang
jelas terhadap penyakit ginjal, namun pada
tahap ini ginjal bekerja lebih keras untuk
mengeluarkan produk-produk limbah dan hal
ini akan menciptakan stres pada nefron.
 Laju filtrasi glomerulus (GFR) pada stadium 1
masih dibatas normal namun klien berisiko
terhadap kerusakan ginjal
G2 GFR ↓ 60-89  Lakukan pemeriksaan urin, imaging, dan
sedikit histologis kelainan.
(Ringan)  Penurunan GFR berkaitan dengan usia. CKD
tidak diterapkan apabila urin normal atau tidk
ditemukannya albuminuria atau imaging
abnormal
 GFR pada tahap CKD ringan mulai menurun
dan adanya sedikit peningkatan pada akumulasi
produk limbah. Pemeriksaan kadar BUN dan
kreatinin akan didapatkan mengalami
peningkatan akibat penumpukan produk
limbah. Pada tahap ini klien bisa mengalami
nokturia dan poliuria.
G3a ↓ ringan 45-59  Komplikasi lebih sering terjadi pada tahap 3b.
sampai Proteinuria merupakan faktor resiko CV yang
sedang serius dan memiliki prognostik penting dalam
G3b ↓ sedang 30-44 perkembangan CKD.
sampai berat  GFR pada CKD moderat/sedang mengalami
penurunan sedang dan akumulasi limbah
produk semakin banyak. Hal ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada keseimbangan
elektrolit yang mengharuskan klien untuk
mengatur diet dan membatasi cairan

G4 Sangat 15-29  Menurun parah


menurun  GFR di CKD berat menurun drastis, membuat
(Berat) penumpukan produk limbah dan menciptakan
gangguan homeostasis.
G5 Gagal ginjal < 15  End-stage renal disease
(ESRD)  End-Stage Renal Disease (ESRD) terjadi ketika
nefron sudah mengalami kegagalan fungsi
sekitar 90%. Hal ini ditandai dengan
peningkatan kadar BUN dan kreatinin;
perubahan poliuria menjadi oliguria, serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang
berat.

D. Patofisiologi
Ginjal memiliki kemampuan untuk mengkompensasi yang luar biasa. Ketika
banyak nefron yang rusak, maka nefron yang lain akan meningkatkan kerjanya untuk
mengompensasi fungsi nefron lain yang sudah rusak (Grossman & Porth, 2014). Nefron
ini akan tetap berfungsi sampai beban kerja nefron menekan kemampuan ginjal dan
menyebabkan akumulasi dari produk limbah metabolism (white, et.al., 2013). Namun, hal
ini menyebabkan struktur ginjal rusak terutama nefron akan mengalami hipertrofi
(Grossman & Porth, 2014). Nefron ginjal yang rusak yang disertai dengan progress yang
memburuk dari filtrasi glomerular, kapasitas reabsorbsi tubulus, dan endokrin di ginjal
pada akhirnya dapat menimbulkan sejumlah kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan
nefron secara permanen dan akan memunculkan manifestasi klinik yang sifatnya sistemik
karena setiap system tubuh akan terganggu oleh adanya akumulasi dari produk limbah
metabolism (Grossman & Porth, 2014, Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010, white,
et.al., 2013).
Salah satu produk limbah metabolism yaitu nitrogen. Akumulasi limbah nitrogen
dalam darah (azotemia) merupakan tanda dan gejala awal dari CKD (Grossman & Porth,
2014). Salah satu limbah nitrogen yang akan dikeluarkan oleh ginjal melalui urin adalah
urea. Apabila terjadi kerusakan ginjal, maka urea tidak dapat dibuang sehingga terjadi
penumpukan urea dalam darah (uremia). Ketika gejala uremia muncul, maka kurang
lebih dua pertiga nefron telah hancur (Grossman & Porth, 2014). Konsentrasi normal urea
dalam plasma adalah sekitar 20 mg / dL. Pada gagal ginjal, tingkat ini akan naik sampai
setinggi 800 mg / dL (Grossman & Porth, 2014). Uremia dapat menyebabkan kelemahan,
kelelahan, mual, apatis, sering muntah, lesu dan kebingungan. Pericarditis juga dapat
terjadi pada pasien CKD yang disebabkan karena uremia (Grossman & Porth, 2014).
Tanda-tanda pericarditis meliputi nyeri dada ringan sampai parah dan juga demam. Selain
itu, juga terdapat produk limbah lainnya seperti kreatinin yang secara bebas disaring di
glomerulus tetapi tidak keluar melalui urin namun diserap kedalam darah. Oleh karena
itu, serum kreatinin dapat digunakan sebagai metode tidak langsung untuk menilai GFR
dan tingkat kerusakan yang terjadi di ginjal (Grossman & Porth, 2014).
Saat terjadi CKD, maka kemampuan ginjal dalam regulasi cairan ektraseluler akan
terganggu. Terdapat sekitar 1 juta nefron yang masing-masing akan mempengaruhi GFR.
Namun pada CKD, beberapa nefron ginjal mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
penurunan GFR. Penurunan GFR menyebabkan penurunan jumlah plasma yang di filtrasi
oleh glomerulus (Silbernagl & Lang, 2000). Namun, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, nefron ginjal yang masih sehat akan mengompensasi dengan melakukan
hiperfiltrasi sehingga dapat menyebabkan polyuria dengan urin yang hampir isotonic
dengan plasma (Grossman & Porth, 2014). Namun, karena nefron ginjal memiliki beban
kerja yang berat, maka semakin lama nefron ginjal yang masih sehat pun akan rusak.
Sehingga dapat menyebabkan retensi cairan dan menyebabkan oliguria. Selain itu,
kemampuan ginjal untuk mengatur ekresi natrium juga berkurang. Salt wasting adalah
masalah umum pada CKD karena adanya gangguan pada reabsorbsi natrium di tubulus.
Penambahan intake sodium pada pasien CKD dapat memperbaiki GFR namun dapat
menyebabkan kenaikan tekanan darah (hipertensi). Mekanisme hipertensi pada pasien
CKD bersifat multifactorial atau disebabkan oleh banyak faktor seperti penaikan volume
vascular, kenaikan resistensi vascular perifer, dan kenaikan aktifitas dari renin
angiotensin aldosterone (Grossman & Porth, 2014).
Pada CKD, eksresi potassium oleh masing-masing nefron meningkat sebagai
adaptasi ginjal dalam penurunan GFR (Grossman & Porth, 2014). Sehingga
hyperkalemia biasanya belum terjadi sampai fungsi ginjal benar-benar terganggu. Adanya
mekanisme adaptif ini, maka pembatasan intake potassium tidak perlu dilakukan sampai
GFR telah turun dibawah 5 sampai 10 ml / menit / 1.73 m2 (Grossman & Porth, 2014).
Pada CKD, hyperkalemia sering terjadi karena adanya kegagalan dalam pembatasan
potassium, asidosis akut yang menyebabkan pelepasan potassium intraseluler ke
ekstraseluler, trauma atau infeksi yang menyebabkan pelepasan potassium dari jaringan
tubuh (Grossman & Porth, 2014).
Ginjal juga berperan dalam pegaturan pH darah (Grossman & Porth, 2014)
dengan menghilangkan ion hydrogen yang dihasilkan dalam proses metabolism dan
regenerasi bikarbonat. Hal ini dicapai melalui sekresi ion hydrogen dan natrium serta
reabsorbsi bikarbonat yang bertindak sebagai buffer dalam tubuh. Jika ada penurunan
fungsi ginjal, mekanisme ginjal dalam pengaturan pH darah akan terganggu dan asidosis
metabolic dapat terjadi ketika tubuh seseorang terlalu banyak asam atau kehilangan
banyak alkali (basa) (Grossman & Porth, 2014). Hal ini dapat meningkatkan resorpsi
tulang dan berkontribusi terhadap gangguan tulang pada pasien CKD.
Ginjal berperan penting dalam homeostasis kalsium dan fosfat. Ginjal merupakan
tempat produksi metabolit hepatik vitamin D yang menghasilkan kalsitrol (bentuk aktif
vitamin D) yang membantu meningkatkan penyerapan kalsium pada usus. Selain itu,
ginjal merupakan tempat kerja hormon paratiroid, yang menyebabkan retensi kalsium dan
fosfat dalam urin (Hammer & McPhee, 2014). Apabila terjadi kerusakan pada ginjal,
maka produksi kalsitrol akan menurun sehingga dapat menyebabkan demineralisasi
tulang dan terjadi hipokalsemia (Grossman & Porth, 2014), serta peningkatan eksresi
fosfat dan kalsium (Silbernagl & Lang, 2000) yang dapat menyebabkan hiperparatiroid
(Grossman & Porth, 2014).
Ginjal merupakan organ tubuh yang berperan sebagai tempat utama dalam
memproduksi hormone eritropoietin (hormone yang berfungsi untuk mengatur produksi
sel darah merah). Oleh karena itu, jika ginjal terganggu maka produksi hormone tersebut
pun akan terganggu. Pada CKD, biasanya produksi eritropoietin tidak cukup untuk
merangsang sumsum tulang belakang untuk memproduksi sel darah merah (Grossman &
Porth, 2014). Akibatnya pada pasien CKD dapat mengalami anemia. Jika tidak diatasi,
anemia dapat menyebabkan kelemahan, kelelahan, depresi, insomnia, serta penurunan
kognitif (Grossman & Porth, 2014). Anemia juga dapat menyebabkan penurunan
viskositas darah dan dapat memperparah vasodilatasi perifer dan dapat menurunkan
resistensi pembuluh darah (Grossman & Porth, 2014). Curah jantung pun juga meningkat
sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan. Anemia juga membatasi
pasokan oksigen ke jantung sehingga dapat menyebabkan angina pectoris dan penyakit
iskemik lainnya (Grossman & Porth, 2014). Pada pasien CKD juga dapat terjadi
koagulopati. Meskipun produksi platelet pada pasien CKD adalah normal, tetapi fungsi
dari platelet tersebut terganggu (Grossman & Porth, 2014). Fungsi koagulasi dapat
diperbaiki melalui proses dialysis tapi tidak sepenuhnya.
Penyakit jantung juga dapat terjadi pada pasien CKD yang sifatnya multifactor.
Salah satu faktornya yaitu terjadi disfungsi ventrikel kiri. Faktor yang menyebabkan
disfungsi ventrikel kiri yaitu adanya cairan ekstraseluler yang berlebih dan anemia
(Grossman & Porth, 2014). Anemia dihubungkan dengan terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri karena jika terjadi anemia maka suplai oksigen ke jantung pun akan terhambat,
sehingga dapat menaikkan kerja miokardial dan kebutuhan oksigen akibatnya dapat
terjadi hipertensi dan gagal jantung (Grossman & Porth, 2014).

Gambar 1. Manifestasi dan mekanisme CKD

E. Manifestasi Klinis
Berdasarkan patofisiologi diatas, tanda gejala yang timbul pada apenderita CKD dalam
Grossman & Porth, 2014, yaitu
1. Azotemia
2. Adanya perubahan keseimbangan cairan, elektrolit, mineral, dan asam basa.
3. adanya gangguan skeletal,
4. anemia dan gangguan koagulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan
5. hipertensi dan perubahan fungsi kardiovaskuler, pasien akan merasakan nyeri dada
karena adanya inflamasi di sekitar jantung penderita.
6. gangguan gastrointestinal, seperti anoreksia, nausea dan vomiting
7. komplikasi neurologis dan
8. gangguan integritas kulit. Kulit terlihat lebih pucat karena adanya anemia.
9. gangguan fungsi kekebalan tubuh.
F. Prosedur Klinis
a. Anamnesa (Arici, 2014)
1. Menanyakan tanda dan gejala yang dialami pasien untuk membedakan antara
Acute Kidney Injury (AKI) dan Chronic Kidney Disease (CKD).
2. Menanyakan kepada pasien tentang adanya riwayat:
 kardiovaskular (infark miokard) dan pembedahan kardiovaskular, gagal
jantung, hipertensi, diabetes)
 riwayat imunologis/ infeksi
 riwayat gastrointestinal (hepatitis atau sirosis)
 riwayat genitourinary (infeksi saluran kemih, riwayat batu ginjal, tanda dan
gejala obstruksi saluran kemih)
 riwayat genetik atau keluarga (adakah keturunan gangguan fungsi ginjal)
 riwayat pengobatan atau medikasi (misalnya penggunaan NSAIDs, pereda
nyeri, dan antibiotik jangka panjang).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara head to toe dengan metode IPPA.
(White, Duncan & Baumle, 2012)
1. Berat Badan Harian. Perubahan total volume cairan tubuh digambarkan dari
BB. Sebanyak 1000 ml = 1 kg (2,2 lb)
2. Tanda-tanda Vital.
 Suhu. Peningkatan suhu bd peningkatan jumlah kehilangan cairan
 Nadi. kaji kecepatan, kekuatan dan ritme.
Defisiensi volume cairan  nadi cepat & lemah, kelebihan cairan 
nadi kuat, adanya S3
 Napas. Inspeksi : pergerakan dinding dada, kecepatan napas, Auskultasi :
suara napas (crackles = edema paru)
 TD. Kekurangan cairan akan menyebabkan TD turun dan sebaliknya jika
kelebihan cairan menyebabkan TD naik.
3. Intake dan Output
 Recall 24 jam
 Intake (oral, enteral, parenteral)
 Output (urin, muntah, diare & drainase)
 Kaji rasa haus  indikator adanya kekurangan cairan
4. Keadaan Kulit.
 Kaji keadaan Turgor kulit
a. Dehidrasi  pengembalian lebih lama
b. Hipervolemi  sulit digenggam & lebih tegang
 Edema  di lokasi tertentu/ seluruh tubuh (anasarka), terlihat mengkilat
dan pucat . Derajat pitting edema :
0 = no pitting
1 = 0 – ¼ inch pitting (ringan)
3 = ¼ - ½ inci pitting (sedang)
3 = ½ - 1 inci pitting (berat)
4 = > 1 inci pitting (berat)
4 Rongga mulut. Penurunan sekresi saliva; Membran mukosa kering; Bibir
pecah-pecah
5 Mata. Bola mata cekung; Konjungtiva kering/ tidak; Penurunan/ ketiadaan air
mata; Hipervolemi  adanya puffy eyelids (periorbital edema/ papillaedema)
& penglihatan kabur
6 Vena jugularis. Adanya distensi mengidentifikasikan hipervolemia
7 Sistem Neuromuskular. Ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa
 perubahan neuromuscular, seperti kehilangan tonus otot, berkurangnya
reflex, penurunan konsentrasi, kebingungan dan emosi yang labil

c. Pemeriksaan Nutrisi
1. Pengkajian antropometri dapat dilihat melalui pengukuran tinggi badan, erat
badan pasien yang harus dievaluasi secara kritis untuk melihat penyebab
peningkatan atau penurunan berat badan (Himmelfarb & Sayegh, 2010),
misalnya karena adanya edema, MAC/ LLA, skinfold, BMI/ IMT, dan berat
badan ideal pasien.
2. Pengkajian biokimia (biochemical) meliputi albumin serum, transferrin
serum, prealbumin serum, dan C-reactive protein. Penurunan albumin serum
dapat berhubungan dengan adanya overload volume cairan, inflamasi, infeksi,
dan trauma (Himmelfarb & Sayegh, 2010).
3. Pengkajian klinis (clinical assessment) meliputi pengkajian terhadap
penampilan klinis pasien yang menggambarkan status nutrisi dan cairan,
mulai dari kepala hingga ujung kaki, misalnya membran mukosa, ada tidaknya
pembesaran tiroid, kondisi mulut, gigi, dan gusi, penampilan lidah, dan
penampilan kuku.
4. Dietary intake, meliputi riwayat diet (pola makan sebelum sakit, jenis
makanan yang sering dikonsumsi sebelum sakit, serta jumlah makanan dan
komposisi makanan sebelum sakit), 24 hours dietary recall, dan diet harian

d. Pemeriksaan Diagnostik
 Glomerulus Fitration Rate (GFR).
 Keseimbangan Elektrolit dan Asam Basa, (AGD, Na dan Kalium)
 Urinalisis. Analisis urin dilakukan dengan menggunakan urin pertama (pagi)
dan harus segera dievaluasi 2-4 jam setelah diambil (Arici, 2014).
 Albumin urin, Pemeriksaan albumin urin digunakan untuk melihat adanya
protein pada urin yang biasanya terdapat pada pasien CKD.
 Tes BUN dan Kreatinin
 Hematokrit
 Radiografi X-Ray  melihat adanya kalsifikasi pada saluran kemih
 CT Scan atau MRI  melihat adanya obstruksi, tumor, sistik, atau kalkuli
 Ultrasound  menggunakan alat Doppler karena Doppler dapat memberikan
gambaran vaskluarisasi ginjal

Sodium

G. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
 Diet
Pembatasan cairan 500mL pagi 200 mL siang dan 100 mL malam (800mL/hari)
dibatasi 250 mg per hari
Pembatasan asupan protein  level albumin
 Modifikasi aktivitas, Pembatasan aktvitas yang membutuhkan energi lebih
 Renal Repalcement Therapy (RRT): Hemodialysis, dialisis peritonel dan
Transplantasi ginjal
H. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Pemberian obat Antihipertensi: inhibitor ace (Altace), beta blockers (Inderal)
yang digunakan untuk mengontrol hipertensi.
b. Diuretik furosemide (Lasix) mengobati retensi cairan;
c. antikonvulsan, fenitoin (Dilantin) untuk mengendalikan kejang;
d. antiemetik, proklorperazin (Compazine) untuk mengontrol muntah
e. antipruritus, siproheptadin hidroklorida (Periactin) untuk mengontrol gatal.
f. Kalsium asetat (phos-Lo) digunakan untuk menurunkan tingkat fosfat dalam
darah; namun, hal itu dapat menjadi sembelit.
g. suplemen zat besi untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan anemia

I. Diagnosa yang mungkin muncul


1. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar
2. Penurunan cardiac output b.d perubahan preload, afterload dan sepsis
3. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
perikarditis
4. Kelebihan volume cairan b.d mekanisme pengaturan melemah
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang
inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
6. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.

REFERENSI
Arici, M. (2014). Management of Chronic Kidney Disease A Clinician's Guide. New
York: Springer.
Grossman, S. C. dan Porth, C. M. (2014). Porth’s pathophysiology concepts of altered
health states. 9th ed. Philadephia: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams &
Wilkins
Himmelfarb, J., & Sayegh, M. H. (2010). Chronic Kidney Disease, Dialysis, and
Transplantation Companion to Brenner & Rector's The Kidney. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Hammer, G., & McPhee, S. (2014). Pathophysiology of disease: An introduction to
clinical medicine. New York: Mc Graw Hill Education.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2000). Color Atlas Of Pathophysiology. Newyork: Thieme.
Smeltzer, S. C., Bare, B., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth's
Textbook of Medical-Surgical Nursing (12nd Edition ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
White, L., Gena, D., dan Wendy, B. (2013). Medical surgical nursing: An integrated
aproach. 3rd ed. USA: Delmar Cengage Learning
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2014). National Chronic Kidney
Disease Fact Sheet: General Information and National Estimates on Chronic
Kidney Disease in the United States, 2014. Diakses dari
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/kidney_factsheet.pdf
Hall, J.E. (2016). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, 13th Edition.
Philadelphia: Elseiver.

Anda mungkin juga menyukai