Anda di halaman 1dari 21

CEREBRAL VASCULAR ACCIDENT:

INTRAVENTRICULAR HEMORRHAGE (CVA-IVH)

1. DEFINISI
Perdarahan intraventrikel atau yang biasa disebut dengan IVH adalah
perdarahan yang terdapat pada sistem ventrikel otak, dimana cairan
serebrospinal di produksi dan disirkulasikan ke ruang subarachnoid.
Perdarahan ini dapat disebabkan karena adanya trauma ataupun juga
perdarahan pada stroke.
Disebutkan pula bahwa Primary Intraventricular Hemorrhage merupakan
perdarahan intraserebral nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel.
Sedangkan perdarahan sekunder intraventrikuler muncul akibat pecahnya
pembuluh darah intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang
meluas ke sistem ventrikel. IVH sekunder mungkin terjadi akibat perluasan
dari perdarahan intraparenkim atau subarachnoid yang masuk ke system
intraventrikel. Kontusio dan perdarahan subarachnoid (SAH) berhubungan erat
dengan IVH. Perdarahan dapat berasal dari middle communicating artery atau
dari posterior communicating artery.
Sepertiga pasien IVH tidak bertahan pada perawatan di rumah sakit (39%).
Angka kejadian IVH di antara seluruh pasien dengan perdarahan intrakranial
adalah 3,1% dengan prognosis yang dilaporkan lebih baik dari prognosis
pasien perdarahan intraventrikel sekunder. IVH menginduksi morbiditas,
termasuk perkembangan hidrosefalus dan menurunnya kesadaran. Dilaporkan
terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan IVH, namun hipertensi
merupakan faktor yang paling sering ditemukan. Sering kali kejadian IVH
bersamaan dengan munculnya CVA hemoragik lain, yang tersering adalah ICH
(intra cranial Hematoma), sehingga kejadian CVA ICH ini juga menimbulkan
kesan gejala yang sama dengan CVA yang terjadi setelah atau bersamaan.
Selain itu kejadian IVH lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan
dengan orang dewasa. Pada bayi IVH banyak terjadi pada bayi yang prematur
atau BBLR, ha ini dikarenakan belum matangnya pembentukan pembuluh
darah, terutama di otak. Ketidakmatangan inilah yang akan mengakibatkan
adanya ruptur pembuuh darah pada sistem ventrikel. Sedangkan pada orang
dewasa IVH banyak terjadi karena perdarahan dari sistem atau tempat disekitar
ventrikel otak.

2. ETIOLOGI
Etiologi PIVH bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui. Tetapi
menurut penelitian didapatkan :
a. Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan
hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat
dekat dengan sistem ventrikuler.
b. Kebiasaan merokok dan Alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke
perdarahan pada pasien merokok dan konsumsi alkohol. Kandungan (zat)
yang terkandung dalam rokok, terutama nikotin dapat menyebabkan
penurunan elastisitas dinding vaskuler. Konsumsi alkohol dengan jumlah
banyak maupun sedikit namun dalam jangka waktu yang lama akan
berefek pada sistem kardiovasluler, gangguan yang mungkin muncul pada
sistem jantung diantaranya adalah berhubungan dengan fungsi fisiologis
jantung, yang tersering diantaranya adalah fungsi sebagai “pompa” darah,
sedangkan pada sistem vaskuler, konsumsi alkohol dapat mengganggu
lipid profile yang kedepannya akan mengakibatkan gangguan pada lemak
di vaskuler yang nantinya dapat menyebabkan penyempitan vaskuler.
c. Etiologi lain yang mendasari PIVH di antaranya adalah anomali pembuluh
dara hserebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma kavernosa
dan aneurisma serebri merupakan penyebab tersering PIVH pada
usia muda. Pada orang dewasa, PIVH disebabkan karena penyebaran
perdarahan akibat hipertensiprimer dari struktur periventrikel.

3. FAKTOR RESIKO
a. Usia tua
b. Kebiasaan merokok
c. Alkoholisme
d. Tekanan darah lebih dari 120 mmHg.
e. Lokasi dari Intracerebral hemoragik primer.
f. Perdarahan yang dalam, pada struktur subkortikal lebih beresiko menjadi
intraventrikular hemoragik, lokasi yang sering terjadi yaitu putamen (35-
50%), lobus(30%), thalamus (10-15%), pons (5%-12%), caudatus (7%)
dan serebelum (5%). Adanya perdarahan intraventrikular meningkatkan
resiko kematian yang berbanding lurus dengan banyaknya volume IVH.

4. PATOFISIOLOGI
Hipertensi
abnormalitas formasi vaskuler otak

Tek. Vaskuler melebihi tek. Menyebabkan vaskuler mudah ruptur


Maksimal vaskuler otak karena formasi vaskuler sendiri

Perdarahan yang terjadi menyebabkan


penekanan pada area otak (desak ruang)

Penekanan pada Penekanan pada area


area sensitif Peningkatan TIK tertentu pada otak
nyeri dapat menyebabkan
gangguan fisiologis otak
Apabila dibiarkan akan terjadi seperti :gangguan
Nyeri kepala edema otak bicara (area broca),
gangguan gerak, dll

Gangguan kesadaran (penurunan)

5. GEJALA
Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang
berkembang cepat sampai keadaan koma. Pada pemeriksaaan biasanya di dapati
hipertensi kronik. Gejala dan tanda tergantung lokasi perdarahan. Herniasi uncal
dengan hiiangnya fungsi batang otakdapat terjadi. Pasien yang selamat secara
bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari. Pasien dengan
perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure tiba-
tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Ropper, 2005 Dalam khoirul
2009).
Pasien usia tua dengan tekanan darah normal yang mengalami PIS atau
perdarahan intraserebellar karena amyloid angiopathybiasanya telah menderita
penyakit Alzheimer atau demensia progresif tipe Alzheimer dan dalam
perjalanannnya perdarahan dapat memasukirongga subarakhnoid.(Gilroy, 2000,
Dalam khoirul 2009).

Secara mendetail gejala yang muncul diantaranya (Isyan, 2012) :


1) Kehilangan Motorik.
Disfungsi motor paling umum adalah :
a. Hemiplegia yaitu paralisis pada salah satu sisi yang sama seperti pada
wajah, lengan dan kaki (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
b. Hemiparesis yaitu kelemahan pada salah satu sisi tubuh yang sama
seperti wajah, lengan, dan kaki (Karena lesi pada hemisfer yang
berlawanan).

2) Kehilangan atau Defisit Sensori.


a. Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi)
Kejadian seperti kebas dan kesemutan pada bagian tubuh dan
kesulitan dalam propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh).
b. Kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.

3) Kehilangan Komunikasi (Defisit Verbal).


Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan
oleh hal berikut :
a. Disartria adalah kesulitan berbicara atau kesulitan dalam membentuk
kata. Ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b. Disfasia atau afasia adalah bicara detektif atau kehilangan bicara, yang
terutama ekspresif atau reseptif (mampu bicara tapi tidak masuk akal) .
c. Apraksia adalah ketidak mampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan
berusaha untuk menyisir rambutnya.
d. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan.
4) Gangguan Persepsi.
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterprestasikan
sensasi. Stroke dapat mengakibatkan :
a. Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara
mata dan korteks visual.
b. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang)
c. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial).

5) Defisit Kognitif.
a. Kehilangan memori jangka pendek dan panjang.
b. Penurunan lapang perhatian.
c. Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
d. Alasan abstrak buruk.
e. Perubahan Penilaian.

6) Defisit Emosional.
a. Kehilangan kontrol-diri.
b. Labilitas emosional.
c. Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress.
d. Depresi.
e. Menarik diri.
f. Rasa takut, bermusuhan, dan marah.
g. Perasaan Isolasi.

6. PROGNOSA
Prognosa IVH akan sangat buruk apabila merupakan hasil dari perdarahan
intraserebral yang disebabkan karena hipertensi, dan prognosa akan bertambah
buruk apabila hydrocephalus mengikuti. Hal ini dapat menyababkan
peningkatan TIK dan dapat menyebabkan hernia otak. Darah yang berada pada
ventrikular otak dapat menggumpal dan akan menyumbat aliran dari CSF
sehingga dapat terjadi hydrochepalus yang dapat dengan cepat meningkatkan
TIK dan dapat menyebabkan kematian. Kemudian, produk-produk pemecahan
bekuan darah dapat merangsang pelepasan agen-agen inflamsi yang dapat
merusak granulasi dari arachnoid, menghalangi reabsorbsi CSF dan dapat
menyebabkan hydrochepalus permanen.

7. KOMPLIKASI
a. Hidrosefalus (Octaviani, 2011)
Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan
karena obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau berkurangnya absorpsi
meningeal. Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan
berhubungan dengan keluaran yang buruk.
Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah
saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP)
Shunt merupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana
hidrosefalus, yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.
Sebuah studi tentang hidrosefalus menunjukkan rasio kesuksesan perbaikan
gejala dan tanda klinis pada 50%- 90% penelitian pada anjing yang
mendapatkan tatalaksana ventriculoperitoneal shunting.
b. Perdarahan ulang (rebleeding) (Octaviani, 2011)
Dapat terjadi setelah serangan hipertensi. Tindakan medis untuk mencegah
perdarahan ulang setelah SAH dari AHA Guideline 2009: 1). Tekanan darah
sebaiknya dimonitor dan dikontrol untuk mengimbangi risiko stroke,
hipertensi yang berhubungan dengan perdarahan ulang, dan
mempertahankan CPP (cerebral perfusion pressure). 2). Tirah baring saja
tidak cukup untuk mencegah perdarahan ulang setelah SAH. Dapat
dipertimbangkan strategi tatalaksana yang lebih luas, bersamaan dengan
pengukuran yang lebih definitif. 3). Meskipun studi yang lalu menunjukkan
keseluruhan efek negatif dari antifibrinolitik, bukti sekarang
menyarankantatalaksana awal dengan pemberian antifibrinolitik jangka
pendek dilanjutkan dengan penghentian antifibrinolitik dan profilaksis
melawan hipovolemi dan vasospasme
c. Vasospasme. (Octaviani, 2011)
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular
hemorrhage (IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu: 1).
Disfungsi arteriovena hipotalamik berperan dalam perkembangan
vasospasme intrakranial. 2). Penumpukkan atau jeratan dari bahan
spasmogenik akibat gangguan dari sirkulasi cairan serebrospinal.
Rekomendasi tatalaksana vasospasme serebri dari AHA Guideline pada
SAH, yaitu: Nimodipin oral diindikasikan untuk mengurangi keluaran yang
buruk yang berhubungan dengan SAH aneurisma (I, A). Nilai dari
pemberian antagonis kalsium secara oral atau intravena masih belum jelas.
Dosis oral yang dianjurkan adalah 60 mg setiap 6 jam.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis klinis dari PIVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan
meskipun gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT
Scan kepala diperlukan untuk konfirmasi. CT sangat sensitif dalam
mengidentifikasi perdarahan akut dan dipertimbangkan sebagai baku emas.
Rekomendasi AHA Guideline 2010 untuk pencitraan pada kasus stroke adalah:
a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).
CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra
serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan
dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi
dengan mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang
mengalami peningkatan volume perdarahan.
b. Magnetic resonance imaging (MRI).
MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam
pertama setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium
disolusi hemoglobin oksihemoglobin – deoksihemoglobin – methemoglobin
- ferritin dan hemosiderin.
c. CT angiografi, CT venografi, contrast-enhanced CT, contrast-enhanced
MRI, magnetic resonance angiography, and magnetic resonance
venography dapat digunakan untuk mengevaluasi lesi struktural yang
mendasari, termasuk malformasi pembuluh darah dan tumor jika terdapat
kecurigaan klinis atau radiologis.

9. PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL


a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih.
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
 Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum
pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak
baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh.
 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100
cm, minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup
sebelah mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien.
Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,
mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi
pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa
derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan
opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan
Abdusen)
 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi
konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral
bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah
maxilla, mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta
klien mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan
kiri.
 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau
peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan
tumpul.
 Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan
diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana
yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum
pemeriksaan.
 Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan
garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi
dan minta klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak
 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat
lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah
mata dan lihat refleks menutup mata.
 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi
periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan
ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat
kesimetrisan gerakan mandibula.
e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi
untuk gula dan asam
 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat
kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan
kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta
klien memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta
pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
 cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test
 Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien
berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi
adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah
posisi, lihat apakah klien dapat mempertahankan posisi
g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal
bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.
 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.
 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menelan air
sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa
getaran pita suara saat klien berbicara.
h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua
bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
menoleh ke kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu
kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi
rentang pergerakan sendi
 Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien
dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan
pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien
untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa,
perhatikan kekuatan daya dorong
i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu
pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah,
dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi
pemeriksaan sisi yang lain

10. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK


Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks
cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus
pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada
berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara
berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang
agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
 Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot
disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan
tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu
kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam
melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.
 Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji
tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi
pergelangan tangan.
 Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
c. Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif
menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya
dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan
skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan
atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

11. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK


Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan
yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan
karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap
beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis
stimulus.
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai
perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa
dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang
keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai
untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.
d.
12. PEMERIKSAAN FUNGSI REFLEKS
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan
refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)
2 = normal (++)
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :


a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang
lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae)
dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps
femoris yaitu ekstensi dari lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi
fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar
keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah
yang digores.

Reflek Patologis
a. Babinski
Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior. Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari
– jari kaki.
b. Chaddock
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus
lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski.
c. Oppenheim
Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal.
Respons : seperti babinski.
d. Gordon
Stimulus : penekanan betis secara keras, Respons : seperti babinski.
e. Schaeffer
Stimulus : memencet tendon achilles secara keras. Respons : seperti
babinski.
f. Gonda
Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat. Respons
: seperti babinski.
g. Hoffman
Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien. Respons : ibu jari,
telunjuk dan jari – jari lainnya berefleksi.
h. Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien. Respons : seperti
Hoffman.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan


selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :
a. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).
b. Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala
klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua
tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
c. Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul
dan lutut.
d. Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan
tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai
bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan
rasa sakit terhadap hambatan.

13. TATALAKSANA
a. CT Scan kepala sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut
dandipertimbangkan sebagai gold standard.
b. Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan
peningkatantekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan
mencegah komplikasiseperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a. Resusitasi cairan intravena
b. Elevasi kepala pada posisi 300
c. Mengoreksi demam dengan antipiretik.
d. Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) sangat beralasan, karena peningkatan tekanan intrakranial yang
berat berhubungan dengan herniasi dan iskemi. Rasio mortalitas yang
lebih rendah konsisten ditemukan pada kebijakan terapi dengan: 1)
Penggunaan keteter intraventrikuler untuk mempertahankan TIK dalam
batas normal dan 2) Usaha untuk menghilangkan bekuan darah dengan
menyuntikkan trombolitik dosis rendah.

Rekomendasi AHA Guideline 2009:


a. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi
transtentorial, atau dengan IVH yang nyata atau hidrosefalus
dipertimbangkan untuk monitor dan tatalaksana TIK. Cerebral perfusion
pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan untuk dipertahankan tergantung
dari autoregulasi serebri.
b. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran.
c. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian
bedah saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal
(VP) Shuntmerupakan tehnik operasi yang paling popular untuk
tatalaksana hidrosefalus,yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga
peritoneum.Menurut Butler et gambaran klinis pada PIVH dapat berbeda
tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak di
sekitarnya. Pada CT Scan kepala pasien tampak bahwa darah sebagian
besar mengisi ventrikel sebelah kiri, hal ini yang menjelaskan terdapatnya
hemiparesis dekstra pada pasienini. Kerusakan pada reticular activating
system (RAS) dan talamus selama fase akut dari perluasan perdarahan
dapat menyebabkan menurunnya derajat kesadaran
.
Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses perawatan yaitu suatu
pendekatan yang sistematis dimana sumber data, diperoleh dari klien, keluarga
klien.
1. Anamnesia/Identitas.
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, bangsa/suku,
pendidikan, bahasa yang digunakan dan alamat rumah.
2. Keluhan Utama.
Biasanya pada klien mengeluh sakit kepala, kadang-kadang nyeri, awalnya
bisa pada waktu melakukan kegiatan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada
extrimitis, yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra,
gangguan fokal, menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa
disertai kejang, menurunnya kesadaran seperti CVA Bleeding.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien dengan CVA didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak
adekuat, kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat
DM.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Dari pihak keluarga resesif mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau
punya anggota keluarga yang punya atau pernah mengalami CVA Bleeding
maupun infark
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan.
Resiko tinggi terjadi CVA berada pada lingkungan yang kurang sehat seperti
gizi yang jelek, aktivitas yang kurang adekuat dan pola hidup yang kurang
sehat
7. Riwayat Psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologi klien dengan timbul
gejala-gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penerimaan
terhadap penyakitnya.
8. Pola Sehari-hari :
1. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak
disukai oleh klien, mual – muntah, penurunan nafsu makan sehingga
mempengaruhi status nutrisi
2. Pola Eliminasi.
Kebiasaan dalam BAB didapatkan ,sedangkan kebiasaan BAK akan
terjadi retensi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
3. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dengan CVA tidak bisa melakukan aktivitas, badan terasa
lemas, muntah dan terpasang infus.
4. Pola tidur dan istirahat.
Biasanya klien sebelum tidur, lama tidur siang dan malam karena nyeri
kepala yang hebat maka kebiasaan tidur akan terganggu.
5. Pola persepsi dan konsep diri.
Didalam perubahan konsep diri itu bisa berubah bila kecemasan dan
kelemahan tidak mampu dalam mengambil sikap.
6. Pola sensori dan kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
7. Pola reproduksi sexual
Pada pria reproduksi dan seksual pada klien yang telah/sudah menikah
akan terjadi perubahan
8. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan peran dan
peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama
sakit.
9. Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang klien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
11. Pola tata dan kepercayaan.
Timbulnya distress dalam spiritual pada klien, maka klien akan menjadi
cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan
terganggu.

# Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan umum
Biasanya klien CVA mengalami badan lemah, nyeri kepala, penurunan
kesadaran, tensi meningkat, suhu, nadi, pernafasan.
2. Kepala dan leher
Keadaan rambut, kepala simetris atau tidak, ada tidaknya benjolan kepala,
panas atau tidak, maka simetris atau tidak, keadaan sclera, puppi reflek
terhadap cahaya, hidung simetris atau ada tidaknya polrip, epistaksis mulut,
leher simetris serta ada pembesaran kelenjar tiroid
3. Thorax dan abdomen
Biasanya klien CVA tidak terdapat kelainan, bentuk dada simetris.
4. Sistem respirasi
Apa ada pernafasan abnormal, tidak ada suara tambahan dan tidak terdapat
pernafasan cuping hidung
5. Sistem kardio vaskuler
Pada umumnya klien dengan CVA ditemukan tekanan darah
normal/meningkat akan tetapi bisa didapatkan Tachicardi atau Bradicardi
6. Sistem integument
Pada umumnya klien CVA turgor kulit menurun, kulit bersih, wajah pucat,
berkeringat banyak
7. Sistem eliminasi
Pada sistem eliminasi urine dan alvi biasanya tidak ditemukan kelainan
8. Sistem muskulos keletal
Apakah ada gangguan pada extriminitas atas dan bawah atau tidak ada
gangguan
9. Sistem endoksin
Apakah didalam penderita CVA ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil
10. Sistem persyarafan
Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen dan koma dalam klien
CVA
Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan
peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
sekret, penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia,
kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
4. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensari, luas lapang
pandang.
5. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot.
6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada
area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral,
dan kelemahan secara umum.

Rencana Intervensi
1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan
peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema
serebri.
NOC : Tissue Perfusion: Cerebral
INDICATOR Severe Substantial Moderate Mild No
deviation deviation deviation deviation deviation
from from from normal from from normal
normal normal range normal range
range range range
Tekanan intracranial v
Tekanan sistolik v
Tekanan diastolic v
MAP v

Indicator severe substantial moderate mild none


Headache v
Carotid bruit V
Decreased level of V
consciousness
Impaired v
neurological reflexes
Intervensi
1. Intracranial pressure (ICP) Monitoring
a. Mengkaji dengan alat monitoring ICP
b. Memeberikan informasi kepada pasien dan keluarga
c. Set alarm monitor
d. Monitor kualitas dan karakteristik gelombang ICP
e. Monitor status neurological
2. Cerebral perfusion promotion
a. Konsultasikan dengan dokter untuk menetukan parameter
hemodinamik
b. Memberikan analgesic sesuai order
c. Memberikan antikoagulan sesuai order
d. Memberikan antiplatelet sesuai order
e. Monitor tekanan darah
f. Monitor MAP

2) Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2X24 klien mampu
melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
NOC: Mobility

Indicator Severely Substantially Moderately Midly Not


compromised compromised compromised compromised compromised
Balance V
Coordination V
Muscle V
movement
Joint movement V
Moves with ease V

NIC:
1. Exercise Therapy: balance
a) Menentukan kemampuan pasien untukmengikuti latihan
b) Mengevaluasi kemampuan sensori (penglihatan, pendengaran)
c) Menyediakan tempat yang aman untuk latihan
d) Kaji respon klien selama latihan
2. Joint mobility
a) Menetukan keterbatasan gerak sendi
b) Kolaborasi dengan therapist dalam mengembangkan program
latihan
c) Mengkaji tingkat nyeri sebelum melakukan latihan
d) Melindungi klien dari trauma selama latihan
e) Membantu klien untuk posisi yang optimal dalam melakukan
passive/aktive joint movement
f) Mendorong klien melakukan latihan ROM aktif
g) Mengajari PROM dan membantu AROM jika diindikasikan
h) Berikan pujian yang positif untuk

3) Defisit perawatan diri: Mandi


Setelah dilaukan tindakan keperawatan selama 1X24 jam klien nampak
bersih dan terawat.
NOC
Indicators Severely Substantially Moderately Midly Not
compromised compromised compromised compromised compromised
Cuci muka V
Mandi badan V
bagian atas
Mandi badan V
bagian bawah
Memebersihka V
n area perineal
Mengeringkan V
badan
NIC:
Self-care Assistance: Bathing/Hygiene
1. Mempertimbangkan budaya pasien ketika akan memandikan
2. Mempertimbangkan usia pasien ketika akan memandikan
3. Menetukan jumlah dan jenis bantuan yang dibutuhkan
4. Menyiapkan alat-alat mandi (handuk, sabun, deodorant, dan
kebutuhan mandi lainnya)
5. Menyediakan lingkungan yang terapeutik dan mejaga privacy
klien
6. Bantu klien menggosok gigi dengan tepat
7. Bantu klien membersihkan badannya
8. Monitor kebersihan kuku klien.
9. Monitor integritas kulit klien.

DAFTAR PUSTAKA

Arboix, Adria, dkk. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage:


Clinical Features and Early Outcome. Medical Journal of Neurology
International Scholarly Research Network. 2012 (07) 22 : 1-7.

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Boderick, Joseph, Connoly, Sander. 2007. Penuntun Manajemen Perdarahan
Intraserebral Spontan Usia Dewasa. AHA Journal. 2007 (04) 5 :1-36.

Deputy, Stephen. 2009. Neurological Emergencies.


http://facesofneurosurgery.blogspot.com/2011/10/ acute-management-of-
adult.html, diakses 01 September 2013.
Hinson, Holly E, dkk. 2010. Management of Intraventricular Hemorrhage. NIH
(national Institute of Health) Journal of Nourology. 2010 (03) 2 :1-16.

Kumar, raj, dkk. 2007. Delayed intraventricular hemorrhage with hydrocephalus


following evacuation of post traumatic acute subdural hematoma. Indian
Journal of Neurotrauma (IJNT). Vol. 4, No. 2. 2007 (06) 5 :119-122.

Octaviani, Donna, dkk. 2011. Perdarahan Intra Ventrikuler Primer. Jurnal


Indonesian Medical Association. Volume: 61. 2011. (05) 5: 210-217.

Anda mungkin juga menyukai