hukumnya sunnah saja. Akan tetapi pendapat terkuat hukumnya wajib. Dengan beberapa alasan
berikut:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)
، ذلك تفيد والمعية المصلين جماعة مع فعلها إال وليست أخرى فائدة من } الراكعين مع { لقوله بد فال
“makna firman Allah “ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’, faidahnya yaitu tidaklah dilakukan
kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.”[1]
2. saat-saat perang berkecamuk, tetap diperintahkan shalat berjamaah. Maka apalagi suasana aman dan
tentram. Dan ini perintah langsung dari Allah dalam al-Quran
الخوف حال في الجماعة بإقامة للا أمر ففي: أوجب األمن حال في ذلك أن على دليل.
“pada perintah Allah untuk tetap menegakkan shalat jamaah ketika takut (perang) adalah dalil bahwa
shalat berjamaah ketika kondisi aman lebih wajib lagi.”[2]
األولى بفعل الثانية الطائفة عن سبحانه يسقطها لم إذ األعيان على فرض الجماعة أن على دليل هذا وفي، أولى لكان سنة الجماعة كانت ولو
الخوف عذر بسقوطها األعذار، الخوف حال تركها في لهم يرخص لم وأنه… األولى الطائفة بفعل لسقطت كفاية فرض كانت ولو
“Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya
sunnah atau fardhu kifayah, Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah
udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas
rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama… dan Allah tidak memberi
keringanan bagi mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ketakutan (perang).“[3]
3.Orang buta yang tidak ada penuntut ke masjid tetap di perintahkan shalat berjamaah ke masjid jika
mendengar adzan, maka bagaimana yang matanya sehat?
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya
tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan
kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar
panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut
(hadiri jamaah shalat).”[4]
Dalam hadits yang lain yaitu, Ibnu Ummi Maktum (ia buta matanya). Dia berkata,
ل يَا
ََ سو ََّ ِِيرَة ُ ْال َمدِينَ َةَ إ
ََِّ ن
ُ ّللا َر َ اعِ ْال َه َوا ِ َِّم َكث
َ َسب
ِّ ِ وال.
َ ل َُّ ِ النَّب-وسلم عليه للا صلى- « ى أَت َ ْس َم َُع
ََ ى فَقَا ََّ علَى َح
َ َِصالَة ََّ علَى َح
َّ ى ال َ ح َ َى ْالف
َِ َال ََّ الَ فَ َح
َ » َه.
“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya,
penuhilah seruan adzan tersebut”.”[5]
“Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali
bila ada uzur.” [6]
5.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman kepada laki-laki yang tidak shalat
berjamaah di masjid dengan membakar rumah mereka.
“Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh.
Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan
merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian
kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar
mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.”[7]
الجماعة فرض وجوب على البيان أبين بيوتهم الصالة عن تخلفوا قوم على يحرق بأن اهتمامه وفي
“keinginan beliau (membakar rumah) orang yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid merupakan dalil
yang sangat jelas akan wajib ainnya shalat berjamaah di masjid”[8]
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”[10]
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.”[11]
Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum
adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.
“Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa
shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.”[12]
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan
mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena
sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-
kawannya).”[13]
10.amal yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik maka seluruh amal baik dan sebaliknya,
apakah kita pilih shalat yang sekedarnya saja atau meraih pahala tinggi dengan shalat berjamaah?
Khusus bagi yang mengaku mazhab Syafi’i (mayoritas di Indonesia), maka Imam Syafi’i mewajibkan
shalat berjamaah dan tidak memberi keringanan (rukshah).
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya
kecuali bila ada udzur.”[15]
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan
shalat berjamaah.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas
ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia
kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu
shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam
membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat.[16]
Masih banyak dalil-dalil lainnya mengenai wajib dan keutamaan shalat berjamaah di masjid.
www.muslimafiyah.com
[6] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077
dan Irwa’ al-Ghalil no. 551
[13] HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi
[14] HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413 dishahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571
[16] Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/62, Fathul Bari, 2/154—157, dinukil dari situs..