Anda di halaman 1dari 39

BAB III

PROSEDUR PENYUSUNAN
RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

3.1 Prosedur Teknis


Secara garis besar prosedur teknis penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi meliputi 6 (enam)
tahap sebagai berikut :
1. Persiapan;
2. Penyiapan Peta Dasar;
3. Pengumpulan Data Primer;
4. Penyusunan Materi RDTR;
5. Penyusunan Materi Peraturan Zonasi; dan
6. Naskah Materi Teknis dan Raperda

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi berisikan pekerjaan :

DRAFT
a. Penyusunan rencana kerja;
b. Pengumpulan data sekunder; dan
c. Penyusunan deskripsi awal kawasan perencanaan

a. Penyusunan rencana kerja


Rencana kerja penyusunan RDTR dan PZ dituangkan ke dalam bentuk tabel Rencana
Kerja yang sekurangnya memuat :
i. Kegiatan pekerjaan;
ii. Waktu pelaksanaan; dan
iii. Keluaran yang dihasilkan
V822
b. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder yang diperlukan untuk memulai pekerjaan penyusunan RDTR dan PZ
sekurangnya harus meliputi 1:
i. RTRW kota atau Kabupaten induk;
ii. RDTR dan PZ kawasan yang bersebelahan dengan kawasan perencanaan;
iii. Peraturan perundangan terkait dengan penyusunan RDTR dan PZ;
iv. Standar Teknis Perencanaan dari berbagai sumber;
v. Data kondisi fisik tanah (peta geologi, peta hidro-geologi, daya dukung tanah,
data rawan bencana, dsb);

1
Data fisik terkait dengan geologi daya dukung tanah dan bahkan peta dasar skala 1:5.000 seringkali
tidak tersedia, karenanya data sekunder yang harus dikumpulkan adalah sejauh yang tersedia pada
instansi penerbit data.

III-1
vi. Data prasarana dan sarana pendukung perkotaan;
vii. Data kependudukan dan sosio-budaya;
viii. Data sosial-ekonomi kawasan perencanaan;
ix. Peta wilayah administrasi;
x. Peta batas pemilikan tanah (bila ada);
xi. Peta dasar skala 1:5.000, atau citra satelit resolusi tinggi.

c. Penyusunan deskripsi awal


Deskripsi awal adalah uraian gambaran umum kawasan perencanaan secara lengkap,
mulai dari :
i. Lokasi geografis kawasan perencanaan;
ii. Fungsi ruang kawasan perencanaan seperti yang ditetapkan di dalam RTRW
induknya;
iii. Sistem hirarki pelayanan (bila ada) dan pola pemanfaatan ruang secara umum;
iv. Kependudukan dan struktur sosial-budaya;
v. Kerawanan bencana (bila ada); dan
vi. Kondisi kawasan seperti apa yang diinginan melalui implementasi RDTR dan PZ

DRAFT
Secara keseluruhan tahap persiapan akan memakan waktu selama 1 bulan kerja

2. Penyiapan Peta Dasar


RDTR dan PZ harus disusun di atas peta dasar skala 1:5.000 oleh karena objek hukum dari
pada Peraturan Zonasi adalah blok peruntukan. Blok peruntukan adalah blok fisik yang
telah diberi ketetapan peruntukan atau fungsi ruang tertentu. Dasar pembentukan blok
fisik adalah blok jalan, atau bagian kawasan yang dibatasi oleh jalan, sungai, saluran dan/
atau pantai.
V822
Secara kartografis blok jalan dimaksud tergambar pada peta dasar skala 1:5.000. Pada
peta dasar skala 1:10.000 tidak tergambar blok jalan karena jaringan jalan digambarkan
sebagai satu garis tunggal. Pada peta dasar skala 1:2.000 atau lebih besar selain blok jalan
juga tergambar unsur–unsur permukaan bumi lainnya, seperti pagar, saluran, batas petak
dll. Peraturan Zonasi tidak membuat aturan untuk unsur-unsur tersebut, oleh karena itu
RDTR dan PZ disusun pada peta dasar skala 1:5.000.

Untuk keperluan penyusunan RDTR dan PZ, setiap blok jalan yang akan menjadi obbjek
hukum harus memiliki identitas yang jelas, dalam arti dibatasi oleh jalan apa saja dan/atau
sungai/saluran apa saja. Sebagai contoh, blok jalan Kementerian ATR/BPN adalah blok
yang dibatasi oleh Jl. Sisingamangaraja, Jl. Trunojoyo, Jl. R. Patah 1, Jl. R. Patah dan Jl. R.
Patah 2. Blok jalan yang akan menjadi objek hukum PZ tidak harus memiliki koordinat
geografis yang tepat. Dimana blok jalan pada dasarnya merupakan suatu entitas
independen yang kedudukan spasialnya ditentukan oleh lokasi jalan, sungai/saluran

III-2
dan/atau pantai yang membatasinya. Blok jalan berfungsi untuk menunjukan :
a. fungsi ruang /peruntukan ruang apa yang ditetapkan di atasnya; dan
b. aturan pemanfaatan ruang dan aturan pengendalian pemanfaatan ruang apa yang
diberlakukan di atasnya.

Blok jalan yang sudah mendapatkan peruntukan ruang dan peraturan zonasi akan menjadi
suatu entitas hukum yang independen.

Sesuai dengan UU no 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, peta dasar skala
1:5.000 untuk RDTR dan PZ sebaiknya disiapkan bersumber pada peta Rupabumi skala
1:5.000 yang diterbitkan oleh BIG dengan catatan sebagai berikut :

a. Manakala peta rupabumi dimaksud belum tersedia pada BIG, maka peta dasar untuk
penyusunan RDTR dan PZ harus disusun bersumber pada citra satelit resolusi tinggi
yang sudah dikoreksi dan disediakan oleh BIG.2
b. Manakala citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi belum tersedia pada BIG,
daerah dapat menyiapkan peta dasar sementara3 yang bersumber pada citra satelit
resolusi tinggi yang belum dikoreksi baik secara geometrik maupun ortorektifikasi.

DRAFT
Peta rupabumi skala 1:5.000 yang diterbitkan oleh BIG memuat 8 (delapan) unsur sebagai
berikut :
a. Garis pantai;
b. Hipsografi (garis ketinggian);
c. Perairan;
d. Nama Rupabumi (toponimi);
e. Batas Wilayah Administrasi;
f. Transportasi dan Utilitas;
g. Bangunan dan Fasilitas Umum; dan
h. Tutupan Lahan
V822
Untuk keperluan rencana tata ruang dan peraturan zonasi, peta dasar skala 1:5.000 yang
diperlukan harus memuat 5 (lima) unsur sebagai berikut :
a. Garis pantai (bila ada);
b. Jalan yang digambarkan sebagai dua garis sejajar sehingga membentuk blok jalan;
dan rel KA (bila ada).

2
Untuk membantu penyusunan RDTR dan PZ mulai tahun 2016 BIG menyediakan citra satelit resolusi
tinggi yang sudah dikoreksi geometrik dan di-ortorektifikasi. Citra satelit tersebut dapat diperoleh
secara percuma dengan mengajukan permohonan tertulis kepada BIG.
3
Konsekwensi penggunaan peta dasar sementara, manakala BIG telah menerbitkan peta rupabumi
skala 1:5.000, daerah yang bersangkutan harus menyalin ulang seluruh atribut yang melekat pada
peta dasar sementara ke atas peta dasar yang baku.

III-3
c. Perairan (sungai, saluran, danau/waduk);
d. Nama rupabumi (nama wilayah administrasi, nama tempat, nama jalan, nama sungai,
nama jalur rel KA);
e. Batas wilayah adminstrasi;

DRAFT Gb. 3.1 Citra Satelit Resolusi Tinggi

V822

Gb. 3.2 Digitasi Blok Jalan

III-4
DRAFT
Gb. 3.3 Digitasi Sungai

V822

Gb. 3.4 Digitasi Toponimi

III-5
DRAFT
Gb. 3.5 Digitasi Rel KA

V822

Gb. 3.6 Peta Dasar Skala 1:5.000

III-6
Pada ilustrasi di atas tidak terdapat delineasi atau poligon batas administrasi dan garis
pantai. Hal ini disebabkan pada sub kawasan yang dijadikan contoh tidak terdapat
garuis pantai maupun batas administrasi.

Peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR dan PZ harus disiapkan sesuai dengan
sumber peta yang tersedia, sebagai berikut:

a. Bila peta rupabumi digital skala 1:5.000 (dalam format ArcShape) sudah dapat
diperoleh pada BIG, yang harus dilakukan adalah :
i. Mengekstraksi 5 layer yang diperlukan untuk RDTR dan PZ saja; dan
ii. Menambah informasi yang belum tersedia pada peta rupabumi, terutama nama
jalan

Peta rupabumi digital adalah peta siap pakai, proses ekstraksi dan penambahan
informasi untuk suatu kawasan perkotaan seluas s/d 5.000 Ha, diperkirakan akan
memakan waktu maksimum selama 2 minggu/orang.

b. Bila yang tersedia pada BIG adalah peta rupabumi skala 1:5.000 dalam bentuk analog,

DRAFT
yang harus dilakukan , adalah :
i. Mendigit 5 unsur yang diperlukan untuk peta dasar 1:5.000 untuk RDTR dan PZ;
ii. Menambahkan informasi nama jalan

Peta rupabumi analog adalah peta siap pakai dimana setiap unsur digambarkan
dengan fitur dan warna tersendiri yang mudah dikenali sehingga proses digitasi dapat
dilakukan dengan mudah. Digitasi peta rupabumi untuk menjadi peta dasar RDTR dan
PZ untuk suatu kawasan s/d 5.000 Ha, diperkirakan akan memakan waktu 3

c.
bulan/orang.
V822
Bila yang tersedia pada BIG adalah citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi
geometrik dan ortorektifikasi, yang harus dilakukan adalah :
i. Mendigit 4 unsur yang diperlukan untuk peta dasar 1:5.000 untuk RDTR dan PZ
(garis pantai, sungai dan perairan, jalan serta rel KA);
ii. Menambahkan batas administrasi berikut dengan namanya;
iii. Menambahkan nama rupabumi (nama tempat, nama jalan, nama sungai, nama
jalur rel KA);

Citra satelit resolusi tinggi, baik yang sudah dikoreksi ataupun belum, merupakan
sumber informasi awal pembuatan peta dasar yang hanya berisikan penampakan
permukaan bumi apa adanya. Di atasnya tidak terdapat informasi yang bersifat
buatan manusia, baik batas administrasi maupun nama-nama. Selain itu, bersamaan
dengan proses digitasi harus dilakukan interpretasi atas penampakan unsur
permukaan bumi. Tidak semua unsur permukaan bumi dapat terlihat jelas dan

III-7
mudah ditafsirkan, sebagian tertutup bayangan sebagian lainnya memiliki
penampakan yang serupa dengan unsur yang lain. Akibatnya proses digitasi peta
dasar dari citra satelit resolusi tinggi, akan membutuhkan waktu yang lebih panjang
dibanding dengan proses digitasi peta dari peta rupabumi analog.

Secara kasar, untuk mendigitasi suatu kawasan seluas s/d 5.000 Ha akan dibutuhkan
waktu selama 4,5 bulan/orang s/d 6 bulan bergantung pada tingkat keruwetan
jaringan jalannya. Hal ini belum termasuk waktu untuk digitasi unsur-unsur buatan
manusia (batas administrasi dan toponimi) yang baru dapat dilakukan setelah survai
data primer.

d. Bila pada BIG tidak tersedia citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi, sehingga
harus menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang belum dikoreksi, yang harus
dilakukan adalah sama dengan ketika menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang
sudah dikoreksi oleh BIG. Demikian juga halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk
mendigitasinya.

Digitasi peta dasar dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak apapun sesuai

DRAFT
dengan kepemilikan dan kebiasaan masing-masing daerah, namun semua data harus
disimpan dalam format ArcShape yang dapat dibaca oleh hampir semua perangkat lunak
GIS dan mengikuti standar basis data spasial RDTR.

Secara normatif peta dasar RDTR dan PZ skala 1:5.000 harus memiliki 8 (delapan) layer
utama dengan spesifikasi sebagai berikut :

Tabel 3.1 Daftar Layer Peta Dasar RDTR dan PZ Skala 1:5.000
No.

1.
Layer

Pantai garis
V822
Fitur

-
Atribut Keterangan

bila ada

2. Sungai garis dan poligon Nama Sungai

3. Batas_Kelurahan poligon 1. Kode_kelurahan Kode kelurahan BPS


2. Nama_Kelurahan

4. Batas_Kecamatan poligon 1. Kode_kecamatan Kode kecamatan BPS


2. Nama_kecamatan

5. Blok_Jalan poligon Kode_Blok diisi kemudian

6. Poros_Jalan garis Nama_Ruas_Jalan

7. Rel_KA garis -

8. Toponimi titik Teks Teks toponimi disim


pan sebagai atribut

III-8
Menimbang bahwa luasan kawasan perencanaan RDTR relatif kecil, kurang dari 6o x 6o,
maka sebaiknya peta dasar RDTR harus didigitasi dengan proyeksi UTM dan dengan datum
WGS84. Di bawah ini terlampir peta pembagian zona UTM yang dapat dijadikan
panduang, dimana Kepulauan Indonesia terletak antara zona UTM 46 s/d zona UTM 54.

Gb. 3.7 Pembagian Zona UTM

b.
c.
d.
DRAFT
Selanjutnya, penyajian semua peta tematik harus memuat informasi kelengkapan peta
sebagai berikut :

a. Instansi yang bertanggung jawab;


Judul Peta;
Tahun berlakunya RDTR;
Arah Utara;
e.
f.
g.
Skala numeris dan grafis;
V822
Legenda unsur eksisting dan rencana;
Keterangan yang berisi datum dan sistem proyeksi;
h. Sumber data riwayat peta;
i. Orientasi wilayah;
j. Grid dan gratikul dlm muka peta; dan
k. Indeks peta jika peta lebih dari satu sheet/lembar peta

3. Pengumpulan Data Primer


Data primer yang dikumpulkan adalah data yang langsung diperoleh dari sumbernya di
lapangan, baik berupa hasil pengukuran, hasil pengamatan maupun hasil wawancara
pengumpulan pendapat. Pengumpulan data primer dimaksudkan untuk menyempurnakan
informasi yang sudah diperoleh melalui data sekunder, terutama untuk mengenali
persoalan yang ada di lapangan, baik persoalan pemanfaatan ruang maupun persoalan
sosial-ekonomi-budaya yang berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang.

III-9
Pengumpulan data primer harus dilakukan melalui kegiatan survai lapangan dan temu
wicara dengan pemangku kepentingan yang ada di kawasan perencanaan. Secara garis
besar kegiatan survai lapangan yang harus dilakukan, meliputi :

a. Survai keluar-masuk kampung, dimaksudkan untuk keperluan :


i. Mengkonfimasi hasil penafsiran pola pemanfaatan ruang dari penampakan citra
satelit4;
ii. Mengamati dan mencatat pola intensitas pemanfaatan ruang yang ada;
iii. Mengamati dan mencatat pola penggunaan bangunan yang ada;
iv. Mengamati dan mencatat pola pergerakan dan penggunaan kendaraan;
v. Menginvestigasi dan mencatat pola penggunaan sumber air bersih, pembuangan
air limbah, penyaluran air limpasan hujan, pembuangan sampah dan utilitas
lainnya;
vi. Mengamati dan mencatat persoalan pemanfaatan ruang yang ada;
vii. Mencatat nama tempat, nama jalan, nama sungai yang ada guna melengkapi
peta dasar.

DRAFT
b. Survai pengamatan khusus, dimaksudkan untuk mengamati dan mencatat persoalan
khusus, yang berkaitan dengan :
i. perparkiran pada zona yang bukan perumahan;
ii. penerangan jalan dan estetika lingkungan pada umumnya;
iii. menara telekomunikasi; dan
iv. media luar ruang.

c. Temu wicara, dimaksudkan untuk menjaring masukan dan aspirasi pemangku

V822
kepentingan dan juga untuk mensosialisasikan produk RDTR dan PZ. Temu wicara
harus dilakukan sekurangnya 2 (dua) kali. Pertama, pada saat materi teknis RDTR dan
PZ diselesaikan. Kedua, sebelum Peraturan Daerah tentang RDTR dan PZ ditetapkan.

Survai pengumpulan data primer harus dilakukan oleh seluruh anggota tim penyusun
RDTR dan PZ dengan dibantu tenaga tambahan khusus untuk membantu suravi keluar-
masuk kampung. Untuk suatu kawasan perencanaan dengan luas s/d 5.000Ha kegiatan
survai pengumpulan data primer, di luar temu wicara, diperkirakan akan membutuhkan
waktu sekurangnya 2 minggu.

4
Citra satelit atau foto udara hanya menampakan atap bangunan dan tidak mengindikasikan
penggunaan bangunan. Penggunaan bangunan hanya dapat diketahui melalui survai lapangan keluar
masuk kampung.

III-10
4. Penyusunan Materi RDTR
Sesuai dengan materi muatan pokok RDTR yang disampaikan di muka, penyusunan RDTR
meliputi 7 (tujuh) tahap, sebagai berikut :
a. Perumusan Tujuan Penataan Ruang;
b. Perumusan Konsep Ruang;
c. Penyusunan Rencana Pola Ruang;
d. Penyusunan Rencana Intensitas Ruang;
e. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Prasarana dan Sarana;
f. Penetapan Sub Kawasan Prioritas; dan
g. Penyusunan Program Pemanfaatan Ruang

Perumusan Tujuan Penataan Ruang


Tujuan penataan ruang kawasan perkotaan adalah suatu tema ruang tertentu yang harus
diwujudkan melalui implementasi seluruh aspek rencana dan peraturan zonasi. Tema
ruang adalah ciri-ciri ruang yang mengindikasikan suatu keadaan atau nilai atau suatu
pemikiran/gagasan tertentu.

Prosedur perumusan tema ruang telah diuraikan secara jelas pada bab 2.1 sebelumnya.

DRAFT
Untuk melengkapi uraian tersebut perlu disampaikan bahwa proses perumusan tersebut
harus dilakukan bersama antara tim penyusun RDTR dan PZ dengan pemangku
kepentingan yang diwakili, sekurangnya, oleh pemberi pekerjaan.

Perumusan tema ruang sebaiknya dilakukan secara iteratif. Pertama, tim penyusun
mengekstraksi nilai-nilai yang adadi kawasan perencanaan dan menggabungkannya
dengan fungsi kawasan yang diamanahkan oleh RTRW induknya. Hal ini disampaikan
kepada wakil pemangku kepentingan untuk diberi masukan. Dengan masukan dari wakil
V822
pemangku kepentingan, tim penyusun merumuskan tema ruang yang diianggap
representatif untuk kawasan perencanaan untuk kemudian disampaikan kepada wakil
pemangku kepentingan untuk dinilai dan disempurnakan.

Perumusan Konsep Ruang


Konsep ruang merupakan hal yang bersifat kualitatif, dan dalam perumusannya akan
digunakan analisis kualitatif spasial. Analisis kualitatif spasial adalah suatu pendekatan
untuk mempermudah pengambilan kesimpulan atas berbagai hasil penilaian kualitatif
melalui penggambaran nilai kualitatif tertentu secara spasial.

Secara normatif ada tiga faktor yang berpengaruh dan harus dinilai dalam perumusan
konsep ruang, yaitu :
a. Kondisi fisik kawasan perencanaan;
b. Karakteristik sosial-ekonomi dan budaya; dan
c. Rencana struktur dan pola ruang RTRW induknya

III-11
Masing-masing faktor dinilai melalui kualitatif spasial sebagai berikut:

a. Analisis Indikasi Homogenitas Fisik


i. Ditujukan untuk mendapatkan delineasi pengelompokan ruang berdasarkan
homogenitas karateristik fisiknya, terutama dari sisi morfologi dan tutupan
lahannya. Di luar kedua aspek fisik tersebut, daerah dapat menambahkan aspek
fisik lainnya yang dianggap berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter
ruang setempat. Misalnya ada bagian kawasan perencanan yang selalu terkena
banjir rob sepanjang tahun sehingga sehingga dihindari pemukim, dan
sebagainya;
ii. Pengelompokan homogenitas fisik dilakukan dengan mendelineasi indikasi batas
perbedaan morfologi dan perbedaan tutupan lahan secara manual di atas citra
satelit yang menjadi sumber pembuatan peta dasar. Dalam proses delineasi ini
tidak diperlukan akurasi tinggi, cukup indikasi batas perbedaan yang didasari
dengans pengetahuan hasil pengamatan survai keluar masuk-kampung;
iii. Secara normatif, proses delineasi fisik tersebut akan menghasilkan dua peta,
yaitu peta homogenitas morfologi tanah dan peta homogenitas tutupan lahan;
dan

DRAFT
iv. Contoh, pada kota P morfologi tanah pada umumnya seragam, landai, sehingga
tidak diperlukan analisis indikasi homogenitas berdasarkan morfologi tanah.
Selanjutnya berdasarkan analisis indikasi homogenitas fisik tutupan lahan pada
kota P diperoleh hasil seperti di bawah ini.

V822

Gb. 3.8 Delineasi Indikasi Homogenitas Fisik Tutupan Lahan

III-12
b. Analisis Indikasi Homogenitas Sosial-Ekonomi-Budaya
i. Ditujukan untuk mendapatkan delineasi pengelompokan ruang berdasarkan
homogenitas karateristik sosial-ekonomi-budayanya, terutama dari sisi
pengelompokan sosial-ekonomi masyarakatnya, atau sosial-budayanya.
ii. Sama seperti halnya analisis indikasi homogenitas fisik, Pengelompokan
homogenitas karakteristik sosial-ekonomi-budaya dilakukan secara manual di
atas citra satelit yang menjadi sumber pembuatan peta dasar. Dalam proses
delineasi ini tidak diperlukan akurasi tinggi, cukup indikasi batas perbedaan yang
didasari dengan pengetahuan hasil pengamatan survai keluar masuk-kampung
dan hasil wawancara dengan penduduk setempat serta pejabat yang
berwenang;
iii. Proses delineasi karakteristik sosial-ekonomi-budaya tersebut akan
menghasilkan peta indikasi homogenitas sosial-ekonomi-budaya; dan
iv. Contoh pada kota P memberikan hasil seperti di bawah ini.

DRAFT
V822
Gb. 3.9 Delineasi Indikasi Homogenitas Sosial-Ekonomi-Budaya

• Nelayan dan perikanan, merupakan sub kawasan yang didominasi oleh


kaum nelayan dan penduduk yang berusaha pada sektor perikanan dan
perkapalan;
• Perumahan baru, merupakan sub kawasan perumahan yang didominasi
oleh pasangan muda yang umumnya merupakan pekerja, baik PNS maupun
swasta, dengan anak-anak yang masih dalam usia sekolah;
• Perumahan lama, merupakan sub kawasan perumahan yang didominasi
oleh pasangan senior dengan anak-anak yang sudah dewasa; dan

III-13
• Perdagangan, merupakan sub kawasan yang didominasi oleh kegiatan
perdagangan, jasa dan industri. Sebagian penduduk merupakan etnis
Tionghoa yang menjalankan kegiatan perdagangan, jasa dan industri
rumahan.

c. Arahan Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang RTRW Induk
i. Ditujukan untuk mengetahui bagaimana kedudukan kawasan perencanan di
dalam rencana struktur ruang dan rencana pola ruang RTRW induknya;
ii. Di dalam RTRW kota induk, rencana struktuur ruang digambarkan dalam bentuk
diagramatis. Dimana, pusat-pusat pelayanan digambarkan dengan simbol dan
dihubungkan satu sama lain dengan garis yang melambangkan jalur pergerakan
antar pusat pelayanan. Di dalam RDTR yang bekerja pada peta skala besar,
1:5.000, pusat-pusat pelayanan tidak dapat dianalisis dalam bentuk simbol,
melainkan terlebih dahulu harus dikonversi ke dalam delineasi pemanfaatan
ruang;
iii. Rencana pola ruang pada contoh kota P memberikan ilustrasi seperti di bawah
ini.

DRAFT
V822

Gb. 3.10 Rencana Pola Ruang RTRW Induk

iv. Sub pusat kota pada rencana struktur ruang dikonversikan sebagai sub kawasan
perdagangan pada rencana pola ruang sehingga diperoleh pola seperti di atas.

d. Perumusan Konsep Ruang


Selanjutnya ketiga peta yang dihasilkan di-overlay sehingga diperoleh peta sebagai
berikut :

III-14
Gb. 3.11 Overlay Peta Hasil Analisis & Peta Rencana Pola Ruang RTRW Induk

DRAFT
Selanjutnya dengan melihat pola homogenitas yang ada pada peta overlay di atas
dapatlah disusun konsep ruang seperti di bawah ini.

V822

Gb. 3.12 Konsep RuangKota P

III-15
Sesuai dengan kondisi fisik dan karakteristik sosial-ekonomi-budaya masing-masing
sub kawasan akan memiliki arahan fungsi ruang, arahan intensitas ruang, arahan
penanganan lebih lanjut dan arahan tema ruang spesifik sebagai berikut :

• Sub Kawasan Minapolitan, merupakan perkampungan nelayan dengan kegiatan


pelabuhan/pendaratan ikan, pasar ikan, pengeringan ikan. Rencana
pengembangan fisik, meliputi peningkatan fungsi pelabuhan, perbaikan sarana
perdagangan, perbaikan prasarana pendukung pelabuhan dan perdagangan,
perbaikan kampung dan peningkatan prasarana permukiman dengan intensitas
pemanfaatan ruang tinggi. Pengembangan fisik dilaksanakan oleh pemerintah
daerah dengan tema ruang spesifik: Kampung Bahari Sejahtera;
• Sub Kawasan Pertambakan, merupakan pertambakan bandeng dan udang yang
diarahkan untuk menjadi pertambakan berwawasan lingkungan. Pengembangan
fisik, meliputi penanaman kembali mangrove di sepanjang pantai dan
pembangunan jeti wisata mangrove. Bangunan fisik terbatas hanya prasarana
sumberdaya air untuk mengurangi dan melindungi rob. Pengembangan fisik
dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama dengan pemilik/penggarap
tambak;

DRAFT
• Sub Kawasan Persawahan, merupakan persawahan LP2B yang harus dijaga
fungsinya untuk menjaga ketahanan pangan. Tidak ada pengembangan fisik dan
bangunan terbatas pada prasarana pengairan;
• Sub Kawasan Perumahan Lama yang sudah ada sejak era tahun 1980an yang
berisikan rumah-rumah semi-tradisional. Direncanakan untuk dikonservasi dan
tidak dikembangkan lebih lanjut. Konversi kegiatan perumahan menjadi kegiatan
komersial dibatasi hanya untuk perluasan usaha pada kegiatan yang sudah ada
pada lokasi komersial. Tema ruang spesifik yang diusung: Perumahan Jawa


Pesisir;
V822
Sub Kawasan Perumahan Baru, merupakan lokasi rob yang direncanakan sebagai
perluasan fisik kota ke arah utara dengan sistem polder seperti di negeri
Belanda. Pembangunan fisik dilaksanakan oleh pengembang dengan intensitas
ruang rendah sampai dengan sedang. Tema ruang spesifik yang diusung:
Perumahan Sehat Bebas Banjir;
• Sub Kawasan Sub Pusat Kota, merupakan kawasan perdagangan dan jasa dengan
nilai tanah yang relatif tinggi juga dengan tingkat kemudahan yang tinggi.
Diarahkan untuk berkembang lebih lanjut menggantikan pusat kota di sebelah
selatan yang dilalui jalan regional Pantura. Dorongan pengembangan dibuka
dengan memberi peluang substitusi kegiatan yang kurang mampu membayar
sewa tanah oleh kegiatan yang lebih mampu dengan intensitas pemanfaatan
ruang yang tinggi. Pada bagian komersial dibuka peluang penggunaan ruang
campuran secara vertikal, dan didorong terjadinya peralihan dari perumahan
landed houses menjadi rumah susun. Tema ruang spesifik yang diusung: One
Stop Service Area.

III-16
Penyusunan Rencana Pola Ruang
Sebagaimana telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa rencana pola ruang RDTR
pada dasarnya merupakan pengelompokan peruntukan ruang yang telah ditetapkan di
dalam RTRW induknya ke dalam zona. Dimana zona adalah suatu bentang ruang yang
didedikasikan untuk satu fungsi tertentu.

Secara umum rencana zonasi disusun berdasarkan pada Konsep Ruang dan dengan
mempertimbangkan :
a. Rencana pola ruang RTRW induknya;
b. Prediksi kebutuhan ruang di masa datang;
c. Ketersediaan ruang yang ada; dan
d. penggunaan ruang yang ada

Langkah penyusunan rencana zonasi adalah sebagai berikut5 :


a. Buka file rencana pola ruang RTRW Kota induk6 dan overlay-kan di atas citra satelit
yang menjadi sumber peta dasar. Bandingkan antar rencana peruntukan ruang pada
RTRW induk dengan pola ruang eksisiting yang nampak pada citra satelit.

DRAFT
b. Lakukan prediksi kebutuhan ruang di masa yang akan datang, atau ikuti arahan
proyeksi penduduk untuk kawasan perencaaan berdasarkan RTRW induk, dan plot-
kan hasil prediksi tersebut di atas peta.

c. Dari hasil overlay rencana pola ruang RTRW, prediksi kebutuhan ruang di masa
datang dan citra satelit, lakukanlah penilaian :
i. Apakah kebutuhan ruang di masa datang akan dapat terpenuhi oleh
ketersediaan ruang yang ada, atau harus ada peningkatan intensitas

V822
pemanfaatan ruang. Pada lokasi mana peningkatan intensitas ruang harus
dilakukan dan di atas peruntukan ruang apa;
ii. Klasifikasi zona seperti apa yang harus digunakan pada kawasan perencanaan,
apakah hanya hanya enam zona induk atau diperlukan adanya pemecahan sub
zona untuk zona induk tertentu;
iii. Peruntukan ruang RTRW mana saja yang masuk ke dalam katagori zona dan
mana yang masuk ke dalam katagori kegiatan, dengan menggunakan kriteria
sebagai berikut :

5
Langkah penyusunan rencana zonasi ini didasarkan pada asumsi bahwa peta rencana pola ruang
RTRW kota induknya dibuat dengan menggunakan teknik GIS dan didigitasi mengikuti ketentuan GIS
yang baku.
6
Untuk RDTR pada kawasan perkotaan fungsional di wilayah kabupaten, gunakanlah rencana pola
ruang kawasan perkotaan fungsional kabupaten yang merupakan suplemen RTRW Kabupaten.

III-17
• Kegiatan adalah suatu fungsi ruang yang penguasaan ruangnya ada pada
satu fihak tertentu dan/atau akses ke dalam fungsi ruang tersebut bersifat
terbatas.
• Zona adalah suatu fungsi ruang yang penguasaan ruangnya ada pada
banyak fihak dan/atau akses ke dalam fungsi ruang tersebut bersifat
terbuka atau publik. Zona juga didefinisikan sebagai bentang ruang
didominasi oleh kegiatan dengan fungsi tertentu.

d. Selanjutnya, di ata peta dasar yang di-overlay di atas peta rencana pola ruang
RTRW induk dan citra satelit eksisting, lakukanlah identifikasi pengelompokan
zonasi.

Berikut ini adalah contoh hipotetis suatu rencana pola ruang RTRW induk

DRAFT
V822

Gb. 3.13 Rencana Pola Ruang RTRW Hipotetis

III-18
Sementara itu penggunaan ruang eksisting pada citra satelit menunjukan pola seperti
di bawah ini.

DRAFT Gb. 3.14 Citra Satelit Kawasan Hipotetis

Digitasi blok jalan pada citra di atas menghasilkan peta dasar seperti di bawah ini.

V822

Gb. 3.15 Digitasi Blok Jalan di atas Citra

III-19
Jaringan jalan skala 1:5.000 yang didigitasi dari citra satelit resolusi tinggi akan
menghasilkan blok jalan yang jauh lebih detail dibanding dengan blok jalan pada
RTRW induknya. Akibatnya ada peruntukan ruang dalan RTRW induk tampak jelas
merupakan kegiatan individual, seperti halnya masjid sekolah, kantor lurah dan
sebagainya. Setelah melalui pengelompokan peruntukan ruang, diperoleh peta
zonasi seperti di bawah ini.

DRAFT
V822

Gb. 3.16 Peta Zonasi Kawasan Hipotetis

III-20
Selanjutnya, khusus untuk bagian kawasan yang belum terbangun, harus disusun
rencana jaringan jalan baru dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
• rencana jalan arteri sekunder dan kolektor sekunder merupakan domain RTRW
kota induk;
• apabila pada kawasan perencanaan RDTR terdapat rencana jaringan jalan arteri
sekunder dan/atau jalan kolektor sekunder, jalan tersebut harus dicantumkan
atau digambarkan sebagai bagian rencana jaringan jalan baru;
• fungsi jalan yang menjadi domain perencanaan RDTR adalah jalan lokal sekunder
dan jalan lingkungan;
• rencana jaringan jalan baru dapat disusun hanya sampai jalan lokal sekunder
saja atau sampai dengan jalan lingkungan. Bila disusun sampai dengan jalan
lingkungan maka tidak diperlukan lagi adanya Ketentuan Perpetakan di dalam
Peraturan Zonasi;
• Untuk menyusun rencana jaringan jalan baru diperlukan data sebagai berikut:
- peta topografi (khusus untuk kawasan perencanaan yang morfologinya
bergelombang); dan
- peta batas pemilikan tanah (BPN)
• Perajangan jalan baru dilakukan dengan berpegang pada :

DRAFT
- standar ukuran blok jalan atau standar perpetakan untuk setiap zona;
- morfologi tanah agar pola jalan yang terbentuk tetap layak aman untuk
dilewati; dan
- sejauh mungkin mengikuti batas pemilikan tanah agar tidak menimbulkan
gejolak sosial.

Penyusunan Rencana Intensitas Pemanfaatan Ruang


V822
Rencana intensitas pemanfaatan ruang adalah rencana yang mengatur besarnya volume
ruang maksimum yang diperkenankan untuk dimanfaatkan pada setiap blok dan/atau sub
blok peruntukan, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.

Volume ruang yang diperkenankan untuk dimanfaatkan dinyatakan dalam 5 (lima)


parameter utama, yaitu Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Dasar Hijau (KDH),
Tinggi Bangunan (TB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Tapak Besmen (KTB).

Dari kelima parameter di atas dua diantaranya, KDH dan TB, merupakan fungsi atas
parameter KDB dan KLB. Dengan demikian ada tiga parameter yang harus ditetapkan
nilainya untuk setiap blok peruntukan.

Secara garis besar, alokasi intensitas pemanfaatan ruang pada setiap blok peruntukan
disusun berdasarkan arahan Konsep Ruang dan dengan mempertimbangkan :

III-21
a. Prediksi kebutuhan ruang kegiatan perkotaan;
b. Kondisi fisik tanah setempat (morfologi tanah, daya dukung tanah dan kerawanan
bencana);
c. Lokasi blok peruntukan pada jaringan pergerakan;
d. Rencana penanganannya ke depan; dan
e. Analisis biaya dan nilai jual bangunan;

Selanjutnya, berdasarkan tingkat kerapatan bangunannya, nilai parameter KDB untuk


kegiatan perumahan dikelompokan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Klasifikasi Kepadatan Bangunan/Perumahan


No. Perumahan KDB (%) Keterangan

Rumah Taman < 30

Rumah Renggang 30 - 50

Rumah Deret 50 - 70

Rumah Susun 50 - 70 Harus menyediakan ruang

DRAFT
Rumah Susun
Taman
Sumber : 1.

2.
< 50%
parkir dalam bangunan

Permen Perumahan Rakyat no 11 Tahun 2008 tentang Pedoman


Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman
Hasil Studi Empirik

V822
Nilai KDB untuk bangunan ruko atau rukan yang berada di dalam zona komersial
mengikuti katagori rumah deret, yaitu antara 50% s/d 70%. Sedangkan untuk bangunan
kantor atau bangunan komersial yang berdiri sendiri nilai KDBnya antara 40% s/d 60%,
dan untuk bangunan industri, nilai KDB maksimum adalah 50%.

Secara normatif bangunan dengan nilai KDB rendah s/d sedang dialokasikan pada jalan
kolektor sekunder dan/atau arteri sekunder. Bangunan dengan nilai KDB tinggi
dialokasikan pada jalan lokal dan/atau lingkungan.

Sementara itu dalam penetapan nilai KLB digunakan tiga pendekatan sesuai dengan fungsi
ruang dan norma yang berlaku :
a. Untuk bangunan rumah tinggal di atas tanah (landed houses), maksimum 1,0;
b. Untuk bangunan deret (ruko/rukan), maksimum 2,0;
c. Untuk bangunan rumah susun atau bangunan perkantoran atau bangunan komersial
yang berdiri sendiri, nilai KLB ditentukan berdasarkan perhitungan ekonomi pasar.

III-22
Perhitungan ekonomi pasar adalah perhitungan yang didasarkan analisis kelayakan nilai
jual unit kompartemen terhadap permintaan dan daya beli masyarakat. Analisis ini harus
dilakukan secara iteratif berdasarkan komparasi antara besarnya biaya yang dibutuhkan
untuk :
a. Pengadaan tanah;
b. Biaya konstruksi (termasuk biaya rekayasa teknik); dan
c. Biaya-biaya lain,

dengan nilai jual per unit kompartemen yang layak atau dapat diterima pasar.

Secara garis besar, dari jumlah total biaya di atas dihitung besarnya nilai jual setiap unit
kompartemen di dalam bangunan dan dibandingkan dengan kemampuan penyerapan
pasar. Bila nilai jual per unit kompartemen lebih tinggi dari kemampuan pasar, maka nilai
KLB harus ditambah agar diperoleh jumlah kompartemen lebih banyak dengan nilai jual
yang lebih rendah. Demikian dilakukan secara berulang (iteratif) sehingga ditemukan nilai
KLB yang memenuhi kemampuan pasar.

Selanjutnya, besaran nilai KTB ditentukan lebih berdasarkan pada pertimbangan

DRAFT
kebutuhan ruang dan kondisi fisik tanah setempat. Dengan syarat sebagai berikut :
a. Lantai besmen tidak diperkenankan untuk hunian;
b. Lantai besmen harus berada di bawah tapak bangunan;
c. Luas tapak besmen maksimum sebesar 75% dari luas petak; dan
d. Lantai besmen di luar tapak bangunan diperkenankan hanya untuk ruang pergerakan.

Penyusunan Estimasi Kebutuhan Prasarana


V822
Secara keseluruhan ada lima prasarana perkotaan yang perlu diestimasi kebutuhannya
terutama terkait dengan analisis daya dukung daya tampung ruang, yaitu :
a. air bersih;
b. listrik;
c. air limbah;
d. sampah;dan
e. jalan yang dalam hal ini diindikasikan dalam bentuk besarnya bangkitan lalu-lintas.

a. Estimasi Kebutuhan Air Bersih


Standar kebutuhan air bersih untuk peruntukan perumahan, umumnya diukur dari
jumlah orang yang menghuni. Untuk peruntukan perumahan di atas tanah (landed
houses) intensitas ruang diukur dari jumlah bangunan rumah induk dikalikan dengan
ukuran rata-rata rumah tangga. Untuk peruntukan rumah susun digunakan
parameter intensitas ruang KLB yang dikalikan dengan rata-rata ukuran unit hunian
dan rata-rata tingkat hunian per unit.

III-23
Standar kebutuhan air bersih untuk kegiatan komersial dari Ditjen Cipta Karya
Kementerian PU, menggunakan satuan unit toko atau penjualan. Karenanya
intensitas ruang per blok peruntukan harus dikonversi ke dalam jumlah unit toko
atau gerai penjualan.

Untuk kegiatan komersial yang berada pada bangunan ruko dimana kegiatan
komersial dilakukan pada lantai dasar dan lantai atasnya digunakan sebagai hunian,
dapat digunakan standar kebutuhan air bersih untuk domestik.

Untuk kegiatan perkantoran yang tidak tercantum pada Standar Kebutuhan Air Bersih
dari Ditjen Cipta Karya - Kementerian PU, kebutuhan air bersihnya dapat didekati dari
standar untuk kegiatan komersial. Dimana dalam pendekatan ini digunakan jumlah
pegawai atau luas lantai sebagai rujukan pembanding.

Berikut ini adalah standar kebutuhan air bersih yang dapat dipergunakan yang
diterbitkan oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian PU. Penggunaan standar ini bukan
keharusan yang mengikat. Daerah dapat menggunakan standar lain yang dianggap
lebih sesuai dengan konsumsi air bersih di daerah bersangkutan.

DRAFT Tabel 3.3 Standar Kebutuhan Air Bersih

Peruntukan
> 1 Juta
Jiwa
500.000-
1.000.000
jiwa
Katagori

100.000 -
500.000
jiwa
20.000 -
100.000
jiwa
< 20.000
jiwa

Perumahan (liter/orang/hari)
V822
Metropoli
tan

>150
Kota Besar

120 - 150
Kota
Sedang

90 - 120
Kota kecil

80 - 120
Desa

60 - 80

Komersial kecil (liter/unit/hari) 600 - 900 600 - 900 600

Komersial besar (liter/unit/hari) 1000-5000 1000-5000 1500

Industri besar (liter/detik/ha) 0,2 - 0,8 0,2 - 0,8 0,2 - 0,8

Pariwisata (liter/detik/ha) 0,1 - 0,3 0,1 - 0,3 0,1 - 0,3


Sumber : Ditjen Cipta Karya - Kementerian PU, 1996.

b. Estimasi Kebutuhan Listrik


Kebutuhan energi listrik untuk setiap blok peruntukan diestimasi dengan jalan
serupa. Berdasarkan pada standar kebutuhan listrik dari PLN dan SNI 03-1733-2004
tentang Pedoman Perencanaan Lingkungan Perumahan, kebutuhan listrik untuk
domestik dihitung berdasarkan jumlah unit hunian. Untuk perdagangan dan jasa

III-24
serta industri kebutuhan listriknya dihitung berdasarkan luas tanah. Sedangkan untuk
perkantoran dihitung berdasarkan luas lantainya.

Berikut ini adalah stnadr kebutuhan listrik yang bersumber pada rencana usaha
penyediaan tenaga listrik PLN dan SNI 03-1733-2004. Apabila daerah menimbang
bahwa standar ini tidak sesuai dipersilahkan untuk menggunakan standar lain yang
lebih tepat untuk daerah bersangkutan.

Tabel 3.4 Standar Kebutuhan Listrik


No. Peruntukan Kebutuhan Listrik

1. Perumahan

Kepadatan sangat tinggi (Watt/unit) 450

Kepadatan tinggi (Watt/unit) 900

Kepadatan sedang (Watt/unit) 1.300

Kepadatan rendah (Watt/unit) 2.200

DRAFT
2.

3.

4.

5.
Kepadatan sangat rendah (Watt/unit)

Perdagangan dan Jasa (KVA/Ha)

Perkantoran (Watt/m2 luas lantai)

Industri (KVA/Ha luas tanah)

Fasos/Fasum (KVA/Ha luas tanah)


3.500

80

60

250

80

Sumber : 1.

2.
V822
Standar Kebijakan Penyediaan Listrik, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
PT PLN 2013-2022.
SNI 03-1733-2004

c. Estimasi Timbulan Sampah dan Air Limbah


Timbulan sampah yang dihasilkan oleh karena kegiatan manusia diprediksikan
berbeda-beda untuk setiap jenis kegiatan perkotaan yanhg berbeda. SNI 19-3983-
1995 membedakan 10 (sepuluh) sumber penghasil sampah seperti pada tabel di
bawah ini.

III-25
Tabel 3.5 Standar Timbulan Sampah
Timbulan Sampah
No. Peruntukan
Volume (Liter) Berat (Kg)

1. Rumah Permanen (orang/hari) 2,25 - 2,50 0,35 - 0,40

2. Rumah Semi Permanen (orang/hari) 2,00 - 2,25 0,30 - 0,35

3. Rumah non Permanen (orang/hari) 1,75 - 2,00 0,25 - 0,30

4. Kantor (pegawai/hari) 0,50 - 0,75 0,03 - 0,10

5. Pertokoan (pegawai/hari) 2,50 - 3,00 0,15 - 0,35

6. Sekolah (murid/hari) 0,10 - 0,15 0,01 - 0,05

7. Jalan Arteri Sekunder (m/hari) 0,10 - 0,15 0,02 - 0,10

8. Jalan Kolektor Sekunder (m/hari) 0,10 - 0,15 0,01 - 0,05

9. Jalan Lokal (m/hari) 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025

10. Pasar (m2/hari) 0,20 - 0,60 0,10 - 0,30

DRAFT
Sumber : SNI 19-3983-1995

Sumber lain (Bappenas) menyebutkan bahwa standar timbulan sampah untuk


domestik adalah 1,6 liter/orang/hari. Untuk kegiatan komersial sebesar 2,75 m3 per
Ha/hari, dan untuk kegiatan industri sebesar 1,2 M3 per Ha/hari. Standar timbulan
sampah mana yang akan dipergunakan bergantung pada penilaian kesesuaian
terhadap perilaku masyarakatnya.

V822
Sementara itu timbulan limbah cair diasumsikan sebesar 60% dari konsumsi air
bersih.

Selanjutnya dengan menggunakan standar timbulan sampah dan limbah cair dapat
dilakukan estimasi timbulan sampah dan limbah carir untuk setiap blok peruntukan.

d. Estimasi Bangkitan Lalu-lintas


Bangkitan lalu-lintas adalah besarnya volume lalu-lintas yang diperkirakan akan
terbangkit dari sumber pergerakan, dan/atau yang tertarik untuk mengunjungi
tujuan pergerakan. Sumber pergerakan adalah perumahan, sedangkan tujuan
pergerakan dapat berupa perkantoran, pusat perbelanjaan, industri dan sarana
transportasi (terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara), dan/atau kegiatan tertentu
yang bersifat menarik pergerakan.

III-26
Estimasi bangkitan lalu-lintas pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah
prasarana jalan yang menghubungkan sumber pergerakan atau tujuan pergerakan
memiliki kapasitas yang sesuai dengan beban lalu-lintas yang terbangkitkan atau tidak.

Estimasi bangkitan lalu-lintas tidak dapat dilakukan dengan menggunakan standar


normatif seperti halnya estimasi kebutuhan utilitas sebelumnya. Estimasi bangkitan lalu-
lintas haris dilakukan secara empirik dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif.
Teknik analisis kuantitatif yang umum digunakan adalah regresi linier denganbentuk
umum sebagai berikut :

Y = a + bX1+ . . . . . + nXm

Y = Volume lalu-lintas yang terbangkitkan, biasanya dinyatakan dalam smp (satuan


mobil penumpang)
Xm = Variabel bebas yang menjadi daya tarik atau dorongan untuk melakukan
pergerakan
a,b,n = parameter regresi

DRAFT
Variabel bebas X, bisa beragam bentuknya. Untuk mengestimasi bangkitan lalu-lintas
menuju pusat perkantoran dapat digunakan jumlah pegawai yang bekerja di perkantoran
tersebut. Untuk mengestimasi bangkitan lalu-lintas menuju ke pusat perbelanjaan dapat
digunakan jumlah toko, atau luas lantai pertokoan, atau jumlah pegawai, atau ketiganya.

Nilai parameter a, b . ., n diperoleh melalui kalibrasi pada kasus dimana nilai Y untuk satu
pasang asal-tujuan pergerakan sudah diketahui dari hasil survai primer, atau dapat juga

V822
menggunakan hasil studi yang sudah dilakukan di tempat lain yang memiliki karakteristik
fisik dan sosial-ekonomi yang serupa.

Penggunaan model regresi linier tidak sulit namun membutuhkan data masukan yang
lengkap, dalam arti representatif terhadap kasusnya, dan objektif.

Analisis bangkitan lalu-lintas tidak harus dilakukan untuk setiap blok peruntukan, namun
lebih ditujukan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang secara intuitif diduga akan menjadi
sumber pergerakan yang besar dan/atau menjadi penarik pergerakan dan terletak pada
jaringan jalan yang tidak memadai atau sudah overload. Secara garis besar kegiatan yang
dapat menjadi objek analisis, adalah :

a. Estate perumahan yang luas dengan mayoritas penduduknya bekerja di tempat yang
jauh;
b. Rumah susun/apartemen dengan mayoritas penduduknya bekerja di tempat yang
jauh;

III-27
c. Pusat perbelanjaan;
d. Pusat perkantoran pemerintah;
e. Fasiltas transportasi (terminal, stasiun KA, pelabuhan dan bandara); dan
f. Fasilitas sosial lainnya yang menarik pergerakan (rumah sakit, stadion dsb).

Untuk kegiatan industri sudah tersedia standar perhitungan bangkitan lalu-lintas sebesar
5,5 smp per hektar per hari7.

Terkecuali volume bangkitan lalu-lintas, volume kebutuhan utilitas lainnya diestimasi


dengan menggunakan standar normatif. Standar kebutuhan utilitas untuk peruntukan
domestik atau perumahan biasanya diukur dari jumlah orang. Sedangkan standar
kebutuhan utilitas komersial dan perkantoran umumnya diukur dari luas lantai atau
jumlah pegawai. Sementara itu standar kebutuhan utilitas untuk industri biasanya diukur
dari luas tanah.

Sehubungan dengan itu sebelum perhitungan estimasi, terlebih dahulu harus dilakukan
konversi besaran intensitas ruang ke dalam satuan yang sesuai dengan standaar
normatifnya, seperti halnya jumlah penduduk per blok, luas lantai per blok, jumlah

DRAFT
pegawai per blok, jumlah unit, luas tanah per blok dan sebagainya.

Penetapan Sub Kawasan Prioritas dan Penyusunan Program Pemanfaatan Ruang


Prosedur penetapan sub kawasan prioritas dan penyusunan program pemanfaatan ruang
sudah dijelaskan pada materi muatan RDTR.

5. Penyusunan Materi Peraturan Zonasi


V822
Sesuai dengan materi muatan pokok Peraturan Zonasi yang disampaikan di muka,
penyusunan materi Peraturan Zonasi meliputi 7 (tujuh) tahap, sebagai berikut :
a. Ketentuan perpetakan;
b. Ketentuan Kegiatan Dalam Zona;
c. Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang;
d. Ketentuan Tata Bangunan;
e. Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum;
f. Ketentuan Tambahan;
g. Ketentuan Khusus;
h. Teknik Pengaturan Zonasi;
i. Standar Teknis; dan
j. Ketentuan Pelaksanaan.

7
Sumber : Permenperind no 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri.

III-28
Perumusan Ketentuan Perpetakan
Perumusan ketentuan perpetakan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.

Perumusan Ketentuan Kegiatan Dalam Zona


Perumusan ketentuan kegiatan dalam zona sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR
dan Peraturan Zonasi. Perumusan ketentuan kegiatan dalam zona harus didahului dengan
inventarisasi jenis2 kegiatan yang ada dan yang potensial akan ada di dalam kawasan
perencanaan. Untuk menghindari kemungkinan adanya kegiatan yang tidak terdaftar
sebaiknya dilakukan pengelompokan kegiatan berdasarkan kesamaan penggunaan dan
dampaknya terhadap ruang. Pengelompokan kegiatan selengkapnya dapat diikuti pada
lampiran.

Perumusan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang


Perumusan ketentuan intensitas pemanfaatan ruang sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan
RDTR dan Peraturan Zonasi.

Perumusan Ketentuan Tata Bangunan

DRAFT
Perumusan ketentuan tata bangunan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.

Perumusan Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum


Perumusan ketentuan prasarana dan sarana minimum sudah dijelaskan pada bab 2
Muatan RDTR dan Peraturan Zonasi.

Perumusan Ketentuan Tambahan


V822
Perumusan ketentuan tambahan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.

Perumusan Ketentuan Khusus


Perumusan ketentuan khusus sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan Peraturan
Zonasi.

Pemilihan Teknik Pengaturan Zonasi


Pengertian teknik pengaturan zonasi sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.

Pencantuman Standar Teknis


Pengertian dan cara untuk mendapatkan standar teknis sudah dijelaskan pada bab 2
Muatan RDTR dan Peraturan Zonasi.

III-29
Perumusan Ketentuan Pelaksanaan
Perumusan ketentuan pelaksanaan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.

6. Naskah Materi Teknis dan Naskah Raperda


Secara keseluruhan dokumen RDTR dan PZ akan menghasilkan tiga produk ahir, yaitu
Buku Rencana atau materi teknis RDTR, Buku Rancangan Perda RDTR dan Album Peta.
Materi muatan masing-masing produk tersebut adalah sebagai berikut.

Buku Rencana
Buku Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), yang selanjutnya disebut sebagai Buku Rencana,
adalah dokumen teknis yang berisi semua unsur rencana yang ada di dalam RDTR beserta
dengan garis besar analisis yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan materi muatan
Buku Rencana meliputi 9 (sembilan) bab sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

DRAFT
Secara garis besar bab Pendahuluan harus berisikan tiga materi pokok sebagai berikut.
Pertama, gambaran umum kawasan perencanaan/BWP dari segi fisik, sosial-ekonomi
dan sosial-budaya. Kedua, penjelasan mengenai kedudukan dan fungsi kawasan
perencanaan/BWP di dalam wilayah Kota induknya.8 Ketiga, arahan penguasa daerah
dan/atau aspirasi pemangku kepentingan terhadap masa depan kawasan
perencanaan/BWP.

Bab Pendahuluan dapat disajikan ke dalam beberapa sub bab sesuai dengan materi

V822
pokok di atas. Uraian dalam bab ini dimaksudkan untuk memberikan latar belakang
bagi terumuskannya tema ruang yang menjadi Tujuan Penataan Ruang dan Konsep
Ruang yang menjadi dasar penyusunan semua tahap rencana dan peraturan zonasi.

Bab II Tujuan Penataan Ruang dan Konsep Ruang


2.1 Tujuan Penataan Ruang
Berisikan tiga hal pokok. Pertama, penjelasan tentang latar belakang dipilihnya
tema ruang yang dijadikan sebagai tujuan penataan ruang. Kedua, tema ruang itu
sendiri, dan ketiga, konsekwensi-konsekwensi terkait dengan tema ruang yang
dipilih.

8
Kedudukan dan fungsi kawasan perencanaan/BWP terutama dilihat dari kedudukannya di dalam
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang RTRW induknya. Tidak perlu menyalin ulang berbagai
hal yang ada di dalam RTRW induknya, cukup mengutip hal-hal yang relevan saja.

III-30
2.2 Konsep Ruang
Berisikan lima hal pokok. Pertama, penjelasan tentang dasar pemikiran9
pembagian kawasan perencanaan ke dalam sub kawasan berdasarkan
homogenitasnya. Kedua, penjelasan tentang karakteristik setiap sub kawasan, yang
meliputi fungsi sub kawasan, arahan intensitas ruang secara umum, arahan
penanganan ke depan dan tema ruang setempat. Ketiga, Indikasi sub kawasan atau
sub-sub kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus atau perlu ditindaklanjuti
penataan ruangnya, beserta dengan penjelasannya. Sub kawasan atau sub-sub
kawasan ini selanjutnya akan menjadi sub kawasan prioritas. Keempat, Peta
pembagian sub kawasan yang disajikan pada kertas laporan dengan skala
mengikuti ukuran kertas. Kelima, skema ruang yang merupakan gambaran Konsep
Ruang secara diagramatis.

Bab III Rencana Zonasi


Introduksi: rencana pola ruang menurut RTRW induknya pada kawasan
perencanaan/BWP. Akan lebih baik bila juga disertakan potongan peta rencana pola
ruang RTRW induknya, hanya untuk bagian yang berada pada kawasan
perencanaan/BWP

3.1 Penggunaan Lahan Eksisting

DRAFT
Berisi penjelasan tentang pola penggunaan lahan yang ada pada kawasan
perencanaan/BWP dan kegiatan apa saja yang ada. Akan lebih baik bila juga
dijelaskan tentang skala pelayanan kegiatan yang ada di dalam kawasan
perencanaan. Sertakan Peta Penggunaan Lahan Eksisiting seukuran kertas laporan
dengan skala mengikuti ukuran kertas.

Rencana pola ruang dan rencana intensitas pemanfaatan ruang pada dasarnya
merupakan inti dari RDTR. Dalam kaitan itu uraian ini dimaksudkan untuk

V822
menunjukan secara jelas mana unsur eksisting dan mana unsur rencana.

3.2 Klasifikasi Zona


Berisi penjelasan mengenai tiga hal. Pertama, klasifikasi peruntukan ruang yang
digunakan di dalam RTRW kota induknya. Kedua, klasifikasi zona pemanfaatan
RDTR yang akan digunakan pada RDTR. Ketiga, penjelasan tentang peruntukan
ruang RTRW induk yang tidak termasuk ke dalam zona dan dikatagorikan sebagai
kegiatan di dalam RDTR.

3.3 Rencana Zonasi


Rencana pola ruang pada dasarnya merupakan rencana zonasi yang
mengelompokan rencana peruntukan ruang ke dalam zona . Uraian rencana zonasi
berisikan penjelasan mengenai tiga hal. Pertama, bagaimana setiap peruntukan
ruang didelineasi menjadi zona. Kedua, apakah delineasi zona tersebut bisa
berubah oleh karena adanya penggabungan (lot merging) atau pemecahan

9
Dasar pemikiran yang spesifik terhadap kasus kawasan perencanaan bukan dasar pemikiran umum
atau normatif.

III-31
perpetakan (lot splitting) Ketiga, kegiatan apa saja, yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, yang ada di dalam setiap zona. Apakah kegiatan ini dibebaskan
atau dibatasi perkembangannya. Sertakan Peta Zonasi (peta rencana pola ruang)
seukuran kertas laporan dengan skala mengikuti ukuran kertas. Peta rencana
zonasi skala 1:5.000 disajikan pada Album Peta ukuran A1 yang disajikan secara
terpisah.

Penjelasan dalam uraian rencana pola ruang akan menjadi dasar bagi perumusan
Ketentuan Kegiatan di Dalam Zona dan Aturan Perubahan Zonasi

Bab IV Rencana Intensitas Pemanfaatan Ruang


Introduksi : Berisi penjelasan tentang tiga hal. Pertama, jelaskan parameter
intensitas ruang apa saja yang digunakan. Kedua, jelaskan secara garis besar
bagaimana menghitung besaran setiap parameter. Ketiga, jelaskan bagaimana
mengalokasikan tingkat intensitas ruang secara spasial.

Rencana intensitas pemanfaatan ruang digambarkan di atas peta zonasi skala


1:5.000 sebagai atribut yang ditampilkan pada setiap blok dan/atau sub blok.

Lengkapi dengan tabel intensitas ruang dan peta yang menunjukan intensitas

DRAFTruang pada setiap blok dan/atau sub blok. Tabel intensitas ruang yang
sekurangnya memiliki enam kolom, untuk :
• Kode blok dan/atau sub blok;
• Koefisien Dasar Bangunan (KDB);
• Ketinggian Bangunan (TB);
• Koefisien Lantai Bangunan (KLB);
• Koefisien Dasar Hijau (KDH);

V822
• Koefisien Tapak Besmen (KTB);

Akan lebih baik bila juga dilengkapi dengan ilustrasi dalam bentuk sket terkait
dengan intensitas ruang tertentu

Bab V Estimasi Kebutuhan Prasarana


Introduksi : Berisi penjelasan tentang jenis prasarana apa saja yang ada dan yang
perlu diestimasi kebutuhannya; Bagaimana pola pemanfaatan eksisting masing-masing
prasarana yang ada;Dan apa dasar pemikiran yang melandasi proses estimasi

5.1 Estimasi Kebutuhan Air Bersih


Berisikan penjelasan tentang asumsi dasar dan/atau standar normatif estimasi yang
digunakan; Hasil estimasi kebutuhan air bersih untuk setiap blok dan/atau sub blok
disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan ke dalam peta sebagai atribut.

III-32
5.2 Estimasi Kebutuhan Listrik
Berisikan penjelasan tentang asumsi dasar dan/atau standar normatif estimasi yang
digunakan; Hasil estimasi kebutuhan listrik untuk setiap blok dan/atau sub blok
disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan ke dalam peta sebagai atribut.

5.3 Estimasi Timbulan Sampah


Berisikan penjelasan tentang asumsi dasar dan/atau standar normatif estimasi yang
digunakan; Hasil estimasi timbulan sampah untuk setiap blok dan/atau sub blok
disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan ke dalam peta sebagai atribut.

5.4 Estimasi Timbulan Air Limbah


Berisikan penjelasan tentang asumsi dasar dan/atau standar normatif estimasi yang
digunakan; Hasil estimasi timbulan air limbah untuk setiap blok dan/atau sub blok
disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan ke dalam peta sebagai atribut.

5.2 Estimasi Bangkitan Lalu Lintas


Estimasi bangkitan lalu-lintas hanya dilakukan untuk kegiatan tertentu atau sub
kawasan tertentu yang dinilai menjadi sumber bangkitan lalu-lintas. Karena itu
uraian diawali dengan penjelasan tentang kegiatan apa saja dan/atau sub kawasan
mana saja yang akan diestimasi bangkitan lalu-lintasnya. Kemudian dijelaskan

DRAFT
dasar pemikiran dan model pendekatan estimasi bangkitan lalu-lintas yang
digunakan.

Bab VI Penetapan Sub Kawasan Prioritas10


Berisikan penjelasan dasar penetapan sub kawasan prioritas, nama sub kawasan
prioritas (bisa lebih dari satu), luas sub kawasan prioritas dan karakter ruang sub
kawasan prioritas yang harus diujudkan. Karakter ruang ini selanjutnya akan menjadi
tujuan perencanaan tata bangunan dan lingkungan untuk sub kawasan bersangkutan.

V822
Penetapan sub kawasan prioritas harus disertai dengan peta orientasi yang menunjukan
lokasi sub kawasan prioritas di dalam kawasan perencanaan/BWP secara keseluruhan.
Peta orientasi sub kawasan prioritas cukup seukuran kertas laporan dengan skala
mengikuti ukuran kertas.

Bab VII Program Pemanfaatan Ruang


Berisikan penjelasan tentang rencana pemanfaatan ruang yang di dalam Permen PU no
20 Tahun 2011 disebut sebagai Ketentuan Pemanfaatan Ruang. Bersama uraian ini juga
diserftakan tabel program pemanfaatan ruang, namun tidak perlu mencantumkan
besaran biayanya.

Bab VIII Peraturan Zonasi


Diawali dengan penjelasan mengenai ketentuan dan aturan apa saja yang akan mengisi
peraturan zonasi secara keseluruhan. Introduksi ini diperlukan menimbang tidak semua
daerah akan memiliki susunan ketentuan dan aturan yang sama.

10
Bila tidak ada sub kawasan yang diprioritaskan, maka bab ini tidak perlu dibuat

III-33
9.1 Ketentuan Perpetakan
Diisi dengan penjelasan kenapa harus dibuat ketentuan perpetakan, dasar
pemikiran apa yang digunakan dalam penyusunan ketentuan perpetakan, dan
bagaimana menerapkannya. Oleh karena ketentuan perpetakan hanya akan
diterapkan pada sub kawasan yang belum terbangun, maka aturan ini harus
didampingi dengan yang menunjukan pada sub kawasan mana diberlakukannya.
Skala peta ini dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih
dapat terbaca dengan dan informatif.

9.2 Ketentuan Kegiatan Dalam Zona


Uraian tentang ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan harus diawali dengan
inventarisasi jenis kegiatan yang ada dan yang diperkirakan akan ada di dalam
kawasan perencanaan/BWP. Bila kegiatan2 ini akan dikelompokan ke dalam
beberapa tipologi kegiatan, maka harus ada sub bab khusus yang menguraikan
tipologi tersebut.

9.2.1 Daftar Kegiatan


Diisi dengan uraian tentang semua jenis dan skala kegiatan yang ada
dan yang diperkirakan akan ada di dalam kawasan perencanaan/BWP

DRAFT 9.2.2 Tipologi Kegiatan


Diisi dengan penjelasan kenapa harus dibuat tipologi kegiatan, dasar
pemikiran apa yang digunakan dalam menyusun tipologi kegiatan, dan
bagaimana kriteria setiap tipe atau kelompok kegiatan. Sertakan tabel
Tipologi Kegiatan yang berisi tipe/kelompok kegiatan, kriteria
pengelompokannya dan daftar kegiatan yang termasuk ke dalam setiap
tipe/kelompok kegiatan.

9.2.3
V822
Aturan Penggunaan Lahan
Diisi dengan tabel Aturan Penggunaan Lahan atau tabel ITBX yang
menabulasi-silangkan antara zonasi dengan kegiatan atau tipologi
kegiatan. Untuk setiap sel yang berisi nilai T atau B harus ada
penjelasan teknis yang lengkap.

9.3 Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang


Diisi dengan dasar pemikiran yang melandasi ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang, bagaimana isi ketentuan intensitas pemanfaatan ruang
itu sendiri dan bagaimana menerapkannya. Melengkapi uraian ini juga harus
disajikan peta zonasi yang menunjukan pada blok peruntukan mana saja
ketentuan ini berlaku dan apa aturannya. Peta zonasi disini tidak harus
berskala 1:5.000 tapi dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang
bersifat masih dapat terbaca dengan dan informatif.

9.4 Ketentuan Tata Bangunan


Diisi dengan dasar pemikiran yang melandasi ketentuan tata bangunan,
bagaimana isi ketentuan tata bangunan itu sendiri dan bagaimana

III-34
menerapkannya. Melengkapi uraian ini juga harus disajikan peta zonasi yang
menunjukan pada blok peruntukan mana saja ketentuan ini berlaku dan apa
aturannya. Peta zonasi disini tidak harus berskala 1:5.000 tapi dapat
mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih dapat terbaca
dengan dan informatif.

9.5 Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimum


Diisi dengan dasar pemikiran yang melandasi ketentuan prasarana dan
sarana minimum, bagaimana isi ketentuannya sertakan tabel daftar
prasarana dan sarana minimum yang harus ada pada setiap zona, dan
bagaimana menerapkannya.

9.6 Ketentuan Tambahan


Diisi dengan penjelasan kenapa harus ada ketentuan tambahan, dasar
pemikiran apa yang digunakan dalam menyusun ketentuan tambahan, apa isi
ketentuan tambahan tersebut, dimana saja diterapkannya. Melengkapi uraian
ini juga harus disajikan peta zonasi yang menunjukan pada blok mana saja
ketentuan ini berlaku dan apa aturannya. Peta zonasi disini tidak harus
berskala 1:5.000 tapi dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang
bersifat masih dapat terbaca dengan dan informatif.

DRAFT
9.7 Ketentuan Khusus
Diisi dengan penjelasan kenapa harus ada ketentuan khusus, dasar pemikiran
apa yang digunakan dalam menyusun ketentuan khusus, apa isi ketentuan
khusus tersebut, dimana saja diterapkannya. Melengkapi uraian ini juga
harus disajikan peta zonasi yang menunjukan pada blok mana saja ketentuan
ini berlaku dan apa aturannya. Peta zonasi disini tidak harus berskala
1:5.000 tapi dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih

9.8
V822
dapat terbaca dengan dan informatif.

Teknik Pengaturan Zonasi


Diisi dengan penjelasan kenapa harus ada teknik pengaturan zonasi, jenis
teknik pengaturan zonasi apa saja yang akan diberlakukan, siapa yang akan
menjadi badan pertimbangan dan pengawasan pelaksanaan pengaturan
zonasi.

Selanjutnya secara khusus menguraikan kriteria penerapan, persyaratan dan


prosedur permohonan teknik pengaturan zonasi serta biaya atau kompensasi
yang dibayarkan.

9.10 Standar Teknis Pemanfaatan Ruang


Berisi penjelasan kenapa standar teknis ini diperlukan, dari sumber mana
saja standar teknis ini diperoleh, apakah sudah dilakukan kalibrasi untuk
penerapannya di kawasan perencraanaan/BWP, dan bagaimana isi standar
teknis pemanfaatan ruang itu sendiri.

III-35
Secara garis besar ada dua kelompok standar teknis yang harus disampai
kan. Pertama, standar teknis kebutuhan ruang bagi sarana pendukung
kegiatan permukiman perkotaan. Kedua, standar teknis kebutuhan prasarana
pendukung.

Standar teknis pemanfaatan ruang ini sebaiknya disajikan dalam bentuk tabel
yang memuat sekurangnya 5 kolom untuk jenis kegiatan, jumlah penduduk
pendukung minimum, luas lahan minimum, persyaratan lokasi dan prasarana
dan sarana pendukung.

9.11 Ketentuan Pelaksanaan


Ketentuan pelaksanaan terdiri dari dua aturan, yaitu Aturan Perubahan
Delineasi Zonasi dan Aturan Peralihan.

9.11.1 Aturan Perubahan Delineasi Zonasi


Diawali dengan penjelasan bentuk perubahan delineasi apa saja
yang diperkenankan; Siapa badan yang memberikan pertimbangan
dan pengawasan perubahan delineasi zonasi; dan Persyaratan
perubahan delineasi serta kompensasi.

DRAFT
Lampiran
9.11.2 Aturan Peralihan
Berisikan penjelasan jenis pemanfaatan ruang apa saja yang
berbeda dengan zona peruntukannya yang harus berubah, berapa
lamanya tenggang waktu yang diberikan, dan apa sanksi yang
dikenakan bila pemanfaatan ruang tersebut tidak berubah.

V822
Lampiran I Daftar Jenis Kegiatan dan Tipologi Kegiatan
Lampiran II Tabel Ketentuan Kegiatan dalam Zona
Lampiran III Persyaratan Kegiatan Dalam Zona

Rancangan Peraturan Daerah


Buku Rancangan Peraturan Daerah RDTR dan PZ, yang selanjutnya disebut sebagai Buku
Raperda, adalah dokumen legal atas hal-hal dari muatan RDTR dan peraturan zonasi yang
memerlukan ketetapan hukum. Secara keseluruhan muatan Raperda meliputi 10
(sepuluh) bab sebagai berikut :

Secara garis besar muatan Raperda tentang RDTR adalah sebagai berikut.

III-36
1. Judul
2. Konsideran

3. BAB I KETENTUAN UMUM


• tentang pengertian/definisi

4. BAB II RUANG LINGKUP


• ruang lingkup fisik/administrasi kawasan perencanaan/BWP
• ruang lingkup serta manfaat RDTR
• lampiran 1 - Peta Orientasi Kawasan Perencanaan/BWP

5. BAB III TUJUAN DAN KONSEP RUANG


• tujuan penataan ruang
• konsep ruang
• lampiran 2 - Peta Pembagian Sub Kawasan/Sub BWP
• lampiran 3 - Skema Ruang

6. BAB IV RENCANA ZONASI


• pengertian rencana zonasi

DRAFT
• klasifikasi zonasi
• distribusi blok peruntukan
• lampiran 4 - Peta Rencana Zonasi

7. BAB V RENCANA INTENSITAS RUANG


• pengertian intensitas ruang
• klasifikasi intensitas ruang
• distribusi blok peruntukan menurut intensitas ruangnya

V822
• lampiran 5 - Peta Rencana Intensitas Ruang

8. BAB VI SUB KAWASAN PRIORITAS


• pengertian sub kawasan prioritas
• lokasi sub kawasan prioritas
• amanah penataan ruang sub kawasan prioritas lebih lanjut
• lampiran 6 - Peta Sub Kawasan Prioritas

9. BAB VII PERATURAN ZONASI


Bagian 1 Ketentuan Perpetakan
• pengertian ketentuan perpetakan
• standar perpetakan untuk setiap zona
• kegiatan atau tipe kegiatan yang diperbolehkan terbatas pada
setiap zona
• lampiran 7 - Peta Sub Kawasan dimana ketentuan perpetakan
diberlakukan

III-37
Bagian 2 Ketentuan Kegiatan Dalam Zona
• pengertian ketentuan kegiatan dalam zona
• daftar kegiatan atau tipologi kegiatan beserta dengan kriteria nya
• penjelasan pengertian diizinkan, dilarang dan bersyarat
• lampiran 8 - Tabel Aturan Kegiatan dalam Zona
• Lampiran 9 - Tabel Persyaratan Kegiatan dalam Zona

Bagian 3 Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang


• pengertian ketentuan intensitas pemanfaatan ruang
• ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap blok
peruntukan
• lampiran 10 - Tabel Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang
• lampiran 11 - Peta Zonasi Ketentuan Intensitas Pemanfaatan
Ruang

Bagian 4 Ketentuan Tata Bangunan


• pengertian ketentuan tata bangunan
• ketentuan tata bangunan untuk setiap blok peruntukan
• lampiran 12 - Tabel Ketentuan Tata Bangunan
• lampiran 13 - Peta Zonasi Ketentuan Tata Bangunan

DRAFT
Bagian 5 Prasarana dan Sarana Minimum


pengertian ketentuan prasarana dan sarana minimum
ketentuan prasarana dan sarana minimum untuk setiap zona

Bagian 6 Ketentuan Tambahan


• pengertian ketentuan tambahan
ketentuan tambahan untuk blok peruntukan terkait

V822
lampiran 14 - Peta Zonasi Ketentuan Tambahan

Bagian 7 Ketentuan Khusus


• pengertian ketentuan khusus
• ketentuan khusus untuk blok peruntukan terkait
• lampiran 15 - Peta Zonasi Ketentuan Khusus

Bagian 8 Teknik Pengaturan Zonasi


• Pengertian teknik pengaturan zonasi
• Teknik pengaturan zonasi yang diberlakukan pada kawasan
perencanaan
• Kriteria situasi/kondisi dimana teknik pengaturan zonasi
dapat diberlakukan
• Badan yang memberikan pertimbangan pemberlakuan
teknik pengaturan zonasi dan pengawasan pelaksanaan
teknik pengaturan zonasi

III-38
• Persyaratan dan prosedur pengajuan teknis pengaturan
zonasi
• Kompensasi pemberlakukan teknik pengaturan zonasi

Bagian 9 Standar Teknis Pemanfaatan Ruang


• pengertian standar teknis pemanfaatan ruang
• kapan dan dimana standar teknis diterapkan
• lampiran 16 - Standar Teknis Pemanfaatan Ruang

10. BAB VIII PENUTUP


• Ketentuan Perubahan Delineasi Zonasi
• Ketentuan Peralihan

Album Peta RDTR


Album Peta RDTR disajikan dalam kertas ukuran A1 dengan orientasi lanskap. Muatan
album peta RDTR adalah sebagai berikut :

1.

2.
3.
4.
5.
6.
DRAFT
Peta Orientasi, yang menunjukan lokasi kawasan perencanaan/BWP di dalam wilayah
kota induknya. Skala peta mengikuti ukuran kertas.
Peta Penggunaan Lahan Eksisting, skala peta mengikuti ukuran kertas.
Peta Konsep Ruang, skala peta mengikuti ukuran kertas
Peta Rencana Pola Ruang, skala 1:5.000.
Peta Rencana Intensitas Ruang, skala 1:5.000.
Peta Sub Kawasan Prioritas, skala mengikuti ukuran kertas

V822
Untuk peta skala 1:5.000 yang tidak cukup disajikan dalam satu lembar kertas, harus disajikan
dalam beberapa lembar kertas secara berindeks dengan mengikuti ketentuan kartografi.

III-39

Anda mungkin juga menyukai