PROSEDUR PENYUSUNAN
RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi berisikan pekerjaan :
DRAFT
a. Penyusunan rencana kerja;
b. Pengumpulan data sekunder; dan
c. Penyusunan deskripsi awal kawasan perencanaan
1
Data fisik terkait dengan geologi daya dukung tanah dan bahkan peta dasar skala 1:5.000 seringkali
tidak tersedia, karenanya data sekunder yang harus dikumpulkan adalah sejauh yang tersedia pada
instansi penerbit data.
III-1
vi. Data prasarana dan sarana pendukung perkotaan;
vii. Data kependudukan dan sosio-budaya;
viii. Data sosial-ekonomi kawasan perencanaan;
ix. Peta wilayah administrasi;
x. Peta batas pemilikan tanah (bila ada);
xi. Peta dasar skala 1:5.000, atau citra satelit resolusi tinggi.
DRAFT
Secara keseluruhan tahap persiapan akan memakan waktu selama 1 bulan kerja
Untuk keperluan penyusunan RDTR dan PZ, setiap blok jalan yang akan menjadi obbjek
hukum harus memiliki identitas yang jelas, dalam arti dibatasi oleh jalan apa saja dan/atau
sungai/saluran apa saja. Sebagai contoh, blok jalan Kementerian ATR/BPN adalah blok
yang dibatasi oleh Jl. Sisingamangaraja, Jl. Trunojoyo, Jl. R. Patah 1, Jl. R. Patah dan Jl. R.
Patah 2. Blok jalan yang akan menjadi objek hukum PZ tidak harus memiliki koordinat
geografis yang tepat. Dimana blok jalan pada dasarnya merupakan suatu entitas
independen yang kedudukan spasialnya ditentukan oleh lokasi jalan, sungai/saluran
III-2
dan/atau pantai yang membatasinya. Blok jalan berfungsi untuk menunjukan :
a. fungsi ruang /peruntukan ruang apa yang ditetapkan di atasnya; dan
b. aturan pemanfaatan ruang dan aturan pengendalian pemanfaatan ruang apa yang
diberlakukan di atasnya.
Blok jalan yang sudah mendapatkan peruntukan ruang dan peraturan zonasi akan menjadi
suatu entitas hukum yang independen.
Sesuai dengan UU no 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, peta dasar skala
1:5.000 untuk RDTR dan PZ sebaiknya disiapkan bersumber pada peta Rupabumi skala
1:5.000 yang diterbitkan oleh BIG dengan catatan sebagai berikut :
a. Manakala peta rupabumi dimaksud belum tersedia pada BIG, maka peta dasar untuk
penyusunan RDTR dan PZ harus disusun bersumber pada citra satelit resolusi tinggi
yang sudah dikoreksi dan disediakan oleh BIG.2
b. Manakala citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi belum tersedia pada BIG,
daerah dapat menyiapkan peta dasar sementara3 yang bersumber pada citra satelit
resolusi tinggi yang belum dikoreksi baik secara geometrik maupun ortorektifikasi.
DRAFT
Peta rupabumi skala 1:5.000 yang diterbitkan oleh BIG memuat 8 (delapan) unsur sebagai
berikut :
a. Garis pantai;
b. Hipsografi (garis ketinggian);
c. Perairan;
d. Nama Rupabumi (toponimi);
e. Batas Wilayah Administrasi;
f. Transportasi dan Utilitas;
g. Bangunan dan Fasilitas Umum; dan
h. Tutupan Lahan
V822
Untuk keperluan rencana tata ruang dan peraturan zonasi, peta dasar skala 1:5.000 yang
diperlukan harus memuat 5 (lima) unsur sebagai berikut :
a. Garis pantai (bila ada);
b. Jalan yang digambarkan sebagai dua garis sejajar sehingga membentuk blok jalan;
dan rel KA (bila ada).
2
Untuk membantu penyusunan RDTR dan PZ mulai tahun 2016 BIG menyediakan citra satelit resolusi
tinggi yang sudah dikoreksi geometrik dan di-ortorektifikasi. Citra satelit tersebut dapat diperoleh
secara percuma dengan mengajukan permohonan tertulis kepada BIG.
3
Konsekwensi penggunaan peta dasar sementara, manakala BIG telah menerbitkan peta rupabumi
skala 1:5.000, daerah yang bersangkutan harus menyalin ulang seluruh atribut yang melekat pada
peta dasar sementara ke atas peta dasar yang baku.
III-3
c. Perairan (sungai, saluran, danau/waduk);
d. Nama rupabumi (nama wilayah administrasi, nama tempat, nama jalan, nama sungai,
nama jalur rel KA);
e. Batas wilayah adminstrasi;
V822
III-4
DRAFT
Gb. 3.3 Digitasi Sungai
V822
III-5
DRAFT
Gb. 3.5 Digitasi Rel KA
V822
III-6
Pada ilustrasi di atas tidak terdapat delineasi atau poligon batas administrasi dan garis
pantai. Hal ini disebabkan pada sub kawasan yang dijadikan contoh tidak terdapat
garuis pantai maupun batas administrasi.
Peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR dan PZ harus disiapkan sesuai dengan
sumber peta yang tersedia, sebagai berikut:
a. Bila peta rupabumi digital skala 1:5.000 (dalam format ArcShape) sudah dapat
diperoleh pada BIG, yang harus dilakukan adalah :
i. Mengekstraksi 5 layer yang diperlukan untuk RDTR dan PZ saja; dan
ii. Menambah informasi yang belum tersedia pada peta rupabumi, terutama nama
jalan
Peta rupabumi digital adalah peta siap pakai, proses ekstraksi dan penambahan
informasi untuk suatu kawasan perkotaan seluas s/d 5.000 Ha, diperkirakan akan
memakan waktu maksimum selama 2 minggu/orang.
b. Bila yang tersedia pada BIG adalah peta rupabumi skala 1:5.000 dalam bentuk analog,
DRAFT
yang harus dilakukan , adalah :
i. Mendigit 5 unsur yang diperlukan untuk peta dasar 1:5.000 untuk RDTR dan PZ;
ii. Menambahkan informasi nama jalan
Peta rupabumi analog adalah peta siap pakai dimana setiap unsur digambarkan
dengan fitur dan warna tersendiri yang mudah dikenali sehingga proses digitasi dapat
dilakukan dengan mudah. Digitasi peta rupabumi untuk menjadi peta dasar RDTR dan
PZ untuk suatu kawasan s/d 5.000 Ha, diperkirakan akan memakan waktu 3
c.
bulan/orang.
V822
Bila yang tersedia pada BIG adalah citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi
geometrik dan ortorektifikasi, yang harus dilakukan adalah :
i. Mendigit 4 unsur yang diperlukan untuk peta dasar 1:5.000 untuk RDTR dan PZ
(garis pantai, sungai dan perairan, jalan serta rel KA);
ii. Menambahkan batas administrasi berikut dengan namanya;
iii. Menambahkan nama rupabumi (nama tempat, nama jalan, nama sungai, nama
jalur rel KA);
Citra satelit resolusi tinggi, baik yang sudah dikoreksi ataupun belum, merupakan
sumber informasi awal pembuatan peta dasar yang hanya berisikan penampakan
permukaan bumi apa adanya. Di atasnya tidak terdapat informasi yang bersifat
buatan manusia, baik batas administrasi maupun nama-nama. Selain itu, bersamaan
dengan proses digitasi harus dilakukan interpretasi atas penampakan unsur
permukaan bumi. Tidak semua unsur permukaan bumi dapat terlihat jelas dan
III-7
mudah ditafsirkan, sebagian tertutup bayangan sebagian lainnya memiliki
penampakan yang serupa dengan unsur yang lain. Akibatnya proses digitasi peta
dasar dari citra satelit resolusi tinggi, akan membutuhkan waktu yang lebih panjang
dibanding dengan proses digitasi peta dari peta rupabumi analog.
Secara kasar, untuk mendigitasi suatu kawasan seluas s/d 5.000 Ha akan dibutuhkan
waktu selama 4,5 bulan/orang s/d 6 bulan bergantung pada tingkat keruwetan
jaringan jalannya. Hal ini belum termasuk waktu untuk digitasi unsur-unsur buatan
manusia (batas administrasi dan toponimi) yang baru dapat dilakukan setelah survai
data primer.
d. Bila pada BIG tidak tersedia citra satelit resolusi tinggi yang sudah dikoreksi, sehingga
harus menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang belum dikoreksi, yang harus
dilakukan adalah sama dengan ketika menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang
sudah dikoreksi oleh BIG. Demikian juga halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk
mendigitasinya.
Digitasi peta dasar dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak apapun sesuai
DRAFT
dengan kepemilikan dan kebiasaan masing-masing daerah, namun semua data harus
disimpan dalam format ArcShape yang dapat dibaca oleh hampir semua perangkat lunak
GIS dan mengikuti standar basis data spasial RDTR.
Secara normatif peta dasar RDTR dan PZ skala 1:5.000 harus memiliki 8 (delapan) layer
utama dengan spesifikasi sebagai berikut :
Tabel 3.1 Daftar Layer Peta Dasar RDTR dan PZ Skala 1:5.000
No.
1.
Layer
Pantai garis
V822
Fitur
-
Atribut Keterangan
bila ada
7. Rel_KA garis -
III-8
Menimbang bahwa luasan kawasan perencanaan RDTR relatif kecil, kurang dari 6o x 6o,
maka sebaiknya peta dasar RDTR harus didigitasi dengan proyeksi UTM dan dengan datum
WGS84. Di bawah ini terlampir peta pembagian zona UTM yang dapat dijadikan
panduang, dimana Kepulauan Indonesia terletak antara zona UTM 46 s/d zona UTM 54.
b.
c.
d.
DRAFT
Selanjutnya, penyajian semua peta tematik harus memuat informasi kelengkapan peta
sebagai berikut :
III-9
Pengumpulan data primer harus dilakukan melalui kegiatan survai lapangan dan temu
wicara dengan pemangku kepentingan yang ada di kawasan perencanaan. Secara garis
besar kegiatan survai lapangan yang harus dilakukan, meliputi :
DRAFT
b. Survai pengamatan khusus, dimaksudkan untuk mengamati dan mencatat persoalan
khusus, yang berkaitan dengan :
i. perparkiran pada zona yang bukan perumahan;
ii. penerangan jalan dan estetika lingkungan pada umumnya;
iii. menara telekomunikasi; dan
iv. media luar ruang.
V822
kepentingan dan juga untuk mensosialisasikan produk RDTR dan PZ. Temu wicara
harus dilakukan sekurangnya 2 (dua) kali. Pertama, pada saat materi teknis RDTR dan
PZ diselesaikan. Kedua, sebelum Peraturan Daerah tentang RDTR dan PZ ditetapkan.
Survai pengumpulan data primer harus dilakukan oleh seluruh anggota tim penyusun
RDTR dan PZ dengan dibantu tenaga tambahan khusus untuk membantu suravi keluar-
masuk kampung. Untuk suatu kawasan perencanaan dengan luas s/d 5.000Ha kegiatan
survai pengumpulan data primer, di luar temu wicara, diperkirakan akan membutuhkan
waktu sekurangnya 2 minggu.
4
Citra satelit atau foto udara hanya menampakan atap bangunan dan tidak mengindikasikan
penggunaan bangunan. Penggunaan bangunan hanya dapat diketahui melalui survai lapangan keluar
masuk kampung.
III-10
4. Penyusunan Materi RDTR
Sesuai dengan materi muatan pokok RDTR yang disampaikan di muka, penyusunan RDTR
meliputi 7 (tujuh) tahap, sebagai berikut :
a. Perumusan Tujuan Penataan Ruang;
b. Perumusan Konsep Ruang;
c. Penyusunan Rencana Pola Ruang;
d. Penyusunan Rencana Intensitas Ruang;
e. Penyusunan Estimasi Kebutuhan Prasarana dan Sarana;
f. Penetapan Sub Kawasan Prioritas; dan
g. Penyusunan Program Pemanfaatan Ruang
Prosedur perumusan tema ruang telah diuraikan secara jelas pada bab 2.1 sebelumnya.
DRAFT
Untuk melengkapi uraian tersebut perlu disampaikan bahwa proses perumusan tersebut
harus dilakukan bersama antara tim penyusun RDTR dan PZ dengan pemangku
kepentingan yang diwakili, sekurangnya, oleh pemberi pekerjaan.
Perumusan tema ruang sebaiknya dilakukan secara iteratif. Pertama, tim penyusun
mengekstraksi nilai-nilai yang adadi kawasan perencanaan dan menggabungkannya
dengan fungsi kawasan yang diamanahkan oleh RTRW induknya. Hal ini disampaikan
kepada wakil pemangku kepentingan untuk diberi masukan. Dengan masukan dari wakil
V822
pemangku kepentingan, tim penyusun merumuskan tema ruang yang diianggap
representatif untuk kawasan perencanaan untuk kemudian disampaikan kepada wakil
pemangku kepentingan untuk dinilai dan disempurnakan.
Secara normatif ada tiga faktor yang berpengaruh dan harus dinilai dalam perumusan
konsep ruang, yaitu :
a. Kondisi fisik kawasan perencanaan;
b. Karakteristik sosial-ekonomi dan budaya; dan
c. Rencana struktur dan pola ruang RTRW induknya
III-11
Masing-masing faktor dinilai melalui kualitatif spasial sebagai berikut:
DRAFT
iv. Contoh, pada kota P morfologi tanah pada umumnya seragam, landai, sehingga
tidak diperlukan analisis indikasi homogenitas berdasarkan morfologi tanah.
Selanjutnya berdasarkan analisis indikasi homogenitas fisik tutupan lahan pada
kota P diperoleh hasil seperti di bawah ini.
V822
III-12
b. Analisis Indikasi Homogenitas Sosial-Ekonomi-Budaya
i. Ditujukan untuk mendapatkan delineasi pengelompokan ruang berdasarkan
homogenitas karateristik sosial-ekonomi-budayanya, terutama dari sisi
pengelompokan sosial-ekonomi masyarakatnya, atau sosial-budayanya.
ii. Sama seperti halnya analisis indikasi homogenitas fisik, Pengelompokan
homogenitas karakteristik sosial-ekonomi-budaya dilakukan secara manual di
atas citra satelit yang menjadi sumber pembuatan peta dasar. Dalam proses
delineasi ini tidak diperlukan akurasi tinggi, cukup indikasi batas perbedaan yang
didasari dengan pengetahuan hasil pengamatan survai keluar masuk-kampung
dan hasil wawancara dengan penduduk setempat serta pejabat yang
berwenang;
iii. Proses delineasi karakteristik sosial-ekonomi-budaya tersebut akan
menghasilkan peta indikasi homogenitas sosial-ekonomi-budaya; dan
iv. Contoh pada kota P memberikan hasil seperti di bawah ini.
DRAFT
V822
Gb. 3.9 Delineasi Indikasi Homogenitas Sosial-Ekonomi-Budaya
III-13
• Perdagangan, merupakan sub kawasan yang didominasi oleh kegiatan
perdagangan, jasa dan industri. Sebagian penduduk merupakan etnis
Tionghoa yang menjalankan kegiatan perdagangan, jasa dan industri
rumahan.
c. Arahan Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang RTRW Induk
i. Ditujukan untuk mengetahui bagaimana kedudukan kawasan perencanan di
dalam rencana struktur ruang dan rencana pola ruang RTRW induknya;
ii. Di dalam RTRW kota induk, rencana struktuur ruang digambarkan dalam bentuk
diagramatis. Dimana, pusat-pusat pelayanan digambarkan dengan simbol dan
dihubungkan satu sama lain dengan garis yang melambangkan jalur pergerakan
antar pusat pelayanan. Di dalam RDTR yang bekerja pada peta skala besar,
1:5.000, pusat-pusat pelayanan tidak dapat dianalisis dalam bentuk simbol,
melainkan terlebih dahulu harus dikonversi ke dalam delineasi pemanfaatan
ruang;
iii. Rencana pola ruang pada contoh kota P memberikan ilustrasi seperti di bawah
ini.
DRAFT
V822
iv. Sub pusat kota pada rencana struktur ruang dikonversikan sebagai sub kawasan
perdagangan pada rencana pola ruang sehingga diperoleh pola seperti di atas.
III-14
Gb. 3.11 Overlay Peta Hasil Analisis & Peta Rencana Pola Ruang RTRW Induk
DRAFT
Selanjutnya dengan melihat pola homogenitas yang ada pada peta overlay di atas
dapatlah disusun konsep ruang seperti di bawah ini.
V822
III-15
Sesuai dengan kondisi fisik dan karakteristik sosial-ekonomi-budaya masing-masing
sub kawasan akan memiliki arahan fungsi ruang, arahan intensitas ruang, arahan
penanganan lebih lanjut dan arahan tema ruang spesifik sebagai berikut :
DRAFT
• Sub Kawasan Persawahan, merupakan persawahan LP2B yang harus dijaga
fungsinya untuk menjaga ketahanan pangan. Tidak ada pengembangan fisik dan
bangunan terbatas pada prasarana pengairan;
• Sub Kawasan Perumahan Lama yang sudah ada sejak era tahun 1980an yang
berisikan rumah-rumah semi-tradisional. Direncanakan untuk dikonservasi dan
tidak dikembangkan lebih lanjut. Konversi kegiatan perumahan menjadi kegiatan
komersial dibatasi hanya untuk perluasan usaha pada kegiatan yang sudah ada
pada lokasi komersial. Tema ruang spesifik yang diusung: Perumahan Jawa
•
Pesisir;
V822
Sub Kawasan Perumahan Baru, merupakan lokasi rob yang direncanakan sebagai
perluasan fisik kota ke arah utara dengan sistem polder seperti di negeri
Belanda. Pembangunan fisik dilaksanakan oleh pengembang dengan intensitas
ruang rendah sampai dengan sedang. Tema ruang spesifik yang diusung:
Perumahan Sehat Bebas Banjir;
• Sub Kawasan Sub Pusat Kota, merupakan kawasan perdagangan dan jasa dengan
nilai tanah yang relatif tinggi juga dengan tingkat kemudahan yang tinggi.
Diarahkan untuk berkembang lebih lanjut menggantikan pusat kota di sebelah
selatan yang dilalui jalan regional Pantura. Dorongan pengembangan dibuka
dengan memberi peluang substitusi kegiatan yang kurang mampu membayar
sewa tanah oleh kegiatan yang lebih mampu dengan intensitas pemanfaatan
ruang yang tinggi. Pada bagian komersial dibuka peluang penggunaan ruang
campuran secara vertikal, dan didorong terjadinya peralihan dari perumahan
landed houses menjadi rumah susun. Tema ruang spesifik yang diusung: One
Stop Service Area.
III-16
Penyusunan Rencana Pola Ruang
Sebagaimana telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa rencana pola ruang RDTR
pada dasarnya merupakan pengelompokan peruntukan ruang yang telah ditetapkan di
dalam RTRW induknya ke dalam zona. Dimana zona adalah suatu bentang ruang yang
didedikasikan untuk satu fungsi tertentu.
Secara umum rencana zonasi disusun berdasarkan pada Konsep Ruang dan dengan
mempertimbangkan :
a. Rencana pola ruang RTRW induknya;
b. Prediksi kebutuhan ruang di masa datang;
c. Ketersediaan ruang yang ada; dan
d. penggunaan ruang yang ada
DRAFT
b. Lakukan prediksi kebutuhan ruang di masa yang akan datang, atau ikuti arahan
proyeksi penduduk untuk kawasan perencaaan berdasarkan RTRW induk, dan plot-
kan hasil prediksi tersebut di atas peta.
c. Dari hasil overlay rencana pola ruang RTRW, prediksi kebutuhan ruang di masa
datang dan citra satelit, lakukanlah penilaian :
i. Apakah kebutuhan ruang di masa datang akan dapat terpenuhi oleh
ketersediaan ruang yang ada, atau harus ada peningkatan intensitas
V822
pemanfaatan ruang. Pada lokasi mana peningkatan intensitas ruang harus
dilakukan dan di atas peruntukan ruang apa;
ii. Klasifikasi zona seperti apa yang harus digunakan pada kawasan perencanaan,
apakah hanya hanya enam zona induk atau diperlukan adanya pemecahan sub
zona untuk zona induk tertentu;
iii. Peruntukan ruang RTRW mana saja yang masuk ke dalam katagori zona dan
mana yang masuk ke dalam katagori kegiatan, dengan menggunakan kriteria
sebagai berikut :
5
Langkah penyusunan rencana zonasi ini didasarkan pada asumsi bahwa peta rencana pola ruang
RTRW kota induknya dibuat dengan menggunakan teknik GIS dan didigitasi mengikuti ketentuan GIS
yang baku.
6
Untuk RDTR pada kawasan perkotaan fungsional di wilayah kabupaten, gunakanlah rencana pola
ruang kawasan perkotaan fungsional kabupaten yang merupakan suplemen RTRW Kabupaten.
III-17
• Kegiatan adalah suatu fungsi ruang yang penguasaan ruangnya ada pada
satu fihak tertentu dan/atau akses ke dalam fungsi ruang tersebut bersifat
terbatas.
• Zona adalah suatu fungsi ruang yang penguasaan ruangnya ada pada
banyak fihak dan/atau akses ke dalam fungsi ruang tersebut bersifat
terbuka atau publik. Zona juga didefinisikan sebagai bentang ruang
didominasi oleh kegiatan dengan fungsi tertentu.
d. Selanjutnya, di ata peta dasar yang di-overlay di atas peta rencana pola ruang
RTRW induk dan citra satelit eksisting, lakukanlah identifikasi pengelompokan
zonasi.
Berikut ini adalah contoh hipotetis suatu rencana pola ruang RTRW induk
DRAFT
V822
III-18
Sementara itu penggunaan ruang eksisting pada citra satelit menunjukan pola seperti
di bawah ini.
Digitasi blok jalan pada citra di atas menghasilkan peta dasar seperti di bawah ini.
V822
III-19
Jaringan jalan skala 1:5.000 yang didigitasi dari citra satelit resolusi tinggi akan
menghasilkan blok jalan yang jauh lebih detail dibanding dengan blok jalan pada
RTRW induknya. Akibatnya ada peruntukan ruang dalan RTRW induk tampak jelas
merupakan kegiatan individual, seperti halnya masjid sekolah, kantor lurah dan
sebagainya. Setelah melalui pengelompokan peruntukan ruang, diperoleh peta
zonasi seperti di bawah ini.
DRAFT
V822
III-20
Selanjutnya, khusus untuk bagian kawasan yang belum terbangun, harus disusun
rencana jaringan jalan baru dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
• rencana jalan arteri sekunder dan kolektor sekunder merupakan domain RTRW
kota induk;
• apabila pada kawasan perencanaan RDTR terdapat rencana jaringan jalan arteri
sekunder dan/atau jalan kolektor sekunder, jalan tersebut harus dicantumkan
atau digambarkan sebagai bagian rencana jaringan jalan baru;
• fungsi jalan yang menjadi domain perencanaan RDTR adalah jalan lokal sekunder
dan jalan lingkungan;
• rencana jaringan jalan baru dapat disusun hanya sampai jalan lokal sekunder
saja atau sampai dengan jalan lingkungan. Bila disusun sampai dengan jalan
lingkungan maka tidak diperlukan lagi adanya Ketentuan Perpetakan di dalam
Peraturan Zonasi;
• Untuk menyusun rencana jaringan jalan baru diperlukan data sebagai berikut:
- peta topografi (khusus untuk kawasan perencanaan yang morfologinya
bergelombang); dan
- peta batas pemilikan tanah (BPN)
• Perajangan jalan baru dilakukan dengan berpegang pada :
DRAFT
- standar ukuran blok jalan atau standar perpetakan untuk setiap zona;
- morfologi tanah agar pola jalan yang terbentuk tetap layak aman untuk
dilewati; dan
- sejauh mungkin mengikuti batas pemilikan tanah agar tidak menimbulkan
gejolak sosial.
Dari kelima parameter di atas dua diantaranya, KDH dan TB, merupakan fungsi atas
parameter KDB dan KLB. Dengan demikian ada tiga parameter yang harus ditetapkan
nilainya untuk setiap blok peruntukan.
Secara garis besar, alokasi intensitas pemanfaatan ruang pada setiap blok peruntukan
disusun berdasarkan arahan Konsep Ruang dan dengan mempertimbangkan :
III-21
a. Prediksi kebutuhan ruang kegiatan perkotaan;
b. Kondisi fisik tanah setempat (morfologi tanah, daya dukung tanah dan kerawanan
bencana);
c. Lokasi blok peruntukan pada jaringan pergerakan;
d. Rencana penanganannya ke depan; dan
e. Analisis biaya dan nilai jual bangunan;
Rumah Renggang 30 - 50
Rumah Deret 50 - 70
DRAFT
Rumah Susun
Taman
Sumber : 1.
2.
< 50%
parkir dalam bangunan
V822
Nilai KDB untuk bangunan ruko atau rukan yang berada di dalam zona komersial
mengikuti katagori rumah deret, yaitu antara 50% s/d 70%. Sedangkan untuk bangunan
kantor atau bangunan komersial yang berdiri sendiri nilai KDBnya antara 40% s/d 60%,
dan untuk bangunan industri, nilai KDB maksimum adalah 50%.
Secara normatif bangunan dengan nilai KDB rendah s/d sedang dialokasikan pada jalan
kolektor sekunder dan/atau arteri sekunder. Bangunan dengan nilai KDB tinggi
dialokasikan pada jalan lokal dan/atau lingkungan.
Sementara itu dalam penetapan nilai KLB digunakan tiga pendekatan sesuai dengan fungsi
ruang dan norma yang berlaku :
a. Untuk bangunan rumah tinggal di atas tanah (landed houses), maksimum 1,0;
b. Untuk bangunan deret (ruko/rukan), maksimum 2,0;
c. Untuk bangunan rumah susun atau bangunan perkantoran atau bangunan komersial
yang berdiri sendiri, nilai KLB ditentukan berdasarkan perhitungan ekonomi pasar.
III-22
Perhitungan ekonomi pasar adalah perhitungan yang didasarkan analisis kelayakan nilai
jual unit kompartemen terhadap permintaan dan daya beli masyarakat. Analisis ini harus
dilakukan secara iteratif berdasarkan komparasi antara besarnya biaya yang dibutuhkan
untuk :
a. Pengadaan tanah;
b. Biaya konstruksi (termasuk biaya rekayasa teknik); dan
c. Biaya-biaya lain,
dengan nilai jual per unit kompartemen yang layak atau dapat diterima pasar.
Secara garis besar, dari jumlah total biaya di atas dihitung besarnya nilai jual setiap unit
kompartemen di dalam bangunan dan dibandingkan dengan kemampuan penyerapan
pasar. Bila nilai jual per unit kompartemen lebih tinggi dari kemampuan pasar, maka nilai
KLB harus ditambah agar diperoleh jumlah kompartemen lebih banyak dengan nilai jual
yang lebih rendah. Demikian dilakukan secara berulang (iteratif) sehingga ditemukan nilai
KLB yang memenuhi kemampuan pasar.
DRAFT
kebutuhan ruang dan kondisi fisik tanah setempat. Dengan syarat sebagai berikut :
a. Lantai besmen tidak diperkenankan untuk hunian;
b. Lantai besmen harus berada di bawah tapak bangunan;
c. Luas tapak besmen maksimum sebesar 75% dari luas petak; dan
d. Lantai besmen di luar tapak bangunan diperkenankan hanya untuk ruang pergerakan.
III-23
Standar kebutuhan air bersih untuk kegiatan komersial dari Ditjen Cipta Karya
Kementerian PU, menggunakan satuan unit toko atau penjualan. Karenanya
intensitas ruang per blok peruntukan harus dikonversi ke dalam jumlah unit toko
atau gerai penjualan.
Untuk kegiatan komersial yang berada pada bangunan ruko dimana kegiatan
komersial dilakukan pada lantai dasar dan lantai atasnya digunakan sebagai hunian,
dapat digunakan standar kebutuhan air bersih untuk domestik.
Untuk kegiatan perkantoran yang tidak tercantum pada Standar Kebutuhan Air Bersih
dari Ditjen Cipta Karya - Kementerian PU, kebutuhan air bersihnya dapat didekati dari
standar untuk kegiatan komersial. Dimana dalam pendekatan ini digunakan jumlah
pegawai atau luas lantai sebagai rujukan pembanding.
Berikut ini adalah standar kebutuhan air bersih yang dapat dipergunakan yang
diterbitkan oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian PU. Penggunaan standar ini bukan
keharusan yang mengikat. Daerah dapat menggunakan standar lain yang dianggap
lebih sesuai dengan konsumsi air bersih di daerah bersangkutan.
Peruntukan
> 1 Juta
Jiwa
500.000-
1.000.000
jiwa
Katagori
100.000 -
500.000
jiwa
20.000 -
100.000
jiwa
< 20.000
jiwa
Perumahan (liter/orang/hari)
V822
Metropoli
tan
>150
Kota Besar
120 - 150
Kota
Sedang
90 - 120
Kota kecil
80 - 120
Desa
60 - 80
III-24
serta industri kebutuhan listriknya dihitung berdasarkan luas tanah. Sedangkan untuk
perkantoran dihitung berdasarkan luas lantainya.
Berikut ini adalah stnadr kebutuhan listrik yang bersumber pada rencana usaha
penyediaan tenaga listrik PLN dan SNI 03-1733-2004. Apabila daerah menimbang
bahwa standar ini tidak sesuai dipersilahkan untuk menggunakan standar lain yang
lebih tepat untuk daerah bersangkutan.
1. Perumahan
DRAFT
2.
3.
4.
5.
Kepadatan sangat rendah (Watt/unit)
80
60
250
80
Sumber : 1.
2.
V822
Standar Kebijakan Penyediaan Listrik, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
PT PLN 2013-2022.
SNI 03-1733-2004
III-25
Tabel 3.5 Standar Timbulan Sampah
Timbulan Sampah
No. Peruntukan
Volume (Liter) Berat (Kg)
DRAFT
Sumber : SNI 19-3983-1995
V822
Sementara itu timbulan limbah cair diasumsikan sebesar 60% dari konsumsi air
bersih.
Selanjutnya dengan menggunakan standar timbulan sampah dan limbah cair dapat
dilakukan estimasi timbulan sampah dan limbah carir untuk setiap blok peruntukan.
III-26
Estimasi bangkitan lalu-lintas pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah
prasarana jalan yang menghubungkan sumber pergerakan atau tujuan pergerakan
memiliki kapasitas yang sesuai dengan beban lalu-lintas yang terbangkitkan atau tidak.
Y = a + bX1+ . . . . . + nXm
DRAFT
Variabel bebas X, bisa beragam bentuknya. Untuk mengestimasi bangkitan lalu-lintas
menuju pusat perkantoran dapat digunakan jumlah pegawai yang bekerja di perkantoran
tersebut. Untuk mengestimasi bangkitan lalu-lintas menuju ke pusat perbelanjaan dapat
digunakan jumlah toko, atau luas lantai pertokoan, atau jumlah pegawai, atau ketiganya.
Nilai parameter a, b . ., n diperoleh melalui kalibrasi pada kasus dimana nilai Y untuk satu
pasang asal-tujuan pergerakan sudah diketahui dari hasil survai primer, atau dapat juga
V822
menggunakan hasil studi yang sudah dilakukan di tempat lain yang memiliki karakteristik
fisik dan sosial-ekonomi yang serupa.
Penggunaan model regresi linier tidak sulit namun membutuhkan data masukan yang
lengkap, dalam arti representatif terhadap kasusnya, dan objektif.
Analisis bangkitan lalu-lintas tidak harus dilakukan untuk setiap blok peruntukan, namun
lebih ditujukan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang secara intuitif diduga akan menjadi
sumber pergerakan yang besar dan/atau menjadi penarik pergerakan dan terletak pada
jaringan jalan yang tidak memadai atau sudah overload. Secara garis besar kegiatan yang
dapat menjadi objek analisis, adalah :
a. Estate perumahan yang luas dengan mayoritas penduduknya bekerja di tempat yang
jauh;
b. Rumah susun/apartemen dengan mayoritas penduduknya bekerja di tempat yang
jauh;
III-27
c. Pusat perbelanjaan;
d. Pusat perkantoran pemerintah;
e. Fasiltas transportasi (terminal, stasiun KA, pelabuhan dan bandara); dan
f. Fasilitas sosial lainnya yang menarik pergerakan (rumah sakit, stadion dsb).
Untuk kegiatan industri sudah tersedia standar perhitungan bangkitan lalu-lintas sebesar
5,5 smp per hektar per hari7.
Sehubungan dengan itu sebelum perhitungan estimasi, terlebih dahulu harus dilakukan
konversi besaran intensitas ruang ke dalam satuan yang sesuai dengan standaar
normatifnya, seperti halnya jumlah penduduk per blok, luas lantai per blok, jumlah
DRAFT
pegawai per blok, jumlah unit, luas tanah per blok dan sebagainya.
7
Sumber : Permenperind no 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri.
III-28
Perumusan Ketentuan Perpetakan
Perumusan ketentuan perpetakan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.
DRAFT
Perumusan ketentuan tata bangunan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.
III-29
Perumusan Ketentuan Pelaksanaan
Perumusan ketentuan pelaksanaan sudah dijelaskan pada bab 2 Muatan RDTR dan
Peraturan Zonasi.
Buku Rencana
Buku Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), yang selanjutnya disebut sebagai Buku Rencana,
adalah dokumen teknis yang berisi semua unsur rencana yang ada di dalam RDTR beserta
dengan garis besar analisis yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan materi muatan
Buku Rencana meliputi 9 (sembilan) bab sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
DRAFT
Secara garis besar bab Pendahuluan harus berisikan tiga materi pokok sebagai berikut.
Pertama, gambaran umum kawasan perencanaan/BWP dari segi fisik, sosial-ekonomi
dan sosial-budaya. Kedua, penjelasan mengenai kedudukan dan fungsi kawasan
perencanaan/BWP di dalam wilayah Kota induknya.8 Ketiga, arahan penguasa daerah
dan/atau aspirasi pemangku kepentingan terhadap masa depan kawasan
perencanaan/BWP.
Bab Pendahuluan dapat disajikan ke dalam beberapa sub bab sesuai dengan materi
V822
pokok di atas. Uraian dalam bab ini dimaksudkan untuk memberikan latar belakang
bagi terumuskannya tema ruang yang menjadi Tujuan Penataan Ruang dan Konsep
Ruang yang menjadi dasar penyusunan semua tahap rencana dan peraturan zonasi.
8
Kedudukan dan fungsi kawasan perencanaan/BWP terutama dilihat dari kedudukannya di dalam
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang RTRW induknya. Tidak perlu menyalin ulang berbagai
hal yang ada di dalam RTRW induknya, cukup mengutip hal-hal yang relevan saja.
III-30
2.2 Konsep Ruang
Berisikan lima hal pokok. Pertama, penjelasan tentang dasar pemikiran9
pembagian kawasan perencanaan ke dalam sub kawasan berdasarkan
homogenitasnya. Kedua, penjelasan tentang karakteristik setiap sub kawasan, yang
meliputi fungsi sub kawasan, arahan intensitas ruang secara umum, arahan
penanganan ke depan dan tema ruang setempat. Ketiga, Indikasi sub kawasan atau
sub-sub kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus atau perlu ditindaklanjuti
penataan ruangnya, beserta dengan penjelasannya. Sub kawasan atau sub-sub
kawasan ini selanjutnya akan menjadi sub kawasan prioritas. Keempat, Peta
pembagian sub kawasan yang disajikan pada kertas laporan dengan skala
mengikuti ukuran kertas. Kelima, skema ruang yang merupakan gambaran Konsep
Ruang secara diagramatis.
DRAFT
Berisi penjelasan tentang pola penggunaan lahan yang ada pada kawasan
perencanaan/BWP dan kegiatan apa saja yang ada. Akan lebih baik bila juga
dijelaskan tentang skala pelayanan kegiatan yang ada di dalam kawasan
perencanaan. Sertakan Peta Penggunaan Lahan Eksisiting seukuran kertas laporan
dengan skala mengikuti ukuran kertas.
Rencana pola ruang dan rencana intensitas pemanfaatan ruang pada dasarnya
merupakan inti dari RDTR. Dalam kaitan itu uraian ini dimaksudkan untuk
V822
menunjukan secara jelas mana unsur eksisting dan mana unsur rencana.
9
Dasar pemikiran yang spesifik terhadap kasus kawasan perencanaan bukan dasar pemikiran umum
atau normatif.
III-31
perpetakan (lot splitting) Ketiga, kegiatan apa saja, yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, yang ada di dalam setiap zona. Apakah kegiatan ini dibebaskan
atau dibatasi perkembangannya. Sertakan Peta Zonasi (peta rencana pola ruang)
seukuran kertas laporan dengan skala mengikuti ukuran kertas. Peta rencana
zonasi skala 1:5.000 disajikan pada Album Peta ukuran A1 yang disajikan secara
terpisah.
Penjelasan dalam uraian rencana pola ruang akan menjadi dasar bagi perumusan
Ketentuan Kegiatan di Dalam Zona dan Aturan Perubahan Zonasi
Lengkapi dengan tabel intensitas ruang dan peta yang menunjukan intensitas
DRAFTruang pada setiap blok dan/atau sub blok. Tabel intensitas ruang yang
sekurangnya memiliki enam kolom, untuk :
• Kode blok dan/atau sub blok;
• Koefisien Dasar Bangunan (KDB);
• Ketinggian Bangunan (TB);
• Koefisien Lantai Bangunan (KLB);
• Koefisien Dasar Hijau (KDH);
V822
• Koefisien Tapak Besmen (KTB);
Akan lebih baik bila juga dilengkapi dengan ilustrasi dalam bentuk sket terkait
dengan intensitas ruang tertentu
III-32
5.2 Estimasi Kebutuhan Listrik
Berisikan penjelasan tentang asumsi dasar dan/atau standar normatif estimasi yang
digunakan; Hasil estimasi kebutuhan listrik untuk setiap blok dan/atau sub blok
disajikan dalam bentuk tabel dan diplotkan ke dalam peta sebagai atribut.
DRAFT
dasar pemikiran dan model pendekatan estimasi bangkitan lalu-lintas yang
digunakan.
V822
Penetapan sub kawasan prioritas harus disertai dengan peta orientasi yang menunjukan
lokasi sub kawasan prioritas di dalam kawasan perencanaan/BWP secara keseluruhan.
Peta orientasi sub kawasan prioritas cukup seukuran kertas laporan dengan skala
mengikuti ukuran kertas.
10
Bila tidak ada sub kawasan yang diprioritaskan, maka bab ini tidak perlu dibuat
III-33
9.1 Ketentuan Perpetakan
Diisi dengan penjelasan kenapa harus dibuat ketentuan perpetakan, dasar
pemikiran apa yang digunakan dalam penyusunan ketentuan perpetakan, dan
bagaimana menerapkannya. Oleh karena ketentuan perpetakan hanya akan
diterapkan pada sub kawasan yang belum terbangun, maka aturan ini harus
didampingi dengan yang menunjukan pada sub kawasan mana diberlakukannya.
Skala peta ini dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih
dapat terbaca dengan dan informatif.
9.2.3
V822
Aturan Penggunaan Lahan
Diisi dengan tabel Aturan Penggunaan Lahan atau tabel ITBX yang
menabulasi-silangkan antara zonasi dengan kegiatan atau tipologi
kegiatan. Untuk setiap sel yang berisi nilai T atau B harus ada
penjelasan teknis yang lengkap.
III-34
menerapkannya. Melengkapi uraian ini juga harus disajikan peta zonasi yang
menunjukan pada blok peruntukan mana saja ketentuan ini berlaku dan apa
aturannya. Peta zonasi disini tidak harus berskala 1:5.000 tapi dapat
mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih dapat terbaca
dengan dan informatif.
DRAFT
9.7 Ketentuan Khusus
Diisi dengan penjelasan kenapa harus ada ketentuan khusus, dasar pemikiran
apa yang digunakan dalam menyusun ketentuan khusus, apa isi ketentuan
khusus tersebut, dimana saja diterapkannya. Melengkapi uraian ini juga
harus disajikan peta zonasi yang menunjukan pada blok mana saja ketentuan
ini berlaku dan apa aturannya. Peta zonasi disini tidak harus berskala
1:5.000 tapi dapat mengikuti ukuran kertas laporan sepanjang bersifat masih
9.8
V822
dapat terbaca dengan dan informatif.
III-35
Secara garis besar ada dua kelompok standar teknis yang harus disampai
kan. Pertama, standar teknis kebutuhan ruang bagi sarana pendukung
kegiatan permukiman perkotaan. Kedua, standar teknis kebutuhan prasarana
pendukung.
Standar teknis pemanfaatan ruang ini sebaiknya disajikan dalam bentuk tabel
yang memuat sekurangnya 5 kolom untuk jenis kegiatan, jumlah penduduk
pendukung minimum, luas lahan minimum, persyaratan lokasi dan prasarana
dan sarana pendukung.
DRAFT
Lampiran
9.11.2 Aturan Peralihan
Berisikan penjelasan jenis pemanfaatan ruang apa saja yang
berbeda dengan zona peruntukannya yang harus berubah, berapa
lamanya tenggang waktu yang diberikan, dan apa sanksi yang
dikenakan bila pemanfaatan ruang tersebut tidak berubah.
V822
Lampiran I Daftar Jenis Kegiatan dan Tipologi Kegiatan
Lampiran II Tabel Ketentuan Kegiatan dalam Zona
Lampiran III Persyaratan Kegiatan Dalam Zona
Secara garis besar muatan Raperda tentang RDTR adalah sebagai berikut.
III-36
1. Judul
2. Konsideran
DRAFT
• klasifikasi zonasi
• distribusi blok peruntukan
• lampiran 4 - Peta Rencana Zonasi
V822
• lampiran 5 - Peta Rencana Intensitas Ruang
III-37
Bagian 2 Ketentuan Kegiatan Dalam Zona
• pengertian ketentuan kegiatan dalam zona
• daftar kegiatan atau tipologi kegiatan beserta dengan kriteria nya
• penjelasan pengertian diizinkan, dilarang dan bersyarat
• lampiran 8 - Tabel Aturan Kegiatan dalam Zona
• Lampiran 9 - Tabel Persyaratan Kegiatan dalam Zona
DRAFT
Bagian 5 Prasarana dan Sarana Minimum
•
•
•
pengertian ketentuan prasarana dan sarana minimum
ketentuan prasarana dan sarana minimum untuk setiap zona
III-38
• Persyaratan dan prosedur pengajuan teknis pengaturan
zonasi
• Kompensasi pemberlakukan teknik pengaturan zonasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
DRAFT
Peta Orientasi, yang menunjukan lokasi kawasan perencanaan/BWP di dalam wilayah
kota induknya. Skala peta mengikuti ukuran kertas.
Peta Penggunaan Lahan Eksisting, skala peta mengikuti ukuran kertas.
Peta Konsep Ruang, skala peta mengikuti ukuran kertas
Peta Rencana Pola Ruang, skala 1:5.000.
Peta Rencana Intensitas Ruang, skala 1:5.000.
Peta Sub Kawasan Prioritas, skala mengikuti ukuran kertas
V822
Untuk peta skala 1:5.000 yang tidak cukup disajikan dalam satu lembar kertas, harus disajikan
dalam beberapa lembar kertas secara berindeks dengan mengikuti ketentuan kartografi.
III-39