Journal Reading
Journal Reading
Kata Kunci
Hidradenitis Suppuritiva, Penyakit Burden, Warna Kulit
Abstrak
Hidradenitis Suppuritiva (HS) adalah penyakit kulit kronik yang cenderung
meninggalkan bekas. Meskipun sebagian besar studi dilakukan pada banyak populasi
Kaukasia, bukti menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada pasien dengan kulit
berwarna, termasuk populasi Afrika dan Hispanik. Subkelompok ras ini cenderung
beresiko untuk beban penyakit yang lebih besar karena prevalensi komponen sindrom
metabolik yang lebih tinggi, depresi komorbiditas, dan status sosial ekonomi yang
rendah, namun ada sedikit kekurangan penelitian pada populasi ini. Selain itu,
penelitian yang meneliti dasar genetik dan anatomi untuk HS, serta respon terhadap
terapi HS masih kurang pada pasien dengan kulit berwarna. Penyebab masalah ini
adalah keterbatasan akses keperawatan medis yang efektif, termasuk dokter kulit untuk
populasi Afrika dan Hispanik serta kelompok minoritas lainnya. Dalam ulasan ini,
kami mengidentifikasi kesenjangan dalam basis pengetahuan, menyoroti hubungan
antara HS dan pasien dengan kulit berwarna serta memberikan arahan untuk penelitian
yang sangat dibutuhkan dalam kondisi ini.
Pendahuluan
Hidradenitis Suppuritiva (HS) juga dikenal sebagai acne inversa yang
merupakan penyakit kulit inflamasi kronik dengan manifestasi klinis timbul abses yang
menyakitkan dan sering berbau busuk, berbentuk nodul, saluran sinus, dan
pembentukan jaringan parut. Biasanya melibatkan kulit yang terdapat kelenjar apokrin
seperti aksila, daerah inguinal, daerah perianal dan perineal [1]. Patogenesis HS diduga
melibatkan hiperkeratosis folikel dengan oklusi dan dilatasi folikel rambut, yang
menyebabkan ruptur, peradangan, pembentukan abses, dan tergantung pada
kemungkinan terjadi remisi penyakit, kontraktur kulit dan meninggalkan bekas luka
(gambar 1) [1].
Faktor risiko HS adalah merokok, obesitas, dan sindrom metabolik (MetS) [2,
3]. Meskipun prevalensi HS bervariasi (dari 0,00033 – 4,1%), hasil penelitian
melaporkan peningkatan prevalensi pada populasi Afrika dan Hispanik, serta pada
wanita [4, 5]. HS sebagian besar disebabkan oleh dampak fisik dan psikologis yang
mendalam yang mengarah pada depresi dan gangguan kualitas hidup (QoL) [6, 7].
Selain itu, terdapat laporan HS yang lebih umum terjadi pada individu dengan status
sosial ekonomi rendah (SES) [8].
Mayoritas studi yang diterbitkan tentang HS mencakup sebagian besar
kelompok kaukasia [9]. Hal ini mungkin tidak mewakili prevalensi HS yang
sebenarnya pada berbagai subkelompok ras, baik secara internasional maupun di
berbagai wilayah di AS [10]. Secara signifikan bukti menunjukkan peningkatan
prevalensi HS pada individu dengan kulit berwarna (SOC); namun pada penelitian lain
tidak cukup untuk menilai tingkat keparahan, kormobiditas, dasar genetik, dan respon
terhadap pengobatan pada populasi ini secara memadai (Tabel 1). Dalam ulasan ini,
kami mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan serta menggarisbawahi hubungan
antara HS dan populasi minoritas, dan memberikan arahan untuk penelitian masa depan
dalam bidang ini.
Gambar 1. a Struktur appendageal kulit normal dengan kelenjar apokrin berukuran normal
dan tidak ada peradangan. b Tahap awal penyakit dengan hiperkeratosis dan oklusi folikuler,
pembesaran kelenjar apokrin, pelebaran folikuler dan ruptur dini, serta peradangan
perifolikular dengan campuran infiltrat sel radang. c Stadium akhir penyakit dengan
peningkatan peradangan, pembentukan abses dan saluran sinus yang mengering, jaringan
parut, dan fibrosis
Genetik
Studi genetika menunjukkan pola autosom dominan pewarisan HS dalam
keluarga. Pasien HS mengalami mutasi pada gen (NCSTN, PSENEN, PSEN1) yang
mengkode subunit γ-sekretase, yang biasanya membelah reseptor Notch, protein
transmembran yang terlibat dalam perkembangan dan diferensiasi epidermal serta
folikel [23, 24]. Khususnya, sejumlah besar studi ini dilakukan pada populasi di China
[25, 27]. Meskipun terdapat 1 penelitian yang mengidentifikasi mutasi NCSTN pada
keluarga Afrika [28], studi genetik HS di SOC masih kurang, meskipun prevalensi HS
lebih tinggi pada populasi ini. Hal ini penting karena mutasi genetik yang unik dapat
berkontribusi pada berbagai fenotipe HS yang terlihat pada wanita dan subkelompok
ras. AA (83%) dan wanita (74%) pasien HS di Chicago, IL lebih cenderung memiliki
HS yang membandel, gejala yang progresif, dan memerlukan intervensi bedah [29],
menunjukkan bahwa pasien dengan SOC mungkin lebih cenderung memiliki bentuk
HS yang kurang responsif terhadap pengobatan. Karena faktor genetik mungkin
sebagian besar bertanggung jawab, penelitian yang membandingkan variasi genetik
dan fenomena epigenetik di antara berbagai subkelompok ras pasien telah dijamin
(Tabel 2).
Anatomi
Anatomi appendageal kulit tampaknya berbeda antar subkelompok ras. Pasien
keturunan Afrika dilaporkan memiliki kelenjar apokrin yang lebih besar, lebih banyak,
dan lebih produktif daripada Kaukasia [30, 31]. Hal ini menunjukkan bahwa populasi
Afrika mungkin memiliki kecenderungan anatomi untuk HS dan HS yang lebih parah.
Dari catatan, laporan-laporan ini diterbitkan sebelum 1965, dengan demikian ada
kekurangan penelitia sains dasar di SOC pada bidang ini [32]. Investigasi variasi
potensial dalam anatomi unit pilosebaseus dan disfungsi di antara subkelompok ras,
sangat penting untuk menuju pemahaman yang lebih baik bagaimana HS berbeda
antara populasi ini [Tabel 2].
Kesimpulan
HS adalah penyakit kronis mematikan yang secara tidak proporsional
memengaruhi pasien SOC. Disebabkan oleh faktor genetik dan psikososial sehingga
populasi Afrika dan Hispanik mengalami HS yang lebih parah, kualitas hidup yang
lebih rendah, dan lebih banyak kondisi komorbiditas, termasuk MetS dan depresi.
Terlepas dari masalah ini, ada penelitian yang tidak memadai dan akses keperawatan
untuk pasien HS SOC dan SES rendah. Diperlukan penelitian besar berbasis populasi
untuk memahami sepenuhnya prevalensi dan beban HS pada pasien dengan SOC,
menggambarkan faktor genetik dan anatomi yang unik untuk subkelompok ras, serta
menentukan apakah pasien dengan SOC merespons secara berbeda terhadap terapi HS.
Diet, gaya hidup, iklim, dan akses keperawatan kesehatan dalam sejarah alami HS juga
perlu eksplorasi lebih lanjut. Akhirnya, harus dilakukan upaya untuk meningkatkan
akses keperawatan ke dokter kulit, termasuk skrining awal untuk populasi berisiko dan
implementasi rencana perawatan HS longitudinal.
Pesan
Hidradenitis suppurativa secara tidak proporsional mempengaruhi kulit
pasien SOC, tetapi penelitian dalam populasi ini masih kurang.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.1 DEFINISI
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah infeksi kelenjar apokrin oleh
Staphylococcus aureus, yang berbentuk nodul kemudian melunak menjadi abses dan
pecah membentuk fistel serta cenderung menimbulkan sikatriks.
I.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dan insidensi HS di US masih belum diketahui dengan pasti. Namun,
sebuah studi di Denmark menyatakan bahwa prevalensi hidradenitis suppurativa di
dunia adalah 4%. Penyakit ini hanya menimbulkan kesakitan namun tidak berakibat
fatal, kecuali jika berkembang menjadi infeksi sistemik yang luas pada pasien
immunocompromised. Ada peningkatan insidensi pada ras rambut keriting.
Perbandingan insidensi penyakit ini pada wanita dan pria adalah sekitar 4:1 sampai 5:1.
HS tidak terjadi sebelum pubertas karena kelenjar apokrin belum aktif hingga dipicu
oleh hormon sex.
I.3 ETIOLOGI
HS terjadi saat folikel rambut atau kelenjar keringat tersumbat dan mengalami
peradangan akibat infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus, namun hingga kini
belum diketahui pasti penyebab tersumbatnya.
I.5 PATOGENESIS
Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering terkena HS,
regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae, regio submamary,
periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori, leher dan punggung.
Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari dermis
ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen sekretori yang
dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius yang lurus dan
panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar ini berbau.
Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan jelas,
telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin atau duktus
folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi duktus dan stasis
komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin melalui folikel rambut dan
terperangkap di bawah sumbatan keratin yang kemudian bermultiplikasi dengan cepat
dalam lingkungan yang mengandung banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar
dapat ruptur, sehingga menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area
sekitarnya. Infeksi Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan
inflamasi lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses
penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit
di atasnya.
Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa
Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis
suppurativa
Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena hidradenitis
suppurativa pada pasien laki-laki
Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang
menderita hidradenitis suppurativa
5 6 7
0
Gambar 5. Sikatriks dengan fibrosis
Gambar 6. Double ended comedone
Gambar 7. Pembentukan sinus pada daerah vulva seorang wanita yang menderita
hidradenitis suppurativa
Perianal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema, discharge
purulen, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti
furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn. Fistula
pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada
bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin.
I.9 TERAPI
Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (3-5
mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang
dapat digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline (250-500 mg
qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi
klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg 2 kali perhari) selama beberapa
minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya 70
mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan (tappered) selama 14 hari. Pemberian
isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat pada
awal penyakit untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan
eksisi lesi.
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian clindamycin
topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan menggunakan pakaian
longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan mencegah timbulnya keringat
berlebih dengan menggunakan aluminium klorida topikal.
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan menunjukkan
S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada
sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada beberapa kasus. Pada suatu studi
diberikan isoretinoin dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6 bulan.
Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah
modalitas pengobatan. Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang
dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik atau sinus.
Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit pada axilla atau area
yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan fascia sehingga dibutuhkan
skin grafting untuk penutupannya. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan laser
CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer, grafting, atau flaps telah digunakan
secara luas, namun mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak begitu baik.