Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN STRUMA NODOSA


DI RUANG EDELWAIS RSUD BANYUMAS

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh:
Anggraini Lizdiana Wulandari
18/436096/KU/20952

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
STRUMA NODOSA

A. Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di leher, dibawah kartilago krikoid dan berbentuk
seperti huruf H (Black & Hawks, 2009). Menurut Newton, Hickey, & Marrs,
(2009), kelenjar tiroid terletak di pangkal leher di kedua sisi bagian bawah
laring dan bagian atas trakea. Panjang kelenjar tiroid kurang lebih 5 cm
dengan lebar 3 cm dan berat sekitar 30 gram (Brunner & Suddarth, 2002).
Kelenjar tiroid yang dimiliki wanita lebih besar dibanding laki-laki (Seeley et
al, 2007). Kegiatan metabolik pada kelenjar tiroid cukup tinggi, ditandai
dengan aliran darah yang menuju kelenjar tiroid sekitar 5 kali lebih besar dari
aliran darah ke dalam hati (Skandalakis, 2004). Kelenjar tiroid menghasilkan
tiga jenis hormon yang berbeda, yaitu tiroksin (T4), triiodotironin (T3) yang
keduanya disebut dengan satu nama, hormon tiroid dan kalsitonin. Pelepasan
hormon tiroid T3 dan T4 distimulasi oleh tirotropin atau TSH (Thyroid
Stimulating Hormon) yang disekresi oleh kelenjar hipofisis (Braverman dkk,
2010). Pengeluaran TSH diatur oleh TRH (Thyrotropin Releasing Hormon)
yang disekresikan oleh hipotalamus. Kelenjar tiroid mengatur fungsi
metabolisme tubuh, dimana tubuh menghasilkan energi yang berasal dari
nutrisi dan oksigen yang mempengaruhi fungsi tubuh penting, seperti tingkat
kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013). Selain itu kelenjar tiroid
juga berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel
tubuh dan dibutuhkan untuk fungsi hormon pertumbuhan.
B. Definisi Struma Nodosa
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau
struma. Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut
struma nodosa (Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini
dapat terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang
kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon
(hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009). Struma nodosa terdapat dua jenis,
toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic merupakan struma nodusa
tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme (Hermus& Huysmans, 2004). Pada
penyakit struma nodusa non toxic tiroid membesar dengan lambat. Struma
nodosa toxic ialah keadaan dimana kelenjar tiroid yang mengandung nodul
tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu
keadaan hipertiroid. Dampak struma nodosa terhadap tubuh dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma nodosa dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman, dkk 2006). Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta
cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk
leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas
dan disfagia.
C. Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy,
2011):
a. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma
multinodosa.
b. Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk
nodul tiroid yaitu nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila
penangkapan yodium tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian
tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas yang rendah. Nodul
hangat apabila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul
sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas bila penangkapan
yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan
aktivitas yang berlebih.
c. Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.
D. Etiologi
Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan yodium (Black
and Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis
mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian
menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang
besar ke dalam folikel, dan kelenjar menjadi bertambah besar. Penyebab
lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak metabolisme yodium,
konsumsi goitrogen yang tinggi (yang terdapat pada obat, agen lingkungan,
makanan, sayuran), kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan hormonal
dan riwayat radiasi pada kepala dan leher (Rehman dkk, 2006). Hal yang
mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa non toxic adalah respon
dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada
tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel
dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain
(IGF dan EGF) sangat bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat
bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih
cepat bereplikasi. Sel-sel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang
sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini tidak tersebar
merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga akan tumbuh nodul-nodul.
E. Patofisiologi
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus,
masuk kedalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan
menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang
terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik
negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedangkan T3 merupakan hormon metabolik yang tidak aktif. Akibat
kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3,
ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat
sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi
sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis
tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan
pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda
dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma
nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian depan,
sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral.
F. Tanda dan Gejala
Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama
sekali. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat
mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga
terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung menjadi berdebar-
debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan kelelahan. Beberapa
diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa
tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak. Pemeriksaan fisik struma
nodosa non toxic berfokus pada inspeksi dan palpasi leher untuk menentukan
ukuran dan bentuk nodular. Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di
depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi
atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu
diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk
(diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan
dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode
palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi.
Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan
ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Struma nodosa tidak termasuk
kanker tiroid, tapi tujuan utama dari evaluasi klinis adalah untuk
meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera, dkk,
2009):
1. Pemeriksaan Laboratorium, yakni pemeriksaan tes fungsi hormon:
T4 atau T3, dan TSH.
2. Pemeriksaan Radiologi
a) Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau
pembesaran struma yang pada umumnya secara klinis
sudah bias diduga, foto rontgen pada leher lateral
diperlukan untuk evaluasikondisi jalan nafas.
b) Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam
pemeriksaan tiroid yakni untuk menentukan jumlah nodul,
dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik, dapat
mengukur volume dari nodul tiroid, dapat mendeteksi
adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid, untuk
mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah, pemeriksaan sidik tiroid (Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah tentang ukuran,
bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian
tiroid).
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy).
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan
suatu keganasan.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Penatalaksanaan Konservatif
a) Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma,
selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid
dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan
TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini
juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi
sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-
tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.
b) Terapi Yodium Radioaktif .
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang
tinggi pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi
jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian
yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %.
Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker,
leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan
dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di
rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu
setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
2. Penatalaksanaan Operatif
Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar
tiroid adalah tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total.
Tiroidektomi subtotal akan menyisakan jaringan atau pengangkatan
5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu
pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A.,
dkk., 2009). Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative
aman dengan morbiditas kurang dari 5 %.
Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :
a) Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas
atau bawah satu lobus
b) Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
c) Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu
pengangkatan satu lobus dan istmus
d) Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus
dan sebagian besar lobus lainnya.
e) Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.
f) Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh
kelenjar dan kelenjar limfatik servikal.
Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk
tiroidektomi. Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan
dengan cedera berulang pada saraf laring superior dan kelenjar
paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi sengaja dari satu atau
lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipoparatiroidisme dan
hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau permanen.
Pemeriksaan yang teliti tentang anatomi dan suplai darah ke
kelenjar paratiroid yang adekuat sangat penting untuk menghindari
komplikasi ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat ditoleransi
dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal (Bliss et al,
2000). Komplikasi lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi adalah
perdarahan, thyrotoxic strom, edema pada laring, pneumothoraks,
hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus reccurens,
dan hipotiroidisme (Grace & Borley, 2007).
Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan hipotiroidisme,
yaitu suatu keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon dalam jumlah adekuat, keadaan ini ditandai
dengan adanya lesu, cepat lelah, kulit kering dan kasar, produksi
keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tanda-tanda yang
harus diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang
ditandai dengan adanya rasa kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari
tangan dan kaki, dan kedutan otot pada area wajah (Urbano, FL,
2000). Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian
kalsium dalam tubuh. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah
kelumpuhan nervus laringeus reccurens yang menyebabkan suara
serak. Jika dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu diberikan
informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium
levotiroksin (Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-
obatan ini harus diminum selamanya.
ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC


1. Ansietas Kontrol Kecemasan Diri Penurunan Kecemasan
Kriteria hasil : 1.Bina hubungan saling percaya dengan klien / keluarga
1.Secara verbal dapat mendemonstrasikan teknik 2.Kaji tingkat kecemasan klien.
menurunkan cemas. · 3.Tenangkan klien dan dengarkan keluhan klien dengan atensi
2.Mencari informasi yang dapat menurunkan cemas · 4.Jelaskan semua prosedur tindakan kepada klien setiap akan
3.Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan melakukan tindakan
cemas · 5.Dampingi klien dan ajak berkomunikasi yang terapeutik
· 6.Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
4.Menerima status kesehatan.
perasaannya.
· 7.Ajarkan teknik relaksasi
· 8. Bantu klien untuk mengungkapkan hal-hal yang membuat
cemas.
2. Kurang Pengetahuan b.d Pengetahuan: Proses Penyakit Pendidikan kesehatan : proses penyakit
keterbatasan informasi Kriteria hasil : 1.Kaji tingkat pengetahuan klien.
tentang penyakit dan 1. Pasien mampu men-jelaskan penyebab, komplikasi 2.Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda gejala serta
proses operasi dan cara pencegahannya komplikasi yang mungkin terjadi
2. Klien dan keluarga kooperatif saat dilakukan · 3.Berikan informasi pada keluarga tentang perkembangan
tindakan klien.
· 4.Berikan informasi pada klien dan keluarga tentang tindakan
yang akan dilakukan.
6.Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin akan muncul
3. Nyeri Akut 1. Pain Level Manajemen Nyeri
2. Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif (PQRST)
3. Comfort level (lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, berat yeri
Kriteria Hasil : dan faktor pencetus)
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
nyeri, mampu menggunakan tehnik ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, 3. Pasikan perawatan analgesik bagi pasien dilakukan
mencari bantuan) dengan pemantauan ketat
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 4. Tentukan akibat dari rasa nyeri terhadap kualitas hidup
menggunakan manajemen nyeri pasien (tidur, perasaan, performa kerja)
c.Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 5. Berikan informasi mengenai nyeri (penyebab, lama,
frekuensi dan tanda nyeri) antisipasi)
6. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman setelah
7. Ajarkan metode famakologi dalam mengurangi nyeri
nyeri berkurang
Pemberian Analgesik
e. Tanda vital dalam rentang normal
1. Monitor tanda vital sebelum dan setelah memberikan
analgesik
2. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
nyeri sebelum mengobati pasien
3. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang diresepkan

4. Resiko Infeksi 1. Immune Status Perlindungan Infeksi


2. Knowledge : Infection control 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
3. Risk control 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
Kriteria Hasil : 3. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 4. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 5. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
timbulnya infeksi kemerahan, panas, drainase
3. Menunjukkan perilaku hidup sehat 6. Inspeksi kondisi luka
7. Dorong istirahat
8. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
9. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
10. Ajarkan cara menghindari infeksi
11. Laporkan kecurigaan infeksi
DAFTAR PUSTAKA

American Thyroid Association. (2013). http://thyroid.org/


Black & Hawks. (2009). Medical-surgical nursing : clinical management for
positive outcomes.8th Edition. Saunders Elsevier
Bliss, RD., Gauger, PG., Delbridge, LW. (2000). Surgeons approach to the thyroid
gland : surgical anatomy and the importance of technique. World Journal
of Surgery. 24, 8, 891 – 897
Dochterman, Bullechek, Butcher, Wagner. 2013. Nursing Interventions
Classification (NIC) 6th edition. St. Louis: Mosby.
Grace., PA & Borley., N.R. (2007). Surgery at a glance. Edisi 3. Alih bahasa dr.
Vidhia Umami. Jakarta : Erlangga Medical Series.
Hermus, A.R.M.M & Huysmans, D.A.K.C. (2004). Encylopedia of endocrine
disease. Elsevier
Lang, BH. (2010). Minimally invasive thyroid and parathyroid operations :
surgical techniques and pearls. Journal of Advances in Surgery. 44,1. 185
– 198
Lewinski, A. (2002). The problem of goitre with particular consideration of goitre
resulting from iodine deficiency (I): Classification, diagnostics and
treatment. Style Sheet :
http://www.nel.edu/23_4/NEL230402R04_Lewinski.htm
Morhead, S., Jhonson, M., Maas. ML., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th edition. St. Louis: Mosby.
Newton, S., Hickey, M., Marrs, J. (2009). Mosby’s oncology nursing advisor : a
comprehensive guide to clinical practice. Canada : Elsevier
North American Nursing Diagnosis Association. 2015. Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2015-2017. Philadelphia:Wiley Blackwell.
Rehman, SU., Hutchison, FN., Basile, JN. (2006). Goitre in Older Adults. Journal
of Aging Health. 2 (5). 823 – 831. USA : Medical Center and Medical
University of South Carolina
Seeley, RR., Stephens, TD., &Tate P. (2007). Essentials of anatomy and
physiology. 6th Edition. McGraw-Hill, Dubuque
Skandalakis, JE. (2004). Surgical anatomy. McGraw-Hill, New York NY
Sudoyo, dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.
Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of nodular goiter.
Journal of best practice & research clinical endocrinology and
metabolism. Pisa : Elsevier.
Urbano, FL. (2000). Signs of hypocalcemia : chvostek’s and trousseau’s signs.
Style Sheet http://www.turner-white.com/pdf/hp_mar00_hypocal.pdf

Anda mungkin juga menyukai