Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Fraktur juga
melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis,
dibagi menjadi fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit
sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen
tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit di lokasi fraktur masih intak.
Pembagian fraktur terbuka berdasarkan Gustillo dan Anderson dibagi menjadi derajat
I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan kekuatan
tulang lebih besar dari tenaga tulang. Penyebab tersering dari fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas (70/%), jatuh (11%), kena tembakan (8%), dan lain-lain.
TetaglPenanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, intraoperatif dan
pascaoperatif. Preoperatif berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABC. ABC pada trauma meliputi A untuk airway atau
jalan napas yaitu pembebasan jalan napas; B untuk breathing atau pernapasan yaitu
dengan pemberian O2, memperhatikan adakah tanda-tanda hemothoraks,
pneumothoraks, flail chest; C untuk circulation atau sirkulasi/fungsi jantung untuk
mencegah atau menangani syok; D untuk disability yaitu mengevaluasi status
neurologik secara cepat; dan E untuk exposure/environment yaitu melakukan
pemeriksaan secara teliti, pakaian penderita harus dilepas, selain itu perlu dihindari
terjadinya hipotermi.
Selanjutnya prinsip dalam penanganan pertama pada patah tulang adalah
jangan membuat keadaan lebih jelek (do no harm) dengan menghindari gerakan-
gerakan/gesekan-gesekan pada bagian yang patah. Tindakan ini dapat dilakukan
pembidaian/ pasang spalk dengan menggunakan kayu atau benda yang dapat
menahan agar kedua fraksi yang patah tidak saling bergesekan. Khusus pada patah
tulang terbuka, harus dicegah agar luka tidak terinfeksi yang seharusnya dilakukan

1
dalam 6-8 jam pertama yang dikenal sebagai golden period disertai pemberian
antibiotik spektrum luas dan antitetanus.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Sulaiman
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 24 tahun
Alamat : Desa Bawalipu, Wotu
Pekerjaan : Mahasiswa
Biaya pengobatan : BPJS
No. CM : 13 67 28
Masuk Tanggal : 15 Oktober 2018

Survei Primer
A : Adekuat
B : 24 x /menit
C : 80x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
D : GCS 15
E : Didapatkan deformitas pada tungkai kiri atas

Survei Sekunder
Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar 8 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri pada
tungkai kanan dan tidak dapat digerakkan. Pada pukul 18.00 WITA penderita sedang
mengendarai sepeda motor, tiba-tiba sebuah motor dari arah depan menabrak
motor penderita dan mengenai kaki kirinya. Saat kejadian penderita menggunakan
helm dan tidak mengkonsumsi alkohol. Riwayat pingsan (-), sakit kepala (-), muntah
(+).
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal

3
 Riwayat kelainan darah disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat patah tulang dengan atau tanpa
trauma
Riwayat Pribadi
Riwayat merokok disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah mahasiswa. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.
Kesan: sosial ekonomi cukup

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Pasien tampak lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : T: 110/70 mmHg
N: 80 x/menit
RR: 24x/menit
Suhu : 36,8oC (Axilla)
Status Generalis :
Kepala : Mesocepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL
(+/+)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-), konka
hipertrofi (-/-)
Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-), gigi karies (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-) tonsil T1-T1
Telinga : Normotia, deformitas (-), serumen (-/-), sekret (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), struma (-), deviasi trakhea (-)

4
Thorax
Pulmo Dextra Sinistra
Depan
Ins Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Pal Stem fremitus ka = ki Stem fremitus ka = ki
Per Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Aus SD Vesikuler, Ronki (-), Wheezing (-) SD Vesikuler, Ronki (-), Wheezing (-)
Belakang
Ins Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Pal Stem fremitus ka = ki Stem fremitus ka = ki
Per Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Aus SD Vesikuler, Ronki (-), Wheezing (-) SD Vesikuler, Ronki (-), Wheezing (-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V 1-2 cm media linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternal kiri
Batas kanan bawah : ICS V linea sternalis kanan
Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternal kiri
Batas kiri bawah : ICS V 1-2 cm media linea midclavicula
sinistra
Konfigurasi jantung : normal
Auskultasi : BJ I-II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut katak (-), defans muscular (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal, metalic sound (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Pekak sisi (-), pekak alih (-), timpani (+)
Ekstrimitas superior inferior
Oedema -/- -/-

5
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Gerak +/+ Sulit dinilai/+
Kekuatan 5/5 Sulit dinilai/5
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-

Status Lokalis
Regio Cruris Sinistra
 Look : Pemendekan (+), bengkak (+), deformitas (+) angulasi ke lateral, kulit
utuh (tidak terdapat luka robek)
 Feel : Terdapat nyeri tekan (+), pulsasi distal (+), sensibilitas (+)
 Movement : Nyeri gerak aktif (+), nyeri gerak pasif (+), ROM sulit dinilai

DIAGNOSIS SEMENTARA
Fraktur tertutup femur sinistra 1/3 media

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 15 Oktober 2018
Darah rutin Hasil Satuan Nilai normal
Lekosit 17.94 10^3/ ul 4.5 – 13
Eritrosit 4.09 10^6/ uL 3.8 – 5.2
Hb 9.80 g/ dL 12.8 – 16.8
Ht 29.70 % 35 – 47
MCV 72.60 fL 80 – 100
MCH 24.00 Pg 26 – 34
MCHC 33.00 g/dL 32 – 36

6
Trombosit 361 10^3/ ul 154 – 442
RDW 13.60 % 11.5 – 14.5
Diff count
Eosinofil Absolute 0.00 10^3/ ul 0.045 – 0.44
Basofil Absolute 0.00 10^3/ ul 0 – 0.2
Netrofil Absolute 16.48 10^3/ ul 1.8 - 8
Limfosit Absolute 0.61 10^3/ ul 0.9 – 5.2
Monosit Absolute 0.85 10^3/ ul 0.16 – 1
Eosinofil 0.00 % 2–4
Basofil 0.00 % 0–1
Neutrofil 91.90 % 50 – 70
Limfosit 3.40 % 25 – 50
Monosit 4.70 % 1–6
KIMIA KLINIK (Serum)
Ureum 23.0 mg/dL 10.0 – 50.0
Creatinin 0.47 mg/dL 0 – 1.0
Kalium 3.4 mmol/L 3.1 – 5.1
Natrium 139 mmol/L 135 – 145

Pemeriksaan Rontgen Regio Femur Sinistra AP Lateral (Tanggal 15 Oktober 2018)

7
Kesan : Fraktur femur dekstra 1/3 media

DIAGNOSIS KERJA
Fraktur tertutup femur dekstra 1/3 media
PENATALAKSANAAN
Dx : Foto Rontgen femur dextra AP Lateral
Tx : Asam mefenamat 3x500 mg bila perlu
Bila perlu Amoxicillin 3x500 mg
Mx : Keadaan umum, pulsasi distal
Ex : Menjelaskan kepada keluarga penderita bahwa penderita mengalami patah
tulang paha.
Konsul dokter bedah untuk penanganan lebih lanjut.
Menjelaskan pada keluarga penderita bahwa diperlukan tindakan operasi
untuk penanganan lebih lanjut.

8
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

9
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Tulang Femur


Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi yaitu acetabulum
dengan bagian dari femur terdiri dari kepala, leher, bagian terbesar dan kecil,
trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua
kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh
kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan
hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut
usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah
dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari
leher femur.

2.2 Fraktur Femur


2.2.1 Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur
adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai
hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa
berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup

10
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012). Dari
beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
maupun trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak.
2.2.2 Etiologi
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena;
jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya;
penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur akibat peristiwa trauma tunggal
Kekuatan dapat berupa :
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur
melintang
3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang
terpisah
4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang
sampai terpisah
Tekanan yang berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang – ulang.

11
Kelemahan abnormal pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget)
2.2.3 Klasifikasi Fraktur Femur
Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak
garis fraktur seperti dibawah ini:
a. Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko
nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik.
Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan
fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang
sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
b. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur
satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2
inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari
batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi
terbuka dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi
tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam
tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.
c. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara
klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan
berupa debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun
ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa
pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

12
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya
rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan
menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan
spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur
terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw.
e. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke
atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6
minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika
sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila
konservatif gagal.
2.2.4 Proses Penyembuhan Fraktur
Fraktur akan menyatu baik dibebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami
untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan
terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar
fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan
nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk
melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare,
2002). Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan
lima tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel

13
jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001).
b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2 minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang
tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang
menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah
tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
c) Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang
dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup
osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang
tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara
tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat
fraktur semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu
(Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d) Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas
yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara
bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah
tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001;
Smeltzer & Bare, 2002).
e) Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk

14
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur,
dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang
normal (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
f) Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh
bentuk yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat
dkk, 2011; Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.5 Gambaran Klinik
Riwayat
Biasanya terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan
menggunakan tungkai yang mengalami cedera, fraktur tidak selalu dari
tempat yang cedera suatu pukulan dapat menyebebkan fraktur pada kondilus
femur, batang femur, pattela, ataupun acetabulum. Umur pasien dan
mekanisme cedera itu penting, kalau fraktur terjadi akibat cedera yang ringan
curigailah lesi patologik nyeri, memar dan pembengkakan adalah gejala yang
sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera
jaringan lunak, deformitas jauh lebih mendukung.
Tanda – tanda lokal
a) Look: Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
pegfnting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
b) Feel: Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian
distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi.
Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan

15
c) Movement: Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi –
sendi dibagian distal cedera.
2.2.6 Terdapat tanda klinis yang menunjang adanya fraktur
Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan dengan sinar x harus dilakukan dengan
2 proyeksi yaitu anterior posterior dan lateral, kekuatan yang hebat sering
menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur
pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar – x pada pelvis dan
tulang belakang
2.2.7 Komplikasi Fraktur Femur
Early:
1. Lokal
Vaskuler: sindrom kompartemen
Trauma vaskuler
Neurologis: lesi medulla spinalis atau saraf perifer
2. Sistemik: emboli lemak
3. Crush syndrome
4. Emboli paru dan emboli lemak

Late:
1. Malunion
Bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal (angulasi,
perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal
2. Delayed union
Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari normal
3. Nonunion
Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih,
dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas

16
permanen jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari
fraktur femur yaitu:
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra
karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008).
b) Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel atau cedera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30
tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia
(Suratun, dkk, 2008).
c) Sindrom kompartemen (Volkmann’s Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot

17
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai
dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang
hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota
gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah
tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010).
d) Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering
dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os.
Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
e) Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-
sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,
dkk, 2008).
2.2.6 Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus
selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan
imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara
manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada
fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).

18
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum
femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah
tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum
femur (Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan
untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi
luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat
(termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu
berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap
luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun
jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan
cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan
hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi
(Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen
di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di
reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung
terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang
buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur
multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur
pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri)

19
(Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-
Brown, 2006).
b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen.
Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi
yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot
dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin (Nayagam, 2010).
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang
cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti
sebelum mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010).

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Thompson, Jon. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy Third Edition.2010.


Elsevier
2. Egol, Kenneth. Handbook of Fractures Fifth Edition. 2015.Wolter Kluwer
3. Sjamsuhidayat, R dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. EGC:
Jakarta
4. Rasjad C. Trauma Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang
Lamumpatue; 2006. h.343-536.

21

Anda mungkin juga menyukai