Anda di halaman 1dari 180

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN

MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN


LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN
TAHUN 2013

TESIS

Oleh

IRIANTI
117032076/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN
MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN
TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Megister Kesehatan (M.Kes)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRIANTI
117032076

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA
POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN
ASAHAN TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Irianti
Nomor Induk Mahasiswa : 117032076
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (Ir. Evi Naria, M.Kes)
Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

Tanggal Lulus : 31 Juli 2013

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji
Pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H


Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes
2. Ir. Indra Cahaya, M.Si
3. Drs. Jemadi, M.Kes

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN


MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN
TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam pustaka.

Medan, Agustus 2013

Irianti
117032076/IKM

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis


nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai
penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko
tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan
kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten
Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka
Mf rate 0,17% dan 0,67%.
Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional
desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang
kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan
kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat
menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik
berganda.
Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan
rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah,
keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari
dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat
menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah,
keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan
kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.
Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat
pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan
menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak
disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.

Kata Kunci : Mikrofilaria Positif dan Filariasis, Lingkungan

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various


kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its
distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people
are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were
11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu
Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the
Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.
The purpose of this analytical observational study with case-control design
was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae
positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and
56 persons for control group. The data for this study were obtained through
interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data
obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-
square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.
The result of bivariate analysis showed that the variables with significant
influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of
swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction,
the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and
the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis
showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling
construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night,
and the habit of using mosquito nets while sleeping.
The existence of plants around the house was the factor with the strongest
influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu
Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use
mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the
house, as well as the need for education about filariasis.

Keywords: Microfilariae Positive, Filariasis, Environment

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Faktor

Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di

Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/Epidemiologi.

Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan,

bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis

yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

5. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah

banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

6. Ir. Indra Cahaya, M.Si selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan

masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

7. Drs. Jemadi, M.Kes selaku Anggota Penguji yang telah banyak memberikan

masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

8. Hasnan Hajar, S.K.M, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu

Selatan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

9. dr. Herwanto, Sp. B., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan yang

telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten

Asahan.

10. Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah, selaku orang tua yang telah

banyak memberikan bantuan, motivasi, dan doa selama penulis menyelesaikan

pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.

11. Suamiku tercinta Edy Rahman Syahputra, S.E dan putriku Asyla Nazhira Nuha,

serta Anakku Desy Arnita, S.Pd yang telah banyak berkorban selama penulis

menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.

Universitas Sumatera Utara


12. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

13. Keluarga Besar Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan

terima kasih semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari

sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat

bermanfaat.

Medan, Agustus 2013


Penulis

Irianti
117032076/IKM

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Irianti, lahir pada tanggal 12 Februari 1981 di Kisaran, anak ke tujuh dari

tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar

Negeri No. 014697 Kisaran, selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 1 Air Joman Kisaran, selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMA

Negeri 2 Kisaran, selesai tahun 2000, dan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2004.

Penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2005

sampai 2008, bekerja di Dinas Kesehatan Kota Langsa pada tahun 2009, dan bekerja

di Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan pada tahun 2010 sampai sekarang.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Permasalahan ................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
1.4 Hipotesis .......................................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10


2.1 Filariasis ........................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian Filariasis ............................................................. 10
2.1.2 Gejala Klinis ........................................................................ 11
2.1.2.1 Gejala Akut .............................................................. 11
2.1.2.2 Gejala Kronis ........................................................... 11
2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema ........................................... 13
2.1.4 Diagnosis.............................................................................. 14
2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi ............................................. 14
2.1.4.2 Diagnosis Radiodiagnosis ........................................ 15
2.1.4.3 Diagnosis Imunologi ................................................ 15
2.1.5 Patogenesis .......................................................................... 15
2.1.6 Epidemiologi Filariasis ........................................................ 17
2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang ......................................... 17
2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat ....................................... 18
2.1.6.3 Distribusi Menurut waktu ......................................... 19
2.1.6.4 Determinan Filariasis ................................................ 19
2.1.7 Penetapan Endemisitas ........................................................ 30
2.1.8 Rantai Penularan .................................................................. 31
2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis ...................................... 36
2.1.9.1 Siklus Hidup Nyamuk ............................................... 36
2.1.9.2 Tempat Berkembang Biak ........................................ 39

Universitas Sumatera Utara


2.1.9.3 Kebiasaan Menggigit ................................................ 40
2.1.9.4 Kebiasaan Beristirahat .............................................. 41
2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis ............................. 41
2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor ................... 41
2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat ......................................... 43
2.1.10.3 Pengobatan Massal ................................................ 43
2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual) ................... 43
2.2 Landasan Teori ................................................................................ 45
2.3 Kerangka Konsep............................................................................. 47

BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................... 48


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 48
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 48
3.2.1 Lokasi Penelitian.................................................................. 48
3.2.2 Waktu Penelitian .................................................................. 48
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................ 49
3.3.1 Populasi ................................................................................ 49
3.3.2 Sampel.................................................................................. 49
3.4 Metode Pengumpulan Data.............................................................. 51
3.4.1 Jenis Data ............................................................................. 51
3.4.2 Pengumpulan Data ............................................................... 52
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ................................................ 52
3.5 Variabel dan Definisi Operasional................................................... 54
3.6 Metode Pengukuran ......................................................................... 57
3.7 Metode Analisis Data ...................................................................... 60
3.7.1 Analisis Univariat ................................................................ 60
3.7.2 Analisis Bivariat................................................................... 60
3.7.3 Analisis Multivariat ............................................................. 61

BAB 4. HASIL PENELITIAN ......................................................................... 62


4.1 Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu Selatan........................ 62
4.2 Gambaran Umum Kabupaten Asahan ............................................. 64
4.3 Analisis Univariat ............................................................................ 67
4.4 Analisis Bivariat .............................................................................. 76
4.4.1 Faktor Lingkungan Fisik ...................................................... 76
4.4.2 Faktor Lingkungan Biologis ................................................ 78
4.4.3 Faktor Lingkungan Sosial .................................................... 79
4.4 Analisis Multivariat ......................................................................... 81

BAB 5. PEMBAHASAN ................................................................................... 86


5.1 Pengaruh Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif
dan Filariasis .................................................................................... 86

Universitas Sumatera Utara


5.2.1 Pengaruh Keberadaan Rawa-Rawa terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis ........................................... 86
5.2.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis ........................................... 88
5.2.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis ........................................... 89
5.2.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis ........................................... 90
5.2.5 Pengaruh Keberadaan Kawat Kassa pada Ventilasi Rumah
terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ............. 91
5.2.6 Pengaruh Konstruksi Plafon terhadap Kejadian Mikrofilaria
Positif dan Filariasis ................................................................ 92
5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis .................................................... 93
5.2.1 Pengaruh Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ........................ 93
5.2.2 Pengaruh Keberadaan Keberadaan Hewan Peliharaan
di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif
dan Filariasis ......................................................................... 95
5.3 Pengaruh Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis .................................................... 96
5.3.1 Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Mikrofilaria
Positif dan Filariasis............................................................. 96
5.3.2 Pengaruh Kebiasaan Keluar pada Malam Hari terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ......................... 97
5.3.3 Pengaruh Kebiasaan memakai Kelambu Sewaktu Tidur
terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis .......... 99
5.3.4 Pengaruh Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk
Sebelum Tidur terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif
dan Filariasis ......................................................................... 100
5.4 Faktor Paling Dominan .................................................................... 100
5.5 Keterbatasan Penelitian ................................................................... 103

BAB 6. KESIMPULAN .................................................................................... 105


6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 105
6.2 Saran ................................................................................................ 105

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 107

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Stadium Limfedema .......................................................................... 14

2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah


dengan Pewarnaan Giemsa ................................................................ 22

3.1 Rekapitulasi Nilai OR dari Penelitian Terdahulu .............................. 50

3.2 Hasil Uji Validitas ............................................................................. 53

3.3 Hasil Uji Reliabilitas ......................................................................... 54

3.4 Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur ........................... 57

4.1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk di


Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 ................................... 63

4.2 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan


Swasta di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 .................. 64

4.3. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten


Asahan Tahun 2011 ............................................................................ 66

4.4 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan


Swasta di Kabupaten Asahan Tahun 2011 ........................................ 67

4.5 Distribusi Frekuensi Kasus Mikrofilaria Positif dan Filariasis di


Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2012 ........................................................................................ 67

4.6 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Karakteristik Umur,


Jenis Kelamin dan Pendidikan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan
dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 .................................................. 68

4.7 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Fisik


di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013 ........................................................................................ 70

Universitas Sumatera Utara


4.8 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan
Biologis di Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013 ........................................................................................ 73

4.9 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Sosial


di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013 ........................................................................................ 74

4.10 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian


Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ..................................... 76

4.11 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian


Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ..................................... 78

4.12 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian


Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ..................................... 80

4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Konstruksi


Plafon, Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah, Kebiasaan Keluar
pada Malam Hari dan Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ............... 83

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis...................................................... 33

2.2 Nyamuk Mansonis spp ........................................................................ 38

2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi ............................................... 45

2.4 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 47

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ........................................ 112

2 Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi...................................... 113

3 Jadwal Penelitian ................................................................................ 118

4 Master Data ........................................................................................ 119

5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .................................................... 123

6 Hasil Analisis Univariat ..................................................................... 126

7 Hasil Analisis Bivariat ........................................................................ 127

8 Hasil Analisis Multivariat................................................................... 142

9 Hasil Uji Normalitas ........................................................................... 151

10 Peta Wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan .................................. 152

11 Peta wilayah kabupaten Asahan ......................................................... 153

12 Dokumentasi Penelitian ...................................................................... 154

13 Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ......... 160

14 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten


Labuhanbatu Selatan........................................................................... 162

15 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan ......... 163

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis


nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai
penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko
tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan
kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten
Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka
Mf rate 0,17% dan 0,67%.
Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional
desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang
kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan
kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat
menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik
berganda.
Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan
rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah,
keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari
dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat
menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah,
keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan
kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.
Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat
pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan
menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak
disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.

Kata Kunci : Mikrofilaria Positif dan Filariasis, Lingkungan

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various


kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its
distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people
are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were
11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu
Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the
Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.
The purpose of this analytical observational study with case-control design
was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae
positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and
56 persons for control group. The data for this study were obtained through
interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data
obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-
square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.
The result of bivariate analysis showed that the variables with significant
influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of
swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction,
the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and
the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis
showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling
construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night,
and the habit of using mosquito nets while sleeping.
The existence of plants around the house was the factor with the strongest
influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu
Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use
mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the
house, as well as the need for education about filariasis.

Keywords: Microfilariae Positive, Filariasis, Environment

Universitas Sumatera Utara


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit

kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

disebabkan infeksi cacing filaria (Kemenkes RI, 2010a). Filariasis merupakan

penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang hidup didalam sistem limfe dan

ditularkan dengan perantara nyamuk (Soeyoko, 2002).

Menurut WHO dalam Soeyoko (2002) filariasis limfatik dikategorikan dalam

enam penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan

dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra.

Filariasis limfatik tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim

tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis seperti Afrika, India,

Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan

yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap. Meskipun filariasis tidak

menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya

kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini dikarenakan bila

terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja

secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat

dan negara (Depkes RI, 2009a). Hasil estimasi Kementerian Kesehatan tahun 2010

Universitas Sumatera Utara


menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 trilyun

rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis (Kemenkes RI, 2010a).

Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular

filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39

dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun

2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang

berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir,

Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat

pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko

filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang

menerima perawatan (WHO, 2010).

Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara

diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO dalam

Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah menginfeksi lebih

dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat

di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis

filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia dengan jumlah

penduduk terbanyak dan wilayah yang luas memiliki masalah filariasis yang

kompleks. Di Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria (Wucheraria bancrofti, Brugia

malayi dan Brugia timori) dapat ditemukan (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b).

Universitas Sumatera Utara


Filariasis termasuk salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pedesaan (Soeyoko dkk,

2008). Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama

wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000

hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar

di 401 Kabupaten/kota dan diestimasikan prevalensi Microfilaria rate (Mf rate)

sebesar 19% (Kemenkes RI, 2010a).

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40% dengan endemisitas

setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas

dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei

tersebut hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis sebesar 67% (335

dari 495 kabupaten/kota), sebesar 0,6% (3 kabupaten/kota) tidak endemis filariasis,

dan 157 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada

tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan

survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi

71,9% (356 dari 495 kabupaten/kota) sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak

endemis filariasis (Kemenkes RI, 2010b). Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset

Kesehatan Dasar) tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) persentase kejadian

filariasis sebesar 0,04%, yaitu dalam kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 424

responden menjawab pernah menderita filariasis. Di Kabupaten Kepulauan Yapen

Propinsi Papua berdasarkan survei mikrofilaria pada Bulan Januari tahun 2010 Mf

Universitas Sumatera Utara


rate sebesar 2,06% (Sulistiyani dkk, 2012). Di Kabupaten Bonebolango Propinsi

Gorontalo di dapatkkan 105 positif mikrofilaria (Mf rate=34,4%) dari 326 sediaan

darah jari yang diperiksa (Soeyoko dkk, 2008). Di Kelurahan Simbang Kulon

Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan mendapatkan 9 slide positif dari 230 slide

yang diperiksa dengan angka Mf rate 3,91% (Wijayanti, 2009).

Di Propinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2012 telah dilaporkan

sebanyak 70 kasus filariasis klinis. Kasus filariasis ini tersebar di 7 kabupaten/kota

dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Kota Binjai (1 kasus), Kota

Gunung Sitoli (3 kasus), Kabupaten Asahan (28 kasus), Kabupaten Labuhan Batu

Selatan (28 kasus), Kabupaten Mandailing Natal (9 kasus), dan Kabupaten Nias

Selatan dan Samosir (masing-masing 1 kasus). Berdasarkan survei darah jari yang

dilakukan BTKLPP (Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit)

Kelas I Medan tahun 2012 di 16 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara,

diperoleh angka Mf rate 0,07% yaitu ditemukan 5 sediaan positif mikrofilaria dari

7.200 sediaan yang diperiksa, yang tersebar di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (1

orang dengan Mf rate 0,17%), di Kabupaten Asahan (2 orang dengan Mf rate 0,67%)

dan di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (2 orang dengan Mf rate 0,33%).

Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun

dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Menurut WHO dalam

Soeyoko (2002) filariasis banyak diderita pada usia produkif (15-44 tahun), laki- laki

lebih banyak terinfeksi dari pada perempuan. Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam

Universitas Sumatera Utara


Mardiana dkk (2011) menyatakan pada kelompok umur berisiko (< 21 tahun dan > 35

tahun) yang pernah terkena filariasis sebesar 0,046%, sedangkan kelompok umur

tidak beresiko (21-35 tahun) sebesar 0,043%, dan pada laki-laki terkena filariasis

sebesar 0,05% dan perempuan 0,04%. Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di

Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara

jenis kelamin dengan kejadian filariasis.

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata

rantai penularannya baik secara langsung maupun tidak langsung, karena faktor

lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoir dan

vektor, sehingga sangat penting untuk mengetahui epidemiologis filariasis. Jenis

filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat faktor

lingkungannya, seperti lingkungan fisik, lingkungan biologik dan sosial budaya.

(Sutanto et al. dalam Karwiti, 2011).

Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis,

beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah

maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah, keberadaan kawat kassa,

dan barang-barang bergantung memiliki hubungan bermakna dengan kejadian

filariasis di Kelurahan Jatisempurna (Juriastuti dkk, 2010). Karwiti (2011) di

Kabupaten Banyuasin menemukan bahwa responden yang tinggal di dalam rumah

dengan kondisi fisik rumah tidak memenuhi syarat (dinding rumah banyak lubang-

lubang) mempunyai risiko 81,01 kali lebih besar terinfeksi filariasis, responden yang

Universitas Sumatera Utara


tinggal di rumah dekat dengan breeding habitat vektor nyamuk Mansonia spp yang

ditumbuhi tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi

filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada waktu

tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia

malayi. Penelitian Mulyono dkk (2008) di Kabupaten Pekalongan menyatakan ada

lima variabel sebagai faktor risiko kejadian filariasis, yaitu adanya genangan air,

adanya persawahan, tidak adanya hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan

kelambu, dan kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk. Hasil Riskesdas tahun

2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan orang yang tinggal dengan rumah

tangga yang saluran air limbahnya terbuka, memiliki probabilitas lebih besar yaitu

2,56 kali terjadinya filariasis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah

tangga yang saluran air limbahnya tertutup.

Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk

dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun 1999, pada tahun 2000 diperkuat

dengan keputusan WHO mendeklarasiakan “The Global Goal of Elimination of

Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”, Indonesia

sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.

Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan

penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7

tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–

2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi

Universitas Sumatera Utara


masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan

khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate)

menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi

kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010a).

Di Propinsi Sumatera Utara saat ini upaya pengendalian filariasis pada tahap

penemuan kasus melalui pelacakan kasus dan survei darah jari. Pengobatan massal

sudah dilaksanakan di 6 kabupaten/kota pada lima tahun lalu. Karakteristik geografis

Propinsi Sumatera Utara secara umum beriklim tropis dengan curah hujan tinggi

800-4000 mm/tahun, kelembaban rata-rata 78%-91%, penyinaran matahari 43%,

topografi terdiri dari dataran pantai, dataran rendah/rawa, dan dataran tinggi serta

pegunungan. Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan rata-rata curah hujan 3470,04

mm/tahun, suhu tahunan adalah 30ºC dengan topografi daerah dataran rendah/rawa,

bukit-bukit bergelombang sampai dengan dataran tinggi, dan di Kabupaten Asahan

rata-rata curah hujan 2150 mm/tahun dengan topografi dataran pantai dan dataran

rawa. Dataran rendah/rawa dan dataran pantai merupakan daerah baik bagi

perkembangbiakan vektor nyamuk. Curah hujan dan kelembaban nisbi yang tinggi

berpengaruh terhadap penambahan tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding

places) sehingga menjadi faktor risiko bagi terjadinya kasus filariasis.

Universitas Sumatera Utara


1.2 Permasalahan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan merupakan

kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dengan prevalensi kasus filariasis tertinggi

dengan angka Mf rate masing-masing 0,17% dan 0,67%. Berdasarkan survei

pendahuluan yang telah dilakukan, kejadian filariasis di dua kabupaten tersebut

berkaitan dengan kondisi fisik rumah dan lingkungan luar rumah yang sangat

potensial untuk perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor filariasis, serta kebiasaan

yang berisiko untuk terjadinya penularan filariasis.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis.

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ada pengaruh faktor lingkungan fisik (keberadaan rawa-rawa, keberadaan

persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban dalam rumah, keberadaan kawat

kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah) terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis.

2. Ada pengaruh faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman di sekitar

rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah) terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis.

Universitas Sumatera Utara


3. Ada pengaruh faktor lingkungan sosial (pekerjaan, kebiasaan keluar pada

malam hari, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai obat anti

nyamuk) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan

dan Kabupaten Asahan dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi

yang efesien dan komprehensif dalam pelaksanaan pencegahan dan

pengendalian mikrofilaria positif dan filariasis, sehingga mendukung

pencapaian program eliminasi filariasis.

2. Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi bagi

masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif

dan filariasis.

3. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan keilmuan.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis

2.1.1 Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing

tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan

pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar

dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan

ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul

berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan

jaringan parut (Depkes RI, 2009c).

2.1.2 Gejala Klinis Filariasis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya

gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia

malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan

lebih berat pada infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria

bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi

infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada

saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009d).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2.1 Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang

disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan

kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah

lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan

Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga

dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria

brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis

(epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d).

2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis

A. Limfedema

Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki,

seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi

Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku

dan lutut masih normal.

B. Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang

pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe

mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko

tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan

Universitas Sumatera Utara


dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang

normal kadang-kadang sangat besar.

C. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di

ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti,

sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul

adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan

kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh,

kehilangan berat badan.

D. Hidrokel

Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya

cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua

kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :

1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,

sehingga penis tertarik dan tersembunyi .

2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu

komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele).

Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan

komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan

oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih.

Universitas Sumatera Utara


4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat

digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI,

2009d).

2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan

tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul

(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas

kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,

lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah)

dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.

4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.

5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan

penatalaksanaan kasus.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Stadium Limfedema

Gejala Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium


1 2 3 4 5 6 7

1 Bengkak Menghilang Menetap Menetap Menetap Menetap, Menetap, Menetap,


. di kaki waktu bangun meluas meluas meluas
tidur pagi
2 Lipatan Tidak ada Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, Dangkal, Dangkal,
. kulit kadang dalam dalam
dangkal
3 Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang- Kadang- Kadang-
. kadang kadang kadang
4 Mossy Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-
. lesions*) kadang
Hambatan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ya
berat
*) Gambaran seperti lumut
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009)

2.1.4 Diagnosis

Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat

digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi

diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi

FKUI, 2008) :

2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel

atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi

Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat

dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi

biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit

dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/PCR).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4.2 Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah

bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.

Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria

bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin

yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem

limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

2.1.4.3 Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang

menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen

Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan

antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4

pada filariasis brugia.

2.1.5 Patogenesis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu

terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang

masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara

umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.

Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama

dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran

limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis

Universitas Sumatera Utara


tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe

menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi),

sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d):

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan

hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan

edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit

terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun

besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe

ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel

Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat

menimbulkan peradangan akut (acute attack).

3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga

bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute

attack).

4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute

attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama

dengan bakteri, yaitu :

(1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe.

(2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

Universitas Sumatera Utara


(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.

(4) Abses

(5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat

kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.

b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah

dan lain-lainnya.

5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di

kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari

kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur

akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi,

hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue

formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana

pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi

pembengkakan menetap (non pitting).

2.1.6 Epidemiologi Filariasis

2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person)

Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun

dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997,

diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia

dibawah 15 tahun (Chairufatah, 2009). Penelitian Juriastuti dkk (2010) di Kelurahan

Universitas Sumatera Utara


Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin laki-

laki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak

berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango

ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan

petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan

berpenghasilan rendah 80%).

2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,

terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara

umum, filariasis Wuchereria bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan

masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria

bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi,

Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di

kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah

persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan

jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),

Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan

kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara

(30 orang) (Kemenkes RI, 2010b). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk

Universitas Sumatera Utara


(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan

tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko

terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan

dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan.

2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time)

Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun

jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di

beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007

kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699

kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah

penduduk) (Kemenkes RI, 2010b).

2.1.6.4 Determinan Filariasis

A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis)

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai

periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu

tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya

mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada

siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal

(Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara


Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a),

yaitu :

1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang,

Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk

Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.

2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan

Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui

berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya

adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih

banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp

yang ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia malayi tipe non periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk

penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di

hutan rimba.

Universitas Sumatera Utara


6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah

Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara

Timur, Maluku Tenggara.

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup

parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut

makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut

mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a).

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang

berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat

ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan

mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan

ujung ekor melingkar.

b. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak

cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan

mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat

dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan

giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah
dengan Pewarnaan Giemsa

No Karakteristik Wuchereria Brugia Brugia


bancrofti malayi timori

1. Gambaran umum dalam Melengkung Melengkung Melengkung


sediaan darah mulus kaku dan patah kaku dan patah
2. Perbandingan lebar dan 1:1 1:2 1:3
panjang ruang kepala
3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
4. Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325
5. Inti badan Halus, tersusun Kasar, Kasar,
rapi berkelompok berkelompok
6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke Ujung agak Ujung agak
arah ujung tumpul tumpul

Sumber : Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009)

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung

mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan

melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak

menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria

mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti

sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.

Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva

preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau

memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10

pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh

menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium

Universitas Sumatera Utara


3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini

merupakan cacing infektif.

B. Faktor Host

1) Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang

dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif

(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a).

2) Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada

laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena

umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya

(Depkes RI, 2009a).

3) Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas

dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis

biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis (Depkes

RI, 2009a). Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila

terkena infeksi umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya

lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat,

asimtomatik terutama terjadi pada pendudk asli (Soeyoko, 2002).

Universitas Sumatera Utara


4) Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko

terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang

dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun

pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan

tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009a).

C. Faktor Environment (Lingkungan)

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata

rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan

fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI,

2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga

komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial.

C.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah

hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a).

Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti

air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik

erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya

sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-

tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara


(1) Suhu Udara

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.

Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya

bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi

populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan

nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC

dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012).

(2) Kelembaban Udara

Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan

nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah

memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka

paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India.

Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti

dkk, 2010).

(3) Curah Hujan

Curah hujan dapat menambah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places)

atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu

menghambat perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya

(Anshari, 2004). Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus

dengan peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al dalam Suwito dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara


(4) Air

Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada

perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan

berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus

dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk

Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene

globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat

berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri,

2012).

(5) Angin

Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14

m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan

arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan

nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini

(genus Culex, Aedes, dan Mansonia) biasanya pendek (Nasrin, 2008). Pada

umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350- 550 meter, misalnya Anopheles

sinensis jarak terbangnya mencapai 200 sampai 800 meter, Anopheles

barbirostris mencapai 200 sampai 300 meter, tapi dari hasil beberapa penelitian

ada nyamuk yang bisa mencapai 1 – 2 km (Kelvey et al dalam Munif, 2009).

Universitas Sumatera Utara


(6) Sinar Matahari

Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya

di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di

bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar

matahari (Boesri, 2012).

(7) Rumah

Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang

berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela,

ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan

kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya

terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding

berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari,

2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya

konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu

timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010).

C.2 Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis dapat menjadi rantai penularan filariasis. Menurut

Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya

tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang

dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes

intermediat. Contoh lingkungan biologi adalah adanya tanaman air sebagai tempat

Universitas Sumatera Utara


pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam

Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau

rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan

Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis

tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat

menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk

hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga

dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004).

Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih

cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan

beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan

Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia

uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk

Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah

menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan

telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa

rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al

dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar

tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis.

Felis catus (kucing) merupakan salah satu dari hewan reservoir dari filariasis

yang disebabkan oleh Brugia malayi tipe non-periodik nokturna yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara


intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko

dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan

kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur

bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan

betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara

ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah

karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia

sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut

(Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk,

hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu

upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak

dari rumah.

C.3 Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan,

agama, sikap, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial

dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau

kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena

berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih

tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih

sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian

Riftiana dan Soeyoko (2010) menyatakan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan

Universitas Sumatera Utara


selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan

akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada

orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang

biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis

dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I: 1,40-

8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor

yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60).

2.1.7 Penetapan Endemisitas

Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan

endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu

populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada

suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan

intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam

darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate

bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif

mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria


Mf Rate = x 100%
Jumlah sediaan darah diperiksa

Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota

tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan

pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1% pada semua lokasi survei, maka

Universitas Sumatera Utara


kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan

pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif

mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b).

2.1.8 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :

1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang

mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh

nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat

mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap

yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua

orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan

gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala

klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya

(Depkes, 2009a).

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis

(hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di

Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang

ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan

kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara


2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.

Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5

genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi

vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor

Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor

Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor

Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris

merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat

menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles

barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di

Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara

filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies

Mansonia uniformis (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara


3) Manusia yang rentan terhadap filariasis.

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)

Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan

nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =

L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari

probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk

menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan

bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan

demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan

filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara


dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut

mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa

dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti

memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup

selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya

penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk

mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga

sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat

mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat

memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap

penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,

sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya

untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa

inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia

malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh

terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria

hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif

mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari.

Universitas Sumatera Utara


Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan

terjadi siang dan malam hari.

Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis

filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya

penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).

Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis

filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang

dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva

cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan

apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap

nyamuk terlalu banyak maka nyamuk akan mati dan apabila jumlah parasit sedikit

maka hanya sebagian kecil yang terisap oleh nyamuk. Menurut Atmosoedjono et al.,

(1977) agar terjadi penularan yang optimal kepadatan mikrofilaria didalam darah

penderita 1-3 mf/ul darah. Sementara penularan filariasis dari nyamuk ke manusia

sangat berbeda dengan penularan yang terjadi pada malaria dan demam berdarah.

Menurut Depkes RI (2009) seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut

mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang untuk

infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil

(Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus

mikrofilaria positif dan filariasis tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup

panjang (> 10 tahun), karena berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi

Universitas Sumatera Utara


lingkungan yang potensial bagi perkembangan vektor filariasis, kebiasaan berisiko

yang dapat menimbulkan kerentanan, perjalanan penyakit, siklus hidup parasit dan

vektor itu sendiri.

2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis

2.1.9.1 Siklus Hidup Nyamuk

Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadia dengan 3 stadia berkembang di

dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas (Nurmaini, 2003):

1) Nyamuk Dewasa

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar

terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan

tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari

kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung

mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya

sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara

lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk ( Nurmaini, 2003).

Kettle dalam Boesri (2012) menyatakan bahwa perkembangan telur nyamuk

Mansonia uniformis sampai dewasa (imago) pada lingkungan temperature 26º-

30ºC memerlukan waktu antara 25 sampai 40 hari, sama pada nyamuk Mansonia

Africana.

Universitas Sumatera Utara


2) Telur Nyamuk

Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang

keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari

nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya :

-Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air,

dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga (Nurmaini, 2003).

Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok

pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa

yang banyak tumbuhan air (Boesri, 2012).

-Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air satu persatu atau

rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini,

2003).

-Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan

dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung (Nurmaini, 2003).

-Nyamuk Aedes meletakkan telur dan menempel pada yang terapung diatas air

atau menempel pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas

permukaan air dan tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu 1 -2 hari

(Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara


3) Jentik nyamuk

Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulu-

bulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik

dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator (Nurmaini,

2003). Horsfall dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia uniformis dapat hidup

terbenam dalam suatu massa ikatan sebagai sampah di sekitar sistem perakaran

tumbuhan air, akan memakan segala macam partikel organik yang ada

disekitarnya, akan tetapi larva ini pula dapat menjadi mangsa binatang

kecil/protozoa lainnya yang menjadi musuhnya.

4) Kepompong

Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium

ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang,

stadium kepompong memakan waktu lebih kurang 1 -2 hari (Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp

Sumber : http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/mosquitophotos
_conquillettidia_mansonia.htm.

2.1.9.2 Tempat Berkembangbiak (Breeding Places)

Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat

yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan

umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places).

Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia

senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman

airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis

digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana

tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah

tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis

dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan

tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia

annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman

Universitas Sumatera Utara


tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk

seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau

sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat

menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut

mempunyai kedalaman 15-100 cm (Wharton dalam Boesri, 2012). Culex dapat

berkembang di sembarangan tempat air, sedangkan Aedes hanya dapat

berkembangbiak di air yang cukup bersih dan tidak beralaskan tanah langsung

(Nurmaini, 2003).

2.1.9.3 Kebiasaan Menggigit

Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda –beda,

nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan

aktif pada malam hari (Wharton dalam Boesri, 2012). Aktifitas Mansonia uniformis

menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian

menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00

intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada

pukul 21,00 sampai pukul 22.00 (Ambarita dan Hotnida, 2004). Nyamuk yang aktif

pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex , sedangkan nyamuk yang

aktif pada siang hari menggigit yaitu Aedes. Khusus untuk Anopheles, nyamuk ini

bila menggigit mempunyai perilaku bila siap menggigit langsung keluar rumah. Pada

umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina (Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.1.9.4 Kebiasaan Beistirahat (Resting Places)

Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut

akan beristirahat selama 2 -3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan

diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain

merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat (Nurmaini, 2003).

Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia

menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan

populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah

sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian

di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap

darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3

- 4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 – 3,8 hari untuk Mansonia indiana.

Wharton dalam Boesri (2012) juga telah menemukan banyak nyamuk Mansonia

uniformis di celah-celah batu dibawah rumput-rumputan.

2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis

2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor

Prinsip utama agar terhindar atau mencegah infeksi mikrofilaria positif dan

filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha

seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor menggunakan spraying dan

antimosquito fumigants. Pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian

dengan cara: 1) reduction of vector breeding habitats dengan perbaikan keadaan

Universitas Sumatera Utara


lingkungan; dan 2) reductionvector densities dengan pengendalian kimiawi

(insektisida) maupun biologis (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).

Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan

lingkungan sebagai berikut : 1) memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan

maksud mengurangi penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container

breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawa-

rawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp ; dan 4)

meningkatkan penggunaan polystylene balls sebagai usaha membunuh/mencegah

perkembangan larva menjadi pupa terutama nyamuk Culex quenquefasciatus. Usaha

pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas ternyata dapat menurunkan

angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).

Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor ada

beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan

mekanis (modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemasangan

kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain),

metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik (predator pemakan jentik,

manipulasi gen), metode pengendalian secara kimia (kelambu berinsektisida,

larvasida, fogging, penggunaan repelen, penggunaan obat anti nyamuk, dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara


2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat

Warga masyarakat diharapkan bersedia datang dan mau diperiksa darahnya

pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah (survei darah jari),

bersedia minum obat secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan

petugas, memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan bila menemukan

penderita filariasis, dan bersedia bergotong royong membersihkan sarang nyamuk

atau tempat perkembangbiakan nyamuk (Widoyono, 2011).

2.1.10.3 Pengobatan Massal

Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah

dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada

dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai

penularannya. Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6

mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali

setahun selama minimal 5 tahun (Depkes, 2009d).

2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual)

Pada semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis

diberikan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg

dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat

badan. Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala

klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus

Universitas Sumatera Utara


diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti obat

demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder :

• Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya

diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan

Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut.

• Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x

100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah pembersihan dan

perawatan diri (Depkes RI, 2009d).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Landasan Teori

Fenomena Gordon merupakan konsep yang menjelaskan timbulnya penyakit

secara epidemiologi berdasarkan teori lingkungan (ekologi). Fenomena Gordon

menyatakan bahwa suatu penyakit timbul karena adanya gangguan terhadap

keseimbangan Host-Agent-Environmnet (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Teori segitiga

epidemiologi juga menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit yaitu

pejamu (host), agen (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan pada satu

komponen akan mengubah keseimbangan tiga komponen lainnya (Murti, 2003).

Demikian halnya dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis klinis yang terjadi

akibat perubahan komponen lingkungan sehingga mempengaruhi pejamu.

AGEN

VEKTOR

PEJAMU LINGKUNGAN

Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi

Sumber : CDC, 2002; Gordis, 2000; Gerstman, 1998; Maurner dan Kramer, 1985
dalam Murti (2003)

Universitas Sumatera Utara


Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis

dan pemahaman masing-masing komponen. Komponen untuk terjadinya mikrofilaria

positif dan filariasis yaitu :

(1) Agen

Agen penyebab dari mikrofilaria positif dan filariasis adalah cacing filaria

yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori baik dalam bentuk

makrofilaria (cacing dewasa), mikrofilaria dan larva infektif (L3). Di Sumatera Utara,

filariasis disebabakan oleh Brugia malayi.

(2) Pejamu

Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Di

Indonesia semua spesies cacing filaria dapat menginfeksi manusia, hanya Brugia

malayi sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung, kera dan

kucing.

(3) Lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari

agen maupun pejamu, tetapi mampu menginteraksikan agen- pejamu. Berbagai faktor

lingkungan yang dapat berperan dalam kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

antara lain suhu, kelembaban, perumahan, air, adanya hewan reservoir, tanaman air,

dan kebiasaan.

Universitas Sumatera Utara


(4) Vektor

Telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia,

Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis di Indonesia.

Di Sumatera Utara yang menjadi vektor utama filariasis adalah nyamuk Mansonia

uniformis.

2.3 Kerangka Konsep

Variabel independen Varabel dependen

Lingkungan Fisik :
Air
- Keberadaan Rawa-rawa
- Keberadaan Persawahan
Rumah
- Suhu
- Kelembaban
- Keberadaan kawat kasa Kejadian
- Konstruksi plafon Mikrofilaria Positif
dan Filariasis
Lingkungan Biologis:
- Keberadaan Tanaman di sekitar
rumah
- Keberadaan hewan peliharaan di
sekitar rumah

Lingkungan Sosial :
- Pekerjaan
- Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari
- Kebiasaan Memakai Kelambu
- Kebiasaan Memakai Obat Anti
Nyamuk

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik observasional dengan

desain case control.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan. Alasan penelitian dilakukan dilokasi tersebut karena merupakan daerah

dengan prevalensi filariasis tertinggi, dan berdasarkan survei darah jari di Propinsi

Sumatera Utara tahun 2012 diperoleh Mf rate di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

(0,17%) dan Kabupaten Asahan (0,67%).

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengajuan judul, survei

pendahuluan, penelusuran kepustakaan, penyusunan proposal, seminar proposal,

penelitian dan analisis data serta penyusunan laporan akhir yang membutuhkan waktu

lebih kurang 9 (sembilan) bulan dari Bulan November 2012 s/d Juli 2013.

Universitas Sumatera Utara


3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

a. Populasi kasus adalah semua penderita mikrofilaria positif dan penderita

filariasis yang sudah bertempat tinggal > 10 tahun di tempat tinggal saat

penelitian di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan,

dan tercatat sebagai kasus di Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan.

b. Populasi kontrol adalah orang yang dinyatakan mikrofilaria negatif dan

bukan penderita filariasis yang sudah bertempat tinggal > 10 tahun di

tempat tinggal saat penelitian di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan

Kabupaten Asahan.

3.3.2 Sampel

a. Sampel kasus adalah penderita mikrofilaria positif berdasarkan

pemeriksaan mikroskopis pada survei darah jari pada tahun 2012, dan

penderita filariasis yang sudah bertempat tinggal > 10 tahun di tempat

tinggal saat penelitian.

b. Sampel kontrol adalah orang yang dinyatakan mikrofilaria negatif pada

pemeriksaan mikroskopis survei darah jari pada tahun 2012, dan tidak

menunjukkan gejala klinis filariasis berupa pembengkakan salah satu

anggota tubuh atau cacat fisik serta merupakan tetangga terdekat dalam

Universitas Sumatera Utara


satu lingkungan geografis dengan pencocokan (matching) dengan kasus

dalam hal umur dan jenis kelamin.

Beberapa nilai Odds Ratio (OR) dari penelitian sebelumnya, diuraikan pada

tabel 3.1 berikut:

Tebel 3.1 Rekapitulasi Nilai OR dari Penelitian Terdahulu

No Variabel OR n Referensi
1 Konstruksi plafon 6,3 93 Juriastuti dkk (2010)
2 Keberadaan kawat kassa 7,2 93 Juriastuti dkk (2010)
3 Kelembaban rumah 5,7 103 Nugraheni (2011)
4 Adanya persawahan 9,79 100 Mulyono dkk (2008)
5 Keberadaan rawa-rawa 6,67 40 Anshari (2004)
6 Tanaman air 33,34 64 Karwiti (2011)
7 Keberadaan hutan/semak 9,727 30 Sulistiyani dkk (2010)
8 Kebiasaan keluar pada malam hari 5,4 64 Juriastuti dkk (2010
9 Kebiasaan tidak menggunakan 31 70 Komariah (2010)
obat anti nyamuk
10 Kebiasaan tidur tidak 4.00 30 Sulistiyani dkk (2010)
menggunakan kelambu

Besar sampel dihitung dengan menggunakan software sample size

determination in health studies (Lwanga dan Lemeshow, 1998) dengan rumus :

n=
[z 1−α / 2 2 P2 * (1 − P2 *) + z1− β P1 * (1 − P1 *) + P2 * (1 − P2 *) ]
2

( P1 * − P2 *) 2

n=
[1,96 2(0.1)(1 − 0.1) + 1.282 0.3(1 − 0.3) + 0.1(1 − 0.1) ]2

(0.3 − 0.1) 2

n = 56

Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal

Universitas Sumatera Utara


z1−α / 2 : Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau atau derajat kemaknaan α

pada uji dua sisi, derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5%

sehingga nilai Z = 1,96

z1− β : Nilai Z pada kekuatan uji power 1-β, kekuatan uji yang digunakan

adalah 90% yaitu dengan nilai Z = 0,282

OR0 : Nilai odds ratio yang dianggap bermakna = 1

P1 * : Proporsi terpapar pada kelompok kasus = 0,3

P2 * : Proporsi terpapar pada kelompok kontrol = 0,1

OR1 : Nilai odds ratio teoritis (4,00)

Berdasarkan hasil perhitungan dengan software tersebut didapat besar sampel

minimum 56. Jumlah kasus mikrofilaria positif dan filariasis yang tercatat di Dinas

Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan tahun 2012

masing-masing adalah 28, dan semua kasus dijadikan sampel dengan perbandingan

sampel kasus dan kontrol adalah 1:1.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Jenis Data

Data primer diperoleh melalui obeservasi dan wawancara langsung dengan

responden. Data sekunder diperoleh dari hasil pemeriksaan survei darah jari oleh

BTKLPP Kelas I Medan, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Dinas

Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan,

Universitas Sumatera Utara


laporan kasus filariasis dan Profil Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan

Kabupaten Asahan.

3.4.2 Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara tentang faktor lingkungan sosial dan upaya pencegahan dengan

menggunakan kuesioner.

2. Metode Observasi

Observasi dilakukan pada faktor lingkungan fisik dan faktor lingkungan biologis

menggunakan lembar observasi.

3. Survei Dokumen

Survei dokumen dilakukan untuk melihat nama, umur, jenis kelamin, alamat,

lamanya tinggal, lamanya menderita.

3.4.3 Uji Validitas dan Reabilitas

Uji validitas dan reliabilitas kuesioner sebagai instrumen pengumpul data

dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan. Validitas merupakan sejauh mana alat

ukur (pengukuran, tes, instrumen) mengukur apa yang memang sesungguhnya

hendak diukur (Last, 2001; Streiner, 2000 dalam Murti, 2003), dan reliabilitas adalah

indeks yang menunjukkan sejauh mana pengukuran individu-individu pada situasi-

situasi yang berbeda memberikan hasil yang sama (Streiner dan Norman, 2000;

Gerstman, 1998 dalam Murti, 2003). Uji validitas menggunakan korelasi pearson

product moment, dengan keputusan uji bila r hitung (r pearson) > r tabel artinya

Universitas Sumatera Utara


pertanyaan tersebut valid, dan bila r hitung (r pearson) < r tabel artinya pertanyaan

tersebut tidak valid (Riyanto, 2011). Hasil uji validitas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas

Variabel Nomor r hitung r tabel Keterangan


Pertanyaan
Kebiasaan keluar pada 1 0,896 0,549 Valid
malam hari 2 0,717 0,549 Valid
3 0,469 0,549 Tidak Valid
4 0,731 0,549 Valid
5 0,691 0,549 Valid
6 0,838 0,549 Valid
7 0,722 0,549 Valid
Kebiasaan memakai 1 0,859 0,549 Valid
kelambu 2 0,701 0,549 Valid
3 0,844 0,549 Valid
4 0,879 0,549 Valid
5 0,983 0,549 Valid
Kebiasaan memakai obat 1 0,859 0,549 Valid
anti nyamuk 2 0,857 0,549 Valid
3 0,722 0,549 Valid
4 0,901 0,549 Valid
5 0,886 0,549 Valid

Berdasarkan Tabel 3.1 diatas dapat diketahui bahwa pertanyaaan variabel

kebiasaan keluar pada malam hari terdapat satu pertanyaan yang tidak valid yaitu

pertanyaan No.3, sehingga harus dikeluarkan dari kuesioner penelitian. Sedangkan

untuk variabel kebiasaan memakai kelambu dan kebiasaan memakai obat anti

nyamuk seluruh pertanyaan dinyatakan valid.

Uji reliabilitas menggunakan cronbah’s Alpha, dengan keputusan uji bila nilai

Cronbah’s Alpha > konstanta (0,6) maka pertanyaan reliabel, dan bila nilai

Universitas Sumatera Utara


Cronbah’s Alpha < konstanta (0,6) maka pertanyaan tidak reliabel (Riyanto, 2011).

Hasil uji reliabilitas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3 Hasil Uji Reliabilitas

Variabel r alpha r tabel Keterangan


Kebiasaan keluar pada malam hari 0,780 0,6 Reliabel
Kebiasaan memakai kelambu 0,816 0,6 Reliabel
Kebiasaan memakai obat anti nyamuk 0,814 0,6 Reliabel

Berdasarkan tabel 3.2 diatas dapat diketahui bahwa seluruh variabel

independen yang diuji reliabilitasnya mempunyai nilai Cronbah’s Alpha > konstanta

(0,6), maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan reliabel.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel terikat (dependent variable) adalah kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis, sedangkan variabel bebas (independent variable) adalah lingkungan fisik

(keberadaan rawa-rawa, keberadaan persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban

dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon

rumah), lingkungan biologis (keberadaan tanaman di sekitar rumah, keberadaan

hewan peliharaan di sekitar rumah), lingkungan sosial (pekerjaan, kebiasaan keluar

pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, dan kebiasaan memakai obat anti

nyamuk).

1. Kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah penderita mikrofilaria positif

berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dinyatakan positif, dan penderita filariasis

berdasarkan pemeriksaan fisik menunjukan gejala klinis oleh BTKLPP Kelas I

Universitas Sumatera Utara


Medan, Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Dinas Kesehatan

Kabupaten Asahan.

2. Keberadaan rawa-rawa merupakan ekosistem dengan habitat yang sering

digenangi air, kondisi permukaan air tidak selalu tetap dan berjarak ≤ 200 m dari

rumah respoden.

3. Keberadaan persawahan adalah dataran rendah berair/yang memiliki kandungan

air cukup tinggi digunakan sebagai lahan pertanian untuk bercocok tanam padi

yang berjarak < 200 m dari rumah responden.

4. Suhu dalam rumah adalah temperatur atau suhu yang terukur di dalam rumah

responden, memenuhi syarat antara 18º-30ºC.

5. Kelembaban dalam rumah adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam

udara yang dinyatakan dalam persen, memenuhi syarat antara 40%-60%.

6. Keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah adalah anyaman kawat yang

berfungsi untuk sirkulasi udara dalam rumah dan sekaligus menghalangi

masuknya nyamuk kedalam rumah.

7. Konstruksi plafon rumah adalah keadaan plafon yang terbuat dari gypsum, asbes,

triplek, dan lain-lain yang dapat mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah

yang dilihat dari kerapatanya. Konstruksi plafon rapat jika tidak terdapat

lubang/celah yang dapat mencegah masuknya nyamuk kedalam rumah,

sedangkan konstruksi plafon tidak rapat jika tidak ada plafon, plafon

Universitas Sumatera Utara


rusak/bolong-bolong atau terdapat celah yang dapat menyebabkan nyamuk

masuk ke dalam rumah.

8. Keberadaan tanaman disekitar rumah adalah tanaman berupa semak-

semak/rumput-rumputan, perkebunan kelapa sawit dan hutan yang berjarak <

200 m dari rumah responden.

9. Keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah adalah hewan peliharaan seperti

kucing, kera/monyet, sapi, kerbau dan kambing yang setiap harinya dipelihara di

dalam rumah maupun disekitar rumah dengan jarak < 200 m dari rumah

responden.

10. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang rutin dilakukan responden guna

menghasilkan pendapatan setiap bulan.

11. Kebiasaan keluar pada malam hari adalah kebiasaan beraktivitas diluar rumah

pada malam hari lebih dari 1 jam antara jam 18.00–22.00.

12. Kebiasaan memakai kelambu adalah suatu kebiasaan responden menggunakan

kelambu atau tidak saat tidur.

13. Kebiasaan memakai obat anti nyamuk adalah suatu kebiasaan responden

menggunakan obat anti nyamuk sebelum tidur.

Universitas Sumatera Utara


3.6 Metode Pengukuran

Definisi operasional variabel, cara ukur, skala ukur dan hasil ukur sebagai

berikut :

Tabel 3.4 Variabel, Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur

Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Ukur
VARIABEL DEPENDEN
Kejadian Data sekunder Kuesioner Nominal 0. Kasus
mikrofilaria dari BTKLPP 1. Kontrol
positif dan Kelas I Medan,
filariasis Dinas Kesehatan
Kabupaten
Labuhanbatu
Selatan dan Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Asahan
VARIABEL INDEPENDEN
Lingkungan Fisik
Keberadaan Observasi Lembar Ordinal 0. Ada (jaraknya
rawa-rawa observasi < 200 m)
1. Tidak ada
(jaraknya
> 200 m)
Keberadaan Observasi Lembar Ordinal 0. Ada (jaraknya
persawahan observasi < 200 m)
1. Tidak ada
(jaraknya
> 200 m)
Suhu dalam Observasi Thermo- Ordinal 0.Tidak memenuhi
rumah Hygrometer syarat (<18ºC
dan >30ºC
1. Memenuhi syarat
(18º-30ºC)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.4 (Lanjutan)

Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Ukur
Kelembaban Observasi Thermo- Ordinal 0. Tidak memenuhi
dalam rumah Hygrometer syarat (< 40%
dan > 60%)
1. Memenuhi syarat
(40%-60%)
Keberadaan Observasi Lembar Ordinal 0. Tidak ada
kawat kasa pada observasi 1. Ada
ventilasi rumah

Konstruksi Observasi Lembar Ordinal 0. Tidak rapat


plafon rumah observasi (tidak ada plafon,
plafon
rusak/bolong)
1. Rapat (tidak
terdapat
lubang/celah)
Lingkungan Biologis
Keberadaan Observasi Lembar Ordinal 0. Ada (jaraknya
tanaman di observasi < 200 m
sekitar rumah 1. Tidak ada
jaraknya
> 200 m)

Keberadaan Observasi Lembar Ordinal 0. Ada (jaraknya


hewan peliharaan observasi < 200 m
di sekitar rumah 1. Tidak ada
(jaraknya> 200m)
Lingkungan Sosial
Pekerjaan Wawancara Kuesioner Ordinal 0. Berisiko (petani,
nelayan, buruh
kebun, pencari
kayu)
1. Tidak berisiko
(PNS, karyawan,
wiraswasta,pedag
ang, tidak
bekerja)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.4 (Lanjutan)

Variabel Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Ukur
Kebiasaan Wawancara Kuesioner Ordinal0. Mempunyai
Keluar Pada kebiasaan, skor
Malam Hari < 19
1. Tidak
mempunyai
kebiasaan, skor
> 19
Kebiasaan Wawancara Kuesioner Ordinal 0. Tidak
memakai mempunyai
kelambu kebiasaan, skor
< 12
1. Mempunyai
kebiasaan, skor
> 12
Kebiasaan Wawancara Kuesioner Ordinal 0. Tidak
memakai obat mempunyai
anti nyamuk kebiasaan, skor
< 15
1. Mempunyai
kebiasaan, skor
> 15
Dari tabel 3.4 diatas dapat dijelaskan bahwa untuk variabel kebiasaan

pengkategoriannya didapat dari skoring pertanyaan masing-masing variabel. Setiap

jawaban diberikan skor bertingkat yaitu TP (4), KK (3), S (2), dan SS (1). Skor

minimum variabel kebiasaan keluar pada malam hari responden yang diperoleh pada

penelitian ini adalah 6 dan maksimum 24, sedangkan untuk variabel kebiasaan

memakai kelambu dan kebiasaan memakai obat anti nyamuk skor responden yang

diperoleh pada penelitian ini minimum adalah 5 dan maksimum 20. Berdasarkan uji

normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data responden

untuk variabel kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk berdistribusi normal

Universitas Sumatera Utara


(p=0,059 > 0,05), oleh karena itu pengkategoriannya menggunakan nilai mean (15).

Sedangkan untuk data responden variabel kebiasaan keluar pada malam hari tidak

berdistribusi normal (p=0,003 < 0,05), maka pengkategoriannya menggunakan nilai

median (19), demikian juga data responden variabel kebiasaan memakai kelambu

tidak berdistribusi normal (p=0,005 < 0,05) maka pengkategoriannya menggunakan

nilai median (12).

3.7 Metode Analisis Data

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang distribusi

proporsi masing-masing variabel independen meliputi lingkungan fisik, biologis dan

sosial, variabel dependen yaitu kejadian mikrofilaria positif dan filariasis, serta

distribusi proporsi karakteristik responden.

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat pengaruh antara variabel

independen (lingkungan fisik, biologis dan sosial) dengan variabel dependen

(kejadian mikrofilaria positif dan filariasis) dengan menggunakan uji chi-square pada

tingkat kepercayaan 95%, dan untuk menetukan ukuran risiko menggunakan Odds

Ratio (OR).

Universitas Sumatera Utara


3.7.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat adalah untuk melihat pengaruh beberapa variabel bebas

secara bersama-sama terhadap variabel kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

sehingga diketahui variabel bebas yang paling dominan pengaruhnya terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis dengan menggunakan regresi logistik

berganda (logistic binary regression).

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu Selatan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan pamekaran dari Kabupaten

Labuhanbatu yang peresmian dan pelantikan Bupati dilaksanakan tanggal 15 Januari

2009 berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pembentukan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Propinsi Sumatra Utara (Lembaran Negara RI

Tahun 2008 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4868).

Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang beribukota di Kota Pinang memiliki 5

wilayah administrasi kecamatan yaitu Kecamatan Kotapinang, Kampung Rakyat,

Torgamba, Sungai Kanan dan Kecamatan Silangkitang. Terdiri dari 52 desa dan 2

kelurahan, 25 lingkungan, dan 422 dusun. Secara geografis terletak antara 1º26'00''-

2º12'55'' Lintang Utara dan 99º40'00''-100º26'00'' Bujur Timur, ketinggian 0-700 m

di atas permukaan laut dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu, Rantau Selatan, Bilah

Hilir dan Kecamatan Panai Hulu (Kabupaten Labuhanbatu)

- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Rokan Hilir (Propinsi Riau) dan Kecamatan

Simangambat (Kabupaten Padang Lawas Utara),

- Sebelah Timur dengan Kabupaten Bengkalis (Propinsi Riau)

- Sebelah Barat dengan Kecamatan Holonganan dan Kecamatan Dolok (Kabupaten

Padang Lawas Utara).

Universitas Sumatera Utara


Kabupaten Labuhanbatu Selatan memiliki luas wilayah 3.116 km² dengan

jumlah Penduduk tahun 2011 adalah 280.269 jiwa (laki-laki 143.096 jiwa dan

perempuan 137.173 jiwa) dan kepadatan penduduk 89,95 jiwa per km² . Etnis yang

terdapat di wilayah ini adalah sebagian besar Suku Jawa 51,19%, Batak 44,77% dan

selebihnya Suku Melayu, Minang, Aceh dan lain - lain. Sebagian Besar Penduduk

Kabupaten Labuhanbatu Selatan Memeluk Agama Islam (87,79%), disusul Agama

Protestan, Katolik, Budha dan Hindu.

1. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk

Tabel 4.1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di


Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011

Luas Jumlah Penduduk


No Kecamatan Wilayah Jumlah
Laki-laki Perempuan
(km²)
1. Kotapinang 482,4 23.979 25.560 49.539
2. Kampung Rakyat 709,15 24.289 27.996 52.285
3. Torgamba 1.136,4 53.428 44.955 98.383
4. Sungai Kanan 484,35 23.790 22.069 45.859
5. Silangkitang 303,7 17.610 16.593 34.203
Jumlah 3.116 143.096 137.173 280.269
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara


2. Data Fasilitas Kesehatan

Tabel 4.2 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah


dan Swasta di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011

No Fasilitas Kesehatan Jumlah


1. Rumah Sakit Umum 3 unit
2. Puskesmas Perawatan 5 unit
3 Puskesmas Non Perawatan 9 unit
4. Puskesmas Keliling 13 unit
5. Puskesmas Pembantu 38 unit
6. Balai Pengobatan/Klinik 16 unit
7. Praktik Dokter Perorangan 26 unit
8. Praktik Pengobatan Tradisional 42 unit
9. Poskesdes 35 unit
10. Posyandu 306 unit
11. Apotek 6 unit
12. Toko Obat 19 unit
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2012

4.2 Gambaran Umum Kabupaten Asahan

Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang berada dikawasan

Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada

2°03'00’’–3°26’00’' Lintang Utara dan 99°01'’– 100°00'’ Bujur Timur, dengan

ketinggian 0–1.150 m di atas permukaan laut, memiliki luas wilayah 3.799,50 Km²

dengan batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batu Bara

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten

Toba Samosir

- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun.

Universitas Sumatera Utara


Sejak tahun 2008 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007

tentang Pemekaran Wilayah Kabupaten Asahan, maka Kabupaten Asahan secara

definitif memiliki 25 kecamatan, 27 kelurahan dan 177 desa.

Bila ditinjau dari letak ketinggian di atas permukaan laut, maka Kabupaten

Asahan dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian:

a. Asahan Bagian Bawah, seluas 594,19 km² (15,64 %) dengan ketinggian 0–7

meter, yang meliputi 6 (enam) Kecamatan yakni : Kecamatan Air Joman,

Kecamatan Silau Laut, Kecamatan Tanjung Balai, Kecamatan Sei Kepayang,

Kecamatan Sei Kepayang Barat dan Kecamatan Sei Kepayang Timur.

b. Asahan Bagian Tengah, seluas 1.457,08 km² (38,35 %) dengan ketinggian 7–25

meter, yang meliputi 13 (tigabelas) Kecamatan, yakni : Kecamatan Air Batu,

Kecamatan Meranti, Kecamatan Kisaran Barat, Kecamatan Kisaran Timur,

Kecamatan Pulau Rakyat, Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Aek Kuasan,

Kecamatan Aek Ledong, Kecamatan Rahuning, Kecamatan Rawang Panca Arga,

Kecamatan Pulo Bandring, Kecamatan Sei Dadap dan Kecamatan Teluk Dalam.

c. Asahan Bagian Atas, seluas 1.748,23 km² (46,01 %) dengan ketinggian 25-1.121

meter, yang meliputi 6 (enam) Kecamatan yakni : Kecamatan Bandar Pulau,

Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kecamatan Buntu Pane, Kecamatan Tinggi

Raja, Kecamatan Setia Janji dan Kecamatan Aek Songsongan.

Menurut Badan Pusat Statistik, penduduk Kabupaten Asahan Tahun 2011

adalah 674.521 jiwa, terdiri dari 339.089 (50,27 %) laki-laki dan 335.432 (49,73 %)

Universitas Sumatera Utara


perempuan dengan kepadatan penduduk 177 jiwa per km². Mayoritas pekerjaan

penduduk adalah pada sektor pertanian/perkebunan, selanjutnya adalah sebagai

nelayan, karyawan, PNS/ TNI/ POLRI dan selebihnya adalah sebagai pedagang,

pengrajin. Berdasarkan suku bangsa terdiri dari suku Jawa (59,41 %), suku Batak

(29,40%), dan suku Melayu (5,19 %), sisanya sebanyak 6,00 % terdiri dari suku

Minang, suku Banjar, suku Aceh dan etnis Tionghoa.

1. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk

Tabel 4.3 Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di


Kabupaten Asahan Tahun 2011

Luas Jumlah Penduduk


No Kecamatan Wilayah Jumlah
Laki-laki Perempuan
(km²)
1. Bandar Pasir Mandoge 651 17.002 16.150 33.152
2. Bandar Pulau 433,42 10.593 10.107 20.700
3. Aek Songsongan 117,31 8.382 8.257 16.639
4. Rahuning 184,27 8.952 8.721 17.673
5. Pulau Rakyat 250,99 15.979 15.850 31.829
6. Aek Kuasan 95,23 11.636 11.425 23.061
7. Aek Ledong 82,13 10.067 9.811 19.878
8. Sei Kepayang 235,3 8.584 8.682 17.266
9. Sei Kepayang Barat 82,92 6.531 6.414 12.945
10. Sei Kepayang Timur 142,8 4.477 4.204 8.681
11. Tanjung Balai 55,61 17.920 17.303 35.227
12. Simpang Empat 130,55 20.115 19.698 39.813
13. Teluk Dalam 96 8.800 8.642 17.442
14. Air Batu 94,6 19.880 19.637 39.517
15. Sei Dadap 65,72 15.808 15.352 31.160
16. Buntu Pane 218,28 11.351 11.398 22.749
17. Tinggi Raja 125,56 9.149 9.120 18.269
18. Setia Janji 202,66 5.782 5.767 11.549
19. Meranti 90,75 9.702 9.860 19.562
20. Pulo Bandring 99,91 14.098 13.905 28.003
21. Rawang Panca Arga 90.3 8.958 8.739 17.697
22. Air Joman 92,86 23.308 22.931 46.239
23. Silau Laut 89,45 10.198 10.157 20.355
24. Kisaran Barat 32,96 27.488 28.203 55.691
25. Kisaran Timur 38,92 34.329 35.095 69.424
Jumlah 3.799,5 339.089 335.432 674.521
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Asahan Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara


2. Data Fasilitas Kesehatan

Tabel 4.4 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang di Kelola Pemerintah


dan Swasta di Kabupaten Asahan Tahun 2011

No Fasilitas Kesehatan Jumlah


1. Rumah Sakit Umum 10 unit
2. Puskesmas Perawatan 8 unit
3 Puskesmas Non Perawatan 14 unit
4. Puskesmas Keliling 13 unit
5. Puskesmas Pembantu 116 unit
6. Rumah Bersalin 5 unit
7. Balai Pengobatan/Klinik 93 unit
8. Praktik Dokter Bersama 1 unit
9. Praktik Dokter Perorangan 105 unit
10. Praktik Pengobatan Tradisional 1 unit
11. Poskesdes 68 unit
12. Posyandu 951 unit
13. Apotek 22 unit
14. Toko Obat 64 unit
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Asahan Tahun 2012

4.3 Analisis Univariat

4.3.1 Distribusi Kasus Mikrofilaria Positif dan Filariasis Menurut Kabupaten

Distribusi frekuensi kasus mikrofilaria positif dan filariasis berdasarkan

kabupaten dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kasus Mikrofilaria Positif dan Filariasis di


Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun
2012

No Kabupaten Kasus Mikrofilaria Kasus Filariasis


Positif
1 Labuhanbatu Selatan 1 27
2 Asahan 2 26
Jumlah 3 53

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

terdapat 1 (satu) kasus mikrofilaria positif dan 27 kasus filariasis, sedangkan di

Kabupaten Asahan terdapat 2 (dua) kasus mikrofilaria positif dan 26 kasus filariasis.

Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1, sehingga jumlah kontrol sama dengan

jumlah kasus yaitu masing-masing kabupaten 28 orang.

4.3.2 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Karakteristik Umur, Jenis


Kelamin dan Pekerjaan

Distribusi proporsi kelompok kasus dan kontrol berdasarkan karakteristik

umur, jenis kelamin dan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.6 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Karakteristik


Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

Kasus Mikrofilaria Kontrol


No Karakteristik Positif dan Filariasis
n % n %
1 Kelompok umur
21-30 tahun 3 5,4 3 5,4
31-40 tahun 4 7,1 4 7,1
41-50 tahun 11 19,6 11 19,6
> 50 tahun 38 67,9 38 67,9
Jumlah 56 100 56 100
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 24 42,9 24 42,9
Perempuan 32 57,1 32 57,1
Jumlah 56 100 56 100
3 Pendidikan
Dasar (SD dan SMP) 52 92,9 45 80,4
Menengah (SMA) 4 7,1 11 19,6
Jumlah 56 100 56 100

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada kelompok kasus dan

kontrol tidak ada responden yang berada pada kelompok umur < 20 tahun, proporsi

Universitas Sumatera Utara


terbesar berada pada kelompok umur > 50 tahun yaitu 67,9% (38 orang), berikutnya

kelompok umur 41-50 tahun sebesar 19,6% (11 orang), kelompok umur 31-40 tahun

sebesar 7,1% (4 orang) dan proporsi terkecil pada kelompok umur 21-30 tahun yaitu

5,4% (3 orang). Menurut jenis kelamin proporsi kelompok kasus dan kontrol berjenis

kelamin perempuan sebesar 57,1% (32 orang) dan laki-laki sebesar 42,9% (24 orang).

Menurut tingkat pendidikan pada kelompok kasus dan kontrol proporsi terbesar

berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebesar 92,9% (52 orang) pada kelompok kasus

dan 80,4% (45 orang) pada kelompok kontrol, sedangkan responden berpendidikan

menengah (SMA) hanya sebesar 7,1% (4 orang) pada kelompok kasus dan sebesar

19,6% (11 orang) pada kelompok kontrol.

4.3.3 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Fisik

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut faktor lingkungan fisik meliputi

keberadaan rawa-rawa, keberadaan persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban

dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon

rumah dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan
Fisik di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013

Kasus Mikrofilaria Kontrol


No Variabel Positif dan Filariasis
n % n %
1 Keberadaan rawa-rawa
Ada (< 200 m) 25 44,6 13 23,2
Tidak ada (> 200 m) 31 55,4 43 76,8
Jumlah 56 100 56 100
2 Keberadaan persawahan
Ada (< 200 m) 4 7,1 6 10,7
Tidak ada (> 200 m) 52 92,9 50 89,3
Jumlah 56 100 56 100
3 Suhu dalam rumah
Tidak memenuhi syarat 19 33,9 22 39,3
(<18º dan >30ºC)
Memenuhi syarat (18º-30 ºC) 37 66,1 34 60,7
Jumlah 56 100 56 100
4 Kelembaban dalam rumah
Tidak memenuhi syarat 35 62,5 32 57,1
(<40% dan >60%)
Memenuhi syarat (40%-60%) 21 37,5 24 42,9
Jumlah 56 100 56 100
5 Keberadaan kawat kasa pada
ventilasi rumah
Tidak ada 41 73,2 26 46,4
Ada 15 26,8 30 53,6
Jumlah 56 100 56 100
6 Konstruksi plafon rumah
Tidak rapat (tidak ada plafon, plafon 40 71,4 24 42,9
rusak/bolong)
Rapat (tidak terdapat lubang/celah) 16 28,6 32 57,1
Jumlah 56 100 56 100

Berdasarkan tabel 4.7 diatas diketahui bahwa proporsi terbesar pada

kelompok kasus dan kontrol adalah tidak adanya rawa-rawa yang berjarak < 200 m

dari rumah responden. Proporsi pada kelompok kasus ada rawa-rawa dengan jarak <

200 m dari rumah 44,6% (25 orang) dan tidak ada rawa-rawa 55,4% (31 orang), pada

Universitas Sumatera Utara


kelompok kontrol ada rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah 23,2% (13 orang)

dan tidak ada rawa-rawa 76,8% (43 orang).

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut keberadaan persawahan proporsi

terbesar adalah tidak adanya persawahan yang berjarak < 200 m dari rumah

responden. Proporsi pada kelompok kasus ada persawahan dengan jarak < 200 m dari

rumah 7,1% (4 orang) dan tidak ada persawahan 92,9% (52 orang), pada kelompok

kontrol ada persawahan dengan jarak < 200 m dari rumah 10,7% (6 orang) dan tidak

ada persawahan 89,3% (50 orang).

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut suhu dalam rumah proporsi

terbesar adalah suhu rumah memenuhi syarat (18-30ºC). Proporsi pada kelompok

kasus suhu rumah tidak memenuhi syarat 33,9% (19 orang) dan suhu rumah

memenuhi sayarat 66,1% (37 orang), pada kelompok kontrol suhu rumah tidak

memenuhi syarat 39,3% (22 orang) dan suhu rumah memenuhi syarat 60,7% (34

orang).

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut kelembaban dalam rumah

proporsi terbesar adalah kelembaban rumah tidak memenuhi syarat (< 40% dan >

60%). Proporsi pada kelompok kasus memiliki kelembaban dalam rumah tidak

memenuhi syarat 62,5% (35 orang) dan memiliki kelembaban dalam rumah

memenuhi syarat 37,5% (21 orang), pada kelompok kontrol memiliki kelembaban

dalam rumah tidak memenuhi syarat 57,1% (32 orang) dan memiliki kelembaban

dalam rumah memenuhi syarat 42,9% (24 orang).

Universitas Sumatera Utara


Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut keberadaan kawat kasa pada

ventilasi rumah pada kelompok kasus proporsi terbesar tidak ada kawat kasa pada

ventilasi rumah 73,2% (41 orang) , sedang ada kawat kassa pada ventilasi rumah

26,8% (15 orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol ada kawat kasa pada

ventilasi rumah 53,6% (30 orang), sedang tidak ada kawat kasa pada ventilasi rumah

46,6% (26 orang).

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut konstruksi plafon rumah, pada

kelompok kasus proporsi terbesar konstruksi plafon tidak rapat 71,4% (40 orang)

sedangkan proporsi konstruksi plafon rumah rapat 28,6% (16 orang). Proporsi

terbesar pada kelompok kontrol adalah konstruksi plafon rumah rapat 57,1% (32

orang) sedangkan proporsi konstruksi plafon rumah tidak rapat 42,9% (24 orang).

4.3.4 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Biologis

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut lingkungan biologis meliputi

keberadaan tanaman di sekitar rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar

rumah dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan
Biologis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013

No Kasus Mikrofilaria Kontrol


Variabel Positif dan Filariasis
n % n %
1 Keberadaan tanaman di sekitar
rumah
Ada (< 200 m) 41 73,2 23 41,1
Tidak ada (>200 m) 15 26,8 33 58,9
Jumlah 56 100 56 100
2 Keberadaan hewan peliharaan
di sekitar rumah
Ada (< 200 m) 25 44,6 21 37,5
Tidak ada (> 200 m) 31 55,4 35 62,5
Jumlah 56 100 56 100

Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat diketahui bahwa distribusi proporsi

terbesar pada kelompok kasus adalah ada tanaman di sekitar rumah yang berjarak <

200 m sebesar 73,2% (41 orang) dan tidak ada tanaman di sekitar rumah 26,8% (15

orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol tidak ada tanaman disekitar rumah

58,9% (33 orang) dan ada tanaman disekitar rumah 41,1% (23 orang).

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut keberadaan hewan peliharaan di

sekitar rumah proporsi terbesar tidak ada hewan peliharaan di sekitar rumah. Proporsi

pada kelompok kasus ada hewan peliharaan disekitar rumah 44,6% (25 orang) dan

tidak ada hewan peliharaan di sekitar rumah 55,4% (31 orang), pada kelompok

kontrol ada hewan peliharaan di sekitar rumah 37,5% (21 orang) dan tidak ada hewan

peliharaan di sekitar rumah 62,5% (35 orang).

Universitas Sumatera Utara


4.3.5 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Sosial

Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut lingkungan sosial meliputi

pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, dan

kebiasaan memakai obat anti nyamuk dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan
Sosial di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013

Kasus Mikrofilaria Kontrol


No Variabel Positif dan Filariasis
n % n %
1 Pekerjaan
Berisiko 35 62,5 23 41,1
Tidak berisiko 21 37,5 33 58,9
Jumlah 56 100 56 100
2 Kebiasaan keluar pada malam
hari
Mempunyai kebiasaan 34 60,7 21 37,5
Tidak mempunyai kebiasaan 22 39,3 35 62,5
Jumlah 56 100 56 100
3 Kebiasaan memakai kelambu
Tidak mempunyai kebiasaan 33 58,9 18 32,1
Mempunyai kebiasaan 23 41,1 38 67,9
Jumlah 56 100 56 100
4 Kebiasaan memakai obat anti
nyamuk
Tidak mempunyai kebiasaan 20 35,7 21 37,5
Mempunyai kebiasaan 36 64,3 35 62,5
Jumlah 56 100 56 100

Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa distribusi proporsi kasus

dan kontrol menurut pekerjaan pada kelompok kasus memiliki pekerjaan berisiko

62,5% (35 orang) sedangkan pekerjaan tidak berisiko 37,5% (21 orang). Proporsi

Universitas Sumatera Utara


terbesar pada kelompok kontrol memiliki pekerjaan tidak berisiko 58,9% (33 orang)

sedangkan memiliki pekerjaan berisiko 41,1% (23 orang).

Distribusi kasus dan kontrol menurut kebiasaan keluar pada malam hari

proporsi terbesar pada kelompok kasus mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari

60,7% (34 orang), sedangkan tidak mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari

39,3% (22 orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol tidak mempunyai

kebiasaan keluar pada malam hari 62,5% (35 orang), sedangkan mempunyai

kebiasaan keluar pada malam hari 37,5% (21 orang).

Distribusi kasus dan kontrol menurut kebiasaan memakai kelambu proporsi

terbesar pada kelompok kasus tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu 58,9%

(33 orang), sedangkan mempunyai kebiasaan memakai kelambu 41,1% (23 orang).

Proporsi terbesar pada kelompok kontrol mempunyai kebiasaan memakai kelambu

67,9% (38 orang), sedangkan tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu 32,1%

(18 orang).

Distribusi kasus dan kontrol menurut kebiasaan memakai obat anti nyamuk

proporsi terbesar mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk. Proporsi pada

kelompok kasus yang tidak mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 35,7%

(20 orang) dan mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 64,3% (36 orang),

pada kelompok kontrol tidak mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk

37,5% (21 orang) dan mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 62,5% (35

orang).

Universitas Sumatera Utara


4.4 Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel yang diteliti

terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah uji statistik chi-square

dengan derajat kepercayaan 95% (α = 5%) dan untuk mengetahui kekuatan antara

faktor risiko dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis digunakan perhitungan

Odds Ratio (OR). Berdasarkan hasil uji statistik akan diperoleh nilai p, untuk nilai p

< 0,05 artinya bahwa terdapat pengaruh yang signifikan variabel yang diteliti

terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

4.4.1 Faktor Lingkungan Fisik

Pengaruh faktor lingkungan fisik sebagai variabel independen meliputi

keberadaan rawa-rawa, keberadaan persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban

dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon

rumah dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.10 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

Variabel Nilai p OR 95% CI


Keberadaan rawa-rawa 0,028 2,667 1,182-6,020
Keberadaan persawahan 0,740 0,641 0,171-2,408
Suhu dalam rumah 0,695 0,794 0,367-1,715
Kelembaban dalam rumah 0,700 1,250 0,586-2,664
Keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah 0,007 3,154 1,430-6,956
Konstruksi plafon rumah 0.004 3,333 1,520-7,308

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil uji chi-square variabel keberadaan rawa-rawa terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,028 (p<0,05), artinya

bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel keberadaan rawa-rawa terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan

Kabupaten Asahan. Nilai OR sebesar 2,667 (95% CI = 1,182-6,020) menunjukkan

bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya rawa-rawa dengan

jarak < 200 m dari rumah 2,667 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak

menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,005).

Hasil uji variabel keberadaan persawahan terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,740 (p>0,05), artinya bahwa tidak ada

pengaruh variabel keberadaan persawahan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan, dan keberadaan

persawahan bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

Hasil uji variabel suhu dan kelembaban dalam rumah terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,695 (p>0,05) untuk suhu dan

nilai p=0,700 (p>0,05) untuk kelembaban, artinya bahwa tidak ada pengaruh variabel

suhu dan kelembaban dalam rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan, dan suhu serta

kelembaban dalam rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif

dan filariasis.

Universitas Sumatera Utara


Hasil uji variabel keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,007 (p<0,05), artinya

bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel keberadaan kawat kasa pada ventilasi

rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan. Nilai OR sebesar 3,154 (95% CI = 1,430-6,956)

menunjukkan bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar tidak

adanya kawat kasa pada ventilasi rumah 3,154 kali lebih besar dibanding dengan

yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil uji variabel konstruksi plafon rumah terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,004 (p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh

yang signifikan variabel konstruksi plafon rumah terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Nilai

OR sebesar 3,333 (95% CI = 1,520-7,308) menunjukkan bahwa penderita

mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 3,333

kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan

filariasis (p<0,05).

4.4.2 Faktor Lingkungan Biologis

Pengaruh faktor lingkungan biologis sebagai variabel independen meliputi

keberadaan tanaman di sekitar rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar

rumah dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.11 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

Variabel Nilai p OR 95% CI


Keberadaan tanaman di sekitar rumah 0,001 3,922 1,770-8,691
Keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah 0,564 1,334 0,632-2,860

Berdasarkan hasil uji chi-square variabel keberadaan tanaman di sekitar

rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,001

(p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel keberadaan tanaman

di sekitar rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Nilai OR sebesar 3,922 (95% CI =

1,770-8,691) menunjukkan bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar

adanya tanaman di sekitar rumah 3,922 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak

menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil uji variabel keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,564 (p>0,05), artinya

bahwa tidak ada pengaruh variabel keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah

dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

dan Kabupaten Asahan, dan keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah bukan

sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

Universitas Sumatera Utara


4.4.3 Faktor Lingkungan Sosial

Pengaruh faktor lingkungan sosial sebagai variabel independen meliputi

pekerjaan, kebiasaan keluar malam, kebiasaan memakai kelambu, dan kebiasaan

memakai obat anti nyamuk dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.12 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

Variabel Nilai p OR 95% CI


Pekerjaan 0,038 2,391 1,119-5,108
Kebiasaan keluar pada malam hari 0,023 2,576 1,202-5,517
Kebiasaan memakai kelambu 0,008 3,029 1,398-6,563
Kebiasaan memakai obat anti nyamuk 1,000 0,926 0,429-1,998

Berdasarkan hasil uji chi-square variabel pekerjaan terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,038 (p<0,05), artinya bahwa ada

pengaruh yang signifikan variabel pekerjaan terhadap kejadian mikrofilaria positif

dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Nilai OR

sebesar 2,391 (95% CI = 1,119-5,108) menunjukkan bahwa penderita mikrofilaria

positif dan filariasis, terpapar jenis pekerjaannya yang berisiko, 2,391 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil uji variabel kebiasaan keluar pada malam hari terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), artinya bahwa ada

pengaruh yang signifikan variabel kebiasaan keluar pada malam hari terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan

Kabupaten Asahan. Nilai OR sebesar 2,576 (95% CI = 1,202-5,517) menunjukkan

Universitas Sumatera Utara


bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, mempunyai kebiasaan keluar pada

malam hari 2,576 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita

mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil uji variabel kebiasaan memakai kelambu terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,008 (p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh

yang signifikan variabel kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur dengan kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan. Nilai OR sebesar 3,029 (95% CI = 1,398-6,563) menunjukkan bahwa

penderita mikrofilaria positif dan filariasis, tidak mempunyai kebiasaan memakai

kelambu sewaktu tidur 3,029 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita

mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil uji variabel kebiasaan memakai obat anti nyamuk terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), artinya bahwa

tidak ada pengaruh variabel kebiasaan memakai obat anti nyamuk sebelum tidur

terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan, dan kebiasaan memakai obat anti nyamuk sebelum

tidur bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

4.5 Analisis Multivariat


Analisis multivariat digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen secara bersamaan dan mencari faktor yang dominan

berpengaruh terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Universitas Sumatera Utara


Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan dengan menggunakan uji regresi

logistik ganda (binary logistic regression) dengan metode Enter.

Berdasarkan uji chi-square diketahui bahwa variabel independen yang

menjadi kandidat dalam analisis multivariat dengan nilai signifikansi variabel p<0,05

adalah keberadaan rawa-rawa, keberadaan kasa pada ventilasi rumah, konstruksi

plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar

pada malam hari dan kebiasaan memakai kelambu.

Hasil analisis regresi logistik ganda menunjukkan bahwa variabel konstruksi

plafon dengan nilai p=0,032 (p<0,005), variabel keberadaan tanaman di sekitar rumah

dengan nilai p=0,001 (p<0,05), variabel kebiasaan keluar pada malam hari dengan

nilai p=0,033 (p<0,05), dan variabel kebiasaan memakai kelambu dengan nilai

p=0,016 (p<0,05) adalah variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan. Jika dilihat nilai OR hasil analisis uji regresi logistik berganda diketahui

variabel keberadaan tanaman di sekitar rumah memiliki nilai OR tertinggi yaitu

sebesar 4,432 (95% CI= 1,787 – 10,993), hal ini menunjukkan bahwa variabel

keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan variabel paling kuat pengaruhnya

terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penderita

mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya tanaman di sekitar rumah 4,432

kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan

Universitas Sumatera Utara


filariasis, dan dapat diinterpretasikan bahwa kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis akan lebih banyak terjadi pada mereka yang terdapat tanaman di sekitar

rumahnya.

Hasil analisis regresi logistik berganda selengkapnya dapat dilihat pada tabel

di bawah ini :

Tabel 4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Konstruksi
Plafon, Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah, Kebiasaan Keluar
pada Malam Hari dan Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

95% C.I.for Exp (B)


Variabel Independen Nilai B Nilai p Exp (B)
Lower Upper
Konstruksi plafon 0,969 0,032 2,635 1,086 6,395
Keberadaan tanaman di 1,489 0,001 4,432 1,787 10,993
sekitar rumah
Kebiasaan keluar pada 0,949 0,033 2,583 1,077 6,191
malam hari
Kebiasaan memakai 1,101 0,016 3,008 1,223 7,398
kelambu
Constant -2,121 0,000

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik berganda tersebut dapat ditentukan

model persamaan regresi logistik berganda yang dapat menafsirkan variabel

konstruksi plafon, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada

malam hari dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan adalah sebagai berikut :

1
P =
1 + e –(α + β 1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 )

Universitas Sumatera Utara


Keterangan:

P = Probabilitas kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

α = Konstanta = -2,121

e = Bilangan natural (2,71828)

β1 – β4 = Koefisien regresi

X1 = Konstruksi plafon, koefisien regresi 0,969

X2 = Keberadaan tanaman di sekitar rumah, koefisien regresi 1,489

X3 = Kebiasaan keluar pada malam hari, koefisien regresi 0,949

X4 = Kebiasaan memakai kelambu, koefisien regresi 1,101

X 1 =X 2 =X 3 =X 4 = 1, karena variabel tersebut berisiko untuk terjadinya mikrofilaria

positif dan filariasis

1
P =
1 + e –[-2,121 + 0,969 (X 1 ) +1,489 (X 2 ) + 0,949 (X 3 ) + 1,101 (X 4 ) ]

1
P =
1 + 2,71 –[-2,121 + 0,969 (1) + 1,489 (1) +0,949 (1) + 1,101 (1)]

1
P =
1 + 2,71 –(2,387)

1
P =
1,093

P = 0,915 = 91,5%

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian, faktor risiko konstruksi plafon tidak rapat, adanya tanaman

di sekitar rumah, mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari dan mempunyai

kebiasaan tidak memakai kelambu sewaktu tidur mempunyai probabilitas terjadinya

mikrofilaria positif dan filariasis sebesar 91,5%, dan sebesar 8,5% terjadinya

mikrofilaria positif dan filariasis dimungkinkan karena adanya pengaruh faktor risiko

lain diluar dari faktor risiko yang sudah diteliti.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif


dan Filariasis

Pengaruh variabel lingkungan fisik terhadap kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis dalam penelitian ini sebagai berikut :

5.1.1 Pengaruh Keberadaan Rawa-Rawa terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis, terpapar adanya rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah 2,667 kali

lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis

(p<0,05). Secara keseluruhan proporsi terbesar pada kelompok kasus dan kontrol

adalah tidak ada rawa-rawa, walaupun secara terpisah pada kelompok kasus proporsi

terbesar ada rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah (44,6%) dan pada

kelompok kontrol proporsi terbesar tidak ada rawa-rawa (76,8%). Hal ini terjadi

karena memang keberadaan rawa-rawa yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

dan Kabupaten Asahan adalah rawa-rawa liar yang sebagian ditumbuhi tanaman air

(bukan kolam atau galian tanah), sehingga keberadaannya lebih sedikit dibandingkan

keberadaan persawahan, perkebunan dan lainnya.

Masing-masing spesies nyamuk mempunyai tempat perindukan berbeda-beda

misalnya di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah dan air laguna (Soeyoko,

2002). Rawa-rawa merupakan ekosistem dengan habitat yang sering digenangi air

Universitas Sumatera Utara


tawar yang kaya mineral dengan pH sekitar 6 (enam), kondisi permukaan air tidak

selalu tetap dan terdapat tumbuhan air tertentu yang merupakan inang bagi vektor

filariasis (Depkes RI dalam Nasrin, 2008). Tempat perkembangbiakan alami

nyamuk Mansonia uniformis pada umumnya pada daerah dengan air tergenang atau

pada rawa-rawa yang banyak ditumbuhi tanaman air. Telur nyamuk Mansonia

uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun

tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air

(Boesri, 2012). Menurut Nurmaini (2003) nyamuk Mansonia senang berkembang

biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya, nyamuk

Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air, dan

diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga.

Penelitian Barodji et al (1994) menyatakan bahwa kepadatan vektor yang

menggigit orang di daerah sekitar rawa jauh lebih tinggi (rata-rata 4,50 tiap

jam/orang) dibandingkan di desa asal penduduk (rata-rata 0,44 tiap jam/orang).

Sehingga kemungkinan penularan filariasis lebih sering terjadi di daerah sekitar rawa

(Sulistiyani, 2012).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Soeyoko dkk (2006) di Kecamatan

Boneraya Kabupaten Bone Bolango yang menyatakan ada hubungan bermakna antara

faktor lingkungan rawa dengan kejadian filariasis dengan nilai OR sebesar 2,443 pada

uji bivariat dan OR sebesar 3,563 pada uji multivariat. Dinyatakan bahwa lingkungan

buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak terbang

Universitas Sumatera Utara


nyamuk kurang dari 200 m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya

filariasis di daerah tersebut. Penelitian Nasrin (2008) di kabupaten Bangka Barat juga

menyatakan ada hubungan bermakna antara keberadaan rawa dengan kejadian

filariasis.

Hal ini diibuktikan dengan teori yang menjelaskan bahwa umumnya nyamuk

mampu terbang sejauh 350- 550 m, misalnya Anopheles sinensis jarak terbangnya

mencapai 200 sampai 800 m, Anopheles barbirostris mencapai 200 sampai 300 m

(Kelvey et al dalam Munif, 2009).

5.1.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberadaan persawahan bukan

sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan

jarak persawahan yang ada di wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan

Kabupaten Asahan yang secara geografis umumnya berjarak > 200 m dari perumahan

penduduk atau terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu.

Keadaan ini berkaitan juga dengan laporan Depkes RI (2009) bahwa vektor

utama filariasis di Sumatera Utara adalah Mansonia uniformis yang biasanya

ditemukan di daerah rawa dan hutan rimba, sedangkan yang ditemukan di daerah

persawahan adalah Anopheles barbirostis umumnya di Nusa Tenggara Timur,

Maluku Tenggara. Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air

Universitas Sumatera Utara


satu persatu atau rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat

pengapung (Nurmaini, 2003).

Hasil penelitian ini sesuai yang diperoleh Ulfana (2009) dalam penelitiannya

di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna

keberadaan sawah dengan kejadian filariasis.

Pada lahan yang dikelola misalnya persawahan, biasanya ditempati berbagai

jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor atau tidak. Di persawahan dekat pantai

ditemukan 33 spesis yang terdiri dari 10 jenis Anopheles 5 diantaranya berperan

menularkan malaria, 13 jenis culex, 4 jenis Aedes sisanya jenis Mansonia dan

Ficalbica (Munif, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa nyamuk jenis Mansonia

sebagai vektor utama filariasis di Sumatera Utara memang lebih sedikit berkembang

pada daerah persawahan dibandingkan nyamuk jenis Anopheles sebagai vektor

malaria.

5.1.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif


dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa suhu dalam rumah bukan

sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan

di dalam dan di luar rumah responden, suhu udara rataan dalam rumah lebih rendah

dibanding suhu luar rumah dengan perbedaan mencapai + 3 ºC. Suhu memenuhi syarat

di dalam rumah responden berkisar 26,1º-29,6ºC dan suhu di luar rumah berkisar

26,3º-30ºC, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berkisar 30,1º -33,2 ºC.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Hoedojo (1993) suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk berkisar

20º-28ºC, sedangkan menurut Depkes RI (2009), berkisar 25º – 27ºC. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten

Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara suhu dalam

rumah dengan kejadian filariasis.

5.1.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelembaban dalam rumah bukan

sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran kelembaban yang

dilakukan di dalam dan di luar rumah responden, rerata kelembaban yang memenuhi

syarat di dalam rumah responden berkisar 53%-60% dan di luar rumah responden

53%-58%. Sedangkan kelembaban yang tidak memenuhi syarat berkisar 61%-77%.

Perbedaan kelembaban di dalam dan di luar rumah tidak begitu signifikan, artinya

bahwa responden yang memiliki kelembaban dalam rumah tidak memenuhi syarat (<

40% dan > 60%), sejalan dengan kelembaban di luar rumah yang juga tidak

memenuhi syarat. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan

Sungai Raya Kabupaten Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang

bermakna antara kelembaban dengan kejadian filariasis.

Universitas Sumatera Utara


5.1.5 Pengaruh Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi Rumah terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis, terpapar tidak adanya kawat kasa pada ventilasi rumah 3,154 kali lebih

besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis

(p<0,05). Hasil observasi yang dilakukan bahwa rumah responden kelompok kasus

mayoritas tidak memenuhi syarat kesehatan jika ditinjau dari fisik bangunan (lantai,

dinding, amar mandi/WC, ventilasi dan langit-langit). Jadi hal ini sangat berkaitan

dengan keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah yang sangat kecil kemungkinan

untuk terpenuhi. Kawat kasa yang dipasang dibagian ventilasi rumah ini berfungsi

untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan

nyamuk dan tanpa disadari menjauhkan diri dari risiko terkena filariasis.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Juriastuti dkk (2010) di

Kelurahan Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara

kejadian filariasis dengan keberadaan kawat kasa dengan nilai OR sebesar 7,2,

diartikan bahwa responden yang tidak memiliki kawat kasa di rumahnya berisiko 7,2

kali lebih besar dibandingkan responden yang menggunakan kawat kasa. Menurut

Yatim dalam Pulungan dkk (2012) pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi

kontak dengan nyamuk yaitu pemasangan kawat kasa pada ventilasi. Kawat kasa

harus dipasang pada setiap lubang pada rumah. Jumlah lubang pada kawat kasa yang

dianggap optimal 14-16 perinci (2,5 cm) bahannya bermacam-macam mulai tembaga

aluminium sampai plastik.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor,

ada beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan

mekanis yang bertujuan mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat

perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik antara lain dengan

pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan

lain-lain).

5.1.6 Pengaruh Konstruksi Plafon Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 4,267 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil observasi yang dilakukan di rumah responden diketahui bahwa dari 64 rumah

dengan konstruksi plafon tidak rapat sebesar 40,62% (26 rumah) tidak memiliki

plafon, 29,64% (19 rumah) konstruksi plafon terbuat dari anyaman bambu (gedek),

18,75% (12 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek dengan kondisi rusak

(bolong-bolong), dan 10,94% (7 rumah) konstruksi plafon terbuat dari susunan papan

seadanya. Sedangkan untuk konstruksi plafon rapat diketahui bahwa dari 48 rumah,

terdapat 53,19% (26 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek, 25,53% (12

rumah) konstruksi plafon terbuat dari asbes, dan 21,28% (10 rumah) konstruksi

plafon terbuat dari gypsum. Keadaan ini memperbesar peluang masuknya nyamuk ke

dalam rumah sehingga memperbesar risiko untuk kontak atau mendapat gigitan

nyamuk . Plafon berguna sebagai pemisah antara atap dengan ruangan agar tidak

Universitas Sumatera Utara


berhubungan langsung, dan keberadaan plafon cukup penting agar nyamuk tidak

leluasa masuk rumah melalui celah-celah atap.

Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Juriastuti dkk (2010) di kelurahan

Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon

dengan kejadian filariasis dengan nilai OR=6,3, diartikan bahwa responden dengan

keadaan plafon yang buruk di rumah akan lebih berisiko 6,3 kali dibandingkan

responden dengan keaadaan plafon yang baik.

5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Pengaruh variabel lingkungan biologis terhadap kejadian mikrofilaria positif

dan filariasis dalam penelitian ini sebagai berikut :

5.2.1 Pengaruh Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah terhadap Kejadian


Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis, terpapar adanya tanaman di sekitar rumah 3,922 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil observasi yang dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan bahwa dari 64 rumah yang terdapat tanaman disekitar rumahnya diketahui

jenis tanaman yang terdapat disekitar rumah responden tersebut dalam jarak < 200 m

adalah semak-semak/rumput-rumputan 46,88% (30 rumah), perkebunan kelapa

sawit 38,5% (24 rumah), dan hutan 15,63% (10 rumah). Kondisi lingkungan seperti

Universitas Sumatera Utara


ini merupakan tempat yang menjadi resting places bagi vektor nyamuk, sehingga

memperbesar risiko penularan mikrofilaria positif dan filariasis.

Keadaan ini sejalan dengan potensi daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan

yang merupakan sentra perkebunan di Provinsi Sumatera Utara dengan luas

perkebunan mencapai 20,56% dari luas wilayah (BPS Kabupaten Labuhanbatu,

2011). Demikian halnya juga dengan Kabupaten Asahan dengan luas perkebunan

mencapai 21,11% dari luas wilayah (Profil Daerah Kabupaten Asahan, 2011).

Hasil penelitian Pulungan dkk (2012) di Kecamatan Kampung Rakyat

Kabupaten Labuhanbatu Selatan menemukan 15 rumah (75%) pada kelompok kasus

dan pada kelompok kontrol 7 rumah (35%) ada tempat peristirahatan nyamuk yaitu

berupa gantungan baju dan semak pada lingkungan rumah, dan menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna antara keberadaan tempat peristirahatan nyamuk dengan

kejadian filariasis.

Tempat beristirahat nyamuk juga berbeda-beda tergantung spesiesnya. Pada

umumnya nyamuk beristirahat pada tempat-tempat teduh, seperti disemak-semak di

sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap

(Soeyoko, 2002). Fuad dkk (2008) di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat

menyatakan kondisi lingkungan tempat tinggal dekat (< 500 m) dari lingkungan

perkebunan kelapa sawit merupakan faktor risiko terkuat penyebab kejadian

filariasis di Kabupaten Agam secara analisis spasial. Wharton dalam Boesri (2012)

Universitas Sumatera Utara


telah menemukan banyak nyamuk Mansonia uniformis di celah-celah batu dibawah

rumput-rumputan.

Penelitian Sulistiyani dkk (2012) di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan

Yapen Propinsi Papua mendapatkan hubungan yang signifikan antara keberadaan

hutan/semak-semak disekitar rumah dengan kejadian filariasis (OR=9,727).

Keberadaan semak-semak terutama yang rimbun akan menghalangi sinar matahari

menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-semak yang rimbun berakibat

lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat

yang disenangi nyamuk (Depkes RI, 2009).

5.2.2 Pengaruh Keberadaan Hewan Peliharaan di Sekitar Rumah terhadap


Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberadaan hewan peliharaan

disekitar rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil observasi yang

dilakukan jenis hewan peliharaan disekitar rumah yang terdapat di sekitar rumah

responden dalam jarak < 200 m adalah sapi/kerbau (50%), kucing (38,8%) dan

kambing (11,1%). Berdasarkan hasil observasi juga diketahui bahwa kucing yang

dipelihara adalah kucing rumahan (tidak liar) sehingga memang kemugkinan kucing

tersebut sebagai sumber infeksi sangat kecil. Menurut Sudjadi dalam Setiawan (2008)

menyatakan bahwa kucing yang mengakibatkan faktor risiko adalah kucing hutan.

Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi Brugia malayi adalah

kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena

Universitas Sumatera Utara


infeksi (Gandahusada, 2000). Memelihara ternak dalam rumah juga akan

memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah karena beberapa nyamuk

penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia sehingga memungkinkan

penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut (Anshari, 2004)

Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Setiawan (2008) di Wilayah Keja

Puskesmas Cempaka Kabupaten Kota Waringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah

menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan memelihara

kucing dengan kejadian filariasis. Penelitian Ansari (2004) di Kecamatan Sungai

Raya Kabupaten Pontianak diperoleh p=0,091 yang menyatakan tidak ada hubungan

bermakna antara keberadaan kandang ternak < 100 m dari rumah dengan kejadian

filariasis.

5.3 Pengaruh Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif


dan Filariasis

Pengaruh variabel lingkungan sosial terhadap kejadian mikrofilaria positif dan

filariasis dalam penelitian ini sebagai berikut :

5.3.1 Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis, terpapar jenis pekerjaannya yang berisiko, 3,391 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pekerjaan berisiko yang dijalani

responden adalah sebagai petani/berkebun (39,65%), buruh kebun (31%), pencari

Universitas Sumatera Utara


kayu di hutan (17,24%), pembuat tepas/atap (8,60%) dan nelayan (3,45%), sedangkan

pekerjaan tidak berisiko adalah sebagai wiraswasta (50%), pedagang (33,33%) dan

ibu rumah tangga (16,67%). Pekerjaan berisiko memperbesar risiko kontak dengan

nyamuk sehingga memperbesar risiko penularan mikrofilaria positif dan filariasis,

seperti pekerjaan sebagai pembuat tepas/atap dan sebagai nelayan merupakan

pekerjaan yang biasanya dilakukan diluar rumah pada siang dan malam hari.

Penelitian Nasrin (2008) di Kabupaten Bangka Barat menyatakan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian filariasis dengan

nilai OR sebesar 3,695, bahwa orang yang memiliki jenis pekerjaan berisiko (petani,

nelayan, buruh tani, buruh pabrik) akan berpeluang terkena penyakit filariasis sebesar

4,4 kali dibandingkan dengan orang yang memiliki pekerjaan tidak berisiko (tidak

bekerja, wiraswasta, pedagang, PNS/ABRI). Hasil penelitian Riftiana (2010) di

Kabupaten Pekalongan menemukan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan selain

petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan akan

mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada orang

yang bekerja siang hari.

5.3.2 Pengaruh Kebiasaan Keluar pada Malam Hari terhadap Kejadian


Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif

dan filariasis mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari 2,576 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Hasil wawancara didapatkan informasi bahwa kebiasaan keluar malam ini dilakukan

Universitas Sumatera Utara


responden karena berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan di luar rumah pada

siang dan malam hari (membuat tepas/atap, nelayan), kebiasaan tidur di ladang, dan

bergadang diluar rumah untuk ngobrol.

Menurut hasil pengamatan Ambarita dan Hotnida (2004) pada studi

komunitas nyamuk di Desa Sebubus (daerah endemis filariasis) di Sumatera Selatan

bahwa aktifitas menggigit Mansonia uniformis diluar rumah menggigit dimulai pada

pukul 18.00 sampai pukul 19.00. Puncak kepadatan menggigit pada pukul 20.00

sampai pukul 21.00 dan pukul 21.00 sampai pukul 22.00 dengan kepadatan yang

sama. Sedangkan puncak kepadatan menggigit didalam rumah terjadi pada pukul

20.00 sampai pukul 21.00. Keadaan dimana aktifitas nyamuk vektor yang mulai

menggigit dan puncak kepadatan vektor yang berada pada paruh pertama malam hari

akan sangat mendukung terjadinya kontak antara nyamuk vektor dengan manusia

yang akhirnya dapat menyebabkan penularan filariasis, dikarenakan pada paruh

waktu pertama malam hari penduduk biasanya masih melakukan aktifitas baik

didalam maupun diluar rumah. Hasil wawancara dengan responden diketahui juga

bahwa ada responden yang mempunyai kebiasaaan tidur diladang/sawah, bergadang

diluar rumah untuk ngobrol, dan melakukan pekerjaan (membuat tepas/atap) di luar

rumah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasrin (2008) di Kabupaten Bangka

Barat yang menemukan ada hubungan bermakna antara kebiasaan responden keluar

malam hari dengan kejadian filariasis, dan nilai OR sebesar 2,231 artinya bahwa

Universitas Sumatera Utara


responden yang mempunyai kebiasaan keluar malam hari akan berisiko terkena

filariasis sebesar 2,231 kali dibandingkan dengan responden yang tidak keluar malam

hari.

5.3.3 Pengaruh Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap Kejadian Mikrofilaria


Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis

tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur 3,029 kali lebih besar

dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).

Memakai kelambu merupakan salah satu bentuk pencegahan untuk menghindari

gigitan nyamuk termasuk nyamuk vektor filariasis, tetapi beberapa masyarakat

merasa tidak nyaman jika tidur menggunakan kelambu dengan alasan panas atau

merasa tidak nyaman jika harus tidur menggunakan kelambu.

Penelitian Mulyono dkk (2007) di Kabupaten Pekalongan menemukan bahwa

kebiasaan tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur merupakan faktor risiko

terjadinya filariasis dengan nilai OR sebesar 3,99, artinya orang yang pada waktu

tidur tidak menggunakan kelambu mempunyai risiko 3,99 kali untuk terkena filariasis

dibandingkan orang yang menggunakan kelambu. Penelitian Karwiti (2011) di

Wilayah Kerja Puskesmas Sukajadi Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin

Propinsi Sumatera Selatan menemukan kebiasaan responden tidak memakai kelambu

pada waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi

filariasis Brugia malayi.

Universitas Sumatera Utara


5.3.4 Pengaruh Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil diketahui bahwa kebiasaan memakai obat anti nyamuk

sebelum tidur bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Menggunakan Obat anti

nyamuk/repelen merupakan salah satu pencegahan untuk menghindari gigitan

nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) baik itu obat nyamuk bakar, obat

nyamuk oles ataupun obat nyamuk semprot. Berdasarkan hasil wawancara mayoritas

responden mempunyai kebiasaaan menggunakan obat anti nyamuk bakar.

Sejalan dengan penelitian Ulfana (2009) di Kabupaten Pekalongan yang

menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan memakai repelen

dengan kejadian filariasis. Hal ini berbeda dengan penelitian Mulyono dkk (2007) di

Kabupaten Pekalongan yang menemukan bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat

anti nyamuk pada waktu tidur merupakan faktor risiko terjadinya filariasis dengan

nilai OR sebesar 5,38, artinya orang yang pada waktu tidur tidak menggunakan obat

anti nyamuk mempunyai risiko 5,38 kali untuk terkena filariasis dibandingkan orang

yang menggunakan obat anti nyamuk.

5.4 Faktor Paling Dominan

Hasil analisis regresi logistik ganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh

signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten

Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan adalah faktor konstruksi plafon dengan

Universitas Sumatera Utara


nilai OR sebesar 2,635, faktor keberadaan tanaman di sekitar rumah dengan nilai OR

sebesar 4,432, faktor kebiasaan keluar pada malam hari dengan nilai OR sebesar

2,583 dan faktor kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur dengan nilai OR sebesar

3,008. Berdasarkan besar nilai OR tersebut faktor yang paling kuat pengaruhnya

terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan adalah keberadaan tanaman di sekitar rumah. Faktor

keberadaan tanaman di sekitar rumah bernilai positif menunjukkan bahwa faktor

tersebut mempunyai hubungan yang searah (positif) terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan

dengan OR sebesar 4,432.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan bahwa dari 64 rumah yang terdapat tanaman

disekitar rumahnya diketahui jenis tanaman yang terdapat disekitar rumah responden

tersebut dalam jarak < 200 m adalah semak-semak/rumput-rumputan 46,88% (30

rumah), perkebunan kelapa sawit 38,5% (24 rumah), dan hutan 15,63% (10 rumah).

Kondisi lingkungan seperti ini merupakan tempat yang menjadi resting places bagi

vektor nyamuk, sehingga memperbesar risiko penularan mikrofilaria positif dan

filariasis.

Di Sumatera Utara vektor utama kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

adalah nyamuk Mansonia uniformis. Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia

uniformis digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka

Universitas Sumatera Utara


yang mana tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum

amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk

Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan

dan merupakan tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk

Mansonia annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam

keanekaragaman tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat

berkembangbiak jenis nyamuk seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan

Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman

air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia,

apalagi jika kolam tersebut mempunyai kedalaman 15-100 cm (Wharton dalam

Boesri, 2012). Kondisi ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh

bahwa jenis tanaman di sekitar rumah yang terdapat disekitar rumah responden dalam

jarak < 200 m adalah semak-semak/rumput-rumputan, perkebunan kelapa sawit dan

hutan.

Menurut Depkes RI (2009) seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang

tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang

untuk infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil

(Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus

mikrofilaria positif dan filariasis memerlukan waktu yang cukup panjang karena

berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi lingkungan yang potensial bagi

perkembangan vektor filariasis dan kebiasaan berisiko yang dapat menimbulkan

Universitas Sumatera Utara


kerentanan. Artinya bahwa keberadaan tanaman di sekitar rumah yang potensial

sebagai breeding places and resting places bagi vektor nyamuk, kondisi fisik rumah

dengan konstruksi plafon yang tidak rapat memperbesar peluang seseorang kontak

dengan nyamuk di dalam rumah, dan kebiasaaan keluar rumah pada malam hari dan

kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur berkaitan juga dengan intensitas

seseorang kontak dengan vektor nyamuk penular mikrofilaria positif dan filariasis.

Keadaan ini sejalan dengan hasil wawancara bahwa responden kasus sudah tinggal

ditempat tinggalnya saat penelitian diatas > 10 tahun bahkan dari sejak lahir.

5.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai keterbatasan antara lain sebagai

berikut :

5.5.1 Data dan informasi mengenai faktor-faktor berisiko (variabel dependen)

dalam penelitian ini diperoleh dengan mengandalkan daya ingat responden

terhadap kejadian yang telah lama terjadi. Sedangkan data yang diobservasi

dan diukur adalah kondisi sekarang yang memungkinkan telah banyak terjadi

perubahan. Oleh karena itu, mungkin saja terjadi recall bias dan bias dalam

interpretasi hasil penelitian

5.5.2 Saat penelitian dilakukan, kadang-kadang sulit untuk mendapatkan kasus

dan kontrol yang benar-benar sebanding/setara dalam berbagai

karakteristiknya.

Universitas Sumatera Utara


5.5.3 Tidak selamanya terdapat sampel kontrol yang diperiksa darah jarinya

merupakan tetangga terdekat kasus, sehingga sampel kontrol yang diambil

berasal dari daerah lain dengan karakteristik yang sama.

5.5.4 Tidak semua faktor yang dapat mempengaruhi kejadian mikrofilaria positif

dan filariasis diteliti, misalnya sosiodemografi dan sosioekonomi, keberadaan

tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk lainnya, serta kebiasaan-

kebiasaan berisiko lainnya.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa

faktor lingkungan yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif

dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan adalah

keberadaan rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi

plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar

pada malam hari, dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur. Faktor dominan

yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis

adalah konstruksi plafon, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaaan keluar

pada malam hari dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur. Faktor keberadaan

tanaman disekitar rumah merupakan faktor dengan pengaruh paling kuat dengan nilai

OR=4,432.

6.2 Saran

6.2.1 Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten

Asahan perlu melakukan penyuluhan tentang filariasis, upaya pencegahan dan

pengendalian yang dapat dilakukan masyarakat guna mengurangi risiko

tertular mikrofilaria positif dan filariasis.

6.2.2 Masyarakat diharapkan dapat meminimalkan atau menghilangkan adanya

semak-semak/rumput-rumputan disekitar rumah, guna mengurangi

Universitas Sumatera Utara


keberadaan resting places dengan membersihkan lingkungan rumah secara

teratur.

6.2.3 Masyarakat disarankan menggunakan kelambu sewaktu tidur, terutama

masyarakat yang tinggal dekat dengan perkebunan kelapa sawit dan hutan.

6.2.4 Untuk peneliti selanjutnya perlu melakukan studi komunitas nyamuk untuk

mengetahui vektor utama filariasis yang ada di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan, sehingga dapat dilakukan pengendalian

vektor dengan tepat.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, L, P., Sitorus, H., 2006. Studi Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus
(Daerah Endemis Filariasis) Sumatera Selatan Tahun 2004, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol 5, No. 1 : 368-375.

Anshari, R., 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Dusun Tanjung
Bayur Desa Sungai Raya Kabupaten Pontianak, Tesis, Semarang : Undip

Boesri, H., 2012. Bioekologi Mansonia uniformis dan Peranannya Sebagai Vektor
Filariasis. Salatiga : Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit

Brown, H.W., 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta : Gramedia

Budiarto, E., Anggraeni, D., 2010. Pengantar Epidemiologi, Jakarta : EGC

Budiarto, E., 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran Sebuah Pengantar, Jakarta :


EGC

Chairufatah, A., 2009. Filariasis Limfatik, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
diakses tanggal 2 November 2012,
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=200912011554

Chandra, B., 2012. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Jakarta : EGC.

Depkes RI, 2009a. Epidemiologi Filariasis, Jakarta : Dirjen PP & PL.

___________, 2009b. Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah Endemis Filariasis,


Jakarta : Dirjen PP & PL.

___________, 2009c. Pedoman Pengobatan Massal Filariasis, Jakarta Dirjen PP &


PL.

___________, 2009d. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Jakarta


Dirjen PP & PL.

Ernamaiyanti, Kasry, A., Abidin, Z., 2010. Faktor-Faktor Ekologis Habitat Larva
Nyamuk Anopheles di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau
Kabupaten Siak Propinsi Riau Tahun 2009, Journal of Enviromental Sciene :
2(4).

Universitas Sumatera Utara


Fuad, A., Soeyoko,Jontari, 2008. Analisis Spasial Faktor-Faktor Risiko Kejadian
Filariasis Di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat Tahun 2008, FETP
UGM.

Gandahusada, S., Ilahude, Pribadi, W., 2000. Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga,
Jakarta : FKUI

Hasminawati, Nurhayati., 2009. Kajian Nyamuk Vektor Di daerah Endemis Filariasis


Di Kenegrian Mungo dan Luhak Kecamatan Luhak Kabupaten Lima Puluh
Kota Sumatera Barat, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.3, No. 2.

Icpmr, NSW Arbovrus Surveillance and Vector Monitoring Programme, diakses


tanggal 21 Februari 2013,
http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/mosquitophotos_conquill
ettidia_mansonia.htm.

Juriastuti, P., Kartika, M., Djaja, I M., Susanna, D., 2010. Faktor Risiko Kejadian
Filariasis Di Kelurahan Jati Sempurna, Makara Kesehatan, Vol 14, No.1 : 31-
36.

Karwiti, W., 2011. Lingkungan dan Perilaku Penduduk Sebagai Faktor Risiko
Kejadian Filariasis Brugia malayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajadi
Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan,
Tesis, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Kemenkes RI, 2010a. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis Di


Indonesia 2010-2014, Jakarta : Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat
P2B2 Ditjen PP & PL.

___________, 2010b. Filariasis Di Indonesia, Buletin Jendela Epidemiologi, Volume


I : 1-8.

Komariah, S., 2010. Analisis Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bandung, Tesis, Bandung :
Universitas Diponegoro.

Lemeshow, S., David, W.H.Jr., Klar, J., Lwangga, S.K., 1997. Besar Sampel Dalam
Penelitian Kesehatan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Lwangga, S.K., Lemeshow, S., 1998. Software Sample Size Determination in Helath
Studies a Pratical Manual, Genewa : WHO.

Universitas Sumatera Utara


Menkes RI, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor, Jakarta.

Menkes RI, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah,
Jakarta.

Mulyono, R, A., Hadisaputro, S., Wartono, H., 2008. Faktor Risiko Lingkungan dan
Perilaku yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Filariasis (Studi Kasus di
Wilayah Kerja Kabupaten Pekalongan), Tesis, Semarang : Undip.

Munif, A., 2009. Nyamuk Vektor Malaria dan Hubungannya Dengan Aktivitas
Kehidupan Manusia di Indonesia, Aspirator Vol.1, No.2 : 94-102.

Murti, B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.

________, 1996. Penerapan Metode Statistik Non Parametrik dalam Ilmu-Ilmu


Kesehatan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Nasrin, 2008. Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan Dengan


Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Semarang : Tesis Program
Pasca Sarjana Undip.

Noor, Nur, N., 2008. Epidemiologi, Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta.

Nugraheni, A., 2011. Faktor- Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Filariasis
Bancrofti di Wilayah Kerja Puskesmas Buaran,Kabupaten Pekalongan, Tesis,
Semarang : Undip.

Nurmaini, 2003. Mentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus


Secara Sederhana, Medan : FKM USU

Pohan, T, H., 2009. Filariasis, Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi Kelima, Jilid III,
Jakarta : Interna Publishing.

Pulungan, E.S., Santi, D.N., Cahaya, I., 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan
Perumahan dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Filariasis di
Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2012,
Skripsi, Medan : FKM USU.

Universitas Sumatera Utara


Pratiknya, A, W., 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Rampengan, T, H., 2007. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Edisi 2, Jakarta : EGC

Riftiana N., Soeyoko, 2010. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di


Kabupaten Pekalongan, Jurnal Kes Mas UAD, Vol.4, No.1 : 1-75.

Riyanto, A., 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan, Yogyakarta : Nuha


Medika.

Ryadi, S., Wijayanti, 2011. Dasar-Dasar Epidemiologi, Jakarta : Salemba Medika.

Santoso, Yenni, A., Mayasari, R., 2007. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis
Pada Masyarakat di Indonesia, Sumatera Selatan : Loka Litbang P2B2
Baturaja.

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi
Ke-4, Jakarta : Sagung Seto.

Setiawan, B., 2008. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis
Malayi di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia Kabupaten Kota
Waringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah, Seminar Nasional Sains dan
Teknologi-II 2008, Universitas Lampung

Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik, Surabaya : Airlangga University Press

Soeyoko, 2002. Penyakit Kaki Gajah (Filariasis Limfatik) Permasalahan dan


Alternatif Penanggulangannya, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
FK-UGM, Yogyakarta

Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008. Buku Ajar Parasitologi


Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta : FKUI.

Sulistiyani, Setiani, O., Paiting, YS., 2012. Faktor Risiko Lingkungandan Kebiasaan
Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi
Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua Tahun 2010, Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol. 11, No. 1.

Universitas Sumatera Utara


Suwito, Hadi, U.K., Sigit, S.H., Sukowati, S., 2010. Hubungan Iklim, Kepadatan
Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria, Jurnal Entomologi
Indonesia, Vol. 7, No.1 : 42-53

Ulfana, Aini, 2009. Faktor Risiko Lingkungan Rumah dan Perilaku Dengan Kejadian
Filariasis di Kabupaten Pekalongan Tahun 2009, Tesis, Semarang : Undip.

World Health Organization, 2010. Newsletter Action Against Worms, ISSUE 14.

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya, Edisi Kedua, Jakarta : Erlangga.

Wijayanti, T., 2009. Analisis Situasi Filariasis Limfatik di Kelurahan Simbang Kulon
Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, Balaba, Vol. 5, No. 01 : 11-16

Wiley, J. and Sons, 1987. Filariasis, Ciba Foundation Symposium, Great Britain.

Yasril, Kasjono, H.S., 2009. Analisis Multivariat Untuk Penelitian Kesehatan,


Cetakan Pertama, Jogjakarta : Mitra Cendikia Press

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : ………………………………………………….

Umur : ………………………………………………….

Alamat : ………………………………………………….

Setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian ini maka saya

menyatakan bersedia berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian yang akan

dilakukan oleh saudari Irianti mengenai “Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap

Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

dan Kabupaten Asahan Tahun 2013”.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini sangat bermanfaat untuk

kepentingan ilmiah, indentitas responden digunakan hanya untuk keperluan

penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sukarela tanpa ada paksaan dari

pihak manapun agar dapat dipergunakan sesuai keperluan.

………………, …………….2013

Peneliti Responden

(I r i a n t i) ( )

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA


POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN
DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

Kasus Kontrol
Nama Responden : ……………………………….

Jika kasus sudah berapa lama menderita filariasis : …………… tahun

Alamat Responden : ……………………………………………………


……………………………………………………
Dusun/Lingkungan : ……………………………………………………
Desa/Kelurahan : ……………………………………………………
Kecamatan : ……………………………………………………
Kabupaten : ……………………………………………………

Lamanya tinggal : …………. tahun


……………………………………………………

Umur : …………. tahun

Jenis Kelamin : laki-laki perempuan

Status perkawainan : ………………………………

Jumlah Anggota Keluarga : …………. orang

Pendidikan : 1. Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD


2. Tamat SD
3. Tamat SLTP
4. Tamat SLTA
5. Tamat D3/S1

Universitas Sumatera Utara


LINGKUNGAN SOSIAL

I. Pekerjaan : 1. Petani
2. Nelayan
4. Buruh kebun
3. PNS
4. Pegawai swasta
5. Wiraswasta
6. Pedagang
7. Lain-lain, sebutkan ………………………………

√) pada
Untuk pertanyaan berikut, beri tanda silang (X) atau ( kotak yang telah
tersedia sesuai dengan jawaban responden dengan keterangan sebagai berikut :

TP : Tidak Pernah (skor = 4)


KK : Kadang-Kadang (skor = 3)
S : Sering (skor = 2)
SS : Setiap Saat (skor = 1)

II. Kebiasaan Keluar pada Malam Hari

Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari TP KK S SS


1 Saya keluar rumah pada malam hari lebih dari 1
jam
2 Saya keluar rumah antara pukul 18.00-22.00 WIB
3 Saya bergadang diluar rumah
4 Saya bekerja diluar rumah malam hari
5 Saya tidur malam di ladang/sawah/kebun
6 Saya pergi ke hutan siang/malam hari

III. Kebiasaan Memakai Kelambu

Apakah Bapak/Ibu memiliki kelambu ? Ya Tidak

Kebiasaan Memakai Kelambu TP KK S SS


1 Saya tidur malam memakai kelambu
2 Saya tidur siang memakai kelambu
3 Saya merawat kelambu agar tetap baik kondisinya
4 Petugas kesehatan menganjurkan saya tidur
menggunakan kelambu
5 Saya merasa nyaman jika tidur menggunakan
kelambu

Universitas Sumatera Utara


IV. Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk

Apakah di rumah Bapak/Ibu tersedia obat anti nyamuk? Ya Tidak

Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk TP KK S SS


1 Saya memakai obat anti nyamuk sebelum tidur
2 Saya memakai obat anti nyamuk jika ingin keluar
rumah pada malam hari
3 Saya memakai obat anti nyamuk bakar sebelum
tidur
4 Saya memakai obat anti nyamuk semprot
sebelum tidur
5 Saya memakai obat anti nyamuk oles sebelum
tidur

UPAYA PENCEGAHAN

1. Apakah Bapak/Ibu ada melakukan upaya pencegahan untuk terhindar dari


penyakit filariasis?

Ada Tidak ada

2. Jika ada, upaya seperti apa yang Bapak/Ibu lakukan :


1. Menabur bubuk abate
2. Memelihara ikan
3. Melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)
4. Lain-lain, sebutkan ………………………………

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR OBSERVASI

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA


POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN
DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

Nama Responden : ……………………………….


Alamat Responden : ……………………………………………………
……………………………………………………

LINGKUNGAN FISIK

1. Suhu udara dalam rumah : ……………….ºC, luar rumah ……………..ºC

2. Kelembaban udara dalam rumah : ………………..%, luar rumah ……………...%

3. Ventilasi rumah Ada Tidak Ada

4. Kawat kassa pada ventilasi Ada Tidak Ada

5. Plafon/langit-langit rumah Ada Tidak Ada

6. Jika ada, kondisi plafon Rapat Tidak Rapat

7. Plafon/langit-langit rumah tersebut terbuat dari :

Gypsum
Asbes
Triplek
Anyaman bambu
Lain-lain, sebutkan ……………………….

8. Rawa-rawa Ada Tidak Ada


(jarak < 200 m dari rumah responden)

9. Persawahan Ada Tidak Ada


(jarak < 200 m dari rumah responden)

Universitas Sumatera Utara


LINGKUNGAN BIOLOGIS

10. Semak-semak Ada Tidak Ada


(jarak < 200 m dari rumah responden)

11. Tanaman air Ada Tidak Ada


(jarak < 200 m dari rumah responden)

12. Jika ada, jenis tanaman air tersebut :

Kyambang
Teratai
Eceng gondok
Lain-lain, sebutkan ……………………………….

13. Hewan peliharaan Ada Tidak Ada


(jarak < 200 m dari rumah responden)

14. Jika ada, jenis hewan peliharaan :

Kucing
Monyet/kera
Sapi
Kerbau
Kambing

Universitas Sumatera Utara


Lampiran
Lampiran 33

JADWAL PENELITIAN

2012 2013
No. Kegiatan
Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul.
1. Pengajuan Judul
Survei
2.
Pendahuluan
3. Pencarian Literatur
4. Penulisan Proposal
5. Kolokium
Perbaikan
6.
Proposal
7. Pengumpulan Data
Analisis Data dan
8.
Penulisan Tesis
9. Seminar Tesis
10. Ujian Tesis
11. Perbaikan Tesis

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4
MASTER DATA

Kej.
No Mf+ umur umurk Jk didik kerja rawa sawh suhu lmbab kasa plafon tanam hewan mlm mlmk klmbu klmbuk obat obatk
1 0 62 3 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 17 0 13 1 11 0
2 1 62 3 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 19 1 16 1 18 1
3 0 79 3 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 15 0 9 0 20 1
4 1 79 3 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 24 1 10 0 20 1
5 0 52 3 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 15 0 11 0 20 1
6 1 52 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 22 1 20 1 14 0
7 0 29 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 17 0 12 1 20 1
8 1 29 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 22 1 15 1 18 1
9 0 83 3 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 8 0 13 1 18 1
10 1 83 3 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 24 1 14 1 18 1
11 0 43 2 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 19 1 20 1 18 1
12 1 43 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 10 0 14 1 17 1
13 0 50 2 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 17 0 16 1 18 1
14 1 50 2 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 22 1 14 1 16 1
15 0 47 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 20 1 20 1 16 1
16 1 47 2 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 16 0 12 1 16 1
17 0 74 3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 24 1 20 1 16 1
18 1 74 3 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 22 1 17 1 16 1
19 0 66 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 24 1 12 1 16 1
20 1 66 3 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 19 1 20 1 16 1
21 0 68 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 21 1 14 1 18 1
22 1 68 3 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 23 1 12 1 16 1
23 0 62 3 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 15 0 11 0 17 1
24 1 62 3 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 24 1 12 1 16 1
25 0 29 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 17 0 20 1 15 1
26 1 29 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 22 1 20 1 13 0

Universitas Sumatera Utara


Kej.
No Mf+ umur umurk Jk didik kerja rawa sawh suhu lmbab kasa plafon tanam hewan mlm mlmk klmbu klmbuk obat obatk
27 0 61 3 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 24 1 12 1 19 1
28 1 61 3 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 24 1 16 1 18 1
29 0 51 3 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 13 0 8 0 11 0
30 1 51 3 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 16 0 16 1 15 1
31 0 85 3 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 13 0 11 0 15 1
32 1 85 3 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 22 1 15 1 15 1
33 0 34 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 22 1 10 0 20 1
34 1 34 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 24 1 15 1 18 1
35 0 60 3 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 14 0 10 0 10 0
36 1 60 3 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 22 1 9 0 10 0
37 0 55 3 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 21 1 20 1 14 0
38 1 55 3 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 21 1 13 1 15 1
39 0 70 3 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 10 0 5 0 20 1
40 1 70 3 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 24 1 5 0 20 1
41 0 73 3 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 14 0 11 0 20 1
42 1 73 3 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 22 1 20 1 20 1
43 0 80 3 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 9 0 14 1 20 1
44 1 80 3 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 10 0 20 1 16 1
45 0 82 3 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 18 0 10 0 20 1
46 1 82 3 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 18 0 15 1 20 1
47 0 21 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 14 0 12 1 15 1
48 1 21 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 23 1 12 1 15 1
49 0 48 2 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 23 1 9 0 20 1
50 1 48 2 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 24 1 9 0 20 1
51 0 44 2 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 21 1 13 1 17 1
52 1 44 2 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 22 1 11 0 20 1
53 0 33 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 17 0 10 0 12 0
54 1 33 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 19 1 14 1 16 1
55 0 70 3 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 16 0 8 0 16 1

Universitas Sumatera Utara


Kej.
No Mf+ umur umurk Jk didik kerja rawa sawh suhu lmbab kasa plafon tanam hewan mlm mlmk klmbu klmbuk obat obatk
56 1 70 3 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 14 0 12 1 16 1
57 0 48 2 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 18 0 11 0 15 1
58 1 48 2 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 17 0 20 1 15 1
59 0 64 3 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 16 0 6 0 19 1
60 1 64 3 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 0 20 1 14 0
61 0 62 3 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 22 1 12 1 12 0
62 1 62 3 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 12 0 6 0 18 1
63 0 52 3 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 12 0 20 1 17 1
64 1 52 3 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 19 1 12 1 17 1
65 0 79 3 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 17 0 11 0 20 1
66 1 79 3 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1 24 1 6 0 15 1
67 0 37 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 14 0 20 1 14 0
68 1 37 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 9 0 20 1 14 0
69 0 67 3 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 12 0 6 0 11 0
70 1 67 3 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 18 0 6 0 15 1
71 0 68 3 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 16 0 6 0 15 1
72 1 68 3 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 11 0 6 0 14 0
73 0 49 2 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 19 1 8 0 5 0
74 1 49 2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22 1 6 0 5 0
75 0 68 3 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 23 1 8 0 5 0
76 1 68 3 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 18 0 12 1 5 0
77 0 42 2 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 23 1 11 0 12 0
78 1 42 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 0 12 1 10 0
79 0 73 3 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 19 1 12 1 12 0
80 1 73 3 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 22 1 8 0 10 0
81 0 83 3 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 22 1 10 0 12 0
82 1 83 3 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 10 0 10 0 10 0
83 0 61 3 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 11 0 10 0 12 0
84 1 61 3 1 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 21 1 13 1 12 0

Universitas Sumatera Utara


Kej.
No Mf+ umur umurk Jk didik kerja rawa sawh suhu lmbab kasa plafon tanam hewan mlm mlmk klmbu klmbuk obat obatk
85 0 48 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 21 1 11 0 16 1
86 1 48 2 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 22 1 12 1 16 1
87 0 38 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 17 0 10 0 16 1
88 1 38 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 1 11 0 9 0 11 0
89 0 62 3 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 22 1 10 0 15 1
90 1 62 3 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 22 1 13 1 12 0
91 0 46 2 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 23 1 11 0 14 0
92 1 46 2 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 23 1 10 0 15 1
93 0 60 3 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 8 0 15 1 15 1
94 1 60 3 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 22 1 15 1 15 1
95 0 70 3 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 21 1 10 0 14 0
96 1 70 3 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 22 1 12 1 11 0
97 0 45 2 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 10 0 13 1 14 0
98 1 45 2 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 21 1 12 1 16 1
99 0 55 3 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 8 0 8 0 17 1
100 1 55 3 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 24 1 20 1 12 0
101 0 58 3 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 21 1 10 0 14 0
102 1 58 3 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 21 1 11 0 14 0
103 0 56 3 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 15 0 10 0 15 1
104 1 56 3 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 18 0 10 0 14 0
105 0 62 3 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 16 0 9 0 17 1
106 1 62 3 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 17 0 10 0 14 0
107 0 58 3 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 8 0 12 1 12 0
108 1 58 3 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 8 0 10 0 12 0
109 0 56 3 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 24 1 13 1 15 1
110 1 56 3 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 9 0 12 1 12 0
111 0 60 3 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 15 0 8 0 12 0
112 1 60 3 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 18 0 12 1 15 1

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5

HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Validitas Kebiasaan Keluar Malam

Reliaalibilitas Kebiasaan Keluar Malam


Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.780 8

Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 32.20 69.511 .872 .732
pertanyaan 2 32.40 74.711 .671 .757
pertanyaan 3 32.10 77.878 .393 .775
pertanyaan 4 32.00 72.444 .676 .749
pertanyaan 5 32.30 73.344 .630 .754
pertanyaan 6 31.90 70.767 .803 .739
pertanyaan 7 32.00 74.000 .674 .755
total 17.30 21.122 1.000 .851

Universitas Sumatera Utara


Validitas Kebiasaan Memakai Kelambu

Reliabilitas kebiasaan Memakai Kelambu

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.816 6

Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 23.80 58.622 .812 .766
pertanyaan 2 22.70 69.789 .669 .820
pertanyaan 3 23.80 61.289 .803 .778
pertanyaan 4 23.70 62.011 .849 .779
pertanyaan 5 23.90 57.433 .977 .750
ptotal 13.10 18.989 1.000 .900

Universitas Sumatera Utara


Validitas Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk

Reliabilitas Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.814 6

Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 28.40 32.489 .808 .758
pertanyaan 2 26.70 34.233 .816 .770
pertanyaan 3 27.30 38.011 .676 .805
pertanyaan 4 26.80 35.289 .877 .776

pertanyaan 5 26.70 35.344 .859 .777

ptotal 15.10 10.767 1.000 .890

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6

HASIL ANALISIS UNIVARIAT

Frequency Table

kejadian Mf + dan filariasis


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid kasus 56 50.0 50.0 50.0
kontrol 56 50.0 50.0 100.0
Total 112 100.0 100.0

kelompok umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 21-30 6 5.4 5.4 5.4
31-40 8 7.1 7.1 12.5
41-50 22 19.6 19.6 32.1
>50 76 67.9 67.9 100.0
Total 112 100.0 100.0

jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 48 42.9 42.9 42.9
perempuan 64 57.1 57.1 100.0
Total 112 100.0 100.0

pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid dasar 97 86.6 86.6 86.6
menengah 15 13.4 13.4 100.0
Total 112 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7

HASIL ANALISIS BIVARIAT

Crosstabs

Universitas Sumatera Utara


keberadaan rawa-rawa * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.735a 1 .017
Continuity Correctionb 4.819 1 .028

Likelihood Ratio 5.810 1 .016


Fisher's Exact Test .027 .014
Linear-by-Linear 5.684 1 .017
Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for keberadaan 2.667 1.182 6.020
rawa-rawa (ada / tidak ada)
For cohort kejadian Mf + dan 1.570 1.103 2.235
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .589 .364 .953
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

keberadaan persawahan * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .439a 1 .508
Continuity Correctionb .110 1 .740
Likelihood Ratio .442 1 .506
Fisher's Exact Test .742 .371
Linear-by-Linear .435 1 .509
Association
N of Valid Cases 112
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for keberadaan .641 .171 2.408
persawahan (ada / tidak ada)
For cohort kejadian Mf + dan .785 .359 1.716
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan 1.224 .711 2.108
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

suhu * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .346a 1 .556
Continuity Correctionb .154 1 .695

Likelihood Ratio .347 1 .556


Fisher's Exact Test .695 .348
Linear-by-Linear .343 1 .558
Association
N of Valid Cases 112
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for suhu (Tidak .794 .367 1.715
memenuhi syarat / Memenuhi
syarat)
For cohort kejadian Mf + dan .889 .597 1.324
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan 1.121 .771 1.629
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

kelembaban * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .334a 1 .563
Continuity Correctionb .149 1 .700

Likelihood Ratio .335 1 .563


Fisher's Exact Test .700 .350
Linear-by-Linear .331 1 .565
Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for kelembaban 1.250 .586 2.664
(Tidak memenuhi syarat /
Memenuhi syarat)
For cohort kejadian Mf + dan 1.119 .760 1.649
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .896 .618 1.297
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

keberadaan kawat kassa * kejadian Mf + dan filariasis

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 8.358a 1 .004

Continuity Correctionb 7.281 1 .007

Likelihood Ratio 8.484 1 .004

Fisher's Exact Test .007 .003

Linear-by-Linear 8.284 1 .004


Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for keberadaan 3.154 1.430 6.956
kawat kassa (tidak ada / ada)
For cohort kejadian Mf + dan 1.836 1.165 2.894
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .582 .404 .838
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


konstruksi plafon rumah * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 9.333a 1 .002
b
Continuity Correction 8.203 1 .004
Likelihood Ratio 9.480 1 .002
Fisher's Exact Test .004 .002

Linear-by-Linear 9.250 1 .002


Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for konstruksi 3.333 1.520 7.308
plafon rumah (Tidak rapat /
rapat)
For cohort kejadian Mf + dan 1.875 1.204 2.919
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .563 .387 .818
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


keberadaan tanaman * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 11.813a 1 .001
b
Continuity Correction 10.536 1 .001
Likelihood Ratio 12.049 1 .001
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear 11.707 1 .001
Association
N of Valid Cases 112
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for keberadaan 3.922 1.770 8.691
tanaman (ada / tidak ada)
For cohort kejadian Mf + dan 2.050 1.297 3.241
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .523 .358 .763
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


keberadaan hewan peliharaan * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .590a 1 .442
b
Continuity Correction .332 1 .564
Likelihood Ratio .591 1 .442
Fisher's Exact Test .565 .282
Linear-by-Linear .585 1 .444
Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for keberadaan 1.344 .632 2.860
hewan peliharaan (ada / tidak
ada)
For cohort kejadian Mf + dan 1.157 .800 1.673
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .861 .584 1.270
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


pekerjaan * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.149a 1 .023

Continuity Correctionb 4.327 1 .038

Likelihood Ratio 5.190 1 .023

Fisher's Exact Test .037 .019

Linear-by-Linear 5.103 1 .024


Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for pekerjaan 2.391 1.119 5.108
(berisiko / tidak berisiko)
For cohort kejadian Mf + dan 1.552 1.046 2.301
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .649 .443 .951
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


kat.kebiasaan keluar malam * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.038a 1 .014
Continuity Correctionb 5.144 1 .023
Likelihood Ratio 6.093 1 .014
Fisher's Exact Test .023 .011

Linear-by-Linear 5.984 1 .014


Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sumatera Utara


Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for kat.kebiasaan 2.576 1.202 5.517
keluar malam (mempunyai
kebiasaan / tidak mempunyai
kebiasaan)
For cohort kejadian Mf + dan 1.602 1.087 2.360
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .622 .419 .922
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

kat.kebiasaan menggunakan kelambu * kejadian Mf + dan filariasis

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 8.100a 1 .004
b
Continuity Correction 7.056 1 .008
Likelihood Ratio 8.204 1 .004

Fisher's Exact Test .008 .004


Linear-by-Linear 8.028 1 .005
Association
N of Valid Cases 112

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for kat.kebiasaan 3.029 1.398 6.563
menggunakan kelambu (tidak
mempunyai kebiasaan /
mempunyai kebiasaan)
For cohort kejadian Mf + dan 1.716 1.172 2.512
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan .567 .372 .862
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


kat.kebiasaan menggunakan obat nyamuk * kejadian Mf + dan filariasis

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .038a 1 .844
b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .038 1 .844
Fisher's Exact Test 1.000 .500
Linear-by-Linear .038 1 .845
Association
N of Valid Cases 112
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for kat.kebiasaan .926 .429 1.998
menggunakan obat nyamuk
(tidak mempunyai kebiasaan
/ mempunyai kebiasaan)
For cohort kejadian Mf + dan .962 .652 1.419
filariasis = kasus
For cohort kejadian Mf + dan 1.039 .710 1.520
filariasis = kontrol
N of Valid Cases 112

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 8

HASIL ANALISIS MULTIVARIAT

Logistic Regression

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 112 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 112 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 112 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.

Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1

Block 0: Beginning Block


Classification Tablea,b

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis Percentage


Observed kasus kontrol Correct
kejadian Mf + dan filariasis kasus 0 56
Step 0 .0
kontrol 0 56
100.0
Overall Percentage
50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .189 .000 1 1.000 1.000

Universitas Sumatera Utara


Variables not in the Equation

Score df Sig.
Variables rawa 5.735 1 .017
Step 0
kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
kerja 5.149 1 .023
Overall Statistics 32.455 7 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 37.365 7 .000
Block 37.365 7 .000
Model 37.365 7 .000

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 117.900a .284 .378
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 1 kejadian Mf + dan filariasis kasus 40 16 71.4

kontrol 14 42 75.0
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 112 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 112 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 112 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.

Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1

Block 0: Beginning Block


Classification Tablea,b

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 0 kejadian Mf + dan filariasis kasus 0 56 .0

kontrol 0 56 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


Step 0 Constant .000 .189 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step 0 Variables kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
kerja 5.149 1 .023
Overall Statistics 32.305 6 .000

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 37.175 6 .000
Block 37.175 6 .000
Model 37.175 6 .000

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 118.089a .282 .377
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 1 kejadian Mf + dan filariasis kasus 40 16 71.4

kontrol 12 44 78.6
Overall Percentage 75.0
a. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 112 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 112 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 112 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.

Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1

Block 0: Beginning Block


Classification Tablea,b

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 0 kejadian Mf + dan filariasis kasus 0 56 .0

kontrol 0 56 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


Step 0 Constant .000 .189 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step 0 Variables kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
Overall Statistics 30.235 5 .000

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 34.177 5 .000
Block 34.177 5 .000
Model 34.177 5 .000

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 121.088a .263 .351
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 1 kejadian Mf + dan filariasis kasus 42 14 75.0

kontrol 16 40 71.4
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 112 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 112 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 112 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1

Block 0: Beginning Block


Classification Tablea,b

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 0 kejadian Mf + dan filariasis kasus 0 56 .0

kontrol 0 56 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


Step 0 Constant .000 .189 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step 0 Variables plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
Overall Statistics 28.015 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31.349 4 .000
Block 31.349 4 .000
Model 31.349 4 .000

Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 123.916a .244 .326
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea

Predicted

kejadian Mf + dan filariasis


Percentage
Observed kasus kontrol Correct
Step 1 kejadian Mf + dan filariasis kasus 45 11 80.4

kontrol 19 37 66.1
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9

UJI NORMALITAS

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

kebiasaan
kebiasaan menggunakan
kebiasaan menggunakan obat anti
keluar malam kelambu nyamuk

N 112 112 112

Normal Parametersa,,b Mean 17.98 12.30 15.09

Std. Deviation 4.853 4.049 3.429

Most Extreme Differences Absolute .170 .164 .125

Positive .107 .164 .083

Negative -.170 -.114 -.125

Kolmogorov-Smirnov Z 1.804 1.734 1.327

Asymp. Sig. (2-tailed) .003 .005 .059

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Statistics

kebiasaan kebiasaan
kebiasaan keluar menggunakan menggunakan
malam kelambu obat anti nyamuk

N Valid 112 112 112

Missing 0 0 0

Mean 17.98 12.30 15.09

Median 19.00 12.00 15.00

Mode 22 12 15

Minimum 8 5 5

Maximum 24 20 20

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 10

PETA WILAYAH KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

Sumber : http://www.labuhanbatuselatankab.go.id/index.php/profil/kependudukan.html

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 11

PETA WILAYAH KABUPATEN ASAHAN

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Asahan Tahun 2012

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 12

DOKUMENTASI PENELITIAN

Satini, 46 th, Pr, Kec.Tinggi Raja Kab. Asahan

Kondisi Lingkungan Rumah Satini

Universitas Sumatera Utara


Sukinem, 85 th, Pr, Desa Gedangan Kab. Asahan

Kondisi dalam Rumah Sukinem (tidak ada plafon)

Universitas Sumatera Utara


Kondisi lingkungan Kasem, 85 th, pr, Desa Suka Makmur Kab. Asahan

Triono, 27 th, lk, Desa Manis P. Rakyat Kab. Asahan

Universitas Sumatera Utara


Samsir, 58 th, lk, Kampung Rakyat Kab. Labuhanbatu Selatan

Aminah Siregar, 68 th, Pr, Desa Air Merah Kab. Labuhanbatu Selatan

Universitas Sumatera Utara


Tusmiyadi (Mf +), 48, Lk, Silangkitang Kab. Labuhanbatu Selatan

Kondisi Rumah Tusmiyadi

Universitas Sumatera Utara


Lahanum Faridah, 52 th, Pr, Desa Air Merah Kab. Labuhanbatu Selatan

Tariman, 83 th, Lk, Kab. Labuhanbatu Selatan

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai