TESIS
Oleh
IRIANTI
117032076/IKM
TESIS
Oleh
IRIANTI
117032076
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (Ir. Evi Naria, M.Kes)
Ketua Anggota
Dekan
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam pustaka.
Irianti
117032076/IKM
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Faktor
Komunitas/Epidemiologi.
bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
5. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah
6. Ir. Indra Cahaya, M.Si selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan
7. Drs. Jemadi, M.Kes selaku Anggota Penguji yang telah banyak memberikan
Selatan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
9. dr. Herwanto, Sp. B., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan yang
Asahan.
10. Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah, selaku orang tua yang telah
11. Suamiku tercinta Edy Rahman Syahputra, S.E dan putriku Asyla Nazhira Nuha,
serta Anakku Desy Arnita, S.Pd yang telah banyak berkorban selama penulis
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat
bermanfaat.
Irianti
117032076/IKM
Irianti, lahir pada tanggal 12 Februari 1981 di Kisaran, anak ke tujuh dari
Negeri No. 014697 Kisaran, selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 1 Air Joman Kisaran, selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Kisaran, selesai tahun 2000, dan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2005
sampai 2008, bekerja di Dinas Kesehatan Kota Langsa pada tahun 2009, dan bekerja
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
LAMPIRAN
3.4 Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur ........................... 57
No Judul Halaman
No Judul Halaman
13 Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ......... 160
15 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan ......... 163
PENDAHULUAN
kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang
penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang hidup didalam sistem limfe dan
enam penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan
Filariasis limfatik tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim
tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis seperti Afrika, India,
kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini dikarenakan bila
terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja
dan negara (Depkes RI, 2009a). Hasil estimasi Kementerian Kesehatan tahun 2010
rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular
filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39
dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun
2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang
berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir,
Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat
pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko
filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara
diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO dalam
Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah menginfeksi lebih
dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat
filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia dengan jumlah
penduduk terbanyak dan wilayah yang luas memiliki masalah filariasis yang
malayi dan Brugia timori) dapat ditemukan (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b).
2008). Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama
wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000
hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar
dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei
tersebut hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis sebesar 67% (335
dan 157 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada
tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan
survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi
71,9% (356 dari 495 kabupaten/kota) sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak
Kesehatan Dasar) tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) persentase kejadian
filariasis sebesar 0,04%, yaitu dalam kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 424
Propinsi Papua berdasarkan survei mikrofilaria pada Bulan Januari tahun 2010 Mf
Gorontalo di dapatkkan 105 positif mikrofilaria (Mf rate=34,4%) dari 326 sediaan
darah jari yang diperiksa (Soeyoko dkk, 2008). Di Kelurahan Simbang Kulon
Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan mendapatkan 9 slide positif dari 230 slide
dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Kota Binjai (1 kasus), Kota
Gunung Sitoli (3 kasus), Kabupaten Asahan (28 kasus), Kabupaten Labuhan Batu
Selatan (28 kasus), Kabupaten Mandailing Natal (9 kasus), dan Kabupaten Nias
Selatan dan Samosir (masing-masing 1 kasus). Berdasarkan survei darah jari yang
diperoleh angka Mf rate 0,07% yaitu ditemukan 5 sediaan positif mikrofilaria dari
orang dengan Mf rate 0,17%), di Kabupaten Asahan (2 orang dengan Mf rate 0,67%)
dan di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (2 orang dengan Mf rate 0,33%).
dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Menurut WHO dalam
Soeyoko (2002) filariasis banyak diderita pada usia produkif (15-44 tahun), laki- laki
lebih banyak terinfeksi dari pada perempuan. Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam
tahun) yang pernah terkena filariasis sebesar 0,046%, sedangkan kelompok umur
tidak beresiko (21-35 tahun) sebesar 0,043%, dan pada laki-laki terkena filariasis
sebesar 0,05% dan perempuan 0,04%. Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di
Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
rantai penularannya baik secara langsung maupun tidak langsung, karena faktor
filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat faktor
maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah, keberadaan kawat kassa,
dengan kondisi fisik rumah tidak memenuhi syarat (dinding rumah banyak lubang-
lubang) mempunyai risiko 81,01 kali lebih besar terinfeksi filariasis, responden yang
ditumbuhi tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi
filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada waktu
tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia
lima variabel sebagai faktor risiko kejadian filariasis, yaitu adanya genangan air,
kelambu, dan kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk. Hasil Riskesdas tahun
2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan orang yang tinggal dengan rumah
tangga yang saluran air limbahnya terbuka, memiliki probabilitas lebih besar yaitu
2,56 kali terjadinya filariasis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah
Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk
dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun 1999, pada tahun 2000 diperkuat
sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–
2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi
Di Propinsi Sumatera Utara saat ini upaya pengendalian filariasis pada tahap
penemuan kasus melalui pelacakan kasus dan survei darah jari. Pengobatan massal
Propinsi Sumatera Utara secara umum beriklim tropis dengan curah hujan tinggi
topografi terdiri dari dataran pantai, dataran rendah/rawa, dan dataran tinggi serta
mm/tahun, suhu tahunan adalah 30ºC dengan topografi daerah dataran rendah/rawa,
rata-rata curah hujan 2150 mm/tahun dengan topografi dataran pantai dan dataran
rawa. Dataran rendah/rawa dan dataran pantai merupakan daerah baik bagi
perkembangbiakan vektor nyamuk. Curah hujan dan kelembaban nisbi yang tinggi
berkaitan dengan kondisi fisik rumah dan lingkungan luar rumah yang sangat
1.4 Hipotesis
dan filariasis.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing
tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan
pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar
dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan
ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul
berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya
gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan
lebih berat pada infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria
bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi
infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada
disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan
A. Limfedema
seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi
Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku
B. Lymph Scrotum
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan
kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko
tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan
C. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di
ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti,
sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul
adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan
D. Hidrokel
cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan
2009d).
tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul
(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam
kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.
1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,
2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah)
penatalaksanaan kasus.
2.1.4 Diagnosis
Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat
FKUI, 2008) :
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi
dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi
biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria
2.1.5 Patogenesis
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang
masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara
umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.
Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama
dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran
limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe
ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga
bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute
attack).
(4) Abses
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah
dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur
dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997,
diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia
laki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak
ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan
kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah
persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan
jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),
Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara
(30 orang) (Kemenkes RI, 2010b). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk
terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan
beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007
kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699
kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah
tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya
mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada
siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal
yaitu :
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk
hutan rimba.
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah
Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup
parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut
a. Makrofilaria
berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat
b. Mikrofilaria
dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan
giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria
sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.
Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau
pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh
menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium
B. Faktor Host
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
2) Jenis kelamin
3) Imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis
lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat,
pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan
tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009a).
fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI,
2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga
komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial.
hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a).
Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti
air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik
bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi
nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC
dkk, 2010).
atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu
Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada
berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus
2012).
(5) Angin
Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14
arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan
nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini
(genus Culex, Aedes, dan Mansonia) biasanya pendek (Nasrin, 2008). Pada
umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350- 550 meter, misalnya Anopheles
barbirostris mencapai 200 sampai 300 meter, tapi dari hasil beberapa penelitian
di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di
(7) Rumah
Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang
berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela,
2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu
Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang
dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes
intermediat. Contoh lingkungan biologi adalah adanya tanaman air sebagai tempat
Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau
Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis
menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk
hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga
beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan
Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia
Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah
menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan
telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa
Felis catus (kucing) merupakan salah satu dari hewan reservoir dari filariasis
yang disebabkan oleh Brugia malayi tipe non-periodik nokturna yang mempunyai
kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur
bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan
ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah
karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia
(Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk,
hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu
upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak
dari rumah.
dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau
kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena
berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih
tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih
sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian
Riftiana dan Soeyoko (2010) menyatakan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan
akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada
orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang
biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis
dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I: 1,40-
8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor
Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan
endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu
populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada
suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan
intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam
bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif
mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.
Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota
pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1% pada semua lokasi survei, maka
pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh
mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap
yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua
orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
(Depkes, 2009a).
(hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi
menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =
L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan
filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup
mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa
inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif
mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis
filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang
dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva
cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan
apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap
nyamuk terlalu banyak maka nyamuk akan mati dan apabila jumlah parasit sedikit
maka hanya sebagian kecil yang terisap oleh nyamuk. Menurut Atmosoedjono et al.,
(1977) agar terjadi penularan yang optimal kepadatan mikrofilaria didalam darah
penderita 1-3 mf/ul darah. Sementara penularan filariasis dari nyamuk ke manusia
sangat berbeda dengan penularan yang terjadi pada malaria dan demam berdarah.
Menurut Depkes RI (2009) seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang untuk
infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil
(Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus
mikrofilaria positif dan filariasis tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup
panjang (> 10 tahun), karena berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi
yang dapat menimbulkan kerentanan, perjalanan penyakit, siklus hidup parasit dan
dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas (Nurmaini, 2003):
1) Nyamuk Dewasa
terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan
tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari
kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung
mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya
sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara
lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk ( Nurmaini, 2003).
30ºC memerlukan waktu antara 25 sampai 40 hari, sama pada nyamuk Mansonia
Africana.
Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang
keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari
pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa
-Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air satu persatu atau
rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini,
2003).
-Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan
dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung (Nurmaini, 2003).
-Nyamuk Aedes meletakkan telur dan menempel pada yang terapung diatas air
atau menempel pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas
permukaan air dan tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu 1 -2 hari
(Nurmaini, 2003).
2003). Horsfall dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia uniformis dapat hidup
terbenam dalam suatu massa ikatan sebagai sampah di sekitar sistem perakaran
tumbuhan air, akan memakan segala macam partikel organik yang ada
disekitarnya, akan tetapi larva ini pula dapat menjadi mangsa binatang
4) Kepompong
Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium
ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang,
Sumber : http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/mosquitophotos
_conquillettidia_mansonia.htm.
digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana
tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah
tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis
dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan
tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia
annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman
seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau
sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat
berkembangbiak di air yang cukup bersih dan tidak beralaskan tanah langsung
(Nurmaini, 2003).
Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda –beda,
nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan
aktif pada malam hari (Wharton dalam Boesri, 2012). Aktifitas Mansonia uniformis
menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian
menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00
intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada
pukul 21,00 sampai pukul 22.00 (Ambarita dan Hotnida, 2004). Nyamuk yang aktif
pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex , sedangkan nyamuk yang
aktif pada siang hari menggigit yaitu Aedes. Khusus untuk Anopheles, nyamuk ini
bila menggigit mempunyai perilaku bila siap menggigit langsung keluar rumah. Pada
umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina (Nurmaini, 2003).
akan beristirahat selama 2 -3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan
diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain
populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah
sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian
darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3
- 4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 – 3,8 hari untuk Mansonia indiana.
Wharton dalam Boesri (2012) juga telah menemukan banyak nyamuk Mansonia
Prinsip utama agar terhindar atau mencegah infeksi mikrofilaria positif dan
filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha
rawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp ; dan 4)
pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas ternyata dapat menurunkan
angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).
Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor ada
beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan
kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain),
larvasida, fogging, penggunaan repelen, penggunaan obat anti nyamuk, dan lain-lain).
pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah (survei darah jari),
bersedia minum obat secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan
dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada
dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai
mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali
Pada semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis
diberikan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg
dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat
badan. Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala
klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus
demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder :
• Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x
100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah pembersihan dan
pejamu (host), agen (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan pada satu
Demikian halnya dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis klinis yang terjadi
AGEN
VEKTOR
PEJAMU LINGKUNGAN
Sumber : CDC, 2002; Gordis, 2000; Gerstman, 1998; Maurner dan Kramer, 1985
dalam Murti (2003)
(1) Agen
Agen penyebab dari mikrofilaria positif dan filariasis adalah cacing filaria
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori baik dalam bentuk
makrofilaria (cacing dewasa), mikrofilaria dan larva infektif (L3). Di Sumatera Utara,
(2) Pejamu
Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Di
Indonesia semua spesies cacing filaria dapat menginfeksi manusia, hanya Brugia
malayi sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung, kera dan
kucing.
(3) Lingkungan
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari
agen maupun pejamu, tetapi mampu menginteraksikan agen- pejamu. Berbagai faktor
lingkungan yang dapat berperan dalam kejadian mikrofilaria positif dan filariasis
antara lain suhu, kelembaban, perumahan, air, adanya hewan reservoir, tanaman air,
dan kebiasaan.
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis di Indonesia.
Di Sumatera Utara yang menjadi vektor utama filariasis adalah nyamuk Mansonia
uniformis.
Lingkungan Fisik :
Air
- Keberadaan Rawa-rawa
- Keberadaan Persawahan
Rumah
- Suhu
- Kelembaban
- Keberadaan kawat kasa Kejadian
- Konstruksi plafon Mikrofilaria Positif
dan Filariasis
Lingkungan Biologis:
- Keberadaan Tanaman di sekitar
rumah
- Keberadaan hewan peliharaan di
sekitar rumah
Lingkungan Sosial :
- Pekerjaan
- Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari
- Kebiasaan Memakai Kelambu
- Kebiasaan Memakai Obat Anti
Nyamuk
METODE PENELITIAN
dengan prevalensi filariasis tertinggi, dan berdasarkan survei darah jari di Propinsi
penelitian dan analisis data serta penyusunan laporan akhir yang membutuhkan waktu
lebih kurang 9 (sembilan) bulan dari Bulan November 2012 s/d Juli 2013.
3.3.1 Populasi
filariasis yang sudah bertempat tinggal > 10 tahun di tempat tinggal saat
Kabupaten Asahan.
3.3.2 Sampel
pemeriksaan mikroskopis pada survei darah jari pada tahun 2012, dan
pemeriksaan mikroskopis survei darah jari pada tahun 2012, dan tidak
anggota tubuh atau cacat fisik serta merupakan tetangga terdekat dalam
Beberapa nilai Odds Ratio (OR) dari penelitian sebelumnya, diuraikan pada
No Variabel OR n Referensi
1 Konstruksi plafon 6,3 93 Juriastuti dkk (2010)
2 Keberadaan kawat kassa 7,2 93 Juriastuti dkk (2010)
3 Kelembaban rumah 5,7 103 Nugraheni (2011)
4 Adanya persawahan 9,79 100 Mulyono dkk (2008)
5 Keberadaan rawa-rawa 6,67 40 Anshari (2004)
6 Tanaman air 33,34 64 Karwiti (2011)
7 Keberadaan hutan/semak 9,727 30 Sulistiyani dkk (2010)
8 Kebiasaan keluar pada malam hari 5,4 64 Juriastuti dkk (2010
9 Kebiasaan tidak menggunakan 31 70 Komariah (2010)
obat anti nyamuk
10 Kebiasaan tidur tidak 4.00 30 Sulistiyani dkk (2010)
menggunakan kelambu
n=
[z 1−α / 2 2 P2 * (1 − P2 *) + z1− β P1 * (1 − P1 *) + P2 * (1 − P2 *) ]
2
( P1 * − P2 *) 2
n=
[1,96 2(0.1)(1 − 0.1) + 1.282 0.3(1 − 0.3) + 0.1(1 − 0.1) ]2
(0.3 − 0.1) 2
n = 56
Keterangan :
z1− β : Nilai Z pada kekuatan uji power 1-β, kekuatan uji yang digunakan
minimum 56. Jumlah kasus mikrofilaria positif dan filariasis yang tercatat di Dinas
masing-masing adalah 28, dan semua kasus dijadikan sampel dengan perbandingan
responden. Data sekunder diperoleh dari hasil pemeriksaan survei darah jari oleh
Kabupaten Asahan.
1. Wawancara
menggunakan kuesioner.
2. Metode Observasi
Observasi dilakukan pada faktor lingkungan fisik dan faktor lingkungan biologis
3. Survei Dokumen
Survei dokumen dilakukan untuk melihat nama, umur, jenis kelamin, alamat,
hendak diukur (Last, 2001; Streiner, 2000 dalam Murti, 2003), dan reliabilitas adalah
situasi yang berbeda memberikan hasil yang sama (Streiner dan Norman, 2000;
Gerstman, 1998 dalam Murti, 2003). Uji validitas menggunakan korelasi pearson
product moment, dengan keputusan uji bila r hitung (r pearson) > r tabel artinya
tersebut tidak valid (Riyanto, 2011). Hasil uji validitas adalah sebagai berikut :
kebiasaan keluar pada malam hari terdapat satu pertanyaan yang tidak valid yaitu
untuk variabel kebiasaan memakai kelambu dan kebiasaan memakai obat anti
Uji reliabilitas menggunakan cronbah’s Alpha, dengan keputusan uji bila nilai
Cronbah’s Alpha > konstanta (0,6) maka pertanyaan reliabel, dan bila nilai
independen yang diuji reliabilitasnya mempunyai nilai Cronbah’s Alpha > konstanta
dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon
pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, dan kebiasaan memakai obat anti
nyamuk).
Kabupaten Asahan.
digenangi air, kondisi permukaan air tidak selalu tetap dan berjarak ≤ 200 m dari
rumah respoden.
air cukup tinggi digunakan sebagai lahan pertanian untuk bercocok tanam padi
4. Suhu dalam rumah adalah temperatur atau suhu yang terukur di dalam rumah
5. Kelembaban dalam rumah adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
6. Keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah adalah anyaman kawat yang
7. Konstruksi plafon rumah adalah keadaan plafon yang terbuat dari gypsum, asbes,
triplek, dan lain-lain yang dapat mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah
yang dilihat dari kerapatanya. Konstruksi plafon rapat jika tidak terdapat
sedangkan konstruksi plafon tidak rapat jika tidak ada plafon, plafon
kucing, kera/monyet, sapi, kerbau dan kambing yang setiap harinya dipelihara di
dalam rumah maupun disekitar rumah dengan jarak < 200 m dari rumah
responden.
10. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang rutin dilakukan responden guna
11. Kebiasaan keluar pada malam hari adalah kebiasaan beraktivitas diluar rumah
13. Kebiasaan memakai obat anti nyamuk adalah suatu kebiasaan responden
Definisi operasional variabel, cara ukur, skala ukur dan hasil ukur sebagai
berikut :
Tabel 3.4 Variabel, Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur
jawaban diberikan skor bertingkat yaitu TP (4), KK (3), S (2), dan SS (1). Skor
minimum variabel kebiasaan keluar pada malam hari responden yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 6 dan maksimum 24, sedangkan untuk variabel kebiasaan
memakai kelambu dan kebiasaan memakai obat anti nyamuk skor responden yang
diperoleh pada penelitian ini minimum adalah 5 dan maksimum 20. Berdasarkan uji
Sedangkan untuk data responden variabel kebiasaan keluar pada malam hari tidak
median (19), demikian juga data responden variabel kebiasaan memakai kelambu
sosial, variabel dependen yaitu kejadian mikrofilaria positif dan filariasis, serta
(kejadian mikrofilaria positif dan filariasis) dengan menggunakan uji chi-square pada
tingkat kepercayaan 95%, dan untuk menetukan ukuran risiko menggunakan Odds
Ratio (OR).
HASIL PENELITIAN
Torgamba, Sungai Kanan dan Kecamatan Silangkitang. Terdiri dari 52 desa dan 2
kelurahan, 25 lingkungan, dan 422 dusun. Secara geografis terletak antara 1º26'00''-
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu, Rantau Selatan, Bilah
- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Rokan Hilir (Propinsi Riau) dan Kecamatan
jumlah Penduduk tahun 2011 adalah 280.269 jiwa (laki-laki 143.096 jiwa dan
perempuan 137.173 jiwa) dan kepadatan penduduk 89,95 jiwa per km² . Etnis yang
terdapat di wilayah ini adalah sebagian besar Suku Jawa 51,19%, Batak 44,77% dan
selebihnya Suku Melayu, Minang, Aceh dan lain - lain. Sebagian Besar Penduduk
Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada
ketinggian 0–1.150 m di atas permukaan laut, memiliki luas wilayah 3.799,50 Km²
Toba Samosir
Bila ditinjau dari letak ketinggian di atas permukaan laut, maka Kabupaten
a. Asahan Bagian Bawah, seluas 594,19 km² (15,64 %) dengan ketinggian 0–7
b. Asahan Bagian Tengah, seluas 1.457,08 km² (38,35 %) dengan ketinggian 7–25
Kecamatan Pulo Bandring, Kecamatan Sei Dadap dan Kecamatan Teluk Dalam.
c. Asahan Bagian Atas, seluas 1.748,23 km² (46,01 %) dengan ketinggian 25-1.121
adalah 674.521 jiwa, terdiri dari 339.089 (50,27 %) laki-laki dan 335.432 (49,73 %)
nelayan, karyawan, PNS/ TNI/ POLRI dan selebihnya adalah sebagai pedagang,
pengrajin. Berdasarkan suku bangsa terdiri dari suku Jawa (59,41 %), suku Batak
(29,40%), dan suku Melayu (5,19 %), sisanya sebanyak 6,00 % terdiri dari suku
Kabupaten Asahan terdapat 2 (dua) kasus mikrofilaria positif dan 26 kasus filariasis.
Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1, sehingga jumlah kontrol sama dengan
umur, jenis kelamin dan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :
kontrol tidak ada responden yang berada pada kelompok umur < 20 tahun, proporsi
kelompok umur 41-50 tahun sebesar 19,6% (11 orang), kelompok umur 31-40 tahun
sebesar 7,1% (4 orang) dan proporsi terkecil pada kelompok umur 21-30 tahun yaitu
5,4% (3 orang). Menurut jenis kelamin proporsi kelompok kasus dan kontrol berjenis
kelamin perempuan sebesar 57,1% (32 orang) dan laki-laki sebesar 42,9% (24 orang).
Menurut tingkat pendidikan pada kelompok kasus dan kontrol proporsi terbesar
berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebesar 92,9% (52 orang) pada kelompok kasus
dan 80,4% (45 orang) pada kelompok kontrol, sedangkan responden berpendidikan
menengah (SMA) hanya sebesar 7,1% (4 orang) pada kelompok kasus dan sebesar
Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut faktor lingkungan fisik meliputi
dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon
kelompok kasus dan kontrol adalah tidak adanya rawa-rawa yang berjarak < 200 m
dari rumah responden. Proporsi pada kelompok kasus ada rawa-rawa dengan jarak <
200 m dari rumah 44,6% (25 orang) dan tidak ada rawa-rawa 55,4% (31 orang), pada
terbesar adalah tidak adanya persawahan yang berjarak < 200 m dari rumah
responden. Proporsi pada kelompok kasus ada persawahan dengan jarak < 200 m dari
rumah 7,1% (4 orang) dan tidak ada persawahan 92,9% (52 orang), pada kelompok
kontrol ada persawahan dengan jarak < 200 m dari rumah 10,7% (6 orang) dan tidak
Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut suhu dalam rumah proporsi
terbesar adalah suhu rumah memenuhi syarat (18-30ºC). Proporsi pada kelompok
kasus suhu rumah tidak memenuhi syarat 33,9% (19 orang) dan suhu rumah
memenuhi sayarat 66,1% (37 orang), pada kelompok kontrol suhu rumah tidak
memenuhi syarat 39,3% (22 orang) dan suhu rumah memenuhi syarat 60,7% (34
orang).
proporsi terbesar adalah kelembaban rumah tidak memenuhi syarat (< 40% dan >
60%). Proporsi pada kelompok kasus memiliki kelembaban dalam rumah tidak
memenuhi syarat 62,5% (35 orang) dan memiliki kelembaban dalam rumah
memenuhi syarat 37,5% (21 orang), pada kelompok kontrol memiliki kelembaban
dalam rumah tidak memenuhi syarat 57,1% (32 orang) dan memiliki kelembaban
ventilasi rumah pada kelompok kasus proporsi terbesar tidak ada kawat kasa pada
ventilasi rumah 73,2% (41 orang) , sedang ada kawat kassa pada ventilasi rumah
26,8% (15 orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol ada kawat kasa pada
ventilasi rumah 53,6% (30 orang), sedang tidak ada kawat kasa pada ventilasi rumah
Distribusi proporsi kasus dan kontrol menurut konstruksi plafon rumah, pada
kelompok kasus proporsi terbesar konstruksi plafon tidak rapat 71,4% (40 orang)
sedangkan proporsi konstruksi plafon rumah rapat 28,6% (16 orang). Proporsi
terbesar pada kelompok kontrol adalah konstruksi plafon rumah rapat 57,1% (32
orang) sedangkan proporsi konstruksi plafon rumah tidak rapat 42,9% (24 orang).
terbesar pada kelompok kasus adalah ada tanaman di sekitar rumah yang berjarak <
200 m sebesar 73,2% (41 orang) dan tidak ada tanaman di sekitar rumah 26,8% (15
orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol tidak ada tanaman disekitar rumah
58,9% (33 orang) dan ada tanaman disekitar rumah 41,1% (23 orang).
sekitar rumah proporsi terbesar tidak ada hewan peliharaan di sekitar rumah. Proporsi
pada kelompok kasus ada hewan peliharaan disekitar rumah 44,6% (25 orang) dan
tidak ada hewan peliharaan di sekitar rumah 55,4% (31 orang), pada kelompok
kontrol ada hewan peliharaan di sekitar rumah 37,5% (21 orang) dan tidak ada hewan
pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, dan
kebiasaan memakai obat anti nyamuk dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan
Sosial di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa distribusi proporsi kasus
dan kontrol menurut pekerjaan pada kelompok kasus memiliki pekerjaan berisiko
62,5% (35 orang) sedangkan pekerjaan tidak berisiko 37,5% (21 orang). Proporsi
Distribusi kasus dan kontrol menurut kebiasaan keluar pada malam hari
proporsi terbesar pada kelompok kasus mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari
60,7% (34 orang), sedangkan tidak mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari
39,3% (22 orang). Proporsi terbesar pada kelompok kontrol tidak mempunyai
kebiasaan keluar pada malam hari 62,5% (35 orang), sedangkan mempunyai
terbesar pada kelompok kasus tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu 58,9%
(33 orang), sedangkan mempunyai kebiasaan memakai kelambu 41,1% (23 orang).
67,9% (38 orang), sedangkan tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu 32,1%
(18 orang).
Distribusi kasus dan kontrol menurut kebiasaan memakai obat anti nyamuk
proporsi terbesar mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk. Proporsi pada
kelompok kasus yang tidak mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 35,7%
(20 orang) dan mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 64,3% (36 orang),
pada kelompok kontrol tidak mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk
37,5% (21 orang) dan mempunyai kebiasaan memakai obat anti nyamuk 62,5% (35
orang).
terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah uji statistik chi-square
dengan derajat kepercayaan 95% (α = 5%) dan untuk mengetahui kekuatan antara
faktor risiko dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis digunakan perhitungan
Odds Ratio (OR). Berdasarkan hasil uji statistik akan diperoleh nilai p, untuk nilai p
< 0,05 artinya bahwa terdapat pengaruh yang signifikan variabel yang diteliti
dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah dan konstruksi plafon
Tabel 4.10 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013
kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,028 (p<0,05), artinya
bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya rawa-rawa dengan
jarak < 200 m dari rumah 2,667 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak
positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,740 (p>0,05), artinya bahwa tidak ada
persawahan bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
Hasil uji variabel suhu dan kelembaban dalam rumah terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,695 (p>0,05) untuk suhu dan
nilai p=0,700 (p>0,05) untuk kelembaban, artinya bahwa tidak ada pengaruh variabel
suhu dan kelembaban dalam rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan
filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan, dan suhu serta
kelembaban dalam rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif
dan filariasis.
kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,007 (p<0,05), artinya
bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel keberadaan kawat kasa pada ventilasi
adanya kawat kasa pada ventilasi rumah 3,154 kali lebih besar dibanding dengan
positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,004 (p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh
positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Nilai
mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 3,333
kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan
filariasis (p<0,05).
rumah terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,001
(p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan variabel keberadaan tanaman
adanya tanaman di sekitar rumah 3,922 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak
kejadian mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,564 (p>0,05), artinya
bahwa tidak ada pengaruh variabel keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah
dan Kabupaten Asahan, dan keberadaan hewan peliharaan disekitar rumah bukan
memakai obat anti nyamuk dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.12 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013
mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,038 (p<0,05), artinya bahwa ada
positif dan filariasis, terpapar jenis pekerjaannya yang berisiko, 2,391 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
Hasil uji variabel kebiasaan keluar pada malam hari terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), artinya bahwa ada
pengaruh yang signifikan variabel kebiasaan keluar pada malam hari terhadap
malam hari 2,576 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita
positif dan filariasis diperoleh nilai p=0,008 (p<0,05), artinya bahwa ada pengaruh
yang signifikan variabel kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur dengan kejadian
kelambu sewaktu tidur 3,029 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita
Hasil uji variabel kebiasaan memakai obat anti nyamuk terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis diperoleh nilai p=1,000 (p>0,05), artinya bahwa
tidak ada pengaruh variabel kebiasaan memakai obat anti nyamuk sebelum tidur
Selatan dan Kabupaten Asahan, dan kebiasaan memakai obat anti nyamuk sebelum
tidur bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
terhadap variabel dependen secara bersamaan dan mencari faktor yang dominan
menjadi kandidat dalam analisis multivariat dengan nilai signifikansi variabel p<0,05
plafon dengan nilai p=0,032 (p<0,005), variabel keberadaan tanaman di sekitar rumah
dengan nilai p=0,001 (p<0,05), variabel kebiasaan keluar pada malam hari dengan
nilai p=0,033 (p<0,05), dan variabel kebiasaan memakai kelambu dengan nilai
Asahan. Jika dilihat nilai OR hasil analisis uji regresi logistik berganda diketahui
sebesar 4,432 (95% CI= 1,787 – 10,993), hal ini menunjukkan bahwa variabel
Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penderita
mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya tanaman di sekitar rumah 4,432
kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan
filariasis akan lebih banyak terjadi pada mereka yang terdapat tanaman di sekitar
rumahnya.
Hasil analisis regresi logistik berganda selengkapnya dapat dilihat pada tabel
di bawah ini :
Tabel 4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Konstruksi
Plafon, Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah, Kebiasaan Keluar
pada Malam Hari dan Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap
Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013
malam hari dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur terhadap kejadian
1
P =
1 + e –(α + β 1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 )
α = Konstanta = -2,121
β1 – β4 = Koefisien regresi
1
P =
1 + e –[-2,121 + 0,969 (X 1 ) +1,489 (X 2 ) + 0,949 (X 3 ) + 1,101 (X 4 ) ]
1
P =
1 + 2,71 –[-2,121 + 0,969 (1) + 1,489 (1) +0,949 (1) + 1,101 (1)]
1
P =
1 + 2,71 –(2,387)
1
P =
1,093
P = 0,915 = 91,5%
di sekitar rumah, mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari dan mempunyai
mikrofilaria positif dan filariasis sebesar 91,5%, dan sebesar 8,5% terjadinya
mikrofilaria positif dan filariasis dimungkinkan karena adanya pengaruh faktor risiko
PEMBAHASAN
dan filariasis, terpapar adanya rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah 2,667 kali
lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis
(p<0,05). Secara keseluruhan proporsi terbesar pada kelompok kasus dan kontrol
adalah tidak ada rawa-rawa, walaupun secara terpisah pada kelompok kasus proporsi
terbesar ada rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah (44,6%) dan pada
kelompok kontrol proporsi terbesar tidak ada rawa-rawa (76,8%). Hal ini terjadi
dan Kabupaten Asahan adalah rawa-rawa liar yang sebagian ditumbuhi tanaman air
(bukan kolam atau galian tanah), sehingga keberadaannya lebih sedikit dibandingkan
misalnya di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah dan air laguna (Soeyoko,
2002). Rawa-rawa merupakan ekosistem dengan habitat yang sering digenangi air
selalu tetap dan terdapat tumbuhan air tertentu yang merupakan inang bagi vektor
nyamuk Mansonia uniformis pada umumnya pada daerah dengan air tergenang atau
pada rawa-rawa yang banyak ditumbuhi tanaman air. Telur nyamuk Mansonia
uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun
tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air
menggigit orang di daerah sekitar rawa jauh lebih tinggi (rata-rata 4,50 tiap
Sehingga kemungkinan penularan filariasis lebih sering terjadi di daerah sekitar rawa
(Sulistiyani, 2012).
Boneraya Kabupaten Bone Bolango yang menyatakan ada hubungan bermakna antara
faktor lingkungan rawa dengan kejadian filariasis dengan nilai OR sebesar 2,443 pada
uji bivariat dan OR sebesar 3,563 pada uji multivariat. Dinyatakan bahwa lingkungan
buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak terbang
filariasis di daerah tersebut. Penelitian Nasrin (2008) di kabupaten Bangka Barat juga
filariasis.
Hal ini diibuktikan dengan teori yang menjelaskan bahwa umumnya nyamuk
mampu terbang sejauh 350- 550 m, misalnya Anopheles sinensis jarak terbangnya
mencapai 200 sampai 800 m, Anopheles barbirostris mencapai 200 sampai 300 m
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan
Kabupaten Asahan yang secara geografis umumnya berjarak > 200 m dari perumahan
Keadaan ini berkaitan juga dengan laporan Depkes RI (2009) bahwa vektor
ditemukan di daerah rawa dan hutan rimba, sedangkan yang ditemukan di daerah
Hasil penelitian ini sesuai yang diperoleh Ulfana (2009) dalam penelitiannya
jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor atau tidak. Di persawahan dekat pantai
menularkan malaria, 13 jenis culex, 4 jenis Aedes sisanya jenis Mansonia dan
Ficalbica (Munif, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa nyamuk jenis Mansonia
sebagai vektor utama filariasis di Sumatera Utara memang lebih sedikit berkembang
malaria.
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan
di dalam dan di luar rumah responden, suhu udara rataan dalam rumah lebih rendah
dibanding suhu luar rumah dengan perbedaan mencapai + 3 ºC. Suhu memenuhi syarat
di dalam rumah responden berkisar 26,1º-29,6ºC dan suhu di luar rumah berkisar
26,3º-30ºC, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berkisar 30,1º -33,2 ºC.
20º-28ºC, sedangkan menurut Depkes RI (2009), berkisar 25º – 27ºC. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten
Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara suhu dalam
dilakukan di dalam dan di luar rumah responden, rerata kelembaban yang memenuhi
syarat di dalam rumah responden berkisar 53%-60% dan di luar rumah responden
Perbedaan kelembaban di dalam dan di luar rumah tidak begitu signifikan, artinya
bahwa responden yang memiliki kelembaban dalam rumah tidak memenuhi syarat (<
40% dan > 60%), sejalan dengan kelembaban di luar rumah yang juga tidak
memenuhi syarat. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan
Sungai Raya Kabupaten Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang
dan filariasis, terpapar tidak adanya kawat kasa pada ventilasi rumah 3,154 kali lebih
besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis
(p<0,05). Hasil observasi yang dilakukan bahwa rumah responden kelompok kasus
mayoritas tidak memenuhi syarat kesehatan jika ditinjau dari fisik bangunan (lantai,
dinding, amar mandi/WC, ventilasi dan langit-langit). Jadi hal ini sangat berkaitan
dengan keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah yang sangat kecil kemungkinan
untuk terpenuhi. Kawat kasa yang dipasang dibagian ventilasi rumah ini berfungsi
untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan
nyamuk dan tanpa disadari menjauhkan diri dari risiko terkena filariasis.
kejadian filariasis dengan keberadaan kawat kasa dengan nilai OR sebesar 7,2,
diartikan bahwa responden yang tidak memiliki kawat kasa di rumahnya berisiko 7,2
kali lebih besar dibandingkan responden yang menggunakan kawat kasa. Menurut
Yatim dalam Pulungan dkk (2012) pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi
kontak dengan nyamuk yaitu pemasangan kawat kasa pada ventilasi. Kawat kasa
harus dipasang pada setiap lubang pada rumah. Jumlah lubang pada kawat kasa yang
dianggap optimal 14-16 perinci (2,5 cm) bahannya bermacam-macam mulai tembaga
ada beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan
perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik antara lain dengan
pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan
lain-lain).
dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 4,267 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
Hasil observasi yang dilakukan di rumah responden diketahui bahwa dari 64 rumah
dengan konstruksi plafon tidak rapat sebesar 40,62% (26 rumah) tidak memiliki
plafon, 29,64% (19 rumah) konstruksi plafon terbuat dari anyaman bambu (gedek),
18,75% (12 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek dengan kondisi rusak
(bolong-bolong), dan 10,94% (7 rumah) konstruksi plafon terbuat dari susunan papan
seadanya. Sedangkan untuk konstruksi plafon rapat diketahui bahwa dari 48 rumah,
terdapat 53,19% (26 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek, 25,53% (12
rumah) konstruksi plafon terbuat dari asbes, dan 21,28% (10 rumah) konstruksi
plafon terbuat dari gypsum. Keadaan ini memperbesar peluang masuknya nyamuk ke
dalam rumah sehingga memperbesar risiko untuk kontak atau mendapat gigitan
nyamuk . Plafon berguna sebagai pemisah antara atap dengan ruangan agar tidak
Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Juriastuti dkk (2010) di kelurahan
Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon
dengan kejadian filariasis dengan nilai OR=6,3, diartikan bahwa responden dengan
keadaan plafon yang buruk di rumah akan lebih berisiko 6,3 kali dibandingkan
dan filariasis, terpapar adanya tanaman di sekitar rumah 3,922 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
Asahan bahwa dari 64 rumah yang terdapat tanaman disekitar rumahnya diketahui
jenis tanaman yang terdapat disekitar rumah responden tersebut dalam jarak < 200 m
sawit 38,5% (24 rumah), dan hutan 15,63% (10 rumah). Kondisi lingkungan seperti
2011). Demikian halnya juga dengan Kabupaten Asahan dengan luas perkebunan
mencapai 21,11% dari luas wilayah (Profil Daerah Kabupaten Asahan, 2011).
dan pada kelompok kontrol 7 rumah (35%) ada tempat peristirahatan nyamuk yaitu
berupa gantungan baju dan semak pada lingkungan rumah, dan menunjukkan adanya
kejadian filariasis.
sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap
(Soeyoko, 2002). Fuad dkk (2008) di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat
menyatakan kondisi lingkungan tempat tinggal dekat (< 500 m) dari lingkungan
filariasis di Kabupaten Agam secara analisis spasial. Wharton dalam Boesri (2012)
rumput-rumputan.
lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat
disekitar rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis
dilakukan jenis hewan peliharaan disekitar rumah yang terdapat di sekitar rumah
responden dalam jarak < 200 m adalah sapi/kerbau (50%), kucing (38,8%) dan
kambing (11,1%). Berdasarkan hasil observasi juga diketahui bahwa kucing yang
dipelihara adalah kucing rumahan (tidak liar) sehingga memang kemugkinan kucing
tersebut sebagai sumber infeksi sangat kecil. Menurut Sudjadi dalam Setiawan (2008)
menyatakan bahwa kucing yang mengakibatkan faktor risiko adalah kucing hutan.
kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena
Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Setiawan (2008) di Wilayah Keja
Raya Kabupaten Pontianak diperoleh p=0,091 yang menyatakan tidak ada hubungan
bermakna antara keberadaan kandang ternak < 100 m dari rumah dengan kejadian
filariasis.
dan filariasis, terpapar jenis pekerjaannya yang berisiko, 3,391 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
pekerjaan tidak berisiko adalah sebagai wiraswasta (50%), pedagang (33,33%) dan
ibu rumah tangga (16,67%). Pekerjaan berisiko memperbesar risiko kontak dengan
pekerjaan yang biasanya dilakukan diluar rumah pada siang dan malam hari.
hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian filariasis dengan
nilai OR sebesar 3,695, bahwa orang yang memiliki jenis pekerjaan berisiko (petani,
nelayan, buruh tani, buruh pabrik) akan berpeluang terkena penyakit filariasis sebesar
4,4 kali dibandingkan dengan orang yang memiliki pekerjaan tidak berisiko (tidak
petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan akan
mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada orang
dan filariasis mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari 2,576 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
Hasil wawancara didapatkan informasi bahwa kebiasaan keluar malam ini dilakukan
siang dan malam hari (membuat tepas/atap, nelayan), kebiasaan tidur di ladang, dan
bahwa aktifitas menggigit Mansonia uniformis diluar rumah menggigit dimulai pada
pukul 18.00 sampai pukul 19.00. Puncak kepadatan menggigit pada pukul 20.00
sampai pukul 21.00 dan pukul 21.00 sampai pukul 22.00 dengan kepadatan yang
sama. Sedangkan puncak kepadatan menggigit didalam rumah terjadi pada pukul
20.00 sampai pukul 21.00. Keadaan dimana aktifitas nyamuk vektor yang mulai
menggigit dan puncak kepadatan vektor yang berada pada paruh pertama malam hari
akan sangat mendukung terjadinya kontak antara nyamuk vektor dengan manusia
waktu pertama malam hari penduduk biasanya masih melakukan aktifitas baik
didalam maupun diluar rumah. Hasil wawancara dengan responden diketahui juga
diluar rumah untuk ngobrol, dan melakukan pekerjaan (membuat tepas/atap) di luar
rumah.
Barat yang menemukan ada hubungan bermakna antara kebiasaan responden keluar
malam hari dengan kejadian filariasis, dan nilai OR sebesar 2,231 artinya bahwa
filariasis sebesar 2,231 kali dibandingkan dengan responden yang tidak keluar malam
hari.
tidak mempunyai kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur 3,029 kali lebih besar
dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05).
merasa tidak nyaman jika tidur menggunakan kelambu dengan alasan panas atau
kebiasaan tidak menggunakan kelambu pada waktu tidur merupakan faktor risiko
terjadinya filariasis dengan nilai OR sebesar 3,99, artinya orang yang pada waktu
tidur tidak menggunakan kelambu mempunyai risiko 3,99 kali untuk terkena filariasis
pada waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi
sebelum tidur bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis
nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) baik itu obat nyamuk bakar, obat
nyamuk oles ataupun obat nyamuk semprot. Berdasarkan hasil wawancara mayoritas
dengan kejadian filariasis. Hal ini berbeda dengan penelitian Mulyono dkk (2007) di
anti nyamuk pada waktu tidur merupakan faktor risiko terjadinya filariasis dengan
nilai OR sebesar 5,38, artinya orang yang pada waktu tidur tidak menggunakan obat
anti nyamuk mempunyai risiko 5,38 kali untuk terkena filariasis dibandingkan orang
Hasil analisis regresi logistik ganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh
Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan adalah faktor konstruksi plafon dengan
sebesar 4,432, faktor kebiasaan keluar pada malam hari dengan nilai OR sebesar
2,583 dan faktor kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur dengan nilai OR sebesar
3,008. Berdasarkan besar nilai OR tersebut faktor yang paling kuat pengaruhnya
Selatan dan Kabupaten Asahan adalah keberadaan tanaman di sekitar rumah. Faktor
Selatan dan Kabupaten Asahan bahwa dari 64 rumah yang terdapat tanaman
disekitar rumahnya diketahui jenis tanaman yang terdapat disekitar rumah responden
rumah), perkebunan kelapa sawit 38,5% (24 rumah), dan hutan 15,63% (10 rumah).
Kondisi lingkungan seperti ini merupakan tempat yang menjadi resting places bagi
filariasis.
uniformis digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka
amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk
Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan
dan merupakan tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk
Mansonia annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam
Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman
air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia,
Boesri, 2012). Kondisi ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh
bahwa jenis tanaman di sekitar rumah yang terdapat disekitar rumah responden dalam
hutan.
tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang
untuk infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil
(Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus
mikrofilaria positif dan filariasis memerlukan waktu yang cukup panjang karena
berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi lingkungan yang potensial bagi
sebagai breeding places and resting places bagi vektor nyamuk, kondisi fisik rumah
dengan konstruksi plafon yang tidak rapat memperbesar peluang seseorang kontak
dengan nyamuk di dalam rumah, dan kebiasaaan keluar rumah pada malam hari dan
seseorang kontak dengan vektor nyamuk penular mikrofilaria positif dan filariasis.
Keadaan ini sejalan dengan hasil wawancara bahwa responden kasus sudah tinggal
ditempat tinggalnya saat penelitian diatas > 10 tahun bahkan dari sejak lahir.
Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai keterbatasan antara lain sebagai
berikut :
terhadap kejadian yang telah lama terjadi. Sedangkan data yang diobservasi
dan diukur adalah kondisi sekarang yang memungkinkan telah banyak terjadi
perubahan. Oleh karena itu, mungkin saja terjadi recall bias dan bias dalam
karakteristiknya.
5.5.4 Tidak semua faktor yang dapat mempengaruhi kejadian mikrofilaria positif
6.1 Kesimpulan
pada malam hari, dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur. Faktor dominan
pada malam hari dan kebiasaan memakai kelambu sewaktu tidur. Faktor keberadaan
tanaman disekitar rumah merupakan faktor dengan pengaruh paling kuat dengan nilai
OR=4,432.
6.2 Saran
teratur.
masyarakat yang tinggal dekat dengan perkebunan kelapa sawit dan hutan.
6.2.4 Untuk peneliti selanjutnya perlu melakukan studi komunitas nyamuk untuk
Ambarita, L, P., Sitorus, H., 2006. Studi Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus
(Daerah Endemis Filariasis) Sumatera Selatan Tahun 2004, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol 5, No. 1 : 368-375.
Anshari, R., 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Dusun Tanjung
Bayur Desa Sungai Raya Kabupaten Pontianak, Tesis, Semarang : Undip
Boesri, H., 2012. Bioekologi Mansonia uniformis dan Peranannya Sebagai Vektor
Filariasis. Salatiga : Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit
Chairufatah, A., 2009. Filariasis Limfatik, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
diakses tanggal 2 November 2012,
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=200912011554
Ernamaiyanti, Kasry, A., Abidin, Z., 2010. Faktor-Faktor Ekologis Habitat Larva
Nyamuk Anopheles di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau
Kabupaten Siak Propinsi Riau Tahun 2009, Journal of Enviromental Sciene :
2(4).
Gandahusada, S., Ilahude, Pribadi, W., 2000. Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga,
Jakarta : FKUI
Juriastuti, P., Kartika, M., Djaja, I M., Susanna, D., 2010. Faktor Risiko Kejadian
Filariasis Di Kelurahan Jati Sempurna, Makara Kesehatan, Vol 14, No.1 : 31-
36.
Karwiti, W., 2011. Lingkungan dan Perilaku Penduduk Sebagai Faktor Risiko
Kejadian Filariasis Brugia malayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sukajadi
Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan,
Tesis, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Komariah, S., 2010. Analisis Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bandung, Tesis, Bandung :
Universitas Diponegoro.
Lemeshow, S., David, W.H.Jr., Klar, J., Lwangga, S.K., 1997. Besar Sampel Dalam
Penelitian Kesehatan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Lwangga, S.K., Lemeshow, S., 1998. Software Sample Size Determination in Helath
Studies a Pratical Manual, Genewa : WHO.
Mulyono, R, A., Hadisaputro, S., Wartono, H., 2008. Faktor Risiko Lingkungan dan
Perilaku yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Filariasis (Studi Kasus di
Wilayah Kerja Kabupaten Pekalongan), Tesis, Semarang : Undip.
Munif, A., 2009. Nyamuk Vektor Malaria dan Hubungannya Dengan Aktivitas
Kehidupan Manusia di Indonesia, Aspirator Vol.1, No.2 : 94-102.
Murti, B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Nugraheni, A., 2011. Faktor- Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Filariasis
Bancrofti di Wilayah Kerja Puskesmas Buaran,Kabupaten Pekalongan, Tesis,
Semarang : Undip.
Pohan, T, H., 2009. Filariasis, Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi Kelima, Jilid III,
Jakarta : Interna Publishing.
Pulungan, E.S., Santi, D.N., Cahaya, I., 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan
Perumahan dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Filariasis di
Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2012,
Skripsi, Medan : FKM USU.
Rampengan, T, H., 2007. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Edisi 2, Jakarta : EGC
Santoso, Yenni, A., Mayasari, R., 2007. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis
Pada Masyarakat di Indonesia, Sumatera Selatan : Loka Litbang P2B2
Baturaja.
Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi
Ke-4, Jakarta : Sagung Seto.
Setiawan, B., 2008. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis
Malayi di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Mulia Kabupaten Kota
Waringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah, Seminar Nasional Sains dan
Teknologi-II 2008, Universitas Lampung
Sulistiyani, Setiani, O., Paiting, YS., 2012. Faktor Risiko Lingkungandan Kebiasaan
Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi
Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua Tahun 2010, Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol. 11, No. 1.
Ulfana, Aini, 2009. Faktor Risiko Lingkungan Rumah dan Perilaku Dengan Kejadian
Filariasis di Kabupaten Pekalongan Tahun 2009, Tesis, Semarang : Undip.
World Health Organization, 2010. Newsletter Action Against Worms, ISSUE 14.
Wijayanti, T., 2009. Analisis Situasi Filariasis Limfatik di Kelurahan Simbang Kulon
Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, Balaba, Vol. 5, No. 01 : 11-16
Wiley, J. and Sons, 1987. Filariasis, Ciba Foundation Symposium, Great Britain.
Nama : ………………………………………………….
Umur : ………………………………………………….
Alamat : ………………………………………………….
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sukarela tanpa ada paksaan dari
………………, …………….2013
Peneliti Responden
(I r i a n t i) ( )
KUESIONER PENELITIAN
Kasus Kontrol
Nama Responden : ……………………………….
I. Pekerjaan : 1. Petani
2. Nelayan
4. Buruh kebun
3. PNS
4. Pegawai swasta
5. Wiraswasta
6. Pedagang
7. Lain-lain, sebutkan ………………………………
√) pada
Untuk pertanyaan berikut, beri tanda silang (X) atau ( kotak yang telah
tersedia sesuai dengan jawaban responden dengan keterangan sebagai berikut :
UPAYA PENCEGAHAN
LINGKUNGAN FISIK
Gypsum
Asbes
Triplek
Anyaman bambu
Lain-lain, sebutkan ……………………….
Kyambang
Teratai
Eceng gondok
Lain-lain, sebutkan ……………………………….
Kucing
Monyet/kera
Sapi
Kerbau
Kambing
JADWAL PENELITIAN
2012 2013
No. Kegiatan
Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul.
1. Pengajuan Judul
Survei
2.
Pendahuluan
3. Pencarian Literatur
4. Penulisan Proposal
5. Kolokium
Perbaikan
6.
Proposal
7. Pengumpulan Data
Analisis Data dan
8.
Penulisan Tesis
9. Seminar Tesis
10. Ujian Tesis
11. Perbaikan Tesis
Kej.
No Mf+ umur umurk Jk didik kerja rawa sawh suhu lmbab kasa plafon tanam hewan mlm mlmk klmbu klmbuk obat obatk
1 0 62 3 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 17 0 13 1 11 0
2 1 62 3 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 19 1 16 1 18 1
3 0 79 3 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 15 0 9 0 20 1
4 1 79 3 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 24 1 10 0 20 1
5 0 52 3 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 15 0 11 0 20 1
6 1 52 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 22 1 20 1 14 0
7 0 29 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 17 0 12 1 20 1
8 1 29 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 22 1 15 1 18 1
9 0 83 3 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 8 0 13 1 18 1
10 1 83 3 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 24 1 14 1 18 1
11 0 43 2 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 19 1 20 1 18 1
12 1 43 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 10 0 14 1 17 1
13 0 50 2 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 17 0 16 1 18 1
14 1 50 2 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 22 1 14 1 16 1
15 0 47 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 20 1 20 1 16 1
16 1 47 2 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 16 0 12 1 16 1
17 0 74 3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 24 1 20 1 16 1
18 1 74 3 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 22 1 17 1 16 1
19 0 66 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 24 1 12 1 16 1
20 1 66 3 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 19 1 20 1 16 1
21 0 68 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 21 1 14 1 18 1
22 1 68 3 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 23 1 12 1 16 1
23 0 62 3 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 15 0 11 0 17 1
24 1 62 3 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 24 1 12 1 16 1
25 0 29 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 17 0 20 1 15 1
26 1 29 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 22 1 20 1 13 0
Cronbach's
Alpha N of Items
.780 8
Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 32.20 69.511 .872 .732
pertanyaan 2 32.40 74.711 .671 .757
pertanyaan 3 32.10 77.878 .393 .775
pertanyaan 4 32.00 72.444 .676 .749
pertanyaan 5 32.30 73.344 .630 .754
pertanyaan 6 31.90 70.767 .803 .739
pertanyaan 7 32.00 74.000 .674 .755
total 17.30 21.122 1.000 .851
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.816 6
Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 23.80 58.622 .812 .766
pertanyaan 2 22.70 69.789 .669 .820
pertanyaan 3 23.80 61.289 .803 .778
pertanyaan 4 23.70 62.011 .849 .779
pertanyaan 5 23.90 57.433 .977 .750
ptotal 13.10 18.989 1.000 .900
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.814 6
Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
pertanyaan 1 28.40 32.489 .808 .758
pertanyaan 2 26.70 34.233 .816 .770
pertanyaan 3 27.30 38.011 .676 .805
pertanyaan 4 26.80 35.289 .877 .776
Frequency Table
kelompok umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 21-30 6 5.4 5.4 5.4
31-40 8 7.1 7.1 12.5
41-50 22 19.6 19.6 32.1
>50 76 67.9 67.9 100.0
Total 112 100.0 100.0
jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 48 42.9 42.9 42.9
perempuan 64 57.1 57.1 100.0
Total 112 100.0 100.0
pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid dasar 97 86.6 86.6 86.6
menengah 15 13.4 13.4 100.0
Total 112 100.0 100.0
Crosstabs
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Chi-Square Tests
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.50.
b. Computed only for a 2x2 table
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.50.
Risk Estimate
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Chi-Square Tests
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.00.
Risk Estimate
Chi-Square Tests
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.50.
b. Computed only for a 2x2 table
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Chi-Square Tests
Logistic Regression
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1
Predicted
Score df Sig.
Variables rawa 5.735 1 .017
Step 0
kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
kerja 5.149 1 .023
Overall Statistics 32.455 7 .000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 37.365 7 .000
Block 37.365 7 .000
Model 37.365 7 .000
Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 117.900a .284 .378
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Predicted
kontrol 14 42 75.0
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1
Predicted
kontrol 0 56 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Score df Sig.
Step 0 Variables kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
kerja 5.149 1 .023
Overall Statistics 32.305 6 .000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 37.175 6 .000
Block 37.175 6 .000
Model 37.175 6 .000
Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 118.089a .282 .377
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Predicted
kontrol 12 44 78.6
Overall Percentage 75.0
a. The cut value is .500
Dependent Variable
Encoding
Original
Value Internal Value
kasus 0
kontrol 1
Predicted
kontrol 0 56 100.0
Score df Sig.
Step 0 Variables kassa 8.358 1 .004
plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
Overall Statistics 30.235 5 .000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 34.177 5 .000
Block 34.177 5 .000
Model 34.177 5 .000
Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 121.088a .263 .351
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Predicted
kontrol 16 40 71.4
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500
Predicted
kontrol 0 56 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Score df Sig.
Step 0 Variables plafon 9.333 1 .002
tanam 11.813 1 .001
mlmkat 6.038 1 .014
klmbukat 8.100 1 .004
Overall Statistics 28.015 4 .000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31.349 4 .000
Block 31.349 4 .000
Model 31.349 4 .000
Model Summary
Cox & Snell R Nagelkerke R
Step -2 Log likelihood Square Square
1 123.916a .244 .326
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter
estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Predicted
kontrol 19 37 66.1
Overall Percentage 73.2
a. The cut value is .500
UJI NORMALITAS
kebiasaan
kebiasaan menggunakan
kebiasaan menggunakan obat anti
keluar malam kelambu nyamuk
Statistics
kebiasaan kebiasaan
kebiasaan keluar menggunakan menggunakan
malam kelambu obat anti nyamuk
Missing 0 0 0
Mode 22 12 15
Minimum 8 5 5
Maximum 24 20 20
Sumber : http://www.labuhanbatuselatankab.go.id/index.php/profil/kependudukan.html
DOKUMENTASI PENELITIAN
Aminah Siregar, 68 th, Pr, Desa Air Merah Kab. Labuhanbatu Selatan