Anda di halaman 1dari 2

Keteladanan Pancasila

Keteladanan Pancasila
Ada bagian yang memudar di tengah pancaran terang bangsa ini. Ada yang meredup di antara
sinar cahaya yang selama ini membungkus negeri. Amat disayangkan, sesuatu yang memudar
dan meredup itu justru merupakan bagian vital dari fondasi kebangsaan, yakni luruhnya
karakter dan budi pekerti anak bangsa.
Sangat mudah kita menyebutkan contoh konkret lunturnya karakter bangsa itu di era
kekinian. Meningkatnya radikalisme, intoleransi, penyebaran berita bohong (hoaks),
demagogi kebencian SARA, kian redupnya integritas dan kesantunan, maraknya korupsi,
termasuk pula aksi-aksi kejahatan yang kian bengis belakangan ini, semua menjadi tontonan
gratis yang sungguh memilukan.

Padahal, kita punya Pancasila, sebuah ideologi yang telah menjadi kemufakatan bersama
sejak negara ini didirikan, sebagai landasan, falsafah, serta nilai dalam kehidupan berbangsa.
Suka atau tidak suka, negara ini berdiri dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai perekat. Sejarah membuktikan bahwa melalui Pancasila-lah bangsa yang majemuk
dan multikultur ini bisa direkatkan hingga kini.
Namun, barangkali, harus diakui juga bahwa nilai-nilai tersebut tak selalu mampu
diterjemahkan dalam narasi dan konsep praktis yang mestinya mengikuti perkembangan
zaman. Akibatnya, tak perlu heran bila perilaku penyimpangan nilai kian banyak terjadi
karena Pancasila tidak dapat terimplementasikan dengan sebenar-benarnya. Itu sebetulnya
merupakan bahasa halus untuk menyebut bahwa Pancasila telah dilupakan sebagian
masyarakat Indonesia.

Kerisauan akan memudarnya nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat itu jugalah yang
tampaknya mendasari ide Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghidupkan
kembali mata pelajaran pendidikan moral Pancasila (PMP) di sekolah formal. Mereka
mengklaim sedang menyiapkan materi PMP yang lebih eksplisit dan lebih 'bunyi'.

Sekadar mengingatkan, PMP merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak
1975. PMP berisi materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Pada 1994 mata pelajaran PMP diubah menjadi pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Kemudian pada masa reformasi, PPKn diubah
menjadi pendidikan kewarganegaraan (PKn) dengan menghilangkan kata Pancasila yang
dianggap sebagai produk Orde Baru.
Tidak ada yang salah dengan rencana Kemendikbud tersebut, bahkan perlu kita dukung
selama niat baiknya untuk terus membumikan nilai-nilai Pancasila yang selama ini kerap
dianggap tidak konkret dan mengawang-awang. Tentu saja, syaratnya, penghidupan lagi PMP
itu mesti diimbangi dengan modifikasi metode pembelajaran yang kekinian dan dapat
diterima anak-anak di generasi pascamilenial tersebut. Jangan malah balik lagi ke zaman
pengajaran Pancasila ala Orde Baru.
Namun, harus kita ingat pula bahwa upaya menggaungkan nilai-nilai luhur Pancasila itu dan
kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa tak cukup
hanya dengan cara-cara formal. Sejatinya, bangsa ini juga membutuhkan keteladanan, contoh
yang nyata dari para pemimpin dan elite, sekurang-kurangnya dalam hal perilaku, integritas,
dan tentu saja kekuatan karakter. Tak dimungkiri, saat ini kita krisis pemimpin autentik yang
menyatu antara kata dan perbuatan.

Jadi, alangkah naifnya ketika di usia dini anak-anak di sekolah diberikan pelajaran dan ilmu
budi pekerti yang luhur ala Pancasila, tetapi di luar sana para pemimpin, elite, dan orangtua
mereka justru terus mempertontonkan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Ini
sebuah paradoks yang tak boleh dianggap remeh karena boleh jadi malah akan membuat
generasi muda menjadi kian apatis terhadap segala hal berbau Pancasila.
Karena itu, langkah besar harus dimulai dengan memperkuat pilar kebangsaan, yakni
Pancasila harus mampu dihadirkan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya
lantang dalam pidato-pidato, bukan pula hanya dimasukkan kurikulum sebagai pelajaran
moral di bangku-bangku sekolah. Sekali lagi, negeri ini lebih membutuhkan teladan untuk
membumikan Pancasila daripada sekadar menformalkannya dalam pendidikan moral
Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai