Anda di halaman 1dari 155

LAPORAN TUGAS AKHIR

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY.N


DENGAN PREEKLAMSIA BERAT DI RSUD KARAWANG

DISUSUN OLEH :
MAYA FITRIANA
NIM.P17324415032

KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK


KESEHATAN BANDUNG PROGRAM STUDI
KEBIDANAN KARAWANG
2018
LAPORAN TUGAS AKHIR

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY.N


DENGAN PREEKLAMSIA BERAT DI RSUD KARAWANG

Laporan Tugas Akhir ini diajukan Sebagai Salah Satu Ujian Akhir Program
Pada Program Studi Kebidanan Karawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

DISUSUN OLEH :
MAYA FITRIANA
NIM.P17324415032

KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK


KESEHATAN BANDUNG PROGRAM STUDI
KEBIDANAN KARAWANG
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini dengan judul
“Analisis Asuhan Kebidanan pada Ny.N dengan Preeklamsia Berat di RSUD
Karawang”. Laporan Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat memenuhi
tugas akhir Program Diploma III Kebidanan Prodi Kebidanan Karawang Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung.

Penyelesaian Laporan Tugas Akhir ini tentunya didukung oleh berbagai pihak
yang telah berkontibusi baik dalam memberikan tambahan pengetahuan maupun
dukungan emosional. Untuk itu pada kesempatan ini penyelesaian menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari :

1. Dr. Ir. H. Osman Syarief, MKM selaku direktur Politekknik Kesehatan


Kementrian Kesehatan Bandung;
2. Dr. Hj. Jundra Darwanty, SST,. M.Pd selaku Ketua Program Studi D III
Kebidanan Karawang Poltekkes Kemenkes Bandung dan selaku Penguji II;
3. Retno Dumilah SST., M.Keb selaku Pembimbing Laporan Tugas Akhir dan
selaku Penguji Sidang I;
4. A. Achmad Fariji, M.Epid selaku Ketua Penguji Sidang;
5. Warliana, SSiT., M.Kes Selaku Pembimbing Askeb;
6. Cucu P., SST selaku Pembimbing Lahan yang telah memberikan informasi
mengenai kasus terkait;
7. Seluruh Dosen dan Staff Program Studi D III Kebidanan Karawang Poltekkes
Kemenkes Bandung yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai
harganya;
8. Keluarga besar Ny. N yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan
pengkajian dan kesediaannya untuk menjadi objek penelitian penulis.
9. Keluarga penulis yaitu Bapak Hendar dan Ibu Sutarsih yang tidak pernah
berhenti memberikan dukungan, kasih dan sayang serta mengajarkan banyak
hal pada penulis;

v
10. Zidan Dwi Laksana selaku saudara kandung yang selalu memberikan doa dan
semangat yang sedang mengenyam pendidikan di Pesantren;
11. Keluarga besar penulis yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang selalu
memberikan doa dan semangat;
12. Bidan Sweetest Room 27 (Astri Ariyani, Dyna Amani Fadillah, Ismayanti
Octaviani) selaku sahabat yang selalu memberikan dukungan, semangat dan
motivasi dalam kegiatan perkuliahan serta menjadi bahu saat bersedih dan
berkeluh kesah;
13. Group Neangan Lawang (Richa Yulinda dan Fetriana NurIndah Sari) selaku
sahabat seperjuangan yang tak pernah lelah memberikan doa, semangat dan
menjadi tempat peraduan disaat hati gundah maupun senang;
14. Nurizka Deviani, Am.Keb selaku kakak kelas sekaligus sahabat yang menjadi
tempat berkeluh kesah dan memberi banyak masukan saat proses penyusunan
tugas akhir dan Nurmahalina T.P.A selaku sahabat yang telah memberikan
pencerahan dan arahan saat penyusunan tugas akhir;
15. Seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 23 Reina Prodi Kebidanan
Karawang Poltekkes Kemenkes Bandung
16. Almh. Melani Indrihastuti selaku sahabat yang lembut, sabar dan cantik yang
cita-citanya kami wujudkan bersama, yaitu menjadi seorang bidan.
17. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dan mendukung sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dan demi
perbaikan sangat peneliti harapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan peneliti khususnya. Aamiin.

Karawang, Juni 2018

Penulis

vi
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG PROGRAM
STUDI KEBIDANAN KARAWANG LAPORAN TUGAS
AKHIR, JUNI 2018

Maya Fitriana

NIM : P17324415032

ANALISIS ASUHAN KEBIDANAN PADA NY. N


DENGAN PREEKLAMSIA BERAT DI RSUD KARAWANG

ABSTRAK
Latar Belakang: Preeklamsia sebagai salah satu kategori hipertensi dalam
kehamilan (HDK) memiliki angka kejadian kasus yang cukup tinggi,
khususnya di Kabupaten Karawang pada tahun 2015 tercatat sebanyak 34
kasus (50%). Adapun kasus lainnya antara lain perdarahan 12 kasus (17,6%)
infeksi 6 kasus (8,82%) dan lain lain ada 11 kasus (16,17%).
Tujuan: Mendeskripsikan dan menganalisa asuhan kebidanan pada Ny.N
dengan preeklamsia berat
Metode Penelitian: Studi kasus secara observasional dengan teknik
pengambilan data melalui wawancara, observasi secara langsung dan studi
dokumentasi rekam medik rumah sakit dan bukti dokumentasi lainnya.
Hasil penelitian: Tata laksana kasus pada kehamilan yang tidak sesuai
dengan standar menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya preeklamsia
berat pada ibu. Penegakkan diagnosa preeklamsia berat dilakukan melalui
anamnesa, pemeriksaan darah dan urine serta pemeriksaan penunjangan lain.
Kesimpulan: Ada kesenjangan dalam asuhan kebidanan pada Ny. N dengan
preeklamsia berat. Meliputi : antenatal cate dan bayi baru lahir
Kata Kunci : Preeklamsia Berat.
Daftar Referensi : 24 (2012-2017)

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................i
PERNYATAAN ORSINIOLITAS ..........................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN ........................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................v
ABSTRAK .....................................................................................................................vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................................4
1.3 Manfaat Penelitian.................................................................................................4

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Preeklamsia .............................................................................................................6
2.2 Sistem Rujukan ......................................................................................................32
2.3 Program EMAS ......................................................................................................51
2.4 Informed Consent dan Informed Choice ..........................................................56
2.5PERMENKES dan KEPMENKES .....................................................................72
2.6 Standar Pelayanan Kebidanan ............................................................................82

BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN


3.1 Kronologi Kasus ....................................................................................................100
3.2 Pembahasan ............................................................................................................105

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan .............................................................................................................124
4.2 Saran .........................................................................................................................125
DAFTAR REFERENSI ..............................................................................................127
LAMPIRAN

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 2. Buku KIA

Lampiran 3. Status Laboratorium

Lampiran 4. Wawancara

Lampiran 5. SOP

Lampiran 6. Informed Consent

Lampiran 7. Rekam Medis

Lampiran 8. Surat Rujukan

Lampiran 9. Foto Pasien

Lampiran 10. Kujungan Rumah

Lampiran 11. Kunjungan Rumah

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama

derajat kesehatan suatu negara. AKI juga mengindikasikan kemampuan

dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas

pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan,

sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap

pelayanan kesehatan.

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan

dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan

mordibitas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan mordibitas hipertensi

dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh

etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani

oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna.

Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil

sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan

harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat

maupun di daerah. (Sarwono Prawirohardjo, 2014)

Gangguan hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab kedua

tersering untuk kematian ibu di Negara maju (setelah embolisme) dan

mencakup 15% dari semua kematian ibu. ( Norwitz, 2013)


1
World Health Organization (WHO) mengemukakan bahwa

penyebab kematian seorang wanita terjadi pada saat ia hamil, bersalin

atau 42 hari setelah persalinan dengan penyebab kematian langsung dan

tidak langsung. Beberapa negara memiliki AKI cukup tinggi seperti

Afrika Sub-Suharan 179.000 jiwa, Asia Selatan 69.000 jiwa, dan Asia

Tenggara 16.000 jiwa. AKI di negara-negara Asia Tenggara yaitu

Indonesia 190 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam 49 per 100.0000

kelahiran hidup, Thailand 26 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 27 per

kelahiran hidup, dan Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup. (WHO,

2014)

Menurut WHO dalam 25 tahun jumlah kematian ibu telah

menurun, pada tahun 1990-2015 yaitu dari 532.000 pada tahun 1990

menjadi 303.000 pada tahun 2015. Sebagian besar kematian ini terjadi

karena managemen yang kurang dan sebagian besar dapat dicegah.

(WHO, 2015)

Laporan Capaian Kinerja KEMENKES RI Tahun 2017

menyebutkan bahwa jumlah kasus kematian pada bayi turun dari 33.278

di tahun 2015 mencapai 32.007 pada tahun 2016, dan pada tahun 2017 di

semester I meliputi 10.294 kasus. Demikian pula dengan angka kematian

ibu turun dari 4.999 kasus pada tahun 2015 menjadi 4912 kasus pada

tahun 2016 dan pada tahun 2017 (semester I) menjadi 1712 kasus.

(DEPKES RI, 2017)

2
Data dinas kesehatan Kabupaten Karawang pada tahun 2016

menyebutkan AKI sebanyak 53 kasus per 100.000 kelahiran hidup,

penyebab diantaranya yaitu hipertensi dalam kehamilan, perdarahan,

infeksi dan lain-lain. Sedangkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2016

sebanyak 143 kasus. Penyebab antaranya BBLR sebanyak 74 kasus

(51,8%), asfiksia sebanyak 44 kasus (30,8%), kelainan kongenital

sebanyak 10 kasus (7,0%), infeksi atau sepsis sebanyak 3 kasus (2,1%)

dan penyebab lainnya sebanyak 12 kasus (8,3%). (Dinas Kesehatan

Kabupaten Karawang, 2016)

AKI di RSUD Karawang pada tahun 2014 terdapat 26 kasus

kematian ibu. Pada tahun 2015 angka kematian ibu mengalami

peningkatan yaitu 29 kasus. Pada tahun berikutnya, yaitu 2016 mengalami

peningkatkan 38 kasus. (Rekam medik RSUD Karawang, 2016).

Preeklamsia sebagai salah satu kategori hipertensi dalam

kehamilan (HDK) memiliki angka kejadian kasus yang cukup tinggi,

khususnya di Kabupaten Karawang pada tahun 2015 tercatat sebanyak 34

kasus (50%). Adapun kasus lainnya antara lain perdarahan 12 kasus

(17,6%) infeksi 6 kasus (8,82%) dan lain lain ada 11 kasus (16,17%).

(Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2015). Berdasarkan data yang

didapatkan, kasus preeklamsia berat di ruang VK RSUD Karawang pada

tahun 2015 mencapai 1285 kasus (29,8%).

3
Melihat permasalahan dan data diatas maka peneliti tertarik untuk

menyusun Laporan Tugas Akhir yang berjudul Analisis Asuhan

Kebidanan pada Ny.N dengan Preeklamsia Berat di RSUD Karawang.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui asuhan kebidanan yang diberikan kepada

Ny. N dengan preeklamsia berat di RSUD Karawang.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis asuhan kebidanan persalinan pada Ny. N

dengan preeklamsia berat

b. Untuk menganalisis asuhan kebidanan pada masa nifas yang

diberikan pada Ny. N dengan preeklamsia berat

c. Untuk menganalisis asuhan kebidanan pada bayi Ny.N

1.3 Manfaat

Dengan adanya observasi ini diharapkan dapat memberikan

manfaat untuk semua pihak yang terkait diantaranya :

1.3.1 Bagi Penulis

Sebagai penyempurna proses pendidikan belajar mengajar dan

syarat kelulusan dalam bentuk tugas akhir mahasiswi Poltekkes

Kemenkes Bandung Prodi Kebidanan Karawang serta melatih

kemampuan analisis terhadap masalah yang ditemukan.

4
1.3.2 Bagi Institusi

Diharapkan mampu memberi masukan dalam materi perkuliahan,

sebagai pengembangan ilmu dan memberikan gambaran serta

informasi bagi penelitian selanjutnya.

1.3.3 Bagi Lapangan Praktik

Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan timbangan dan koreksi

dalam melaksanakan asuhan kebidanan pada preeklamsia berat.

1.3.4 Bagi Pembaca

Diharapkan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai

preeklampsia berat.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Preeklamsia

2.1.1 Pengertian Preeklamsia

Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20

minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Menurut

Prawiroharjo tahun 2014 hal-hal yang perlu diperhatikan :

a. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90

mmHg. Pengukuran darah dilakukan sebanyak 2 kali pada

selang waktu 4 jam-6 jam.

b. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24

jam atau sama dengan ≥1+ dipstic.

c. Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda

preeklamsia tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi,

kecuali edema generalisata. Selain itu bila di dapatkan kenaikan

berat badan >0,57kg/minggu.

d. Preeklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi

endotel, proteinuria adalah tanda penting Preeklamsia,

terdapatnya proteinuria 300 mg/1+.

Preeklamsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan

yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon

maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi

6
endotel dan koagulasi. Preeklamsia, sebelumya selalu didefinisikan

dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada

kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Sedangkan,

untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena

sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

(PNPK Preeklamsia, 2016)

2.1.2 Klasifikasi Preeklamsia

Berikut merupakan tabel klasifikasi hipertensi dalam

kehamilan untuk membedakan jenis hipertensi dalam kehamilan

yang berhubungan dengan diagnosis preeklamsia. Seperti telah

disebutkan sebelumnya, bahwa Preeklamsia didefinisikan sebagai

hipertensi yang terjadi pada kehamilan diatas usia kehamilan 20

minggu disertai adanya gangguan organ.

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan

Diagnosis Tekanan Darah Tanda Lain


Hipertensi dalam kehamilan
1. Hipertensi Kenaikan tekanan protein (-)
diastolic 15 mmHg kehamilan > 20
atau > 90 mmHg minggu
dalam 2 pengukuran
berjarak 1 jam atau
tekanan diastolic
sampai 110 mmHg
2. Pre eklamsi Idem proteinuria 1+
ringan
3. Pre eklamsi tekanan diastolic proteinuria 2+
berat >110 mmHg
4. Eklamsia Hipertensi Oliguria
Hiperrefleksia
Gangguan
penglihatan
Nyeri epigastrium
Kejang
Hipertensi Kronik
7
1. hipertensi 1. hipertensi 1. kehamilan < 20
kronik 2. hipertensi kronik minggu
2. superimposed 2. proteinuria +
pre-eclampsia tanda-tanda lain
dari Preeklamsia
(Sumber: Saifuddin, 2010)

Adapun preeklamsia sendiri diklasifikasikan menjadi dua

macam, yaitu ringan dan berat. Tidak ada klasifikasi sedang dalam

preeklamsia.

1) Preeklamsia Ringan: termasuk semua ibu dengan diagnosis

Preeklamsia, tetapi tanpa adanya tanda-tanda preeklamsia berat.

2) Preeklamsia Berat:

Gejala yang timbul dari preeklamsia berat diantaranya;

a. Adanya gejala-gejala disfungsi system saraf pusat (sakit

kepala berat, penglihatan kabur dan skotomata)

b. Adanya gejala-gejala peregangan kapsul hati (nyeri kuadran

kanan atas dan/atau epigastrik).

2.1.3 Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat

Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi

pemberatan preeklamsia atau preklamsia berat adalah dengan

adanya protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan,

salah satu tanda dan gejala dan gangguan lain dapat digunakan

untuk menegakkan diagnosis preeklamsia berat, yaitu:

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau

110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15

menit menggunakan lengan yang sama

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter


8
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak

ada kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali

normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan

atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan

visus

7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan

sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth

Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed end

diastolic velocity (ARDV) (PNPK-Preeklamsia,2016)

Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi

preeklamsia ringan, dikarenakan setiap Preeklamsia merupakan

kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.

(PNPK-Preeklamsia, 2016)

2.1.4 Faktor Resiko

Berbagai penelitian menunjukkan adanya faktor risiko

untuk terjadinya preeklamsia, antara lain:

9
1. Usia

Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun.

Kematian maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia

dibawah 20 tahun dan setelah usia 35 tahun meningkat, karena

wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari

35 tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsia.

Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi

perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir

tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko untuk terjadi

preeklamsia.

2. Kehamilan pertama oleh pasangan baru

Kehamilan pertama oleh pasangan baru dianggap sebagai faktor

risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada

wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma. (PNPK-

Preeklamsia, 2016)

3. Jarak antar kehamilan

Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,

memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak

kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko

Preeklamsia hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk

melaporkan bahwa risiko preeklamsia semakin meningkat sesuai

dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5

tahun jarak kehamilan pertama dan kedua). (PNPK-Preeklamsia,

2016)

10
4. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida muda maupun tua,

primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklamsiaa berat.

5. Ras atau golongan etnik

Mungkin ada perbedaan perlakuan atau akses terhadap berbagai

etnik di banyak negara.

6. Faktor keturunan

Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam

kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip

janin. Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsia 26%

anak perempuannya akan mengalami preeklamsia pula,

sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsia.

Karena biasanya kelainan genetik juga dapat mempengaruhi

penurunan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya

mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan

terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi

terjadinya preeklamsia/eklamsia (Prawirohardjo, 2014)

7. Faktor gen diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait),

yang ditentukan genotip ibu dan janin.

8. Diet atau gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu atau pola diet

tertentu (WHO). Penelitian lain : kekurangan kalsium

berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka

11
kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obesitas atau

overweight.

9. Iklim dan musim

Di daerah tropis insidens lebih tinggi.

10. Tingkah laku atau sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah,

namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin

dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.

Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama

hamil mengurangi kemungkinan insidens hipertensi dalam

kehamilan. (Dewi, 2012)

2.1.5 Etiologi

Penyebab preeklamsia saat ini tak bisa diketahui dengan

pasti, walaupun penelitian yang dilakukan terhadap penyakit ini

sudah sedemikian maju. Semuanya baru didasarkan pada teori yang

dihubung-hubungkan dengan kejadian. Itulah sebab preeklamsia

disebut juga “disease of theory”, gangguan kesehatan yang

berasumsi pada teori. Adapun teori-teori tersebut antar lain :

1. Peran prostaksiklin dan trombokson

Pada preeklamsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostaendotel

vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin

(PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi

penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti

12
trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi

antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi

trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan

serotonin, sehingga terjadi vasopasme dan kerusakan endotel.

2. Peran faktor imunologis

Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak

timbul lagi kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan

bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking

antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang

semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Pada

preeklamsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi

komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya

pembentukan proteinuria.

3. Peran faktor genetik

Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada

kejadian preeklamsia antara lain:

a. Preeklamsia hanya terjadi pada manusia.

b. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi

preeklamsia pada anak-anak dari ibu yang menderita

Preeklamsia.

c. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi

Preeklamsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat

preeklamsia dan bukan pada ipar mereka.

d. Peran Ranin Angiostensi Aldosteron System ( RAAS).

13
Yang jelas Preeklamsia merupakan salah satu penyebab

kematian pada ibu hamil, disamping infeksi dan perdarahan.

(Rukiyah dan Yulianti, 2010)

4. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel

a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas,

pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spinalis”, dengan akibat plasenta

mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan

hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal

bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa

penerima elektron atau atom/ molekul yang mempunyai

elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan

penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal

hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran

sel endotel

pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada

manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan

memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya

radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap

sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu

hipertensi dalam kehamilan disebut “toxemia”.

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi

14
peroksida lemak. Perodiksa lemak selain akan merusak

membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel

endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh

yang bersifat toksis, selalu diimbangi dnegan produksi

antioksidan.

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam

kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti

bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak

meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada

hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi

dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif

tinggi.

Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang

sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam

aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.

Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan

oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung

berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak

asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat

rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan

berubah menjadi peroksida lemak.

15
c. Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida

lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang

kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.

Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan

terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh

struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungi sel

endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel.

(Prawirohardjo, 2013)

2.1.6 Patofisiologi

1) Patologi Preeklamsia Berat

Perubahan pada sistem dan organ pada preeklamsia

menurut Prawirohardjo 2014 adalah :

a. Perubahan kardiovaskular

Penderita preeklamsia sering mengalami gangguan

fungsi kardiovaskular yang parah, gangguan tersebut

pada dasarnya berkaitan dengan afterload jantung akibat

hipertensi.

b. Ginjal

Terjadi perubahan fungsi ginjal disebabkan karena

menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemi,

kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya

permebelitas membran basalis sehingga terjadi

kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Gagal ginjal

16
akut akibat nekrosis tubulus ginjal. Kerusakan jaringan

ginjal akibat vasospasme pembuluh darah dapat diatasi

dengan pemberian dopamin agar terjadi vaso dilatasi

pada pembuluh darah ginjal.

c. Viskositas darah

Vaskositas darah meningkat pada preeklamsia, hal ini

mengakibatkan meningkatnya resistensi perifer dan

menurunnya aliran darah ke organ.

d. Hematokrit

Hematokrit pada penderita preeklamsia meningkat

karena hipovolemia yang menggambarkan beratnya

preeklamsia.

e. Edema

Edema terjadi karena kerusakan sel endotel kapilar.

Edema yang patologi bila terjadi pada kaki

tangan/seluruh tubuh disertai dengan kenaikan berat

badan yang cepat.

f. Hepar

Terjadi perubahan pada hepar akibat vasospasme,

iskemia, dan perdarahan. Perdarahan pada sel periportal

lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan

peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini bisa meluas

yang disebut subkapsular hematoma dan inilah yang

17
menimbulkan nyeri pada daerah epigastrium dan dapat

menimbulkan ruptur hepar.

g. Neurologik

Perubahan neurologik dapat berupa, nyeri kepala di

sebabkan hiperfusi otak. Akibat spasme arteri retina dan

edema retina dapat terjadi ganguan visus.

h. Paru

Penderita preeklamsia berat mempunyai resiko terjadinya

edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah

jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah

kapilar paru, dan menurunnya deuresis.

2.1.7 Kriteria Preeklamsia Berat

Preeklamsia digolongkan Preeklamsia berat bila ditemukan satu

atau lebih gejala sebagai berikut :

a. Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg. Tekanan

darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di

rumah sakit dan telah menjalani tirah baring.

b. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan

kualitatif.

c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc / 24 jam.

d. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.

e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri

kepala, skotoma, dan pandangan kabur.

18
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen

(akibat teregangnya kapsula glisson).

g. Edema paru dan sianosis.

h. Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat

dehidrogenase.

i. Trombositopenia berat (trombosit < 100.000 sel/mm3 atau

penurunan trombosit dengan cepat.

j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler) :

peningkatan kadar alanin dan aspartate amninotransferase.

k. Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.

l. Sindrom HELLP. (Sarwono Prawirohardjo, 2014)

Pembagian preeklamsia berat dapat digolongkan menjadi :

1) Preeklamsia berat tanpa impending eklamsia

2) Preeklamsia berat dengan impending eklamsia, disebut

impending eklamsia bila preeklamsia berat disertai dengan

gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan

visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan

progresif tekanan darah. (Prawirohardjo, 2014)

2.1.8 Akibat Preeklamsia Berat Pada Janin

Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan

gangguan fungsi plasenta. Hal ini mengakibatkan hipovolemia,

vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel

endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin

meningkat (Sarwono prawirohardjo, 2014)


19
2.1.9 Pencegahan

Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah

terjadinya preeklamsia pada perempuan hamil yang mempunyai

risiko terjadinya preeklamsia. Preeklamsia adalah perempuan hamil

yang mempunyai risiko terjadinya preeklamsia. Preeklamsia adalah

suatu sindroma dari proses implantasi sehingga tidak secara

keseluruhan dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan

nonmedikal dan medikal.

1) Pencegahan dengan nonmedikal

Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak

memberikan obat. Cara yang paling sederhana ialah melakukan

tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada

mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya preeklamsia

meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya

preeklamsia dan mencegah persalinan preterm.

Retriksi garam tidak terbukti dapat mencegah terjadinya

preeklamsia. Hendaknya diet ditambah suplemen yang

mengandung :

a. Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,

misalnya omega-3 PUFA.

b. Antioksidan : Vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, N-

Asetilsistein, asam lipoik.

c. Elemen logam berat : zinc, magnesium, kalsium.

20
2) Pencegahan dengan medikal

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat

meskipun belum ada bukti yang kuat dan sahih. Pemberian

diuretik tidak terbukti mencegah terjadinya preeklamsia

bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak

terbukti mencegah terjadinya preeklamsia.

Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai

sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya preeklamsia.

Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium

365 mg/hari.Obat antitrombotik yang dianggap dapat

mencegah Preeklamsia ialah aspirin dosis rendah rata-rata

dibawah 100 mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga diberikan

obat-obat antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, β-

karoten, CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik. (Prawirohardjo,

2013)

Adapun sumber lain yang mengatakan bahwa pencegahan

preeklamsia meliputi :

a. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta

teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin

(preeklamsia ringan), lalu diberikan pengobatan yang

cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.

b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya

Preeklamsia kalau ada faktor-faktor predisposisi.

21
c. Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur

ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah

garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga

menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan. (Sofian,

2011)

2.1.10 Fasilitas Kesehatan Dasar

Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di BPM dan

puskesmas, maka secara prinsip kasus-kasus Preeklamsia berat dan

eklamsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan

fasilitas yang lebih lengkap. Adapun langkah-langkahnya antara

lain :

1. Bila ditemukan tekanan darah tinggi, lakukan pemeriksaan

kadar protein urin dengan tes celup urin.

Tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat

kegawatdaruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan

kasus mana yang boleh ditangani sendiri

2. Menentukan tempat tujuan rujukan.

Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas

pelayanan yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk

fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan

kesediaan dan kemampuan penderita.

22
3. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya

mengenai rencana rujukan untuk mendapat pertolongan pada

fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

4. Menyiapkan surat rujukan yang berisikan riwayat penderita

dan persyaratan rujukan lainnya termasuk dana dan surat-

menyurat.

5. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan (menggunakan

sijariemas).

6. Persiapan penderita :

a. Bila ada Preeklamsia berat, pasang kanul intravena ukuran

16 atau 18, lalu berikan cairan kristaloid (Ringer laktat/

Ringer asetat) dengan kecepatan 60 ml/jam (20 tetes per

menit). Pastikan pasien selalu didampingi.

b. Berikan magnesium sulfat

Tabel 2.2 Pemberian Magnesium Sulfat

No. Cara Pemberian


1 Cara pemberian dosis awal:
- Berikan 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4
40%) dan larutkan dengan 10 ml akuades, suntikan
secara perlahan IV selama 20 menit.
- Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5
g MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di
bokong kiri dan kanan.
2 Cara pemberian dosis rumatan:
- Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan
larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/ Ringer
Asetat, lalu berikan secara IV kecepatan 28 tetes per
menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam
setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklamsia).

3 Syarat pemberian MgSO4 :

23
- Tertersedia kalsium glukonas 10%
- Ada refleks patella
- Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg BB per jam
- Frekuensi napas 12-16 x/menit
Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4 seperti

refleks patela menghilang, depresi pernapasan, maka

diberikan antidotum yaitu Kalsium Glukonas 10%

sebanyak 10 cc IV disuntikkan selama 10 menit sampai

pernafasan timbul kembali.

c. Pemberian Nifedipin

Bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg berikan satu

tablet nifedipin 10 mg oral, kemudian dirujuk.

1. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan

darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks

patella, dan jumlah urin.

2. Bila frekuensi pernafasan < 16 x/menit, dan/atau tidak

didapatkan refleks tendon patella, dan/atau terdapat

oliguria (produksi urin <0,5 ml/ kgBB/ jam), segera

hentikan pemberian MgSO4.

3. Jika terjadi depresi nafas, berikan Ca Glukonas 1 g IV

(1o ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit.

4. Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan

seluruhnya, berikan dosis awal (loading dose) lalu

rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.

24
5. Pengiriman penderita.

Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu

diupayakan kendaraan/ sarana transportasi yang

tersedia untuk mengangkut penderita.

6. Selama ibu dengan Preeklamsia dan eklamsia dirujuk,

pantau dan nilai adanya perburukan Preeklamsia.

Apabila terjadi eklamsia, lakukan penilaian awal dan

tatalaksanan kegawatdaruratan. Berikan kembali

MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah

pemberian ulangan masih terdapat kejang, dapat

dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV

selama 2 menit. (Dinas Kesehatan Kabupaten

Karawang, 2014)

2.1.11 Di Rumah Sakit

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala

Preeklamsia berat selama perawatan, maka perawatan dibagi

menjadi:

1. Penerimaan Pasien di Poliklinik atau Instalasi Rawat

Darurat (IRD)

a. Dokter dibantu perawat/ bidan melakukan pemeriksaan

tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan

suhu tubuh.

b. Dokter menentukan jenis dan frekuensi pemeriksaan

laboratorium yang diperlukan: darah rutin, proteinuri,

25
fungsi hepar dan ginjal, elektrolit, HbsAg, gula darah,

analisis gas darah (jika diperlukan).

c. Perawat/ bidan memasang infus dengan cairan kristaloid

(Ringer Laktat, Asering) 20 tetes/ menit dan memasang

kateter karet tinggal.

1) Dokter/ bidan memberikan suntikan Magnesium

Sulfat.

Dosis awal: 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan

MgSO4 40%) dan larutan dengan 10 ml akuades,

secara perlahan IV selama 20 menit.

2) Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5

g MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di

bokong kiri dan kanan.

d. Pasien dikirim ke unit maternal Instalasi Maternal

Perinatal

2. Perawatan pasien di Unit Maternal Internal dan Maternal

Perinatal

a. Pasien dirawat di ruang yang tenang (ruang eklamsia/

Preeklamsia).

b. Dokter/ bidan melakukan pemeriksaan tanda vital: tekanan

darah, nadi, respirasi dan suhu tubuh. Tekanan darah

diukur 2 kali dalam posisi berbaring dengan interval waktu

4-6 jam.

26
c. Dokter dibantu perawat/ bidan memberikan suntikan dosis

pemeliharaan Magnesium Sulfat 4 gr IM larutan setiap 6

jam, dengan catatan: syarat pemberian Magnesium Sulfat

adalah refleks patella (+), respirasi 16-24 x per menit,

produk urine paling tidak 100 ml/ 4 jam terakhir, terdapat

antidotum yaitu kalsium glukonas10%.

d. Dokter melakukan balans cairan setiap 6 jam.

e. Dokter memberikan obat antihipertensi bila tekanan

sistolik ≥180 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg: Nifedipin

3 x 10 mg dengan setiap pemberian dilakukan

pemeriksaan tekanan darah ulang.

f. Dokter melakukan jenis dan frekuensi pemeriksaan

monitoring janin, (Kardiotokografi dan USG bila

diperlukan).

g. Dokter menentukan tindakan obstetrik:

1. Konservatif

Jika kehamilan < 36 minggu.

2. Aktif

Indikasi, bila terdapat satu atau lebih keadaan dibawah

ini:

a) Umur kehamilan ≥ 37 minggu

b) Terdapat gejala impending eklamsia

c) Kegagalan terapi konservatif medikamentosa:

27
1) Enam jam sejak pengobatan medisinal terjadi

kenaikan tekanan darah

2) Tidak terdapat perbaikan setelah 24 jam

perawatan, dengan kriteria: tekanan darah

diastolik ≥ 100 mmHg dan indeks gestosis ≥ 6

3) Terdapat tanda-tanda gawat janin

d) Terdapat tanda-tanda IUGR yang kurang dari 10

persentil dari kurva normal

e) Terdapat HELLP syndrome

Tabel 2.3 Cara terminasi kehamilan

Cara terminasi kehamilan


Belum dalam persalinan Sudah dalam persalinan
- induksi (sesuai protokol) setelah 30 - Kala I fase laten: seksio sesarea
menit terapi medicinal. - Kala I fase aktif: amniotomi, bila 6
- Seksio sesarea bila: Terdapat jam setelah amniotomi tidak tercapai
kontraindikasi terhadap oksitosin, pembukaan lengkap => Seksio
setelah 12 jam dalam induksi tak sesarea
masuk fase aktif , primigravida lebih - Kala II: ekstraksi vakum, ekstraksi
cenderung ke arah bedah caesar forsipal.

h. Dokter meberikan diuretik jika terdapat edema paru-paru,

kegagalan jantung

i. Dokter mengijinkan pasien pulang apabila:

1. Perawatan obstetrik sudah selesai dan tidak didapatkan

kelainan

2. Evaluasi terhadap jantung, ginjal, mata dan lain-lain

sudah memungkinkan untuk dirawat secara rawat jalan.

(Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2014)

28
2.1.12 Komplikasi

A. Bagi Janin

1. Pertumbuhan janin terhambat (BBLR)

Bayi BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan

kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.

Bayi yang berada di bawah persentil 10 dinamakan

ringan untuk umur kehamilan. (Proverawati, 2010)

Faktor-faktor yang memperngaruhi bayi BBLR

diantaranya adalah Preeklamsia berat, hipertensi. (Proverawati,

2010)

Dalam penelitian Adhitya Gilang Tintyarza tahun

2013, Preeklamsia/eklamsi meningkatkan resiko terjadinya

insidensi BBLR pada bayi yang lebih besar yaitu 2,3 kali

dibandingkan ibu tanpa preeklamsia. Ada beberapa cara dalam

mengelompokkan bayi BBLR (Proveratawi, 2010) , yaitu :

1) Menurut harapan hidupnya :

a. Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500

gram

b. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir

1000-1500 gram

c. Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir

kurang dari 1000 gram.

29
2) Menurut Saifuddin (2009), diklasifikasikan berdasarkan

berat badan waktu lahir, yaitu :

a. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), yaitu bayi lahir

dengan berat 1.500-2.500 gram

b. Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), yaitu

bayi lahir dengan berat <1.500 gram

c. Berat Badan Lahir Ekstrem Rendah (BBLER), yaitu

bayi yang lahir dengan berat <1.000 gram.

2. Asfiksia

Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir (BBL) tidak

bernapas secara spontan dan teratur. Sering kali bayi yang

sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia

sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan

keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau

sesudah persalinan. (Rohani, dkk 2011)

Faktor penyebab asfiksia neonatorum diantaranya adalah

preeklamsia dan eklamsia. (Rohani, dkk 2011)

Ibu yang mengalami preeklamsia sebagian besar

melahirkan bayi asfiksia. Penurunan aliran darah ke plasenta

mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Kondisi ini memicu

vasokontriksi pembuluh darah sehingga mengakibatkan suplai

darah ke plasenta menjadi berkurang.hal ini mengakibatkan

terjadinya hipoksia pada janin. Akibat lanjut dari hipoksia pada

janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan

30
karbondioksida sehingga terjadi asfiksia neonatorum.

(Prawirohardjo, 2013)

Pengembangan paru bayi lahir terjadi pada menit-menit

pertama kemudian disusul dengan pernapasan teratur dan

tangisan bayi. Proses perangsangan pernapasan ini dimulai dari

tekanan mekanik dada pada persalinan, disusul dengan keadaan

penurunan tekanan oksigen arterial dan peningkatan tekanan

karbondioksida arterial, sehingga sinus karotikus terangsang

dan terjadi proses bernapas. Bila bayi mengalami hipoksia

akibat suplay oksigen ke plasneta menurun karena efek

hipertensi intrauterin maka saat persalinan maupun pasca

persalinan akan beresiko terjadi asfiksia. (Kutipan

Brilianingtyas, 2014 dari Prawirohardjo, 2010).

Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa kejadian

asfiksia berkaitan dengan keadaan Preeklamsia pada ibu.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Rahmawati dan Mawarti

yang dilakukan di RSUD Panembatan Senopati Bantul

Yogyakarta pada tahun 2013 dengan hasil penelitian dari 87

ibu bersalin yang mengalami Preeklamsia berat 79 bayi yang

dilahirkan mengalami asfiksia. (Karya pribadi Rahmawati dan

Mawarti, 2013).

31
2.2 Sistem Rujukan

2.2.1 Definisi

Sistem rujukan ialah suatu sistem penyelenggaraan

pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung

jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah

kesehatan secara vertical dalam arti dari unit yang berkemampuan

kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam

arti antar unit-unit yang setingkat kemampuannya. (SK Menteri

Kesehatan RI No. 001, 2012 )

Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan

penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan

tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik

baik vertikal maupun horizontal (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem

jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan

terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas

masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit

yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih

tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih

kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah

administrasi (Syafrudin, 2009).

2.2.2 Rujukan Maternal dan Neonatal

Rujukan kesehatan ibu dan anak adalah sistem rujukan yang

dikelola secara strategis, proaktif, pragmatis dan koordinatif untuk

32
menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal

yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang

membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun

mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar

dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi

melalui peningkatan mutu dan ketrerjangkauan pelayanan

kesehatan internal dan neonatal di wilayah mereka berada (Depkes,

2006).

Sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan

Neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan

tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan

kewenangan fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan

kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal yang datang ke puskesmas

PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap

sesuai dengan buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal

dan neonatal.

Standar pelayanan kebidanan dalam mendeteksi dini

komplikasi kehamilan atau persalinan khususnya penyakit

preeklamsia/eklamsia adalah standar pemantauan dan pemeriksaan

kehamilan dan standar pengelolaan hipertensi pada kehamilan serta

standar dalam penanganan kegawatdaruratan obstetri neonatal dan

eklampsia. Standar ini merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan

dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kompetensi dan

wewenang yang diberikan. Salah satu standar kompetensi bidan

33
yakni memberikan asuhan antenatal yang bermutu tinggi untuk

mengoptimalkan kesehatan ibu selama kehamilan yang meliputi

deteksi dini, pengobatan dan rujukan. Bidan mengenali secara tepat

dan dini tanda dan gejala preeklampsia ringan, preeklampsia berat

dan eklampsia. Bidan akan mengambil tindakan yang tepat,

memulai perawatan, merujuk ibu dan / atau melaksanakan

penanganan kegawatdaruratan yang tepat (Depkes RI, 2009 dalam

Feramida Y.E, 2016).

Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian

ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat puskesmas

mampu PONED atau dilakukan rujukan ke RS pelayanan obstetrik

dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) untuk

mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat

kegawatdaruratannya (Depkes RI, 2007) dengan alur sebagai

berikut:

1. Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas

pelayanan kegawatdaruratan obstetric dan neonatal.

2. Bidan desa dan polindes dapat memberikan pelayanan langsung

terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas baik yang datang

sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain

menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal,

bidan di desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan

komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan

kemampuannya atau melakukan rujukan pada puskesmas,

34
puskesmas mampu PONED dan RS PONEK sesuai dengan

tingkat pelayanan yang sesuai.

3. Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu

melakukan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obstetri

dan neonatal yang datang sendiri maupun yang dirujuk oleh

kader/dukun/bidan di desa sebelum melakukan rujukan ke

puskesmas mampu PONED dan RS PONEK.

4. Puskesmas mampu PONED memiliki kemampuan untuk

memberikan pelayanan langsung kepada ibu hamil, ibu bersalin,

ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas

rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan puskesmas.

Puskesmas mampu PONED dapat melakukan pengelolaan

kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat

kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada

RS PONEK.

5. RS PONEK 24 jam memiliki kemampuan untuk memberikan

pelayanan PONEK langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin,

ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas

rujukan kader/masyarakat, bidan di desa dan puskesmas,

puskesmas mampu PONED. Pemerintah provinsi/Kabupaten

melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya

memberikan dukungan secara manajemen, administratif

maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran PPGDON

35
(Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan Obstetri dan

Neonatus).

6. Ketentuan tentang persalinan yang ditolong oleh tenaga

kesehatan dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah

sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan

lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan

persalinan.

7. Pokja/satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama liuntas

sektoral ditingkat propinsi dan Kabupaten untuk

menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat

terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan serta

kegawatdaruratan yang mungkin timbul olkeh karenanya.

Dengan penyampaian pesan melalui berbagai instansi/institusi

lintas sektoral, maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata

massyarakat terhadap sistem rujukan PONEK 24 jam

8. RS swasta, rumah bersalin, dan dokter/bidam praktek swasta

dalam sistem rujukan PONEK 24 jam, puskesmas mampu

PONED dan bidan dalam jajaran pelayanan rujukan. Institusi

ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan

rujukan PONEK 24 jam sebagai kelengkapan pembinaan pra

RS.

2.2.3 Persiapan Rujukan

Kaji ulang rencana rujukan bersama ibu dan keluarganya.

Jika terjadi penyulit, seperti keterlambatan untuk merujuk ke

36
fasilitas kesehatan yang sesuai, dapat membahayakan jiwa ibu dan

atau bayinya. Jika perlu dirujuk, siapkan dan sertakan dokumentasi

tertulis semua asuhan dan perawatan hasil penilaian (termasuk

partograf) yang telah dilakukan untuk dibawa ke fasilitas rujukan

(Syafrudin, 2009).

Kesiapan untuk merujuk ibu dan bayinya ke fasilitas

kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu menjadi syarat

bagi keberhasilan upaya penyelamatan. Setiap penolong persalinan

harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang mampu untuk

penatalaksanaan kasus gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir

dan informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan,

ketersediaan pelayanan purna waktu, biaya pelayanan dan waktu

serta jarak tempuh ke tempat rujukan. Persiapan dan informasi

dalam rencana rujukan meliputi siapa yang menemani ibu dan bayi

baru lahir, tempat rujukan yang sesuai, sarana tranfortasi yang

harus tersedia, orang yang di tunjuk menjadi donor darah dan uang

untuk asuhan medik, tranfortasi, obat dan bahan. Singkatan

BAKSOKU (Bidan, Alat, Keluarga, Surat, Obat, Kendaraan, Uang)

dapat di gunakan untuk mengingat hal penting dalam

mempersiapkan rujukan (Syafrudin, 2009).

2.2.4 Kegiatan Rujukan

Menurut Syafrudin (2009), kegiatan rujukan terbagi menjadi tiga

macam yaitu rujukan pelayanan kebidanan, pelimpahan

pengetahuan dan keterampilan, rujukan informasi medis:

37
1. Rujukan Pelayanan Kebidanan

Kegiatan ini antara lain berupa pengiriman orang sakit dari

unit kesehatan kurang lengkap ke unit yang lebih lengkap,

rujukan kasus-kasus patologik pada kehamilan, persalinan, dan

nifas. Pengiriman kasus masalah reproduksi manusia lainnya

seperti kasus-kasus ginekologi atau kontrasepsi yang

memerlukan penanganan spesialis, pengiriman bahan

laboratorium dan jika penderita telah sembuh dan hasil

laboratorium telah selesai, kembalikan dan kirimkan ke unit

semula, jika perlu diserta dengan keterangan yang lengkap (surat

balasan).

2. Pelimpahan Pengetahuan dan Keterampilan, Kegiatan ini antara

lain :

a. Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan

pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi

penderita, diskusi kasus dan demonstrasi operasi.

b. Pengiriman petugas pelayanan kesehatan daerah untuk

menambah pengetahuan dan keterampilan mereka ke rumah

sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit pendidikan, juga

dengan mengundang tenaga medis dalam kegiatan ilmiah

yang diselenggarakan dengan tingkat provinsi atau institusi

pendidikan.

38
3. Rujukan Informasi Medis, Kegiatan ini antara lain berupa :

a. Membalas secara lengkap data-data medis penderita yang

dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim.

b. Menjalin kerjasama dalam sistem pelaporan data-data

parameter pelayanan kebidanan, terutama mengenai

kematian maternal dan prenatal. Hal ini sangat berguna

untuk memperoleh angka secara regional dan nasional.

Sistem kesehatan nasional membedakannya menjadi dua macam

yakni :

1) Rujukan Kesehatan

Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya

pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan.

Dengan demikian rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku

untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public health

service). Rujukan kesehatan dibedakan atas tiga macam

yakni rujukan teknologi, sarana, dan operasional. Rujukan

kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan

bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan

lengkap. Ini adalah rujukan uang menyangkut masalah

kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit (preventif) dan

peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup

rujukan teknologi, sarana dan operasional (Syafrudin, 2009).

39
2) Rujukan Medik

Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya

penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan. Dengan

demikian rujukan medik pada dasarnya berlaku untuk

pelayanan kedokteran (medical service). Sama halnya

dengan rujukan kesehatan, rujukan medik ini dibedakan atas

tiga macam yakni rujukan penderita, pengetahuan dan bahan

bahan pemeriksaan. Menurut Syafrudin (2009), rujukan

medik yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik

atas satu kasus yang timbul baik secara vertikal maupun

horizontal kepada yang lebih berwenang dan mampu

menangani secara rasional. Jenis rujukan medic antara lain:

a) Transfer of patient merupakan konsultasi penderita untuk

keperluan diagnosis, pengobatan, tindakan operatif dan

lain-lain.

b) Transfer of specimen merupakan pengiriman bahan

(spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih

lengkap.

c) Transfer of knowledge/personal merupakan pengiriman

tenaga yang lebih kompeten untuk meningkatkan mutu

layanan setempat (Syafrudin, 2009).

2.2.5 Manfaat Rujukan

Beberapa manfaat yang akan diperoleh ditinjau dari unsur

pembentuk pelayanan kesehatan terlihat sebagai berikut :

40
1. Sudut pandang pemerintah sebagai penentu kebijakan

Jika ditinjau dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan

kesehatan (policy maker), manfaat yang akan diperoleh antara

lain membantu penghematan dana karena tidak perlu

menyediakan berbagai macam peralatan kedokteran pada setiap

sarana kesehatan, memperjelas sistem pelayanan kesehatan

karena terdapat hubungan kerja antara berbagai sarana

kesehatan yang tersedia dan memudahkan pekerjaan

administrasi terutama pada aspek perencanaan.

2. Sudut pandang masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan

Jika ditinjau dari sudut masyarakat sebagai pemakai jasa

pelayanan (health consumer), manfaat yang akan diperoleh

antara lain meringankan biaya pengobatan karena dapat

dihindari pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang dan

mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan

karena diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang sarana

pelayanan kesehatan.

3. Sudut pandang kalangan kesehatan sebagai penyelenggara

pelayanan kesehatan. Jika ditinjau dari sudut kalangan

kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan (health

provider), manfaat yang diperoleh antara lain memperjelas

jenjang karir tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif

lainnya seperti semangat kerja, ketekunan dan dedikasi,

membantu peningkatan pengetahuan dan keterampilan yakni

41
melalui kerjasama yang terjalin, memudahkan dan atau

meringankan beban tugas karena setiap sarana kesehatan

mempunyai tugas dan kewajiban tertentu (Syafrudin, 2009).

2.2.6 Keuntungan Sistem Rujukan

Menurut Syafrudin (2009), keuntungan sistem rujukan adalah :

1. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien

berarti bahwa pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah

dan secara psikologis memberi rasa aman pada pasien dan

keluarga.

2. Dengan adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan

dan keterampilan petugas daerah makin meningkat sehingga

makin banyak kasus yang dapat dikelola di daerahnya masing-

masing.

3. Masyarakat desa dapat menikmati tenaga ahli.

2.2.7 Tahapan Rujukan Maternal dan Neonatal

1. Menentukan kegawatdaruratan penderita

a. Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih ditemukan

penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga

atau kader/dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas

pelayanan kesehatan yang terdekat, oleh karena itu mereka

belum tentu dapat menerapkan ke tingkat kegawatdaruratan.

b. Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan

puskesmas. Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas

pelayanan kesehatan tersebut harus dapat menentukan

42
tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui, sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawabnya, mereka harus

menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan

kasus mana yang harus dirujuk.

2. Menentukan tempat rujukan

Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas

pelayanan yang mempunyai kewenangan dan terdekat termasuk

fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan

dan kemampuan penderita.

3. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga

Kaji ulang rencana rujukan bersama ibu dan keluarga. Jika

perlu dirujuk, siapkan dan sertakan dokumentasi tertulis semua

asuhan, perawatan dan hasil penilaian (termasuk partograf)

yang telah dilakukan untuk dibawa ke fasilitas rujukan. Jika ibu

tidak siap dengan rujukan, lakukan konseling terhadap ibu dan

keluarganya tentang rencana tersebut. Bantu mereka membuat

rencana rujukan pada saat awal persalinan.

4. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju

a. Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk.

b. Meminta petunjuk apa yang perlu dilakukan dalam rangka

persiapan dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan.

c. Meminta petunjuk dan cara penangan untuk menolong

penderita bila penderita tidak mungkin dikirim.

43
5. Persiapan penderita (BAKSOKUDO)

6. Pengiriman Penderita

7. Tindak lanjut penderita :

a. Untuk penderita yang telah dikembalikan (rawat jalan pasca

penanganan)

b. Penderita yang memerlukan tindakan lanjut tapi tidak

melapor harus ada tenaga kesehatan yang melakukan

kunjungan rumah (Depkes RI, 2006).

2.2.8 Pelaksanaan Rujukan

Kebutuhan merujuk pasien tidak hanya dalam kondisi

kegawatdaruratan saja, akan tetapi juga pada kasus yang tidak

dapat ditangani di fasilitas pelayanan rawat inap karena tim Inter-

profesi tidak mampu melakukan dan atau peralatan yang

diperlukan tidak tersedia. Khusus untuk pasien dalam kondisi sakit

cukup berat dan atau kegawat-daruratan medik, proses rujukan

mengacu pada prinsip utama, yaitu :

1. Ketepatan menentukan diagnosis dan menyusun rencana

rujukan, yang harus dapat dilaksanakan secara efektif dan

efisien, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan tenaga dan

fasilitas pelayanan.

2. Kecepatan melakukan persiapan rujukan dan tindakan secara

tepat sesuai rencana yang disusun.

3. Menuju/memilih fasilitas rujukan terdekat secara tepat dan

mudah dijangkau dari lokasi.

44
Model pola rujukan kegawat-daruratan medik/PONED yang ideal

adalah dengan regionalisasi pelayanan kesehatan dengan cara :

a. Pemetaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam

wilayah Kabupaten/kota:

b. Setiap puskesmas dengan jejaring pelayanan dalam lingkup

wilayah kerjanya, perlu dipetakan secara jelas dengan jalur

rujukan pelayanan dasar yang memungkinkan dapat dibangun

c. Puskesmas non PONED/Puskesmas mampu PONED, bersama

RS Kabupaten/kota dalam satu wilayah Kabupaten/kota atau

dengan RS Kabupaten/kota tetangganya, perlu dipetakan dalam

membangun system rujukan medik spesialistik pada tingkat

Kabupaten/kota.

d. Puskesmas non PONED di sepanjang perbatasan negara

tetangga dan fasilitas rujukan medik di negara tetangga, perlu

dipetakan dalam rangka membangun satu sistem rujukan

medik/PONED terdekat, bilamana dianggap perlu, didukung

dengan satu kebijakan khusus, melalui hubungan antar

pemerintahan

e. Keterlibatan provinsi dalam kondisi wilayah Kabupaten

mempunyai daerah-daerah sulit yang harus dilayani Tim

Pelayanan Kesehatan Bergerak (TPKB) Provinsi melalui Flying

Health Care perlu dipetakan dalam sistem rujukan medik di

provinsi.

f. Pemetaan sumberdaya

45
1) Tenaga kesehatan yaitu medis, keperawatan (bidan,

perawat) dan tenaga pendukung lainnya, dengan

kemampuan pelayanan dan kewenangannya,

2) Kelengkapan peralatannya, dipetakan di setiap fasilitas

pelayanan dalam peta sistem rujukan, sehingga dapat

digambarkan kondisi kemampuan fasilitas pelayanan

kesehatan dimaksud dalam satu sistem rujukan medik.

g. Alur rujukan kasus obstetrik dan neonatal secara timbal-balik.

a. Dari tingkat masyarakat/UKBM:

1) Masyarakat hendaknya telah terdidik dengan baik untuk

mengenal tanda bahaya kehamilan, persalinan, nifas dan bayi

baru lahir, tahu kemana mencari pertolongan segera, tepat

waktu, tepat tujuan.

2) Posyandu, UKBM lainnya, kader kesehatan, dapat membantu

pasien untuk menunjukkan dan atau mengantarkannya

menuju fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat serta mampu

memberikan layanan sesuai kebutuhannya

b. Mekanisme rujukan pasien maternal dan atau neonatal, dalam

kondisi bermasalah atau kegawat-daruratan medik:

a) Pasien maternal/neonatal dari keluarga, masyarakat

umum, polindes, poskesdes, dengan masalah dan atau

emergensi/komplikasi, dapat memanfaatkan fasilitas

pelayanan kesehatan untuk mendapat layanan sesuai

kebutuhan layanan.

46
b) Pasien obstetri dan neonatal, dalam kondisi

“Kegawatdaruratan medik obstetrik/neonatal”, dapat

dibawa ke semua fasilitas pelayanan kesehatan yang

mampu menangani kasusnya, misalnya ke puskesmas

mampu PONED dan bila dipandang perlu dapat langsung

ke RS rujukan PONEK/RSSIB terdekat.

3) Puskesmas akan mengirimkan pasiennya tepat waktu dan

tepat tujuan ke:

a) Puskesmas dengan fasilitas rawat inap mampu PONED,

dengan kinerja (performance) yang baik, atau

b) RS rujukan medik spesialistik/PONEK, RSSIB terdekat.

4) Pada kondisi puskesmas yang difungsikan sebagai pusat

rujukan antara tidak mampu memberi layanan rujukan medis

pada kasus obstetri dan neonatal (PONED), pasien harus

secepatnya dirujuk ke RS rujukan (PONEK/RSSIB) dan

secepatnya diberikan latihan ulang.

h. Pada lokasi-lokasi tertentu seperti di lokasi terpencil/sangat

terpencil, merujuk pasien ke RS rujukan medik

spesialistik/PONEK terdekat hampir tidak mungkin, dan atas

dasar kebutuhan pelayanan rujukan, Puskesmas dengan fasilitas

rawat inap di lokasi-lokasi terpencil dan sangat terpencil di pusat

gugus pulau atau pusat cluster daratan terpencil/sangat terpencil,

perlu dipertimbangkan untuk ditingkatkan kemampuannya,

sebagai pusat rujukan medik spesialistik terbatas.

47
i. Pada kondisi Kabupaten berada di daerah terpencil atau sebagian

wilayah Kabupaten berada di daerah terpencil, maka:

1) Apabila rumah sakit Kabupaten tidak memiliki dokter

spesialis (SpOG dan Sp.A), maka rumah sakit tidak dapat

difungsikan sebagai pusat rujukan medik

spesialistik/PONEK.

2) Pada kondisi demikian, pasien yang membutuhan rujukan

spesialistik maternal/obstetri dan neonatal emergensi tidak

dapat dilayani

3) Dinas Kesehatan Kabupaten melalui Pemda Kabupaten,

dapat meminta bantuan provinsi, mendukung

penyelenggaraan pelayanan rujukan obstetri dan neonatal, di

rumah sakit Kabupaten dan pelayanan kesehatan bagi

masyarakatnya di daerah terpencil/sangat terpencil.

4) Provinsi harus membantu Kabupaten untuk mendukung

penyelenggaraan pelayanan melalui kunjungan Tim

Pelayanan Kesehatan Bergerak (TPKB) Provinsi dalam

upaya skreening kasus risiko maternal/neonatal sesuai

standar yang mewajibkan ibu hamil minimal 1 kali diperiksa

dokter.

5) TPKB daerah terpencil, yang datang ke rumah sakit

Kabupaten atau puskesmas perawatan, dapat memberikan

layanan rujukan medik spesialistik dan umpan balik serta

tindaklanjutnya.

48
j. Rujukan yang dikirim ke fasilitas pelayanan rujukan medis

spesialistik/spesialistik terbatas (PONEK), harus menerima

umpan balik rujukan, sehingga kebutuhan pelayaan kesehatan

dapat secara tuntas dilayani (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Beberapa pandangan yang berkembang di masyarakat terkait

rendahnya jumlah kunjungan masyarakat ke puskesmas ialah

buruknya citra pelayanan di puskesmas, di antaranya pegawai

puskesmas yang tidak disiplin, kurang ramah, kurang profesional,

pengobatan yang tidak manjur, fasilitas gedung maupun peralatan

medis dan non medis kurang memadai di mana masyarakat harus

dirujuk untuk melanjutkan pengobatan atau pemeriksaan yang

sebenarnya masih dapat dilakukan di puskesmas, atau untuk

membeli obat-obatan yang tidak tersedia di puskesmas padahal

kondisi geografis di beberapa tempat tidak mendukung akibat

jauhnya jarak tempuh, tidak ada transportasi, jam buka puskesmas

yang terbatas dan lain-lain. Di samping itu petugas kesehatan juga

melakukan praktik swasta di luar jam kerja puskesmas yang

memungkinkan persaingan terselubung dengan puskesmas, yang

berpengaruh terhadap angka kunjungan ke puskesmas (Muninjaya,

2011).

Dalam hal manajemen, puskesmas juga dinilai belum cukup

mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Kepala puskesmas

yang pada umumnya dipimpin oleh dokter, cenderung lebih

berorientasi kepada pelayanan kesehatan kuratif. Sistem informasi

49
puskesmas belum mampu menunjang proses perencanaan strategis

puskesmas misalnya dalam hal kebutuhan jumlah dan latar

belakang pendidikan sumber daya manusianya, program-program

kesehatan masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai kebutuhan

wilayahnya dan dengan fungsi promotif dan preventif puskesmas

yang semakin terabaikan dibandingkan dengan fungsi kuratifnya.

Kemampuan pimpinan puskesmas dalam melakukan advokasi

terhadap lintas sektor di tingkat kecamatan maupun di tingkat

Kabupaten juga masih sangat kurang, sehingga pembangunan

berwawasan kesehatan masih disikapi secara pasif oleh sektor di

luar kesehatan karena adanya anggapan bahwa masalah

pembangunan berwawasan kesehatan hanya tugas sektor kesehatan

(Muninjaya, 2011).

2.2.9 Regionalisasi Sistem Rujukan

Regionalisasi sistem rujukan PONED adalah pembagian

wilayah sistem rujukan dari satu wilayah Kabupaten dan daerah

sekitar yang berbatasan dengannya, dimana puskesmas mampu

PONED yang berada dalam salah satu regional sistem rujukan

wilayah Kabupaten, difungsikan sebagai rujukan antara yang akan

mendukung berfungsinya rumah sakit PONEK sebagai rujukan

obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi di wilayah Kabupaten

bersangkutan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

50
2.3 Program EMAS

2.3.1 Pengertian Program EMAS

Program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal

Survival) adalah sebuah program kerjasama antara USAID dengan

perjanjian no. AID-497-A-11-00014 dengan Kementerian

Kesehatan Indonesia dalam upaya menurunkan angka kematian ibu

dan bayi baru lahir. Program ini diluncurkan di Jakarta pada

tanggal 26 Januari 2012 dan dicanangkan akan berjalan selama

lima tahun mulai tahun 2012 sampai 2016.

Program EMAS mendukung pemerintah pusat, propinsi dan

Kabupaten untuk berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil,

fasilitas kesehatan public dan swasta, asosiasi rumah sakit,

organnisasi profesi dan sektor-sektor lain (Sakti, 2012).

2.3.2 Tujuan Program EMAS

Program EMAS diluncurkan untuk mendukung Pemerintah

Republik Indonesia dalam menurunkan angka kematian ibu dan

bayi baru lahir sebesar 25%. Adapun tujuan EMAS adalah sebagai

berikut:

1. Meningkatkan kualitas pelayanan PONED dan PONEK. Hal ini

diwujudkan dengan cara:

a. Memastikan intervensi medis prioritas yang mempunyai

dampak besar pada penurunan kematian diterapkan di RS

dan Puskesmas. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan:

51
1) Adaptasi standar kinerja pelayanan kegawatdaruratan

obstetri neonatal

2) Kompetensi tenaga kesehatan dalam pelayanan

kegawatdaruratan obstetri neonatal

3) Pemanfaatan teknologi informasi komunikasi untuk

pembelajaran dan pencapaian kinerja

4) Melengkapi perlengkapan esensial

5) Penyebarluasan bukti ilmiah dalam jaringan vanguard

2. Pendekatan tata kelola klinis (clinical governance) diterapkan

di RS dan Puskesmas. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan:

a. Peningkatan kinerja pelayanan kegawatdaruratan obstetri

neonatal sesuai standar klinis secara berkesinambungan

b. Sistem monitoring evaluasi dan pelaporan berjalan efektif

di fasilitas pelayanan kesehatan

c. Berjalannya mekanisme umpan balik bagi puskesmas/ RS

d. Penyebarluasan praktek tata kelola klinis

3. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem rujukan antar

puskesmas dan RS. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara

penguatan sistem rujukan berfungsi secara optimal. Hal ini

dapat dilakukan melalui kegiatan:

a. Adaptasi dan implementasi standar kinerja sistem rujukan

b. Koordinasi dan kolaborasi failitas public dan swasta

meningkat

52
c. Teknologi informatika dan komunikasi dimanfaatkan

untuk pertukaran informasi dan peningkatan sistem

rujukan

d. Kinerja bidan koordinator meningkat

e. Audit Maternal Perinatal (AMP) berfungsi

f. Meningkatkan peran serta masyarakat dan organisasi

sosial kemasyarakatan dalam menjamin akuntabilitas dan

kualitas tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan dan

pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui

kegiatan:

1) Mekanisme umpan balik menggunakan media sosial

2) Pendekatan hak-hak konsumen yang inovatif ( citizen

gateway)

3) Duta KIA khusus pelayanan emergensi berperan aktif

dapat mempengaruhi masyarakat dan pengambil

kebijakan

4) Meminimalkan hambatan keuangan kelompok miskin

dan rentan dalam mengakses dan memanfaatkan

pelayanan kesehatan (Sakti, 2012).

2.3.3 Fokus Kerja EMAS

Selama lima tahun EMAS menitikberatkan pada perbaikan

yang luas dalam pelayanan untuk mengurangi angka kematian ibu

dan bayi dengan cara melibatkan pemerintah di semua tingkatan

serta penyedia layanan, pimpinan fasilitas swasta, organisasi

53
profesi, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.

EMAS akan memiliki fokus pada beberapa area kunci, yaitu:

1. Mengatasi penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir

(perdarahan, preeklamsia/eklamsia, sepsis, asfiksia, prematuria/

berat badan lahir rendah)

2. Pemeliharaan praktik tata kelola klinik yang kuat di fasilitas

kesehatan dan sistem rujukan, dengan fokus pada peningkatan

kualitas.

3. Membina hubungan yang kuat antara fasilitas publik dan

swasta dan peningkatan akuntabilitas, baik secara internal

maupun kepada masyarakat, untuk memberikan jaminan

perawatan yang berkualitas.

4. Meningkatkan peran warga dan organisasi sipil (OMS) dalam

pengawasan fasilitas kesehatan publik dan swasta dan lembaga

pemerintahan daerah dalam penyediaan kualitas pelayanan

kesehatan ibu dan anak.

5. Memperbaiki mekanisme keuangan (jaminan sosial) untuk

meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan kesehatan ibu

dan anak bagi masyarakat miskin.

6. Mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi yang efektif, efisien, dan inovatif untuk

mendukung penyediaan layanan kesehatan ibu dan bayi baru

lahir, serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat (Sakti,

2012).

54
2.3.4 Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari

sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci,

implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah

dianggap siap. Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan

penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan

sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa

Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.

Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata

pelaksanaan bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau

mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti

bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan

yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan

norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang

dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan

kebijaksanaan yang telah dirimuskan dan ditetapkan dengan

dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa yang

melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan

bagaimana cara yang harus dilaksanakan, suatu proses rangkaian

kegiatan tindak lanjut setelah program atau kebijaksanaan

ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah yang

strategis maupun operasional atau kebijaksanaan menjadi

55
kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan

semula.

Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik

suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya pelaksanaan suatu program

yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengan kondisi

yang ada, baik itu di lapangan maupun di luar lapangan. Yang

mana dalam kegiatannya melibatkan beberapa unsur disertai

dengan usaha-usaha dan didukung oleh alat-alat penujang (Sakti,

2012).

2.4 Informed Consent dan Informed Choice

2.4.1 Informed Consent

A. Definisi

Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed”

yang berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang

berarti persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian Informed

Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah

mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat

di definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah

mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana

tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah

menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat

persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan

56
dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur

pemaksaan.

Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan

sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku

kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan

consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed

Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan

oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik

yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas

akan tindakan tersebut.

B. Dasar Hukum Informed Consent

Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal

45 Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek

Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-

kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis,

tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain

dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan

tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

57
Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan

dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang

berhak memberikan persetujuan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/

2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan

dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :

Pasal 1

1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah

mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

terhadap pasien.

2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu

kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung

atau pengampunya.

3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu

tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik

atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter

gigi terhadap pasien.

58
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang

langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh

pasien.

5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi

adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat

probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau

kecacatan.

6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis,

dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di

luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan

anak menurut peraturan perundang-undangan atau

telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,

mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami

kemunduran perkembangan (retardasi mental) dan tidak

mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat

keputusan secara bebas.

Pasal 2

1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap

pasien harus mendapat persetujuan.

2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diberikan secara tertulis maupun lisan.

59
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang

diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran

dilakukan.

Pasal 3

1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi

harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani

oleh yang berhak memberikan persetujuan.

2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan

dengan persetujuan lisan.

3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam

formulir khusus yang dibuat untuk itu.

4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan

menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai

ucapan setuju.

5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat

dimintakan persetujuan tertulis.

Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan

baik antara Dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi

secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar

60
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum.

Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal

19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang

melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan

sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan

pencabutan Surat Ijin Praktik.

Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam

peraturan berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun

1992 tentang Kesehatan.

2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan

Tindakan Medis

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan

Praktik Kedokteran.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang

Tenaga Kesehatan.

6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

C. Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Fungsi dari Informed Consent adalah :

1. Promosi dari hak otonomi perorangan;

61
2. Proteksi dari pasien dan subyek;

3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk

mengadakan Introspeksi terhadap diri sendiri;

5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;

6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip

otonomi sebagai suatu nilai social dan mengadakan

pengawasan dalam penyelidikan biomedik).

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan /

tujuannya dibagi tiga, yaitu:

1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk

menjadi subyek penelitian).

2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

3. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :

1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang

dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;

2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap

akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya

terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan

walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin

dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

62
D. Bentuk Persetujuan Informed Consent

Ada 2 bentuk persetujuan tindakan medis, yaitu :

1. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan

normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan

tindakan medis tersebut dari isyarat yang

diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus

emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera

sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan

persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka

dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut

dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam

tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung

resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara

tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit

sebagai surat izin operasi.

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan

saat:

1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau

menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna.

2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka

terapi.

63
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak

yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau

kehidupan pribadi dan sosial pasien.

4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu

penelitian.

E. Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan

Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan

tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku

pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan

tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang

dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan

penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada

pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa

persetujuan diperoleh secara benar dan layak.

Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan

menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka

dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab

secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien

berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–

untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara

benar dan layak.

F. Pemberi Persetujuan

Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten.

Ditinjau dari segi usia, maka seseorang dianggap kompeten

64
apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah

menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau

lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan

tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila

mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat

keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai

berikut:

1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka

seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah

menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh

karenanya dapat memberikan persetujuan.

2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak maka setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih

dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak.

Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana

orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat

memberikan persetujuan.

3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun

memang masih tergolong anak menurut hukum, namun

dengan menghargai hak individu untuk berpendapat

sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat

diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan

persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang

65
tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat

menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi

dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu,

persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh

orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.

Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang

berusia 18 tahun atau lebih dianggap kompeten. Seseorang

pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau

lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti

terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya,

seseorang yang normalnya kompeten, dapat menjadi tidak

kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok,

pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya.

Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18

tahun harus menunjukkan kompetensinya dalam

memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran

yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi

bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.

G. Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi,

menahannya dan mempercayainya dan mampu membuat

keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau

tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut

terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila

66
konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka

keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak

dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk

mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali

apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien,

tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek

sampingnya.

Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana

pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan merupakan

alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun

demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter

meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan

keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan

sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap

diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik

H. Persetujuan

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda

pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan

dengan berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga

yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah

waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama,

maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih

berlaku atau tidak.

67
I. Pembatalan Persetujuan yang Telah Diberikan

Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan

persetujuan mereka dengan membuat surat atau pernyataan

tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.

Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan

dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien

bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan

tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat

membatalkan persetujuan.

Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit.

Nyeri, syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi

kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai

kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan

memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter

harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau

pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada

saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan

menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu

diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi

persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam

medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila

pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila

memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya,

mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan

68
akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal

tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka

penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan

mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

J. Lama Persetujuan Berlaku

Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah

sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien.

Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang

adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka

pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan

lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian

persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah

lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan

tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan

membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal

memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

2.4.2 Informed Choice

Menurut John M Echols dalam Kamus Inggris Indonesia

(2003), informed berarti telah diberitahukan, telah disampaikan,

telah diinformasikan. Choise berarti pilihan. Dengan demikian

informed choise dapat diartikan memberitahukan atau menjelaskan

pilihan-pilihan yang ada kepada klien (Soepardan, 2008: 11-12)

Menurut Sara Wickham (2002), informed consent adalah

suatu keputusan yang dibuat melalui pertimbangan matang

69
terhadap bukti-bukti ilmiah yang relevan. Keputusan tersebut

dipengaruhi oleh lingkungan, keyakinan dan pengalaman orang

tersebut. Bukti ilmiah yang relevan adalah semua jenis

pengetahuan yang menawarkan informasi berguna berkenaan

dengan pilihan individu, bisa berupa pengalaman diri, pengalaman

wanita lain, buku, artikel/jurnal penelitian pemahaman masalah

kesehatan, kesulitan bahasa dan pemahaman sistem kesehatan yang

tersedia (Koesno,2006 : 26)

Hal yang bisa dilakukan seorang bidan dalam membuat

pilihan dapat diperluas dan bisa menghindari konflik, yaitu:

1. Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan

keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat

keputusan klinis secara teoritis agar dapat memberikan

pelayanan yang aman dan memuaskan kliennya.

2. Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur

dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh si wanita dengan

menggunakan media alternatif dan penerjemah kalau perlu,

begitu juga tatap muka langsung.

3. Bidan dan petugas kesehatan lain perlu belajar untuk

membantu wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan

menerima tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil

sendiri. Ini tidak hanya dapat diterima secara etika tetapi juga

melegakan para professional kesehatan. Memberikan jaminan

bahwa para petugas kesehatan sudah memberikan asuhan yang

70
terbaik dan memastiakn bahwa wanita itu sudah diberikan

informasi yang lengkap tentang implikasi dari keputusan

mereka dan mereka telah memenuhi tanggung jawab moral

mereka.

4. Dengan memfokuskan asuhan yang berpusat pada wanita dan

berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan

serendah mungkin.

5. Tidak perlu takut akan konflik tetapi mengganggapnya sebagai

suatu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu

penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan wanita dari

sistem asuhan dan suatu tekanan positif terhadap perubahan

(Koesno, 2006 : 27)

Menurut Wahyuningsih (2008) informed choice adalah

membuat pilihan setelah mendapatkannya penjelasan tentang

alternatif asuhan yang akan dialaminya. Definisi informasi dalam

konteks ini adalah meliputi; informasi yang lengkap sudah

diberikan dan dipahami ibu, tentang pemahaman risiko, manfaat,

keuntungan dan kemungkinan hasil dari tiap pilihannya. Informed

Consent adalah persetujuan pasien dalam setiap tindakan yang

mutlak diperlukan kecualai dalam keadaan emergency.

71
2.5 PERMENKES dan KEPMENKES

a) PERMENKES Nomor 001 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan

Kesehatan Perorangan

Pasal 7

Ayat 1, 2 dan 4. Yaitu:

1) Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal;

2) Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda

tingkatan;

4) Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke

tingkatan pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Pasal 12

1) Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau

keluarganya;

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan

dari tenaga kesehatan yang berwenang.

Pasal 13

Perujuk sebelum melakukan rujukan harus:

a. Melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi

kondisi pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan

kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama

pelaksanaan rujukan;

72
b. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan

memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien

dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan

c. Membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada

penerima rujukan.

b) PERMENKES 97 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan

Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa

Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi,

Serta Pelayanan Kesehatan Seksual

Pasal 15

Pelayanan masa sesudah melahirkan :

a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu;

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri;

c. Pemeriksaan lokhia dan perdarahan;

d. Pemeriksaan jalan lahir;

e. Pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI Eksklusif;

f. Pemberian kapsul vitamin A;

g. Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan;

h. Konseling; dan

i. Penanganan risiko tinggi dan komplikasi pada nifas.

73
c) PERMENKES Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Pelayanan

Kesehatan Neonatal Esensial

Pasal 4

Ayat 2 : Pelayanan neonatal esensial 0 (nol) sampai 6 (enam) jam

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Menjaga bayi tetap hangat;

b. Inisiasi menyusu dini;

c. Pemotongan dan perawatan tali pusat;

d. Pemberian suntikan vitamin K1;

e. Pemberian salep mata antibiotik;

f. Pemberian imunisasi hepatitis B0;

g. Pemeriksaan fisik Bayi Baru Lahir;

h. Pemantauan tanda bahaya;

i. Penanganan asfiksia bayi baru lahir;

j. Pemberian tanda identitas diri; dan

k. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil,

tepat waktu ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

d) KEPMENKES 369 tahun 2007

Keputusan Menteri Kesehatan nomor

369/MENKES/SKIII/2007 pada Asuhan dan Konseling Selama

Kehamilan kompetensi ke-3 yang berbunyi :

“Bidan memberi asuhan antenatal bermutu tinggi untuk

mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi

74
dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu.”

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008)

Dalam menjalankan kompetensi ke-3 tersebut, bidan harus

memiliki pengetahuan dasar seperti yang tercantum pada nomor 10

Pengetahuan Dasar yaitu:

“Mengenal tanda dan gejala anemia ringan dan berat, hyperemesis

gravidarum, kehamilan ektopik terganggu, abortus imminens, mola

hidatidosa dan komplikasinya, dan kehamilan ganda, kelainan letak

serta preeklampsia.” (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2008)

Dan tercantum pada nomor 28 yaitu:

“Tanda dan gejala dari komplikasi kehamilan yang mengancam jiwa

seperti preeklampsia, perdarahan pervaginam, kelahiran premature,

anemia berat.”

Selain pengetahuan dasar bidan juga harus memiliki

keterampilan dasar dalam menjalankan kompetensi ke-3. Seperti

yang tercantum pada nomor 13 poin c Keterampilan Dasar yaitu :

“Mengidentifikasi penyimpangan kehamilan normal dan melakukan

penanganan yang tepat termasuk merujuk ke fasilitas pelayanan

75
tepat dari: Preeklampsia berat dan hipertensi.” (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. 2008)

e) PERMENKES Nomor 97 Tahun 2014

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum

Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah Melahirkan,

Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan

Seksual bagian kedua tentang pelayanan kesehatan masa hamil pasal

12 ayat 13, disebutkan bahwa Pelayanan Kesehatan Masa Hamil

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui

pelayanan antenatal terpadu. Adapun ANC Terpadu terdiri dari;

1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan

2. Ukur Tekanan darah

3. Nilai status Gizi (Ukur lingkar lengan atas /LiLA)

4. Ukur Tinggi fundus uteri

5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

6. Skrining Status Imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus

Toksoid (TT) bila diperlukan

7. Beri Tablet tambah darah (tablet besi)

8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus)

Menurut teori, pemeriksaan Hb dilakukan pada kunjungan

ibu hamil pertama kali, lalu diperiksa kembali menjelang

76
persalinan. Pemeriksaan Hb adalah salah satu upaya untuk

mendeteksi Anemia pada ibu hamil. (Pantiawati & Suryono, 2010)

9. Tatalaksana/penanganan Kasus

10. Temu wicara (konseling)

(Sumber; Kemenkes RI, 2014)

f) KEPMENKES Nomor 369 Tahun 2007 tentang Standar Profesi

Bidan kompetensi ke 6

Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi komprehensif

pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. Berdasarkan

pengetahuan dasar poin ke (2) kebutuhan dasar bayi baru lahir

kebersihan jalan napas, perawatan tali pusat,kehangatan, nutrisi

“bonding attachment”.

Salah satu manfaat colostrum yaitu untuk meningkatkan

kekebalan tubuh bayi sehingga jika bayi tidak dilakukan IMD maka

kesempatan bayi untuk sesegera mungkin mendapatkan kolostrum

tidak tercapai dan risiko infeksi meningkat. Selain itu, kerugian tidak

dilakukannya IMD pada bayi yaitu hilangnya kesempatan pada ibu

dan bayi untuk melakukan skin to skin contact yang berguna untuk

menjaga kestabilan suhu bayi dan untuk bounding attachment.

77
g) PERMENKES Pasal 19 dan 20 Tentang Kewenangan Bidan

Pasal 19

(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

huruf a diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa

persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara dua

kehamilan.

(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi pelayanan:

a. konseling pada masa sebelum hamil;

b. antenatal pada kehamilan normal;

c. persalinan normal;

d. ibu nifas normal;

e. ibu menyusui; dan

f. konseling pada masa antara dua kehamilan.

(3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan:

a. episiotomi;

b. pertolongan persalinan normal;

c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

d.penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;

f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;

g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air

susu ibu eksklusif;

78
h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan

postpartum;

i. penyuluhan dan konseling;

j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan

k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.

Pasal 20

(1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan

anak prasekolah.

(2) Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan:

a. pelayanan neonatal esensial;

b. penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

c. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak

prasekolah; dan

d. konseling dan penyuluhan.

(3) Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf a meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan

perawatan tali pusat, pemberian suntikan Vit K1, pemberian

imunisasi B0, pemeriksaan fisik bayi baru lahir, pemantauan

tanda bahaya, pemberian tanda identitas diri, dan merujuk kasus

yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan tepat waktu

ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.

79
(4) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:

a. penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan

jalan nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi

jantung;

b. penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan

BBLR melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara

menghangatkan tubuh bayi dengan metode kangguru;

c. penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan

alkohol atau povidon iodine serta menjaga luka tali pusat

tetap bersih dan kering; dan

d. membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir

dengan infeksi gonore (GO).

(5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak

prasekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c

meliputi kegiatan penimbangan berat badan, pengukuran lingkar

kepala, pengukuran tinggi badan, stimulasi deteksi dini, dan

intervensi dini peyimpangan tumbuh kembang balita dengan

menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)

(6) Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf d meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi

(KIE) kepada ibu dan keluarga tentang perawatan bayi baru lahir,

ASI eksklusif, tanda bahaya pada bayi baru lahir, pelayanan

80
kesehatan, imunisasi, gizi seimbang, PHBS, dan tumbuh

kembang.

h) PERMENKES No 28 Tahun 2017 Pasal 28 Tentang Kewajiban

dan Hak Bidan

Pasal 28

Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan

berkewajiban untuk:

a. Menghormati hak pasien;

b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan

pelayanan yang dibutuhkan;

c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat

ditangani dengan tepat waktu;

d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;

e. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangan-undangan;

f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya

yang diberikan secara sistematis;

g. Mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar

prosedur operasional;

h. Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik

kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian;

i. Pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran; dan

81
j. Meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui

pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya

i) PERMENKES No 28 Tahun 2017 Pasal 45 Tentang Pencatatan

dan Pelaporan

Pasal 45

(1) Bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan

pelayanan yang diberikan.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke

puskesmas wilayah tempat praktik.

(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

dan disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(4) Ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dikecualikan bagi Bidan yang melaksanakan praktik di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan selain Praktik Mandiri Bidan.

2.6 Standar Pelayanan Kebidanan

A. Standar Pelayanan Umum

1. Standar 1: Persiapan untuk kehidupan keluarga sehat

Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada

perorangan, keluarga dan masyarakat terhadap segala hal yang

berkaitan dengan kehamilan, termasuk penyuluhan kesehatan

82
umum (gizi, KB, kesiapan dalam menghadapai kehamilan dan

menjadi calon orang tua, persalinan dan nifas).

Tujuannya adalah memberikan penyuluhan kesehatan yang

tepat untuk mempersiapkan kehamilan yang sehat dan terencana

serta menjadi orang yang bertanggungjawab.

Hasil yang diharapkan dari penerapan standar 1 adalah

masyarakat dan perorangan dapat ikut serta dalam upaya

mencapai kehamilan yang sehat. Ibu,keluarga dan masyarakat

meningkat pengetahuannya tentang fungsi alat-alat reproduksi

dan bahaya kehamilan pada usia muda.Tanda-tanda bahaya

kehamilan diketahui oleh masyarakat dan ibu.

2. Standar 2: Pencatatan dan Pelaporan

Bidan melakukan pencatatan semua kegiatan yang dilakukannya,

yaitu registrasi semua ibu hamil di wilayah kerja, rincian

pelayanan yang diberikan kepada setiap ibu hamil/bersalin/nifas

dan bayi baru lahir, kunjungan rumah, dan penyuluhan kepada

masyarakat. Di samping itu, bidan hendaknya mengikutsertakan

kader dalam mencatat semua ibu hamil dan meninjau upaya

masyarakat yang berkaitan dengan ibu dan bayi baru lahir.

Bidan meninjau secara teratur catatan tersebut untuk menilai

kinerja dan penyusunan rencana kegiatan guna meningkatkan

pelayanan kebidanan.

83
Tujuan dari standar 2 (dua) ini yaitu mengumpulkan,

menggunakan dan mempelajari data untuk pelaksanaan

penyuluhan , kesinambungan pelayanan dan penilaian kerja.

Hal-hal yang dapat dilakukan bidan untuk dapat melakukan

pencatatan dan pelaporan yang maksimal adalah sebagai

berikut :

1). Bidan harus bekerjasama dengan kader dan pamong setempat

agar semua ibu hamil dapat tercatat

2). Memberikan ibu hamil KMS atau buku KIA untuk dibawa

pulang . Dan memberitahu ibu agar membawa buku tersebut

setiap pemeriksaan.

3). Memastikan setiap persalinan , nifas, dan kelahiran bayi

tercatat pada patograf.

4). Melakukan pemantauan buku pencatatan secara berkala .dll

Hasil yang diharapkan dari dilakukannya standar ini yaitu

terlaksananya pencatatatn dan pelaporan yang baik. Tersedia

data untuk audit dan pengembangan diri, meningkatkan

keterlibatan masyarakat dalamkehamilan , kelahiran bayi dan

pelayanan kebidanan.

B. Standar Pelayanan Kebidanan

Sebagai profesional , bidan dalam melaksanakan praktiknya

harus sesuai dengan standar pelayanan kebidanan yang berlaku.

Standar mencerminkan norma, pengetahuan dan tingkat kerja yang

telah di sepakati oleh profesi. Penerapan standar pelayanan akan

84
sekaligus melindungi masyarkat karena penilaian terhadap proses

dan hasil pelayanan dapat dilakukan atas dasar yang jelas. Kelalaian

dalam praktik terjadi bila pelayanan yang diberikan tidak memenuhi

standar dan terbukti membahayakan. Terdapat enam standar dalam

standar pelayanan asuhan antenatal. Standar tersebut merupakan

bagian dari lingkup standar pelayanan kebidanan.

Standar Pelayanan Antenatal

Terdapat enam standar dalam standar pelayanan antenatal seperti

berikut ini:

1. Standar 3 : identifikasi ibu hamil

Pernyataan standar

Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan

masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan

memotivasi ibu, suami dan anggota keluarganya agar

mendorong ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini

dan secara teratur.

Adapun tujuan yang diharapkan dari penerapan standar ini

adalah mengenali dan memotifasi ibu hamil untuk

memeriksakan kehamilannya. Kegiatan yang dapat dilakukan

bidan untuk mengidentifikasi ibu hamil contoh nya sebagai

berikut :

1). Bidan melakukan kunjungan rumah dan penyuluhan secara

teratur

85
2). Bersama kader bidan memotifasi ibu hamil

3). Lakukan komunikasi dua arah dengan masyarakat untuk

membahas manfaat pemeriksaan kehamilan

Hasil yang diharapkan dari standar ini adalah ibu dapat

memahami tanda dan gejala kehamilan. Ibu, suami, anggota

masyarakat menyadari manfaat pemeriksaan kehamilan secara

dini dan teratur.meningkatkan cakupan ibu hamil yang

memeriksakan diri sebelum kehamilan 16 minggu.

2. Standar 4 : pemeriksaan dan pemantauan antenatal

Pernyataan standar

Bidan memberikan sedikitnya 4x pelayanan antenatal.

Pemeriksaan meliputi anamnesis dan pemantauan ibu dan janin

dengan seksama untuk menilai apakah perkembangan

berlangsung normal. Bidan juga harus mengenal kehamilan

risti/kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi,

PMS/infeksi HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat

dan penyuiluhan keehatan serta tugas terkait – lainnya yang

diberikan oaleh puskesmas. Mereka harus mencatat data yang

tepat pada setiap kunjungan. Bila ditemukan kelaianan, mereka

hrus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan

merujuknya untuk tindakan selanjutnya .

Tujuan yang diharapkan dari standar ini adalah bidan

mampu memberikan pelayanan antenatal berkualitas dan deteksi

dini komplikasi kehamilan.

86
Adapun hasil yang diharapkan yaitu ibu hamil mendapatkan

pelayanan antenatal minimal 4 kali selama kehamilan.

Meningkatnya pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat. Deteksi

dini dan penanganan komplikasi kehamilan. Ibu hamil, suami,

keluarga dan masyarakat mengenali tanda bahaya kehamilan dan

tahu apa yang harus dilakukan. Mengurus transportasi rujukan

,jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

3. Standar 5 : palpasi abdominal

Pernyataan standar

Bidan melakukan pemeriksaan abdominal secara seksama

dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan,

serta bila umur kehamilan bertambah memeriksa posisi, bagaian

terendah janin dan masuknya kepala janin ke dalam rongga

panggul, untuk mencari kelainan s; pengelolaan anemia pada

kehamilan serta melakukan rujukan tepat waktu

Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah memperkirakan

usia kehamilan, pemantauan pertumbuhan janin, penentuan

letak, posisi dibagian bawah janin.

Hasil yang diharapkan yaitu bidan dapat memperkirakan

usia kehamilan, diagnosis dini kelainan letak, dan merujuk

sesuai kebutuhan. Mendiagnosisi dini kehamilan ganda dan

kelainan, serta merujuk sesuai dengan kebutuhan.

87
4. Standar 6 : pengelolaan anemia pada kehamilan

Pernyataan standar

Bidan melakukan tindakan pencegahan, penemuan,

penanganan dan atau rujukan semua kasus anemia pada

kehamilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku .

Tujuan dari standar ini adalah bidan mampu menemukan

anemia pada kehamilan secara dini, melakukan tindak lanjut

yang memadai untuk mengatasi anemia sebelum persalinan

berlangsung.

Tindakan yang bisa dilakukan bidan contohnya,

memeriksakan kadar Hb semua ibu hamil pada kunnjungan

pertama dan minggu ke 28. Memberikan tablet Fe pada semua

ibu hamil sedikitnya 1 tablet selama 90 hari berturut-turut . beri

penyuluhan gizi dan pentingnya konsumsi makanan yang

mengandung zat besi, dll.

Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan standar ini yaitu

jika ada ibu hamil dengan anemia berat dapat segera dirujuk,

penurunan jumlah ibu melahirkan dengan anemia, penurunana

jumlah bayi baru lahir dengan anemia/BBLR.

5. Standar 7 : pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan

Pernytaan standar

Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah

pada kehamilan dan mengenalkan tanda serta gejala pre –

88
eklamsia lainnya , serta mengambil tindakan yang tepat dan

merujuknya.

Tujuan dari dilakukannya standar ini yaitu bidan dapat

mengenali dan menemukan secaea dini hipertensi pada

kehamilan dan melakukan tindakan yang diperlukan. Adapun

tindakan yang dapat dilakukan bidan yaitu rutin memeriksa

tekanan darah ibu dan mencatatnya. Jika terdapat tekanan darah

diatas 140/90 mmHg lakukan tindakan yang diperlukan.

Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan standar ini adalah

ibu hamil dengan tanda preeklamsia mendapat perawatan yang

memadai dan tepat waktu. Penurunan angka kesakitan dan

kematian akibat eklamsia.

6. Standar 8 : persiapan persalinan

Pernyataan standar

Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil,

suami serta keluarganya pada trimester ketiga, untuk

memastikan bahwa persiapan persalinan yang bersih dan aman

serta suasana yang menyenangkan akan di rencanakan dengan

baik, disamping persiapan transportasi dan biaya untuk merujuk,

bila tiba – tiba terjadi keadaan gawat darurat. Bidan hendaknya

melakukan kunjungan rumah untuk hal ini.

Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah untuk

memastikan bahwa persalinan direncanakan dalam lingkungan

yang aman dan memadai dengan pertolongan bidan terampil.

89
Hasil yang diharapkan adalah ibu hamil, suami dan

keluarga tergerak untuk merencanakan persalinan yang bersih

dan aman. Persalinan direncanakan di tempat yang aman dan

memadai dengan pertolongan bidan terampil. Adanya persiapan

sarana transportasi untuk merujuk ibu bersalin, jika perlu.

Rujukan tepat waktu telah dipersiapkan bila diperkirakan.

Standar Pertolongan Persalinan

Terdapat empat standar dala standar pertolongan persalinan seperti

berikut ini :

1. Standar 9 : asuhan persalinan kala I

Pernyataan standar

Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan sudah mulai,

kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai,

dengan memperhatikan kebutuhan klien, selam proses persalinan

berlangsung. Bidan juga melakuakan pertolongan proses

persalinan dan kelahiran yang bersih dan aman, dengan sikap

sopan dan penghargaan terhadap hak pribadi ibu serta

memperhatikan tradisi setempat. Disamping itu ibu diijinkan

memilih orang yang akan mendampinginya selam proses

persalinan dan kelahiran.

Tujuan dari dilakukannya standar ini yaitu untuk

memberikan pelayanan kebidanan yang memadai dalam

90
mendukung pertolongan persalinan yang bersih dan aman untuk

ibu bayi.

Hasil yang diharapkan adalah ibu bersalin mendapatkan

pertolongan yang aman dan memadai. Meningkatnya cakupan

persalinan dan komplikasi lain yang ditangani oleh tenaga

kesehatan. Berkurangnya kematian/kesakitan ibu bayi akibat

partus lama.

2. Standar 10 : persalinan kala II yang aman

Pernyataan standar

Bidan melakukan pertolongan persalinan yang aman,

dengan sikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta

memperhatikan tradisi setempat. Disamping itu ibu diijinkan

untuk memilih siapa yang akan mendampinginya saat

persalinan.

Tujuan dari diterapkannya standar ini yaitu memastikan

persalinan yang bersih dan aman bagi ibu dan bayi. Hasil yang

diharapkan yaitu persalinan dapat berlangsung bersih dan aman.

Menigkatnya kepercayaan masyarakat kepada bidan.

Meningkatnya jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan.

Menurunnya angka sepsis puerperalis.

3. Standar 11 : penatalaksanaan aktif persalinan kala III

Pernyataan standar

Bidan melakukan penegangan tali pusat dengan benar untuk

membantu pegeluaran plasenta dan selaput ketuban secara

91
lengkap untuk mengurangi kejadian perdarahan pasca persalinan

kala tiga, mencegah terjadinya atonia uteri dan retesio plasenta.

Adapaun hasil yang diharapkan yaitu menurunkan

terjadinya perdarahan yang hilang pada persalinan kala tiga.

Menurunkan terjadinya atonia uteri, menurunkan terjadinya

retensio plasenta , memperpendek waktu persalinan kala tiga, da

menurunkan perdarahan post partum akibat salah penanganan

pada kala tiga.

4. Standar 12 : Penanganan kala II dengan Gawat janin melalui

Episiotomi

Pernyataan standar

Bidan mengenali secara tepat tanda – tanda gawat janin

pada kala II yang lama, dan segera melakukan episiotomi

dengan aman untuk memperlancar persalinan, diikuti dengan

penjahitan perineum.

Tujuan dilakukannya standar ini adalah mempercepat

persalinan dengan melakukan episiotomy jika ada tanda-tanda

gawat janin pada saat kepala janin meregangkan perineum. Hasil

yang diharapkan yaitu penurunan kejadian asfiksia neo naturum

berat. Penurunan kejadian lahir mati pada kala dua .

92
Standar Pelayanan Nifas

Terdapat tiga standar dalam standar pelayanan nifas seperti berikiut

ini:

5. Standar 13: perawatan bayi baru lahir

Pernyataan standar

Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk

memastiukan pernafasan spontan mencegah hipoksia sekunder,

menemukan kelainan, dan melakukan tindakan atau merujuk

sesuai dengan kebutuhan. Bidan juga harus mencegah atau

menangani hipotermia dan mencegah hipoglikemia dan infeksi.

Tujuan nya adalah menilai kondisi bayi baru lahir dan

membantu dimulainya pernafasan serta mencegah hipotermi,

hipoglikemi dan infeksi.

Dan hasil yang diharapkan adalah bayi baru lahir

menemukan perawatan dengan segera dan tepat. Bayi baru lahir

mendapatkan perawatan yang tepat untuk dapat memulai

pernafasan dengan baik.

6. Standar 14: penanganan pada dua jam pertama setelah

persalinan

Pernyataan standar

Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap

terjadinya komplikasi dalam dua jam setelah persalinan, serta

melakukan tindakan yang diperlukan. Di samping itu, bidan

memeberikan penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat

93
pulihnya kesehatan ibu, dan memebantu ibu untuk memulai

pemberian A dan mendukung terjadinya ikatan batin antara ibu.

Tujuan nya adalah mempromosikan perawatan ibu dan bayi

yang bersih dan aman selama persalinan kala empat untuk

memulihkan kesehatan ibu dan bayi. Meningkatan asuhan

saying ibu dan sayang bayi. Memulai pemberian ASI dalam

waktu 1 jam pertama setelah persalinan dan bayinya.

7. Standar 15: pelayanan bagi ibu dan bayi pada masa nifas

Pernyataan standar

Bidan memeberikan pelayanan selama masa nifas melalui

kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu

keenam setelah persalinan, untuk membantu prosses pemulihan

ibu dan bayi melalui penanganan tali pusat yang benar,

penemuan dini penanganan atau rujukan komplikasi yang

mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan

tentang kesehatan secara umum, kebersihan perorangan,

makanan bergizi, perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI,

imunisasi dan KB.

Tujuannya adalah memberikan pelayanan kepada ibu dan

bayi sampai 42 hari setelah persalinan dan memberikan

penyuluhan ASI eksklusif.

94
Standar Penanganan Kegawatan Obstetri Dan Neonatal

Bidan di harapakan mampu melakukan penanganan keadaan

gawat darurat obstetric-neonatal tertentu untuk penyelematan jiwa

ibu dan bayi. Di baawah ini dipilih sepuluh keadaan gawat darurat

obstetric-neonatal yang paling sering terjadi dan menjadi penyebab

utama kematian ibu/bayi baru lahir

8. Standar 16: penanganan perdarahan dalam kehamilan pada tri-

mester III

Pernyataan standar

Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan

pada kehamilan, serta melakukan pertolongan pertama dan

merujuknya.

Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah mengenali dan

melakukan tindakan secara tepat dan cepat perdarahan pada

trimester tiga.

Hasil yang diharapkan dari kemampuan bidan dalam

menerapkan standar ini adalah ibu yang mengalami perdarahan

kehamilan trimester tiga dapat segera mendapatkan pertolongan,

kematian ibu dan janin akibat perdarahan pada trimester tiga

dapat berkurang , dan meningkatnya pemanfaatan bidan sebagai

sarana konsultasi ibu hamil.

9. Standar 17: penanganan kegawat dan ekslampsia

Pernyataan standar:

95
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia

mengancam, serta merujuk dan/ atau memeberikan pertolongan

pertama.

Tujuan dilaksanakan satandar ini adalah mengenali tanda

gejala preeklamsia berat dan memberikan perawatan yang tepat

dan memadai. Mengambil tindakan yang tepat dan segera dalam

penanganan kegawat daruratan bila eklamsia terjadi.

Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kejadian eklamsia.

Ibu hamil yang mengalami preeklamsia berat dan eklamsia

mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Ibu dengan

tanda-tanda preeklamsia ringan mendapatkan perawatan yang

tepat. Penurunan kesakitan dan kematian akibat eklamsia.

10. Standar 18: penanganan kegawat pada partus lama/macet

Pernyataan standar

Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala partus

lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan

tepat waktu atau merujuknya.

Tujuan nya adalah untuk mengetahui segera dan

penanganan yang tepat keadaan daruratpada partus lama/macet.

Hasil yang diharapkan yaitu mengenali secara dini tanda

gejala partus lama/macet serta tindakan yang tepat. Penggunaan

patograf secara tepat dan seksama untuk semua ibu dalam proses

persalinan. Penurunan kematian/kesakitan ibu dan bayi akibat

partus lama/macet.

96
11. Standar 19: persalinan dengan penggunaan vakum ekstraktor

Pernyataan standar

Bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum,

melakukannya secara benar dalam memeberikaan pertolongan

persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu dan

janin/bayinya

Tujuan penggunaan vakum yaitu untuk mempercepat

persalinan dalam keadaan tertentu. Hasil yang diharapkan yaitu

penurunan kesakitan atau kematian akibat persalinan lama. Ibu

mendapatkan penanganan darurat obstretrik yang cepat .

12. Standar 20: penanganan retention plasenta

Pernyataan standar

Bidan mampu mengenali retensio plasenta, dan

memberikan pertolongan pertama termasuk palsenta manual dan

penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan.

Tujuan nya adalah mengenali dan melakukan tindakan yang

tepat ketika terjadi retensio plasenta .

Hasil yang diharapkan ialah penurunan kejadian retensio

plasenta. Ibu dengan retesio plasenta mendapatkan penanganan

yang cepat dan tepat. Penyelamatan ibu dengan retensio plasenta

meningkat.

97
13. Standar 21: penanganan perdarahan post partum

Pernyataan standar

Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam

24 jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum

primer) dan segera melakukan pertolongan pertama untuk

mengendalikan perdarahan.

Tujuannya adalah bidan mampu mengambil tindakan

pertolongan kegawatdaruratan yang tepat pada ibu yang

mengambil perdarahan post partum primer/ atonia uteri.

Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kematian dan

kesakitan ibu akibat perdarahan post partum primer.

Meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan. Merujuk secara

dini pada ibu yang mengalami perdarahan post partum primer.

14. Standar 22: penanganan perdarahan post partum sekunder

Pernyataan standar

Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini tanda serta

gejala perdarahan post partum sekunder, dan melakukan

pertolongan pertama untuk penyelematan jiwa ibu, atau

merujuknya.

Tujuan nya adalah mengenali gejala dan tanda perdarahan

post partum sekunder serta melakukan penanganan yang tepat

untuk menyelamatkan jiwa ibu.

Hasil yang diharapkan yaitu kematian dan kesakitan akibat

perdarahan post partum sekunder menurun. Ibu yang

98
mempunyai resiko mengalami perdarahan post partum sekunder

ditemukan secara dini dan segera di beri penanganan yang tepat.

15. Standar 23: penanganan sepsis puerperalis

Pernyataan standar:

Bidan mampu mengamati secara tepat tanda dan gejala

sepsis puerperalis, serta melakukan pertolongan pertama atau

merujuknya.

Tujuannya adalah mengenali tanda dan gejala sepsis

puerperalis dan mengambil tindakan yang tepat.

Hasil yang diharapkan yaitu ibu dengan sepsis puerperalis

mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Penurunan

angka kesakitan dan kematian akibat sepsis puerperalis.

Meningkatnya pemanfaatan bidan dalam pelayanan nifas.

16. Standar 24: penanganan asfiksia neonatorum

Penyataan standar

Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi baru lahir

dengan asfiksia, serta melakukan resusitasi secepatnya,

mengusahakan bantuan medis yang diperlukan dan memberikan

perawatan lanjutan.

Tujuan yang diharapkan yaitu mengenal dengan tepat bayi

baru lahir dengan asfiksia, mengambil tindakan yang tepat dan

melakukan pertolongan kegawatdaruratan.

99
BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kronologi Kasus

Pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 19.30 WIB Ny. N diantar

keluarga datang ke Klinik Bd. N mengeluh sakit pinggang, HPHT : 16-06-

2017, TP : 23-03-2018. Dilakukan pemeriksaan fisik, yaitu tekanan darah

160/110 mmHg, tinggi fundus uteri 27 cm, detak jantung janin 132

x/menit. Saat dilakukan pemeriksaan dalam belum ada pembukaan serviks,

hasil laboratorium menunjukan bahwa protein urine ibu (+2). Bd. N

menjelaskan kepada ibu dan keluarga untuk dilakukan rujukan dan

menjelaskan bahwa saat ini bukan kewenangan bidan untuk menangani Ny.

N, lalu bidan menjelaskan bahwa ibu mengalami preeklamsia berat.

Bidan N berkonsultasi dan melakukan rujukan sesuai sistem

rujukan EMAS dengan cara Gate way untuk melihat rumah sakit yang

masih tersedia untuk Ny. N. Setelah itu bidan N mendapatkan list Rumah

Sakit yang tersedia, lalu bidan melakukan pilihan untuk rujukan rumah

sakit yang keluarga inginkan, serta bidan melakukan persetujuan tindakan

pra rujukan dan meminta keluarga untuk mempersiapkan persyaratan

rujukan. Bidan mengobservasi pasien selama menunggu proses rujukan.

Pasien dan keluarga memilih Rumah Sakit Umum Daerah Karawang,

pihak IGD menerima dengan advice memasang infuse dengan abocate

berukuran 18, memberi nifedifine 4x10 mg/20 menit, memasang Dower

100
Cateter, memberi MgSO4, dan rujuk didampingi oleh bidan. Ketika

persyaratan sudah lengkap pasien siap dirujuk.

Ny.N datang ke IGD VK RSUD Karawang pukul 23.16 WIB

diantar oleh keluarga dan bidan N atas indikasi preeklamsia berat. Setelah

dilakukan anamnesa di IGD VK, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium. Dokter mendiagnosa ibu mengalami preeklamsia berat

dengan tekanan darah 150/100 mmHg, protein urin (+2) dan terdapat

edema pada kaki. Hasil pemeriksaan fisik lainnya nadi 75 x/menit,

respirasi 20 x/menit, dan suhu 37°C, tinggi fundus uteri 30 cm,

pemeriksaan dalam belum ada pembukaan serviks. Hasil anamnesa dari

hari pertama haid terakhir (HPHT) menunjukan bahwa usia kehamilan ibu

40 minggu 6 hari (cukup bulan).

Pada pukul 00.50 WIB pasien dipindahkan ke ruang bersalin (VK)

khusus diruangan PEB. Dilakukan tatalaksana PEB dengan terapi MgSO4

40 % 6 gram drip menetap pada RL 500 ml 28 tpm, pemberian MgSO4

dilanjutkan dengan cairan yang diberikan bidan di rumah sebelum rujukan

dan pemberian nifedipine 4x10 mg/20 menit. Pukul 01.30 WIB diberikan

skin test ceftriaxone, setelah 20 menit inject ceftriaxone 1 gr / bolus,

MgSO4 kolf kedua, tekanan darah 150/100 mmHg dan nadi 81 x/menit.

Pukul 02.00 WIB diberikan misoprostol 25 mg pervaginam. Pukul 07.30

WIB keadaan compos mentis, keadaan umum baik, tekanan darah 140/90

mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36°C, respirasi 20 x/menit, HIS 1x/10 menit

selama 15 detik, DJJ 142 x/menit, pemeriksaan dalam vulva tak ada

kelaiann, porsio tebal lunak, pembukaan serviks 1-2 cm, selaput ketuban

101
utuh, presentasi kepala, penurunan bagian terendah H II, diberikan

MgSO4 kolf ketiga 28 tpm. Pukul 08.00 WIB diberikan misoprostol kedua

sebanyak 25 mg.

Pukul 10.20 WIB pasien mengatakan mulas-mulas semakin sering

dan durasi mulas mya semakin lama, ada dorongan ingin meneran. HIS 4x

dalam 10 menit selama 40 detik, DJJ 142 x/menit. Ketuban pecah spontan

jernih, dilakukan pemeriksaan dalam pembukaan serviks lengkap 10 cm,

presentasi kepala HIII+.

Pada tanggal 29 Maret 2018 bayi Ny. N lahir pukul 10.30 WIB

Jenis kelamin laki-laki, segera menangis, tonus otot aktif warna kulit

kemerahan, A/S 7/9, anus positif, mekonium positif, cacat negatif,

dilakukan pengisapan lendir, dari data yang didapatkan tidak dilakukannya

Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Bayi dikeringkan, lalu segera dibawa ke

infant warmer dan dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil berat badan :

2705 gram, lingkar kepala : 31 cm, panjang badan : 46 cm, lingkar dada :

31 cm. Ketika bayi telah lahir bayi langsung dibawa ke ruang Perinatologi

dan dilakukan perawatan bayi baru lahir normal, sehingga tidak dilakukan

IMD.

Plasenta lahir spontan pukul 10.05 WIB. Jumlah kotiledon lengkap,

selaput ketuban utuh, insersi tali pusat centralis, diameter ±21 cm, tebal 3

cm, panjang tali pusat ±60 cm, berat plasenta 600 gram, tidak ada

infrak/kelainan, keadaan tali pusat baik, kontraksi uterus keras. Tidak

terdapat laserasi pada jalan lahir ibu. Keadaan postpartum tekanan darah

130/90 mmHg, nadi 83x/menit, respirasi 19 x/menit, suhu 36,8 oC, tinggi

102
fundus uteri 1 jari dibawah pusat, keadaan vesika urinaria kosong, jumlah

perdarahan ±100 cc.

Pada tanggal 29 Maret 2018 pukul 13.15 WIB pasien dipindahkan

dari ruang VK ke ruang nifas (Cilamaya Rawat Gabung) dengan keluhan

masih lemas.

Pukul 16.20 WIB (6 jam post partum) dilakukan pemeriksaan

dengan hasil tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 78 x/menit, respirasi 17

x/menit, suhu 36,7°C, tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi

uterus keras, tidak ada perdarahan aktif, masih terpasang infus dengan

cairan RL dan MgSO4 kolf keempat, serta ibu mengatakan bahwa tidak

ada keluhan saat ini. Bidan melakukan pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu

detak jantung bayi 129 x/menit, respirasi 37 x/menit, suhu 36,8°C dan

telah diberikan neo-K dan Hb-0. Pada pukul 12.00 WIB bayi langsung

rawat gabung dengan ibunya.

KF 1 dan KN 1 pada Ny.N P2A0 dan Bayi dilakukan pada hari

pertama setelah bersalin yaitu pada tanggal 30 Maret 2018 pukul 07.00

WIB. Bidan melakukan pemeriksaan fisik yaitu keadaan umum baik,

kesadaran kompos mentis, status emosional stabil, tekanan darah 130/80

mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5°C, tinggi fundus

uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras dan lokhia berwarna

merah, tidak ada perdarahan aktif. Pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu

detak jantung bayi 130 x/menit, respirasi 35 x/menit, suhu 36,8°C keadaan

baik.

103
Ibu sudah dapat berjalan-jalan tanpa didampingi dan mengatakan

bahwa hari ini telah diperbolehkan untuk pulang karena keadaan ibu sudah

baik, atas anjuran dari dokter Ny. N diperkenankan untuk pulang bersama

bayi nya. Bayi Ny. N pulang dalam keadaan sudah diberi Neo K dan Hb 0.

KF II dilakukan pada hari ketujuh masa nifas yaitu pada hari kamis

tanggal 5 April 2018. Ibu datang ke bidan dan dilakukan pemeriksaan

tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84 x/menit, respirasi 18 x/menit, tinggi

fundus uteri 1 jari diatas sympisis, kontraksi uterus keras dan lokhia

berwarna kecoklatan serta air susu ibu (+).

KN II dilakukan pada hari ketujuh setelah bersalin, bidan

melakukan pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu detak jantung bayi 131

x/menit, respirasi 34 x/menit, suhu 36,8°C, ibu mengatakan talipusat bayi

telah puput pada hari ke empat. Ibu mengatakan dapat melakukan aktivitas

seperti sedia kala. Keadaan ibu dan bayi dalam keadaan baik.

Atas inisiatif pengkaji, pada tanggal 12 April 2018 (nifas hari ke

14) dilakukan kunjungan didapatkan hasil bahwa tekanan darah ibu 120/90

mmHg, nadi 79 x/menit, respirasi 17 x/menit, tinggi fundus uteri sudah

tidak teraba, lokhia berwarna kuning kecoklatan, air susu ibu (+). Hasil

pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu detak jantung bayi 142 x/menit,

respirasi 39 x/menit, suhu 36,9°C. Hasil pemeriksaan menunjukan ibu dan

bayi dalam keadaan baik.

Pada tanggal 19 April 2018 (nifas hari ke 21) pengkaji datang

bersama pembimbing dan dilakukan pemeriksaan yaitu tekanan darah ibu

130/90 mmHg, nadi 83 x/menit, respirasi 19 x/menit, tinggi fundus uteri

104
sudah tidak teraba, lokhia berwarna putih kekuningan, air susu ibu (+).

Hasil pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu detak jantung bayi 136 x/menit,

respirasi 41 x/menit, suhu 36,9°C . Hasil pemeriksaan menunjukan ibu dan

bayi dalam keadaan baik.

KF III dan KN III dilakukan pada tanggal 27 April 2018 (nifas hari

ke 29) dilakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk ibu nifas dan

pemeriksaan fisik lengkap untuk bayi dan didapatkan hasil bahwa

keadaannya baik dan tidak ada kelainan serta mengingatkan ibu untuk

melakukan imunisasi BCG pada bayinya dan menjelaskan manfaat serta

efek sampingnya.

KF IV Pada tanggal 7 Mei 2018 ibu datang ke BPM bidan N untuk

melakukan pemeriksaan dan untuk melakukan imunisasi pada bayinya.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Pembahasan Antenatal Care

Kasus :

Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari buku KIA,

didapatkan hasil bahwa setiap kunjungan kehamilan Ny. N selalu

di periksa tekanan darah nya. Tekanan darah meningkat ketika usia

kehamilan memasuki 8 bulan. Ibu juga kurang mengerti tentang

bagaimana cara untuk mengantisipasi kenaikan tekanan darah ibu.

Pembahasan :

105
Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai dengan proteinuria. (Prawiroharjo, 2014)

Berdasarkan Standar Pelayanan Kebidanan

Standar 7

Pengelolaan Dini Hipertensi Pada Kehamilan yaitu: (1)

Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada

kehamilan dan mengenali tanda serta gejala preeklamsi lainnya,

serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.

Berdasarkan PERMENKES No 28 Tahun 2017 Tentang

Wewenang Bidan

Pasal 19

(3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan:

a. episiotomi;

b. pertolongan persalinan normal;

c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

d.penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;

f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;

g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air

susu ibu eksklusif;

h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan

postpartum;

106
i. penyuluhan dan konseling;

j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan

k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran

Pasal 20

Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf d meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi

(KIE) kepada ibu dan keluarga tentang perawatan bayi baru lahir,

ASI eksklusif, tanda bahaya pada bayi baru lahir, pelayanan

kesehatan, imunisasi, gizi seimbang, PHBS, dan tumbuh kembang.

Menurut asusmsi penulis, dengan dilakukannya pengukuran

tekanan darah pada ibu hamil dapat mendeteksi dini

kegawatdaruratan pada ibu. Pada kasus Ny.N bidan sudah

melakukan deteksi dini sesuai dengan Standar 7, yaitu dengan cara

mengukur tekanan darah tinggi secara rutin setiap kali ibu

melakukan pemeriksaan kehamilan untuk mendeteksi dini

kegawatdaruratan. Namun berdasarkan hasil wawancara, ibu

mengatakan bahwa bidan tidak memberitahu bagaimana cara

mengantisipasi kenaikan tekanan darah ibu, bidan hanya

memberitahu untuk melakukan kunjungan ulang untuk memantau

tekanan darah.

Kasus :

107
Pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 19.30 WIB Ny. N diantar

keluarga datang ke Klinik Bd. N. Dilakukan pemeriksaan fisik,

yaitu tekanan darah 160/110 mmHg, tinggi fundus uteri 27 cm,

detak jantung janin 132 x/menit. Saat dilakukan pemeriksaan dalam

belum ada pembukaan serviks, hasil laboratorium menunjukan

bahwa protein urine ibu (+2).

Pembahasan :

Menurut KEPMENKES Nomor 369 tentang Standar Profesi

Bidan kompetensi ke 4 : Bidan memberi asuhan antenatal bermutu

tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang

meliputi deteksi dini, pengobatan atau rujukan. Pengetahuan dasar

poin ke 11. Nilai normal dari pemeriksaan Laboratorium. Dalam

menjalankan praktiknya bidan sudah sesuai dengan KEPMENKES

No 369 Kompetesi ke 3 poin ke 11 yaitu nilai normal dari

pemeriksaan Laboratorium seperti hemoglobin dalam darah, tes

gula, protein, aceton, dan bakteri dalam urine Selain itu

keterampilan dasar poin ke 13 yaitu mengidentifikasi

penyimpangan kehamilan normal dan melakukan penanganan yang

tepat termasuk merujuk ke fasilitas pelayanan yang tepat dari (poin

c) pre eklamsi berat dan hipertensi.

Menurut asusmsi penulis melakukan pengecekan

laboratorium sangat penting dalam menegakan diagnosa sementara

108
khususnya pada ibu dengan hipertensi, karena akan mengetahui

apakah ibu tersebut mengalami preeklamsia berat atau ringan

dilihat dari hasil laboratorium tersebut. Pada kasus Ny.N bidan

telah melakukan asuhan sesuai dengan KEPMENKES No 369,

yaitu melakukan pengecekan urine, didapatkan hasil positif (+2),

ditunjang dengan tekanan darah yang tinggi yaitu 160/110 mmHg

sehingga di tegakan diagnosa preeklamsia berat.

3.2.2 Intra Natal Care (INC)

Kasus :

Bd. N menjelaskan kepada ibu dan keluarga untuk

dilakukan rujukan dan menjelaskan bahwa saat ini bukan

kewenangan bidan untuk menangani Ny. N, lalu bidan menjelaskan

bahwa ibu mengalami preeklamsia berat.

Ny.N datang ke IGD VK RSUD Karawang pukul 23.16

WIB diantar oleh keluarga dan bidan N atas indikasi preeklamsia

berat. Setelah dilakukan anamnesa di IGD VK, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan laboratorium. Dokter mendiagnosa ibu

mengalami preeklamsia berat dengan tekanan darah 150/100

mmHg, protein urin (+2) dan terdapat edema pada kaki. Hasil

pemeriksaan fisik lainnya nadi 75 x/menit, respirasi 20 x/menit,

dan suhu 37°C, tinggi fundus uteri 30 cm, pemeriksaan dalam

belum ada pembukaan serviks. Hasil anamnesa dari hari pertama

109
haid terakhir (HPHT) menunjukan bahwa usia kehamilan ibu 40

minggu 6 hari (cukup bulan).

Pada pukul 00.50 WIB pasien dipindahkan ke ruang

bersalin (VK) khusus diruangan PEB.

Pembahasan :

Sistem rujukan ialah suatu sistem penyelenggaraan

pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung

jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah

kesehatan secara vertical dalam arti dari unit yang berkemampuan

kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam

arti antar unit-unit yang setingkat kemampuannya. (SK Menteri

Kesehatan RI No. 001, 2012 )

Kewajiban bidan terhadap rumah sakit telah terpenuhi

karena bidan sudah melakukan kewajibannya yaitu bekerja sesuai

dengan standar profesi bidan dan melakukan kolaborasi ketika

mengetahui kasus tersebut bukan kewenangannya dan layanan

yang diberikan bidan pada kasus ini adalah layanan kolaborasi

karena bidan bekerja dalam suatu tim dan keterampilan dasar bidan

sudah terpenuhi.

PERMENKES Nomor 001 tentang Tentang Sistem Rujukan

Pelayanan Kesehatan Perorangan pasal 13 Perujuk sebelum

melakukan rujukan harus:

110
a). melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi

kondisi pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan

kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama

pelaksanaan rujukan;

b). melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan

memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien

dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan

c). membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada

penerima rujukan.

Pada kasus Ny.N bidan telah melakukan kewenangannya

sesuai dengan standar yang berlaku yaitu, merujuk klien dengan

keadaan kegawatdaruratan yang dimana itu bukanlah kewenangan

bidan untuk menanganinya.

Pelayanan rujukan bidan sudah sesuai dengan

PERMENKES No. 001 pasal 13 yaitu bidan telah melakukan

pertolongan pertama dengan telah terpasangnya infuse, terapi

MgSO4, nifedipine, pemasangan Dower Cateter pada saat rujukan,

bidan telah melakukan komunikasi dan menyampaikan kondisi

pasien kepada pihak RS dan sudah membuat surat pengantar

rujukan sesuai dengan protap rumah sakit.

Menurut asusmsi penulis, diagnosa yang ditegakan oleh

bidan N di fasilitas kesehatan dasar (BPM Bd.N) dengan di fasilitas

kesehatan rujukan (RSUD Karawang) sama yaitu preeklampsi

111
berat. Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan (RSUD

Karawang) telah baik dalam melakukan penegakan diagnosa

preeklampsi berat karena sesuai dengan standar operasional

prosedur yang berlaku. Adapun perbedaan hasil pemeriksaan

tekanan darah antara BPM dengan RS dapat disebabkan oleh

berbagai hal diantaranya alat, metode atau cara yang digunakan,

maupun kesalahan pembacaan hasil.

Kasus :

Bidan N berkonsultasi dan melakukan rujukan sesuai sistem

rujukan EMAS dengan cara Gate way untuk melihat rumah sakit

yang masih tersedia untuk Ny. N. Setelah itu bidan N mendapatkan

list Rumah Sakit yang tersedia, lalu bidan melakukan pilihan untuk

rujukan rumah sakit yang keluarga inginkan, serta bidan

melakukan persetujuan tindakan pra rujukan dan meminta keluarga

untuk mempersiapkan persyaratan rujukan. Bidan mengobservasi

pasien selama menunggu proses rujukan.

Pembahasan :

Standar pelayanan kebidanan dalam mendeteksi dini

komplikasi kehamilan atau persalinan khususnya penyakit

preeklamsia/eklamsia adalah standar pemantauan dan pemeriksaan

kehamilan dan standar pengelolaan hipertensi pada kehamilan serta

standar dalam penanganan kegawatdaruratan obstetri neonatal dan

112
eklampsia. Standar ini merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan

dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan kompetensi dan

wewenang yang diberikan. Salah satu standar kompetensi bidan

yakni memberikan asuhan antenatal yang bermutu tinggi untuk

mengoptimalkan kesehatan ibu selama kehamilan yang meliputi

deteksi dini, pengobatan dan rujukan. Bidan mengenali secara tepat

dan dini tanda dan gejala preeklampsia ringan, preeklampsia berat

dan eklampsia. Bidan akan mengambil tindakan yang tepat,

memulai perawatan, merujuk ibu dan / atau melaksanakan

penanganan kegawatdaruratan yang tepat. (DEPKES RI, 2009).

Setelah bidan menegakkan diagnosa dan mendapat

persetujuan tindakan pra rujukan, bidan melakukan

penatalaksanaan sesuai diagnosa yang di tegakkan, bidan dapat

melakukan persiapan prarujukan sesuai konsep dasar rujukan yang

dikenal dengan istilah BAKSOKU (Bidan, Alat, Keluarga, Surat,

Obat, Kendaraan, Uang).

Menurut asusmsi penulis, bidan melakukan

penatalaksanaan awal preeklamsia berat di BPM bidan segera

melakukan rujukan pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.

Pasien dirujuk dengan menggunakan mobil beserta keluarga dan

didampingi bidan yang membawa serta peralatan penatalaksanaan

kegawatdaruratan (cairan infuse, infuse set, obat-obatan, partus set)

dan juga surat rujukan.

113
Bidan telah melakukan rujukan dengan tepat. Selain itu,

bidan telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsi dan peran

bidan serta wewenang dan tanggung jawabnya dalam melakukan

penatalaksanaan kasus preeklamsi berat.

Kasus :

Dilakukan tatalaksana PEB dengan terapi MgSO4 40 % 6

gram drip menetap pada RL 500 ml 28 tpm, pemberian MgSO4

dilanjutkan dengan cairan yang diberikan bidan di rumah sebelum

rujukan dan pemberian nifedipine 4x10 mg/20 menit. Pukul 01.30

WIB diberikan skin test ceftriaxone, setelah 20 menit inject

ceftriaxone 1 gr / bolus, MgSO4 kolf kedua, tekanan darah 150/100

mmHg dan nadi 81 x/menit. Pukul 02.00 WIB diberikan

misoprostol 25 mg pervaginam.

Pembahasan :

Dalam Standar Operasional Prosedur (SOP)

penatalaksanaan preeklamsi berat di RSUD Karawang tahun 2016

disebutkan bahwa penatalaksaan preeklamsi berat pada pasien

belum inpartu (pengobatan obstetrik) adalah Induksi persalinan,

kateter folley dilanjutkan dengan infus oksitosin dan amniotomi.

Seksio sesarea sasaran bila induksi pesalinan gagal yaitu 12 jam

sejak mulai oksitosin belum masuk fase aktif.

114
Menurut asusmsi penulis, bidan sudah melakukan asuhan

sesuai dengan SOP yang berlaku (SOP RSUD Karawang), yaitu

tatalaksana PEB dan pemberian induksi. Dalam kasus ini Ny.N

tidak diberikan induksi dalam bentuk cairan infus (drip oksitoksin)

melainkan induksi yang diberikan yaitu misoprostol.

Kasus :

Pukul 10.20 WIB pasien mengatakan mulas-mulas semakin

sering dan durasi mulas mya semakin lama, ada dorongan ingin

meneran. HIS 4x dalam 10 menit selama 40 detik, DJJ 142 x/menit.

Ketuban pecah spontan jernih, dilakukan pemeriksaan dalam

pembukaan serviks lengkap 10 cm, presentasi kepala HIII+.

Pembahasan :

Persalinan kala II pada Ny.N berlangsung selama 10 menit.

Bayi lahir pukul 10.30 WIB. Mengenai tindakan pertolongan

persalinan kala II pada Ny.N tidak dilakukan seksio sesarea

dikarenakan induksi pesalinan tidak gagal yaitu 12 jam sejak mulai

oksitosin belum masuk fase aktif.

Menurut asusmsi penulis, menrujuk pada SOP

penatalaksanaan preeklampsi berat pada kehamilan aterm di RSUD

Karawang tahun 2016 disebutkan bahwa persalinan dapat

dilakukan spontan jika ibu dalam batas baik untuk meneran sendiri.

115
Dalamkasus ini tidak terdapat kesenjangan anatara teori dan praktik

karena dalam penatalaksanaannya bidan merujuk pada SOP yang

berlaku.

Kasus :

Pada tanggal 29 Maret 2018 bayi Ny. N lahir pukul 10.30

WIB Jenis kelamin laki-laki, segera menangis, tonus otot aktif

warna kulit kemerahan, A/S 7/9, anus positif, mekonium positif,

cacat negatif, dilakukan pengisapan lendir, dari data yang

didapatkan tidak dilakukannya Inisiasi Menyusui Dini (IMD).

Pembahasan :

Berdasarkan KEPMENKES Nomor 369 Tahun 2007

tentang Standar Profesi Bidan kompetensi ke 6 : Bidan

memberikan asuhan yang bermutu tinggi komprehensif pada bayi

baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. Berdasarkan pengetahuan

dasar poin ke (2) kebutuhan dasar bayi baru lahir kebersihan jalan

napas, perawatan tali pusat, kehangatan, nutrisi “bonding

attachment”.

Menurut asusmsi penulis, salah satu manfaat colostrum

yaitu untuk meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga jika bayi

tidak dilakukan IMD maka kesempatan bayi untuk sesegera

mungkin mendapatkan kolostrum tidak tercapai dan risiko infeksi

meningkat. Selain itu, kerugian tidak dilakukannya IMD pada bayi


116
yaitu hilangnya kesempatan pada ibu dan bayi untuk melakukan

skin to skin contact yang berguna untuk menjaga kestabilan suhu

bayi dan untuk bounding attachment. Dalam kasus ini terdapat

kesenjangan antara teori dan praktik, yaitu tidak dilakukan IMD

sedangkan tidak ada indikasi pada medis yang menghalangi bayi

untuk di IMD.

3.2.3 Pengkajian Post Natal Care

Kasus :

Pukul 16.20 WIB (6 jam post partum) dilakukan

pemeriksaan dengan hasil tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 78

x/menit, respirasi 17 x/menit, suhu 36,7°C, tinggi fundus uteri 2

jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras, tidak ada perdarahan

aktif, masih terpasang infus dengan cairan RL dan MgSO4 kolf

keempat, serta ibu mengatakan bahwa tidak ada keluhan saat ini.

Pembahasan :

Pada kebijakan nasional masa nifas, paling sedikit

dilakukan 4 kali kunjungan yang dilakukan. Hal ini untuk menilai

status ibu dan bayi baru lahir serta untuk mencegah, mendeteksi,

dan menangani masalah-masalah yang terjadi, 4 kali kunjungan

tersebut dilakukan pada (Vivian, 2011):

1. 6-8 jam setelah persalinan, tujuannya:

a. Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.

117
b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain dari perdarahan,

rujuk bila perdarahn berlanjut.

c. Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota

keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena

atonia uteri.

d. Pemberian ASI awal.

e. Melakukan hubungan anatara ibu dan bayi baru lahir.

f. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi.

Menurut asusmsi penulis, melakukan pemantauan masa

mifas sangat penting dilakukan karena dapat mendeteksi dini

jikalau ada tanda-tanda bahaya yang terjadi pada ibu. Dalam kasus

ini tidak terdapat kesenjangan antara teori dan praktek karena bidan

melakukan asuhan sesuai dengan teori, yaitu memeriksa tanda-

tanda vital yang dikhawatirkan terjadi kenaikan tekanan darah

yang mengakibatkan eklamsia pada masa nifas, pengecekan

kontraksi uterus dan perdarahan masa nifas karena jika ibu

preeklamsia berat rentan terhadap perdarahan, serta pengecekan

tinggi fundus uteri.

Kasus :

KF 1 dan KN 1 pada Ny.N P2A0 dan Bayi dilakukan

pada hari pertama setelah bersalin yaitu pada tanggal 30 Maret

2018 pukul 07.00 WIB. Bidan melakukan pemeriksaan fisik yaitu

118
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, status emosional

stabil, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 18

x/menit, suhu 36,5°C, tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat,

kontraksi uterus keras dan lokhia berwarna merah, tidak ada

perdarahan aktif.

KF II dilakukan pada hari ketujuh masa nifas yaitu pada

hari kamis tanggal 5 April 2018. Ibu datang ke bidan dan dilakukan

pemeriksaan tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 84 x/menit,

respirasi 18 x/menit, tinggi fundus uteri 1 jari diatas sympisis,

kontraksi uterus keras dan lokhia berwarna kecoklatan serta air

susu ibu (+).

KF III dilakukan pada tanggal 27 April 2018 (nifas hari

ke 29) dilakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk ibu nifas dan

pemeriksaan fisik lengkap untuk bayi baru lahir dan didapatkan

hasil bahwa keadaannya baik dan tidak ada kelainan serta

mengingatkan ibu untuk melakukan imunisasi BCG pada bayinya

dan menjelaskan manfaat serta efek sampingnya.

Pembahasan :

Pelayanan kesehatan ibu nifas oleh bidan dan dokter

dilaksanakan minimal 3 kali, yaitu :

1. Pertama : 6 jam – 3 hari setelah melahirkan.

2. Kedua : hari ke 4 – 28 setelah melahirkan

3. Ketiga : hari ke 29 – 42 hari setelah melahirkan.

119
(Buku Kesehatan Ibu dan Anak, KEMENKES RI)

Menurut asusmsi penulis, melakukan KF secara lengkap

sangat penting dilakukan karena untuk mengetahui perubahan yang

terjadi pada masa nifas dan kembalinya kondisi seperti semula serta

mengetahui adakah tanda gejala kegawatdaruratan pada masa nifas.

Dalam kasus ini antara teori dan praktik sudah sesuai, karena KF 1

dlakukan pada saat 1 hari setelah ibu bersalin (tanggal 30 Maret

2018), KF II pada saat seminggu masa nifas (tanggal 5 April 2018),

dan KF III pada saat 29 hari masa nifas (tanggal 27 April 2018)

3.2.4 Pembahasan Neonatal Care

Kasus :

Bayi dikeringkan, lalu segera dibawa ke infant warmer

dan dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil BB : 2705 gram,

LK : 31 cm, PB : 46 cm, LD : 31 cm. Ketika bayi telah lahir bayi

langsung dibawa ke ruang Perinatologi dan dilakukan perawatan

bayi baru lahir normal, sehingga tidak dilakukan IMD.

Pembahasan :

Menurut PERMENKES Nomor 53 tahun 2014 Tentang

Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial pasa 4 ayat 2

Pelayanan neonatal esensial 0 (nol) sampai 6 (enam) jam

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a). menjaga Bayi

tetap hangat; b). inisiasi menyusu dini; c). pemotongan dan

120
perawatan tali pusat; d). pemberian suntikan vitamin K1; e).

pemberian salep mata antibiotik; f). pemberian imunisasi

hepatitis B0; g). pemeriksaan fisik Bayi Baru Lahir; h).

pemantauan tanda bahaya; i). penanganan asfiksia Bayi Baru

Lahir; j). pemberian tanda identitas diri; dan k). merujuk kasus

yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil, tepat waktu ke

fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

KEPMENKES Nomor 369 Tahun 2007 tentang Standar

Profesi Bidan kompetensi ke 6

Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi komprehensif

pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. Berdasarkan

pengetahuan dasar poin ke (2) kebutuhan dasar bayi baru lahir

kebersihan jalan napas, perawatan tali pusat,kehangatan, nutrisi

“bonding attachment”.

Salah satu manfaat colostrum yaitu untuk meningkatkan

kekebalan tubuh bayi sehingga jika bayi tidak dilakukan IMD

maka kesempatan bayi untuk sesegera mungkin mendapatkan

kolostrum tidak tercapai dan risiko infeksi meningkat. Selain itu,

kerugian tidak dilakukannya IMD pada bayi yaitu hilangnya

kesempatan pada ibu dan bayi untuk melakukan skin to skin

contact yang berguna untuk menjaga kestabilan suhu bayi dan

untuk bounding attachment.

121
Menurut konfirmasi terhadap perawat T dilakukan

pemeriksaan fisik akan tetapi tidak menyeluruh, karena perawat

T melakukan pemeriksaan fisik di infant warmer dan bayi

dirawat didalam infant warmer sehingga kehangatannya terjaga,

perawatan dan pemotongan telah dilakukan, telah dilakukan

pemberian salep mata, telah dilakukan pemberian neo K dan Hb

O pada saat 1 jam setelah lahir. Tidak dilakukan pemeriksaan

fisik menyeluruh, pemantauan tanda bahaya, penanganan

asfiksia telah dilakukan dengan menghisap lender, akan tetapi

tidak dilakukan rujukan, tidak diklakukan IMD.

Menurut asusmsi penulis, melakukan IMD sangatlah

penting untuk bounding pada ibu dan bayi, serta memiliki

manfaat yang sangat banyak untuk ibu dan bayi. Dalam kasus ini,

terjadi kesenjangan antara teori dan praktik, dimana bayi tidak

dilakukan IMD pada saat bayi lahir. Berdasarkan hasil

pemeriksaan, bayi dalam kondisi yang baik dan memungkinkan

untuk dilakukan IMD, hanya saja bidan tidak melakukannya.

Kasus :

KF 1 dan KN 1 pada Ny.N P2A0 dan Bayi dilakukan pada

hari pertama setelah bersalin yaitu pada tanggal 30 Maret 2018

pukul 07.00 WIB. Pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu detak

jantung bayi 130 x/menit, respirasi 35 x/menit, suhu 36,8°C

keadaan baik.

122
KN II dilakukan pada hari ketujuh setelah bersalin, bidan

melakukan pemeriksaan pada Bayi Ny. N yaitu detak jantung

bayi 131 x/menit, respirasi 34 x/menit, suhu 36,8°C, ibu

mengatakan talipusat bayi telah puput pada hari ke empat.

KN III dilakukan pada hari ke dua puluh satu, dilakukan

pemeriksaan Bayi Ny. N yaitu detak jantung bayi 136 x/menit,

respirasi 41 x/menit, suhu 36,9°C . Hasil pemeriksaan

menunjukan ibu dan bayi dalam keadaan baik.

Pembahasan :

Pelayanan kesehatan bayi baru lahir oleh

bidan/perawat/dokter dilaksanakan minimal 3 kali, yaitu :

1. Pertama : 6 jam – 48 jam setelah lahir

2. Kedua : hari ke 3 – 7 setelah lahir

3. Ketiga : hari ke 8-28 setelah lahir

(Buku Kesehatan Ibu dan Anak, KEMENKES RI)

Menurut asusmsi penulis, melakukan KN secara lengkap

sangat penting dilakukan karena untuk mengetahui pertumbuhan

dan perkembangan yang terjadi dan mengetahui adakah tanda

gejala kegawatdaruratan pada bayi. Dalam kasus ini antara teori

dan praktek sudah sesuai, bidan melakukan kunjunga sesuai

dengan teori yang ada yaitu tiga kali yang dilakukan pada hari

pertama pasca bersalin, hari ketujuh dan hari ke dua puluh satu.

123
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah penulis melakukan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat

disimpulkan beberapa hal berikut;

4.1.1 Analisis Asuhan Kebidanan Persalinan Dengan Preeklamsia

Berat

Penatalaksanaan persalinan dengan preeklamsia berat yang

dilakukan bidan di RSUD Karawang belum optimal karena bidan

tidak melakukan asuhan sesuai dengan teori yang berlaku yaitu

tidak dilakukannya IMD pada bayi baru lahir.

4.1.2 Analisis asuhan kebidanan pada masa nifas dengan

preeklamsia berat

Penatalaksanaan masa nifas dengan preeklamsia berat di

RSUD Karawang sudah optimal karena bidan melakukan asuhan

sesuai dengan SOP yang berlaku serta penatalaksanaan KF lengkap.

4.1.3 Analisis asuhan kebidanan pada bayi Ny.N

Penatalaksanaan bayi baru lahir di RSUD Karawang belum

optimal karena bidan tidak melakukan IMD pada saat bayi baru

lahir, hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan SOP yang berlaku,

namun penatalaksanaan KN lengkap.

124
4.2 Saran

Setelah disimpulkan pada bagian diatas, maka penulis dapat menyarankan

beberapa hal, yaitu sebagai berikut :

4.2.1 Bagi Rumah Sakit

1. Diharapkan fasilitas kesehatan rujukan pada kasus

kegawatdaruratan ibu dan bayi khususnya kasus preeklampsi berat

dapat meningkatkan standar pelayanannya dan melakukan

tatalaksana kasus lebih sesuai dengan standar yang berlaku,

sehingga kasus kegawatdaruratan dapat tertangani dengan baik.

2. Diharapkan rumah sakit dapat melakukan pelayanan sesuai standar

yang berlaku, baik itu untuk kasus kegawatdaruratan maupun tidak,

karena hal sekecil apapaun dapat berdampak di masa yang akan

datang.

4.2.2 Bagi Institusi

1. Diharapakan institusi terkait dapat melakukan proses pengajaran

kasus kegawatdaruratan ibu dan bayi sesuai dengan perkembangan

keilmuan kebidanan sehingga ilmu yang diajarkan lebih aplikatif.

2. Diharapkan pula institusi terkait dapat memasukan

materi/pembelajaran yang lebih mendalam mengenai penelitian

dalam mata kuliah mahasiswa, sehingga ada kesesuaian antara yang

diajarkan dengan yang diterapkan dalam penugasan laporan tugas

akhir.

125
4.2.3 Bagi Penulis

Diharapkan mahasiswa/observer/peneliti yang lainnya dapat

mendeteksi kegawatdaruratan dengan benar, menegakkan diagnosa

dengan tepat dan mampu melakukan penatalaksanaan pada kasus

preeklampsia berat sesuai dengan standar dan wewenangan yang

berlaku agar asuhan kebidanan dapat diberikan secara maksimal.

4.2.4 Bagi Klien

Diharapkan setiap wanita yang sedang hamil, bersalin, nifas

maupun yang memiliki bayi mau bekerjasama dan mau mengikuti

anjuran yang diberikan bidan, karena sangat bermanfaat bagi

kesehatan nya dan keluarga.

126
DAFTAR REFERENSI

Dewi, Vivian Nani Lia dan Sunarsih, Tri. 2012. Asuhan Kehamilan untuk
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika

Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. 2014. Standar Prosedur Operasional


(SPO) Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasardan Rujukan.
Karawang : Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang

Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. 2014.


Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. 2016.

Kemenkes RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. Menteri
Kesehatan RI: Jakarta

Kemenkes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 001


Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Menteri
Kesehatan RI: Jakarta.

Kemenkes RI. 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 001


tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan. Jakarta:
Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar Dan Rujukan. Menteri Kesehatan RI: Jakarta.

Kemenkes RI. 2014. .Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Kemenkes RI:


Jakarta.

Kemenkes RI. 2014. Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan dan sesudah melahirkan, penyelenggarakan pelayanan
kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual. Menteri Kesehatan RI:
Jakarta.

127
Kemenkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 28
Tentang Kewajiban dan Hak Bidan. Menteri Kesehatan RI : Jakarta

Kemenkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 28


Tentang Pencatatan dan Pelaporan. Menteri Kesehatan RI : Jakarta

Kemenkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang


Kewenangan Bidan. Menteri Kesehatan RI : Jakarta

Manuaba, ida Bagus. 2010. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC

Norwitz, Errol R dan John O Schorge. 2013. At the Glance Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka

Prawirohardjo, Sarwono 2013. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka

Proveratawi, Ismawati. 2010. BBLR. Yogyakarta. Nuha Medika

PNPK POGI. (2016). http://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/pdf


diunduh pada tanggal 4 April 2018 pukul 22.280 WIB.

Rekam medik RSUD Karawang, 2016

Rohani, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta : Salemba
Medika

Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan


maternal dan neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

WHO. (2014). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar
dan Rujukan. Jakarta: WHO

WHO. (2015). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar
dan Rujukan. Jakarta : WHO

128
129
Lampiran 2 : Buku KIA

130
131
Lampiran 3 : Status Laboratorium

132
Lampiran 4 : SOP PEB

PENATALAKSANAAN PRE EKLAMSI DAN EKLAMSI


NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
Tanggal terbit Disahkan oleh :
Direktur RSUD KARAWANG
Dr. H.ASEP HIDAYAT LUKMAN ,M.M
NIP. 19590730 198702 1 007
Pre Eklamsi:
- Hipertensi dengan protein urine yang didapatkan setelah
umur kehamilan 20 minggu
- Syndroma spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi
pada organ-organ akibat vasopasme dan aktivasi endothel
Kriteria Diagnostik:
- Tekanan darah : ≥140/90 mmHg s/d ≥160/110 mmHg
- Kenaikan sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥15
mmHg
Pengertian
- Protein urine: ≥30 mg/24 jam (dipstick)
- Oedema lokal pada tungkai tidak dimasukan dalam
kriteria kecuali anasarka
- Oliguria: produksi urine ≥ 400-500 cc/24 jam
- Oedema paru dan cyanosis
Eklamsi:
- Pre Eklamsi yang disertai dengan kejang tonik-tonik
disusul dengan koma (penurunan kesadaran)

Merupakan acuan dalam melaksanakan asuhan pada pasien


Tujuan
dengan Pre Eklamsi dan Eklamsi
Kebijakan Standar pelayanan asuhan kebidanan
Anamnesa
- Hamil 5 bulan atau lebih
- Kaki terasa bengkak/bisa tidak ada oedema/oedema
anasarka
Pemeriksaan fisik
- Tekanan darah diatas normal: ≥140/90 mmHg s/d
≥160/110 mmHg
Prosedur
- Obstetri : besar rahim sesuai dengan usia kehamilan atau
lebih kecil apabila PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat)
Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
protein urine, hb, Ht, Trombosit, asam urat, fungsi ginjal
dan fungsi hati
(pada PEB: protein urine +1 (positif 1 atau lebih)

133
PENATALAKSANAAN PRE EKLAMSI DAN EKLAMSI
NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
Tanggal terbit Disahkan oleh :
Direktur RSUD KARAWANG
Dr. H.ASEP HIDAYAT LUKMAN ,M.M
NIP. 19590730 198702 1 007
Prosedur Diagnosa banding
Tujuan Hipertensi menahun, kelainan ginjal dan epilepsi
Kebijakan Penatalaksanaan
3 Pre Eklampsi
a. Rawat Jalan
- Banyak istirahat dengan tidur miring
- Diet cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak dan garam
- Nifedipine 3x10 mg
- Kunjungan ulang tiap minggu
b. Rawat inap
Pada kehamialn pre aterm (<37 minggu)
- Bila tekanan darah normal selama perawatan pertahankan persalinan
sampai aterm
- Bila tekanan darah turun tidak sampai normal, kehamilan diterminasi
pada usia kehamilan 37 minggu
- Pada kehamilan aterm (37 minggu) persalinan ditunggu spontan atau
persalinan pada tanggal taksiran persalinan (persalinan dapat
dilakukan spontan atau kalau perlu memperpendek partus kala II
dengan extasi vakum atau forceps
Prosedur c. Pengobatan obstetrik
Terminasi kehamilan dengan cara sesuai
Bila belum inpartu:
- Induksi persalinan, kateter folley dilanjutkan dengan infus
oksitosin dan amniotomi
- Seksio sesarea sasaran bila induksi pesalinan gagal yaitu 12 jam
sejak mulai oksitosin belum masuk fase aktif
Bila sudah inpartu:
- Kala I: fase laten : sectio caesaria
Fase aktif: amniotomi, bila kemudian pembukaan belum lengkap,
sectio
- Kala II: persalinan pervagina, dibantu extraksi forceps dan vakum
d. Perawatan konservatif
- Indikasi kehamilan pre aterm (<37 minggu) tanpa disertai tanda-
tanda inpending eklamsi dengan keadaan janin buruk
- Pengobatan medisinal:
Sama dengan pengobatan medisinal perawatan aktif, hanya disini
134
tidak dilakukan terminasi
- Pengobatan obstetri
Selama pengobatan konservatif dilakukan observasi dan evaluasi
sama seperti pada perawatan aktif, hanya disini tidak dilakukan
terminasi.
MgSO4 dihentikan bila sudah mencapai tanda-tanda pre eklamsi
ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
Bila sudah 24 jam tidak ada perbaikan, dianggap pengobatan
gagal dan dilakukan terminasi

4 Pre Eklamsi berat


segera dirawat dan tentukan jenis perawatan/tindakan yang akan diambil,
aktif atau konservatif
Tindakan aktif
5 Indikasi : bila perlu didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
a. kehamilan >37 minggu
b. adanya tanda-tanda/gejala inpending Eklamsi
c. kegagalan perawatan konservatif
d. dalam waktu 6 jam setelah pengobatan tekanan darah naik/setelah 24
jam pengobatan tidak ada perbaikan
e. pada janin : adanya tanda-tanda gawat janin dan adanya tanda-tanda
PJT (Pertumbuhan Janin terhambat)
f. laboratrik : protein urine +1 atau lebih, gangguan fungsi hati dan ginjal
g. ditemukan syndrom HELPP
6 Pengobatan medisinal
a. segera masuk rumah sakit tirah baring miring ke sisi kiri secara
intermiten
b. infus asering, ringer laktat atau ringer dextrose 5%
c. Pemberian MgSO4
Dosis awal (pilih salah satu saja)
MgSO4 40% 8 gr boka/boki
MgSO4 20% 4 gr IV
MgSO4 5 gr IV
Dosis pemeliharaan:
MgSO4 40% 6 gr dalam cairan infus RL 500 cc selama 6 jam
7 Jika terjadi konvulsi setelah 15 menit, berikan MgSO4 40% 2
gram IV
8 Syarat-syarat:
a. Tersedia kalsium glukonas 10% sebagai antodotum MgSO4,
diberikan 10 ml secara intervena selama 3 menit
b. Refleksia patella (+)
c. Frekuensi pernafasan >16 kali/menit
d. Produksi urine dalam 4 jam sebelumnya >100 ml
9 Pemberian MgSO4 harus dihentikan apabila
a. Ada tanda-tanda intoksikasi
b. Setelah 24 jam pasca persalinan
c. Dalam 6 jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan tekanan
darah
135
 Anti hipertensif diberikan hanya bila tekanan darah ≥180/110 mmHg
Jenis obat: Nifedipine 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
- Anti diuretika hanya diberikan apabila ditemukan:
1. Edema paru-paru
2. Paal jantung kongesif
3. Oedema anasarka
10 Diet: diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang
berlebihan
11 Perawatan eklamsi
Perawatan medisinal
a. Obat kejang, 4 gr MgSO4 40% intravena selama 4 menit, di lanjutkan
dengan dosis maintenance 6 gr MgSO4 40% dalam infus RL 500 ml
selama 6 jam/botol. Apabila terjadi kejang berulang dapat di berikan
tambahan MgSO4 40% 2 gr intravena setelah pemberian terakhir.
Pengawasan tanda-tanda keracunan MgSO4 harus di lakukan terus
menerus.
b. Obat-obat lain seperti hipertensi, anti diuretika, antibiotika, kardiotika, di
berikan apabila ada indikasi
c. Perawatan serangan kejang
1. Di rawat di kamar yang cukup terang
2. Di pasang oropharyngeal airway (guedel) ke dalam mulut penderita
3. Kepala di rendahkan dan orofharing di bersihkan dengan penghisap
lendir
4. Fiksasi badan penderita pada tempat tidur jangan terlalu kuat untuk
menghindari terjadinya fraktur
d. Perawatan penderita koma
1. Pasang bed said monitor, monitoring kesadaran dan dalamnya koma
2. Perhatikan pencegahan dekubitus dan pemenuhan kebutuhan nutrisi

Perawatan obstetrik
Pada dasarnya semua kehamilan dengan eklamsi harus di lakukan terminasi
tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
Kehamilan di akhiri apabila sudah terjadi stabilisasi hemodinamika dan
metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah (salah satu atau lebih )
a. Pemberian anti obat kejang terakhir
b. Setelah kejang berakhir
c. Penderita mulai sadar
Cara terminasi kehamilan sama seperti pada pre eklamsi berat
- Konsultasi
Apabila di perlukan konsultasi spesialis penyakit dalam,syaraf,mata dan
anestesi
- Perawatan rumah sakit
Pasien pre eklamsi ringan di rawat apabila setelah 2 minggu rawat jalan
tidak meunjukan adanya perubaikan
Pasien pre eklamsi harus di rawat
- Penyulit
Gagal ginjal, gagal jantung, edema paru-paru, kelainan pembekuan darah,
136
pendarahan otak, dan kematian janin
- Informed concent
Perlu di jelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien dan
janin serta rencana perawatan/tindakan yang akan di lakukan
- Tenaga standar
Dokter spesialis kebidanan, dokter umum dan bidan terlatih
- Lamanya rawatan
Pasien di rawat sampai 5 hari pasca persalinan
- Masa pemulihan
6 minggu
- Output
Sembuh total bila tanpa komplikasi
- Patologi anatomi
Tidak di lakukan

1. Poliklinik kebidanan
2. Kamar bersalin
3. Ruang nifas
4. Ruang perinatologi
Unit 5. ICU
terkait 6. IBS/recovery room
7. Intermediate

Dokumen 1. Standar pelayanan medis kebidanan


terkait 2. “Pedoman pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di indonesia
3. Buku pelayanan maternal neonatal

137
Lampiran 5 : Informed Consent

138
Lampiran 6 : Rekam Medik

139
140
141
Lampiran 7 : Surat Rujukan

142
Lampiran 8 : Dokumentasi

143
Lampiran 9 : Kunjungan Rumah

144
Lampiran 10 : Kunjungan Rumah Kedua

145

Anda mungkin juga menyukai