Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Okupasi Terapi

2.1.1 Definisi Okupasi Terapi


Menurut WFOT, Terapi okupasi adalah profesi kesehatan yang berpusat pada
klien yang peduli dengan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan melalui
pekerjaan. tujuan utama terapi okupasi adalah untuk memungkinkan orang
berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (World Federation of
Occupational Therapy, 2011). Menurut Kementrian Kesehatan, Terapi Okupasi
adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada klien dengan kelainan/kecacatan fisik
dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja okupasional, dengan
menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk mengoptimalkan kemandirian
individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas, dan pemanfaatan
waktu luang (Kementrian Kesehatan, 2014).

2.1.2 Peran Okupasi Terapi


Praktek terapi okupasi difokuskan pada memungkinkan individu untuk
mengubah aspek dari kemanusiaan, pekerjaan, lingkungan, atau beberapa kombinasi
dari ini untuk meningkatkan partisipasi kerja (World Federation of Occupational
Therapy, 2011).

Okuapsi terapis emmiliki peran pada kasus psikososial dalam area dan
komponen sebagai berikut:

1. Kognitif
 Mengajarkan problem solving
 Melatih kemampuan decision making
 Mengajarkan cara coping mechanism
 Meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi
2. Intrapersonal
 Meningkatkan self-esteem dan self-image yang positif
 Mengurangi kemarahan
 Mengurangi perilaku depresi
3. Interpersonal
 Memberikan kesempatan untuk bekerja secara kooperatif didalam
kelompok
 Memeberikan kesempatan untuk berperilaku yang sesuai didalam
kelompok
 Memberikan kesemptaan untuk komunikasi verbal yang tepat
dengan orang lain
4. Perawatan diri
 Memberikan arahan dan motivasi akan pentingnya melakukan
perawatan diri
5. Produktivitas
 Meningkatkan keterampilan kerja pasien
 Memberikan kesemptan kepada pasien untuk mencoba pekerjaan
yang berbeda
6. Leisure
 Membantu pasien mengembangkan hobi yang dimiliki

2.2 Aktivitas Rutinitas Minum Obat


Rutinitas pengobatan termasuk dalam salah satu komponen aktivitas sehari-hari dan
perawatan diri. Rutinitas pengobatan merupakan salah satu tuntutan aktivitas. Sebagai seorang
okupasi terapis, mengetahui faktor klien (client factors) apa saja yang berpengaruh dalam
rutinitas pengobatan merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Nilai, kepercayaan, spiritual,
fungsi tubuh, dan struktur tubuh merupakan hal-hal pada diri pasien yang dapat memengaruhi
rutinitas pengobatan dan menyebabkan akibat buruk sehingga sulit untuk dimengerti karena
kurangnya regulasi dan standarisasi.

2.3 Skizofrenia Afektif

2.3.1 Definisi Skizoafektif


Gangguan skizoafektif adalah kondisi kesehatan mental kronis yang ditandai
terutama oleh gejala skizofrenia, seperti halusinasi atau delusi, dan gejala gangguan
mood, seperti mania dan depresi. Banyak orang dengan gangguan skizoafektif sering
salah didiagnosis pada awalnya dengan gangguan bipolar atau skizofrenia karena
berbagi gejala kondisi kesehatan mental ganda (National Alliance on Mental Illness,
2015).

2.3.2 Kriteria Diagnosis Skizoafektif


Diagnosis gangguan skizoafektif dibuat ketika pasien memiliki fitur
skizofrenia dan gangguan suasana hati tetapi tidak secara ketat memenuhi kriteria
diagnostik untuk sendirian. Reevaluasi terus-menerus selama perjalanan penyakit
penting untuk mengkonfirmasi diagnosis (Brannon, 2016).
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain,
dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini,
episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik
atau depresif. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala
skizofrenia dan gangguan afektif dalam episode penyakit yang berbeda (Maslim,
2013).
Menurut DSM-V, kriteria diagnostic pada skizofrenia adalah sebagai
berikut (American Psychiatric Association, 2013):
 Periode penyakit yang tidak terganggu dimana ada episode suasana hati utama
(depresif atau manik) bersamaan dengan kriteria A skizofrenia. Catatan: Episode
depresi utama harus mencakup kriteria A1: suasana hati depresi.
 Delusi atau halusinasi selama 2 minggu atau lebih tanpa adanya episode mood utama
(depresi atau manik) selama durasi seumur hidup penyakit.
 Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood utama hadir untuk sebagian besar
durasi total bagian aktif dan sisa dari penyakit.
 Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek substansi (misalnya, penyalahgunaan
narkoba, obat) atau kondisi medis lainnya.

2.3.3 Manifestasi Klinis Skizoafektif


Pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia dan
kebetulan gangguan mood utama, seperti episode manik atau depresi. Mereka harus
memiliki periode penyakit di mana mereka memiliki gejala psikotik tanpa gangguan
suasana hati yang besar. Gangguan mood harus ada untuk sebagian besar penyakit.
Ada dua subtipe gangguan skizoafektif yang dikenal dalam DSM-IV, depresif dan
bipolar, yang ditentukan oleh sifat episode gangguan suasana hati (Murphy, et al.,
2009). Pada DSM-V pun gangguan afektif masih dengan dua subtipe yang sama.
Sedangkan didalam PPDGJ-III, gangguan skizoafektif dibagi menjadi tiga subtipe
dengan kriteria diagnosa sebagai berikut (Maslim, 2013):

a. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik


 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe
manik yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan
sebagian besar episode skizoafektif tipe manik.
 Afek harus meningkat secara mneonjol atau ada peningkatan
afek yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas
atau kegelisahan yang memuncak.
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau
lebih baik lagi dua, gejala skizofrenia yang khas.
b. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
 Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe
depresif yang tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana
sebagian besar episode didominasi oleh skizoafektif tipe
depresif.
 Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua
gejala khas, baik depresif maupun kelainan perilaku terkait
seperti tercantum dalam uraian untuk episode depresif
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan
sebaiknya ada dua, gejala khas skizofrenia
c. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
 Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia berada secara
bersama-sama dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran
2.3.4 Etiologi
Etiologi gangguan skizoafektif tidak diketahui. Ini mungkin merupakan
varian skizofrenia, varian dari gangguan mood, sindrom psikotik yang berbeda, atau
hanya gangguan mood yang superimposed dan gangguan psikotik (Murphy, et al.,
2009).

2.3.5 Anatomi
Beberapa penelitian telah meneliti gangguan skizoafektif menggunakan CT
konvensional atau langkah-langkah MRI, dan ini sebagian besar kurang bertenaga
dan belum menunjukkan perbedaan yang jelas baik dari skizofrenia atau gangguan
bipolar (Acta Psychiatrica Scandinavica, 2015)

Figure 1 Perbandingan volume pada pasien skizofrenia dan skizoafektif

2.3.6 Patofisiologi

2.3.7 Prevalensi
Gangguan skizoafektif tampaknya sekitar sepertiga sama seringnya dengan
skizofrenia. Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif diperkirakan 0,3%.
Insiden gangguan skizoafektif lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria,
terutama karena peningkatan insidensi tipe depresi pada wanita (American
Psychiatric Association, 2013).
Frekuensi gangguan skizoafektif di seluruh dunia sulit ditentukan, karena
kriteria diagnostik telah berubah selama beberapa tahun terakhir. Sebuah studi
Finlandia memperkirakan prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif menjadi
sekitar 0,32%. Sebuah ulasan Perancis menyebutkan kisaran 0,5-0,8%. Angka-angka
ini hanya perkiraan; belum ada penelitian yang dilakukan (Brannon, 2016).
Orang muda dengan gangguan skizoafektif cenderung memiliki subtipe
bipolar, sedangkan orang yang lebih tua cenderung memiliki subtipe depresif. Secara
keseluruhan, gangguan ini mempengaruhi lebih banyak wanita daripada pria,
mungkin sebagian karena lebih banyak wanita memiliki subtipe depresif
dibandingkan dengan subtipe bipolar. Pria dengan gangguan skizoafektif cenderung
menunjukkan ciri-ciri antisosial dan perilaku berbeda dengan ciri-ciri kepribadian
lainnya. Selain itu, usia onset adalah untuk wanita dibandingkan untuk pria. Tidak
ada perbedaan berbasis ras dalam frekuensi yang telah diamati (Brannon, 2016).

2.3.8 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan gangguan skizoafektif dianggap antara pasien
dengan skizofrenia dan pasien dengan gangguan mood. Artinya, prognosis lebih baik
daripada skizofrenia saja tapi lebih buruk daripada gangguan mood saja (Brannon,
2016).

2.4 Kerangka Acuan

2.4.1 Model of Human Occupation (MOHO)


MOHO secara khusus dikembangkan untuk fokus teori, penelitian, dan
praktek di pekerjaan. Konsep, pekerjaan manusia, mengacu pada melakukan
pekerjaan, bermain, atau kegiatan kehidupan sehari-hari dalam konteks temporal,
fisik, dan sosiokultural yang menandai kehidupan manusia. Visi untuk MOHO
adalah mendukung praktek di seluruh dunia yang berfokus pada pekerjaan, berpusat
pada klien, holistik, berdasarkan bukti, dan melengkapi praktik berdasarkan model
terapi okupasi lainnya dan teori interdisipliner.
MOHO menekankan pentingnya penanganan client-centered yang
disesuaikan dengan nilai dan keinginan kuat individu itu sendiri. MOHO secara
inheren merupakan model yang berpusat pada klien dalam dua hal penting. Pertama,
fokus terapis pada keunikan klien dan memberikan konsep yang memungkinkan
terapis untuk lebih dalam menghargai perspektif dan situasi klien. Praktik berbasis
MOHO memerlukan hubungan terapis-klien di mana terapis harus memahami,
menghormati, dan mendukung nilai-nilai klien, rasa kapasitas dan kemanjuran,
peran, kebiasaan, pengalaman kinerja, dan lingkungan pribadi. Kedua, karena
MOHO mengkonseptualisasikan tindakan, pemikiran, dan perasaan klien sebagai
pusat dinamis dari terapi, pilihan, tindakan, dan pengalaman klien harus menjadi
pusat proses terapi.

Prinsip dasar dari MOHO adalah:

1. karakteristik individu dan lingkungan eksternal saling berhubungan dalam


dinamika kehidupan seluruhnya.
2. Pekerjaan menunjukan pengaruh karakteristik individu dan lingkungannya
3. Komponen dalam diri individu (kapasitas, motivasi, dan kinerjanya)
dipertahankan stau berubah saat individu terlibat dalam pekerjaan.

Berikut ini merupakan subsistem dalam Model of Human Occupation (MOHO),


yaitu:

1. Volition
Volition adalah proses dimana seseorang termotivasi untuk menentukan dan
mengerjakan kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini dimulai dari keinginan manusia
secara umum untuk melakukan aktivitas, arti penting dalam melakukannya dan
pengalaman hidup, serta ketertarikan untuk mengerjakannya kembali. Volition terdiri
dari tiga komponen, yaitu:
a. Personal causation, merupakan suatu komponen yang mengacu pada
pikiran dan perasaan seseorang mengenai kemampuan dirinya dan efektivitas yang
ia miliki dalam aktivitas sehari-hari. Motivasi dilibatkan dalam penilaian komponen
ini.
b. Value, merupakan suatu keyakinan dan komitmen tentang apa yang baik,
benar dan penting untuk dilakukan, bagaimana melakukannya, dan apa tujuan atau
pendapat dari komitmen tersebut.
c. Interest, merupakan sesuatu yang dihasilakan dari pengalaman kepuasan
dan kesenangan dalam pekerjaan. Biasanya ketika seseorang merasa senang karena
sudah mencoba atau melakukan maka membuat dirinya tertarik untuk melakukannya
lagi.

2. Habituation
Habituation adalah suatu proses dimana seseorang mengatur tindakan mereka
kedalam pola dan rutinitas. Dengan beberapa aktivitas berulang, seseorang
membentuk ritme kebiasaan melakukan hal tersebut untuk mengisi kehidupan sehari-
hari. Habituation terdiri dari dua komponen, yaitu:
a. Habit, merupakan hasil dari pengulangan beberapa aktivitas sebelumnya
namun tidak secara kaku, namun dengan adanya regulasi yang teratur sesuai dengan
kondisi lingkungan yang dinamis dan familiar. Habit mengintegrasikan bagaimana
seseorang melakukan aktivitas secara rutin, waktu yang digunakan, pola perilakunya
(cepat atau lambat, dan sebagainya) yang dihasilkan.
b. Roles, merupakan komponen dimana seseorang memiliki peran dan
kewajiban dengan aktivitasnya itu. Identifikasi peran timbul karena adanya refleksi
sikap dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Roles mengatur perilaku melalui
aktivitas rutin yang dilakukan, interaksi dengan orang lain, dan siklus aktivitasnya.

3. Performance Capacity
Komponen ini mengacu pada kemampuan seseorang yang didasari secara fisik dan
mental serta bagaimana mereka dapat beraktivitas dengan kemampuan tersebut
(kemampuan objektif) dan pengalaman subjektif seseorang sehingga memengaruhi
kinerja dalam beraktivitas. Performance capacity terdiri dari dua komponen, yaitu:
a. Objective Component, merupakan komponen yang terdiri dari kemampuan
fisik (musculoskeletal, neurologis, kardiopulmonal, dan sistem fungsi tubuh lainnya)
dan kemampuan mental (kognitif, persepsi, psikologis, dan sosial) yang
memengaruhi kinerja seseorang dalam beraktivitas.
b. Subjective Experience, merupakan komponen yang berdasarkan pada
pengalaman-pengalaman seseorang yang dapat digunakan untuk menilai kinerjanya
apakah dapat dilakukan secara efektif atau mengalami keterbatasan.

2.4.2 Implementasi Kerangka Acuan MOHO Terhadap Aktivitas Kepatuhan


Minum Obat
Pasien dengan gangguan jiwa sangat membutuhkan penanganan melalui
rutinitas pengonsumsian obat. Pada hal ini MOHO menekankan pentingnya
penanganan client-centered yang disesuaikan dengan nilai dan keinginan kuat
individu itu sendiri untuk mulai patuh menjalankan rutinitas pengobatan yang dalam
MOHO disebut sebagai volition. Personal causation diperlukan untuk menentukan
dan mengerjakan hal tersebut. Dimulai dari keinginan pasien untuk melakukan
hingga nantinya menjadi sebuah rutinitas.

Faktor internal lainnya dari diri pasien yang diperlukan antara lain nilai,
kepercayaan, dan sistem fungsi tubuh. Nilai dan kepercayaan merupakan suatu
bentuk value dari komitmen dalam kepatuhan rutinitas minum obat. Maksudnya
adalah bagaimaina pasien memahami apakah rutinitas minum obat itu penting dan
baik untuk dilakukan, bagaimana melakukannya dengan benar, dan bagaimana
melakukannya dengan teratur sehingga dapat menjadi suatu rutinitas serta apa tujuan
dan pendapat dari komitmen tersebut.

Interest dihasilkan dari pengalaman kepuasan dan kesenangan melakukan


aktivitas tersebut. Subjective experience tentu terkait dengan hal ini, karena apabila
seseorang sudah mencoba melakukan dan membuatnya tertarik maka ia akan
melakukannya kembali. Setelah pasien melakukan aktivitas minum obat secara
rutin, tentu pasien dapat merasakan manfaat dari hal tersebut dan ia akan tertarik
melakukannya lagi. Begitupun sebaliknya, jika pasien pernah tidak melakukan
rutinitas tersebut dikarenakan merasakan efek samping berlebih yang membuatnya
merasa tidak nyaman, maka ia tidak akan melakukannya lagi karena tidak ingin
terjadi lagi padanya. Atau pasien pernah tidak melakukan rutinitas minum obat
sehingga membuatnya merasa tidak nyaman sehingga ia tidak ingin melewatkan
rutinitas tersebut. Kemampuan fungsi tubuh yang merupakan bagian dari Objective
component juga berperan dalam terlaksananya tujuan terapi ini. Karena jika tidak
dibantu dengan kemampuan komponen misalnya seperti visual, praksis, dan
kognitif tentu aktivitas ini akan terhambat.

Ketika pasien sudah mau melakukan, maka ia akan melanjutkan berpartisipasi


unutk patuh rutin minum obat. Salah satu bentuk pertisipasinya adalah dengan
melakukan rutinitas tersebut sesuai jadwalnya sehingga dapat dijalankan dengan
teratur. Pola keteraturan inilah yang kemudian nantinya akan menjadi suatu
kebiasaan (habit). Untuk mengatur perilaku dengan aktivitas yang rutin dilakukan
maka diperlukan roles melalui keteraturan aktivitas serta interaksi dan dukungan
sosial dari keluarga. Setelah aktivitas ini dilakukan secara terus-menerus yang
kemudian menjadi bagian dari aktivitas kehidupan sehari-hari, yang tentunya akan
berlanjut dilakukan selama berbulan-bulan bahkan tahunan, maka rutinitas ini
menjadi tidak bisa dipisahkan dengan keseharian pasien selama hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai