Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Ada dua kategori umum perubahan kulit selama kehamilan yaitu perubahan
kulit fisiologis dan dermatosis spesifik selama kehamilan. Perubahan fisiologis kulit
selama masa kehamilan yang terbanyak adalah perubahan pada jaringan ikat berupa
striae garvidarum pada abdomen, paha, bokong, dan mammae yang muncul pada
minggu ke 24 – 28 kehamilan. Sedangkan dermatosis spesifik yang diklasifikasikan
menurut Ambros-Rudolph dan Mullegger meliputi pemphigoid gestationis (PG),
polymorphic eruption of pregnancy (PEP), intrahepatic cholestasis of pregnancy
(ICP), and atopic eruption of pregnancy (AEP). Pada referat ini akan dibahas lebih
rinci menganai atopic eruption of pregnancy (AEP).1,2

Atopic Eruption of Pregnancy ditandai dengan gejala pruritus dengan


manifestasi kulit berupa eksematosa atau lesi papular pada pasien dengan predisposisi
atau riwayat dermatitis atopik atau muncul pertama kali selama kehamilan. AEP
meliputi prurigo of pregnancy (PP), pruritic folliculitis of pregnancy (PFP), dan
atopic eczema (AE) pada kehamilan.1

AEP merupakan masalah kulit yang paling banyak terjadi dalam kehamilan
dengan prevalensi 5-20%. Penyakit AEP muncul pada pasien yang pertama kali
mengalami dermatitis atopic selama kehamilan atau pada pasien yang memiliki
riwayat dermatitis atopik sebelum hamil dan mengalami eksaserbasi pada saat hamil.
Dari suatu studi pada 505 wanita hamil menunjukkan sebanyak 80% mengalami
perubahan kulit pertama kalinya pada saat hamil. Gejala biasanya muncul pada awal
trisemester pertama atau pada trisemester kedua dan cenderung kambuh kembali pada
kehamilan selanjutnya akibat dari riwayat atopiknya. Wanita hamil dengan AEP
mengalami peningkatan serum IgE dan ada riwayat dermatitis atopik dalam
keluarga.1
Diantara penyakit dermatosis pada kehamilan, penyakit AEP merupakan
masalah kulit terbanyak dalam kehamilan dengan prevalensi kejadian sebesar 50%
dengan insidensi 1:300-3000 kasus.3,4 Dari 75% kasus yang ditemui, penyakit AEP
mulai muncul sebelum trisemester ketiga kehamilan. Sebanyak 80% pasien dengan
penyakit AEP manifestasi kulit dermatitis atopiknya muncul untuk pertama kali pada
masa kehamilan. Dan 20% dari kasus AEP, pasien mempunyai riwayat eksema atopic
sebelum kehamilan dengan eksaserbasi selama kehamilan.3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Atopic Eruption of Pregnancy (AEP) adalah kondisi pruritus benigna dalam


kehamilan yang dikarakteristikan menjadi eksematosa (AEP-E type) dan atau popular
(AEP-P type), erupsi pada individu dengan riwayat atopi dan/atau dengan
peningkatan serum igE.4,7,8,9

Atopic Eruption of Pregnancy (AEP) adalah dermatosis akut spesifik selama


kehamilan yang ditandai dengan gatal (pruritus), eritematosus, ekskoriasi papul dan
nodul pada badan, termasuk wajah, leher, dada, permukaan ekstensor tubuh, dan
batang tubuh. biasanya pada trimester kedua atau ketiga kehamilan, dan menghilang
dalam waktu 2-3 minggu setelah persalinan, dan biasanya penderita memiliki riwayat
pribadi atau keluarga atopik.2
Gambar 1. Atopic eruption of pregnancy pada usia kehamilan 12 minggu. 2

Tabel 1. Klasifikasi dermatitis pada kehamilan.4


B. Epidemiologi

Diantara penyakit dermatosis pada kehamilan, penyakit AEP merupakan


masalah kulit terbanyak dalam kehamilan dengan prevalensi kejadian sebesar 50%.
Dari 75% kasus yang ditemui dan insiden sebesar 1/300. Penyakit AEP mulai muncul
sebelum trisemester ketiga kehamilan. Sebanyak 80% pasien dengan penyakit AEP
manifestasi kulit dermatitis atopiknya muncul untuk pertama kali pada masa
kehamilan. Dan 20% dari kasus AEP, pasien mempunyai riwayat eksema atopic
sebelum kehamilan dengan eksaserbasi selama kehamilan.3,4,5,9

C. Etiopatogenesis

Etiologi dari penyakit AEP belum sepenuhnya diketahui secara jelas. Tetapi
menurut Ambros-Rudolph, penyakit AEP selalu berhubungan dengan riwayat atopic
yang ada pada dirinya sendiri atau riwayat di keluarga. Dengan adanya latar belakang
atopik menunjukkan adanya kemungkinan faktor genetik sebagai predisposisi dalam
pathogenesis AEP. Sehingga mekanisme imunologi dipertimbangkan sebagai faktor
etiologi dari penyakit AEP. Seperti pada dermatitis atopik, penyakit AEP dikatakan
sebagai penyakit yang berhubungan dengan T helper 2 (Th2).5,6,10

AEP diduga karena dipicu perubahan imunologi spesifik kehamilan yaitu


berkurangnya imunitas seluler dan berkurangnya produksi sitokin Th 1 (IL-2,
Interferon gamma, IL-12), Sedangkan imunitas humoral meningkat dan dominan
serta terjadi peningkatan sekresi sitokin Th-2 (IL-4 dan IL-10) sehingga respon Th-2
lebih dominan. Respon dari Th-2 inilah yang berperan terhadap perubahan kulit pada
wanita hamil.1,2,4,9
D. Manifestasi klinis
Gejala AEP biasanya muncul pada awal trimester pertama atau kedua.
Manifestasi klinis utama adalah pruritus, lesi prurigo/ekskoriasi, dan lesi seperti
eksematous.1,10
AEP digolongkan menjadi dua kelompok, 20 % pasien menderita eksaserbasi
dermatitis atopic yang sudah ada sebelumnya, 80% sisanya mengalami dermatitis
atopic untuk pertama kalinya atau remisi yang panjang misalnya masa kanak-kanak.
Dari total tersebut 2/3 menderita eksematosa yang luas atau (E-AEP). Predileksinya
sering pada wajah, leher, permukaan fleksor ekstremitas. Sementara 1/3nya
mengalami lesi papular (P-AEP) predileksinya pada badan permukaan ekstensor
ekstremitas. Kulit pasien sering mengalami kekeringan yang parah dan kriteria minor
dari Hanafi dan Rajka. Garukan yang menyebabkan ekskoriasi dan dapat menjadi
infeksi sekunder. Eksema biasanya hilang setelah melahirkan.1,4,7,10

Gambar 2. Lesi prurigo/ekskoriasi, dan lesi seperti eksematous.1

E. Diagnosis.

Diagnosis AEP berdasarkan karakteristik klinis, namun tidak ada penemuan


patognomonik yang spesifik pada AEP. Kebanyakan ibu hamil dengan AEP
ditemukan serum IgE yang meningkat pada 20 – 70% kasus, tes alergi positif
terhadap allergen airborne dan terdapat riwayat keluarga yang memiliki penyakit
atopic. Pasien yang manifestasi kulit dermatitis atopiknya pertama kali muncul pada
masa kehamilan perlu ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat asma, hay fever,
atau eksim. Lesi yang muncul dapat bersifat akut dan kronik. Lesi akut seperti
pruritus, papul eritematosa, dan vesikel. Sedangkan lesi yang bersifat kronik seperti
papul yang ekskoriasi, plak, dan likenifikasi.4,5,6,7

Histopatologi tidak spesifik dan bervariasi sesuai dengan tipe klinis dan
stadiumnya. Pada pemeriksaan histopatologi terjadi perubahan reaktif epidermis
(spongiosis dan akantosis) dan terdapat infiltrate dermis. Biasanya disertai dengan
eosinophil yang berbaur didalamnya.8 Imunofloresensi langsung dan tidak langsung
hasilnya negative.8,10

Gambar 3. Diagnosis dermatosis dalam kehamilan.9

F. Diagnosis banding.7,8
Tabel. Diagnosis banding.2
tabel 1. 1
Gambar 3. Polymorphic eruption of pregnancy pada primigravida 40 minggu. 4
Gambar 4. Atopic eruption of pregnancy pada primigravida 22 minggu. 4

G. Terapi

Untuk pencegahan dan jika memungkinan, wanita yang memiliki riwayat atopi
diingatkan untuk menjauhi bahan-bahan iritan atau alergen sebelum kehamilan.
Terapi untuk atopic eruption of pregnancy adalah terapi simptomatik. Sebagian besar
pasien berespon cepat dengan lubrikasi emolien yang mengandung urea (10%) atau
polidocanol. Penggunaan emolien menjadi bagian integral dari pengobatan pada
semua pasien dan seharusnya diaplikasikan beberapa kali dalam sehari untuk
mencegah keringnya kulit. Urea dan anti pruritic tambahan seperti menthol dan
polidocanol dapat digunakan dan keduanya aman untuk kehamilan.6

Penatalaksanaan AEP bergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Pasien


dengan gejala ringan dapat menggunakan kortikosteroid topical potensi rendah dalam
jangka waktu pendek. Bahaya dari penggunaan kortikosteroid dapat berpotensi tinggi
muncul jika digunakan pada area yang absorpsinya tinggi, seperti daerah genitalia,
lipat mata, dan fleksura. Kortikosteroid topical biasanya digunakan sekali sehari dan
sebaiknya dikombinasikan dengan penggunaan pelembab. Emolien yang digunakan
bersama dengan kortikosteroid topical selama beberapa hari menunjukkan perubahan
dari lesi kulit yang cepat. Jika ruam masih tidak berkurang, dapat digunakan steroid
topical yang lebih poten dengan dosis rendah dan dalam periode singkat.5,6,7

Pemberian kortikosteroid sistemik jangka pendek mungkin dapat


dipertimbangkan. Prednisolone 30 mg per hari diperlukan pada dosis awal. Jika
diperlukan penggunaan yang lebih lama, dosis maintenance tidak boleh melampaui
10 mg/hari pada trimester pertama. Efek samping seperti hipertensi gestasional dan
diabetes mellitus gestasional jarang terjadi karena kortikosteroid pada kasus AEP
biasanya digunakan pada terapi jangka pendek (kurang dari 4 minggu). Pada kasus
yang jarang dimana dosis tinggi perlu digunakan selama berminggu-minggu maka
pertumbuhan janin perlu dipantau melalui ultrasound.5,6,7

Antihistamin sistemik penting digunakan untuk mengurangi gatal yang dapat


mengganggu kegiatan sehari-hari pasien. Antihistamine sistemik yang aman untuk
kehamilan adalah antihistamin non sedasi yaitu loratadine dan cetirizine. Fototerapi
UVB merupakan terapi tambahan yang aman untuk diberikan. Menggunakan baju
dengan bahan yang lembut dan ringan serta berada di lingkungan yang dingin sangat
direkomendasikan. Jika terdapat infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan
penicillin, sefalosporin, makrolida. Antibiotic ini aman untuk kehamilan.2,7,8,10
Tabel 3. Obat-obatan yang aman dan sering digunakan pada kondisi dermatologi pada
kehamilan.9
Tabel 4. Kortikosteroid topical.9

H. Prognosis

Atopic Eruption of Pregnancy (AEP) tidak memengaruhi secara spesifik


terhadap paritas dan gestasi. Prognosisnya baik bahkan pada kasus yang berat.
Pruritus merupakan gejala yang paling mengganggu, umumnya semakin memberat
pada malam hari yang menyebabkan ketidaknyamanan pada ibu hamil. Pada bayi
prognosisnya baik, tetapi ada risiko bayi mengalami perubahan kulit atopic (seperti
dermatitis atopic).2,3,4
Daftar pustaka

1. Savervall C, Sand FL, Thomsen SF. Dermatological Diseases Associated with


Pregnancy: Pemphigoid Gestationis, Polymorphic Eruption of Pregnancy,
Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy, and Atopic Eruption of Pregnancy.
Hindawi. 2015; 1155(10): 1-7.
2. Maharajan A, Aye C, Ratnavael R, Burova E. Skin eruptions specific to
pregnancy: an overview. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.
2013; 15: 233-40.
3. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed. 7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
4. Ambros CM, Rudolph. Dermatoses of pregnancy- clues to diagnosis fetal risk
and therapy. Ann Dermatol. 2011; 23(3): 265-75.
5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Jeffell DJ.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Ed. 8. Chapter 108: Skin
changes and disease in pregnancy. New York: McGraw-Hill; 2012.
6. Burgdorf WHC, Pewig G, Wolf HH, Lanthaler M. Braun-Falco’s
Dermatology. Ed. 3. Italy: Springer Medizine Verlag Heidelberg; 2009.
7. Jones, Ambros-Rudolph, Nelson-Piercy. Skin disease in pregnancy. BMJ.
2014; 348: 26-30.
8. Roth MM, Cristodor P, Kroumpouzoa G. Prurigo, pruritic folliculitis, and
atopic eruption of pregnancy: Facts and controversies. Elsevier: Clinics of
Dermatology. 2016; 34: 392-40.
9. Resende, C Braga A, Vieira AP, Brito C. Atopic eruption of pregnancy: a
recent, but controversial classification. Austin J Dermatolog. 2014; 1(3): 4-1.
10. Wiedersum S. Dermatoses of pregnancy. Hackensack Meridian Health; 2017.

Anda mungkin juga menyukai