Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya dan kepada kita selaku
umatnya.
Alhamdulillah atas izin Allah SWT kita dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan wawasan kami. Oleh sebab itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun (konstruktif) demi penyempurnaan
makalah ini.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat difahami dan dimengerti bagi siapa saja
yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kita semua
maupun orang yang membacanya. Amiin

Bandung 7 Desember 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 1
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan Pembahasan ................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kualitas Pendidikan Di Indonesia ........................................................... 5
2.2 Perkembangan Pendidikan Di Indonesia ................................................ 15
2.3 Pendidikan Indonesia Yang Masih Tertinggal ........................................ 17
2.4 Solusi Masalah Pendidikan Di Indonesia ................................................ 19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 21
3.2 Saran........................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti
yang termaktub dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia
adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan
merupakan komponen utama dalam pembangunan Negara kita ke depannya.
Pendidikan merupakan ujung tombak dalam proses pembangunan negara dan arah
Negara ini ke depannya tergantung pada arah pendidikan kita dan wajah-wajah anak
didik kita saat ini.
Dalam batang tubuh Undang –Undang Dasar 1945 tersebut, yaitu di Pasal 31
ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia
merupakan milik Negara. Negara harus menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini
adalah hak atas pendidikan tersebut. Negara harus menyelenggarakan serta menjamin
pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah maupun
pendidikan tinggi.
Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang
untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Oleh karena
itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita
dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan seharusnya tidak
sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika,
dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar.
Namun arah pendidikan kita saat ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para
pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja.
Tengoklah biaya pendidikan saat ini mahal dan hal itu merata di semua tingkatan
pendidikan. Sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba-lomba mempromosikan dirinya
sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan
Hukum Pendidikan, biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan
kepada masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang sangat
tinggi.
2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia ?
b) Bagaimana perkembangan dan kondisi pendidikan di Indonesia?
c) Apa saja permasalahan pendidikan di Indonesia?
d) Bagaimana solusi mengenai permasalahan di Indonesia?
3. Tujuan
a) Untuk mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia.
b) Untuk mengetahui perkembangan dan kondisi pendidikan di Indonesia.
c) Untuk mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia.
d) Untuk mengetahui solusi mengenai permasalahan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kualitas Pendidikan di Indonesia


Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan
bahwa indeks perkembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan
di Indonesia berapa pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya
saing yang rendah. Dan menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya
berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di
dunia.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
Negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber
daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah
efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaann tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Solusi kunci yang dibutuhkan dalam memperbaiki pendidikan di
Indonesia sebenarnya adalah membenahi guru dari hulu-nya (LPTK).
Apabila guru berkualitas maka murid akan berkualitas, kalau guru dan
siswanya berkualitas maka sekolah berkualitas, kalau sekolah berkualitas
maka daerah berkualitas, dan kalau daerah berkualitas maka Indonesia akan
lebih baik. Sehingga rumus kunci penyelesaian permasalahan pendidikan di
Indonesia adalah pembenahan kualitas guru, seperti yang Ki Hadjar
Dewantara pernah bilang “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah
guru yang tidak bisa mengajar”. Sehingga pemerintah haruslah memikirkan
formula tepat untuk mencetak guru-guru handal yang dapat membawa
murid-muridnya menjadi handal juga. Bukan guru-guru dengan
pengetahuan seadanya yang juga hanya akan membawa muridnya memiliki
pengetahuan yang seadanya.
Guru seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh orang-orang yang
paling unggul dan pandai di bidangnya. Bukan oleh orang-orang sisa yang
tidak mendapatkan tempat di bidang lain. Pola rekrutmen dan pendidikan
bagi calon guru haruslah diperhatikan.
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan
guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan
tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan
tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan
ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang
memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat perguruan tinggi, dari 181.544
dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya factor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahtaraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Idealnya seorang guru menerima
gaji bulanan sebesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan guru PNS per
bulan sebesar Rp 1,5 juta rupiah. Guru bantu Rp 460 ribu, dan guru honorer
di sekolah swasta reta-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti
itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada
yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai missal pencapaian prestasi fisika dan matematika
siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini serig muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin
tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah,
atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban
untuk meminjam setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bahwa untuk mendapat pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab.
Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah
untuk ‘cuci tangan’.
(Faturrahman, Iif Khoiru Ahmadi, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono,
Pengantar Pendidikan, 1 : 2012, 1-2).
7. Anggaran Pendidikan
Dapat kita lihat bersama bahwa anggaran pendidikan merupakan salah
satu permasalahan krusial dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Memang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mengalokasikan 20
% anggarannya untuk digunakan di sektor pendidikan namun ternyata
penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya digunakan untuk
operasional dana pendidikan.
Di dalam 20 % anggaran pendidikan tersebut juga sudah masuk
anggaran belanja guru dan tenaga kependidikan untuk seluruh wilayah
Indonesia juga anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan seperti
Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) juga
ditanggung oleh anggaran 20 % APBN tersebut, bukannya ditanggung oleh
institusi penyelenggara pendidikan kedinasan tersebut. Sehingga dana
pendidikan untuk operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin
sedikit dan tidak bisa terserap dengan maksimal.
Belum lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan
banyak dikorup terutama di tingkat pemerintah daerah, sehingga anggaran
pendidikan yang benar-benar dapat dinikmati siswa menjadi sangat sedikit.
Sehingga tidak heran, kualitas pendidikan kita begini-begini saja. Dengan
sarana prasarana yang terbatas karena tidak pernah diperbaharui (akibat
dikorup dan tidak maksimalnya dana pendidikan dikucurkan). Apabila
permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan kualitas
pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.
8. Pendidikan Dasar dan Menengah
Dapat kita lihat bersama, bahwa pendidikan nasional kita terutama
pendidikan dasar dan menengah kita selama sepuluh tahun terakhir
terpuruk. The Learning Curve 2014, yang baru dirilis Pearson
memposisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan
terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. Tahun lalu,
Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara. Keterpurukan ini terjadi
karena berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai
moral dan prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran. Untuk itu, ada 3 hal
fundamental yang bisa dilakukan oleh Pemerintahan yang baru untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ketiga hal tersebut yaitu:
permasalahan Kurikulum 2013, Ujian Nasional dan Keragaman di Sekolah
Negeri. Apabila permasalahan dalam ketiga hal tersebut dapat diselesaikan
maka harapan untuk Pendidikan Nasional yang lebih baik dapat kita capai.
Lalu diluar hal tersebut kita haruslah melihat di mana posisi pendidikan
nasional kita saat ini. Berdasarkan assesment internasional, yaitu test PISA
(membaca) dan TIMMS (Bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok
(2003, 2006, 2009 dan 2012), sehingga kualitas siswa di Indonesia dapat
dikatakan terbelakang apabila berkaca pada hasil assessment tersebut. Tidak
berbeda jauh dengan kualitas siswanya, kualitas guru di Indonesia juga
tergolong rendah. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru
Indonesia terendah (urutan 12 dari 12 negara Asia), bahkan hasil UKG
hanya 4,3. Kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan, banyak yang
tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga kualitasnya tidak ada
peningkatan. Guru di Indonesia juga banyak yang pemalas dan mencari
jalan pintas dalam mendidik murid-muridnya.
Prestasi buruk siswa dan guru di Indonesia tersebut seolah-olah
didukung dengan hasil penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia
yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia terburuk bersama
Brazil dan Meksiko berdasarkan Assesment Pearson (2012), bahkan di
tahun 2014 Indonesia malah dibawah Brazil dan Meksiko.
Parahnya, Pemerintah kita seperti tidak bisa memformulasikan obat
yang tepat untuk menanggulangi segala jenis keburukan dalam Pendidikan
Nasional kita tersebut. Pemerintah kita malah meresmikan kurikulum 2013
yang mereka sebut sebagai “obat” untuk menyelesaikan permasalahan
pendidikan yang terjadi. Namun seperti yang kita ketahui kesalahan dalam
pemilihan obat, malah bisa mengakibatkan kehancuran bagi bangsa
Indonesia.
Kurikulum 2013 seperti yang kita lihat tidak pernah dapat
mengklasifikasikan siapa itu guru, siapa itu murid dan hal yang lainnya.
Dalam faktor mata pelajaran, ilmu pengetahuan yang disebut berkembang
pesat, secara materi dianggap materi pelajaranlah yang penting, padahal
bukan hanya belajar materi yang penting namun belajar hal lain seperti
pembentukan karakter juga penting untuk menjaga kualitas anak didik kita.
Namun sebagaimana yang kita lihat, pemerintah hanya memaksa anak didik
kita untuk belajar dengan buku dan materi tanpa melihat hal lain seperti
pembentukan karakter tersebut. Parahnya mata pelajaran di seluruh
Indonesia disamaratakan, anak didik di Jakarta mendapatkan pelajaran yang
sama dengan di Papua. Padahal kita tahu bahwa, sarana dan prasarana tiap-
tiap daerah berbeda serta konsep pendidikan tiap daerah berbeda, sehingga
pemaksaan tersebut merupakan kesalahan yang sekali lagi dilakukan oleh
pemerintah kita tanpa perhitungan.
Lebih jauh, Kurikulum 2013 sangat kacau dalam implementasinya.
Sudah hampir setahun dari dilaksanakannya kurikulum ini namun distribusi
buku pelajarannya masih belum terkirim dengan merata. Ditambah
banyaknya pelajaran yang harus diambil oleh siswa tentu sangat membebani
siswa, bukannya membebaskan mereka.
Selain masalah-masalah tersebut, masalah lain yang tidak kalah
pentingnya yaitu permasalahan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional yang
dijadikan tolak ukur penentu kelulusan malah mengakibatkan runtuhnya
moral para siswa karena kecurangan UN semakin lama semakin sistemik
dan massif, UN jugalah hanya menjadi ajang penghamburan uang negara
karena hasilnya tak mengukur apapun dari kualitas pendidikan Indonesia,
karena kecurangan yang terjadi tentu saja mengakibatkan lebih dari 90 %
siswa pasti lulus, tapi sekali lagi hal tersebut membuktikan bahwa UN sama
sekali tidak dapat mengukur apapun.
Pemerintah kita selalu melihat tolak ukur pendidikan dari hasil, bukan
dari proses. Kemenangan di lomba-lomba (olimpiade, dll) dianggap menjadi
tolak ukur pendidikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa menang
pendidikan kita semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan
mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan, bukan membebani siswa
dan menjadi momok bersama.
Perlu ditekankan juga bahwa LBH Jakarta bersama jaringan advokasi
yang melakukan penolakan terhadap UN (TEKUN) telah melakukan
Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) untuk menghapuskan UN dan
dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Namun pemerintah masih
membangkang dan tetap mengadakan UN.
9. Perguruan Tinggi
Khusus untuk permasalahan pendidikan tinggi, selain daripada
ketentuan dalam Konstitusi, ketentuan internasional juga menjamin
pemenuhan akan hak atas pendidikan
tersebut, hal tersebut termaktub dalam Kovenan Ekonomi Sosial dan
Budaya (Ekosob) yang diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun
2005 Pasal 13 ayat 2C yang menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga
harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan,
dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap”. Sehingga cukup jelas bahwa Negara dalam
hal ini diwakilkan oleh Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan tinggi tersebut.
Namun sepertinya cita-cita itu masih sangat jauh dari harapan.
Perguruan Tinggi saat ini tak ubahnya seperti perusahaan karena dikelola
secara privat, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Seperti yang ada
pada beberapa Peraturan Pemerintah yang muncul di tahun tahun 2000 yang
mengesahkan Penerapan Skema Badan Hukum di Pendidikan Tinggi
Indonesia (poin konsideran KUHPer), hal ini menjadi awal privatisasi
kampus, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. Sehingga
menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi menjadi sangat besar.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh aktivis dan para pemerhati
pendidikan sebenarnya membuahkan hasil. Undang - Undang Nomor 9
tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan batal oleh
Mahkamah Konstitusi. Kutipan Putusan Pembatalan UU BHP oleh MK
tahun 2010:
“ … dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa
didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah
peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama
lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung
atau tidak langsung membebani peserta didik.”
“Kewenangan institusi pendidikan untuk mencari dana secara
otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi peserta didik.”
“Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi bukan merupakan
sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.”
Sehingga sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sudah secara jelas
menyebutkan bahwa UU BHP itu sendiri telah melanggar hak atas
pendidikan bagi para peserta didik yaitu mahasiswa. Namun, upaya tersebut
mengalami ganjalan karena pemerintah memang tidak berniat untuk
menghapuskan privatisasi pada kampus perguruan tinggi. IMHERE dari
Bank Dunia di tahun 2010 bahkan menyebutkan perlu ada landasan hukum
baru untuk praktik Badan Hukum, khususnya badan hukum pendidikan.
Sehingga pemerintah kita yang latah malah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang masih berlaku
sampai sekarang yang menjadi penguatan legitimasi hukum atas praktik
privatisasi
kampus ala Badan Hukum seperti pada UU BHP. Sehingga berlakunya
UU Dikti sebenarnya tidak membawa perubahan yang signifikan bahkan
UU Dikti memberikan legitimasi yang lebih kuat untuk praktik dan trend
yang sudah berjalan sejak tahun 2000.
Berkaca dari hal yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa
perjuangan mewujudkan kuliah murah menerima pukulan; mundur ke
belakang dan biaya kuliah semakin mahal serta akses terhadap Pendidikan
Tinggi menjadi semakin eksklusif. Banyak universitas menganggap
tantangan yang dihadapi adalah dari luar bukan dari dalam. Perubahan itu
memaksa universitas untuk mereposisi dirinya dari semula sebagai
knowledge creation menjadi knowledge production. Perguruan tinggi tidak
lagi mengikuti Tri Dharma Perguruan Tinggi dan makin terpisah dari
Negara. Universitas yang tadinya ada dalam level national state, yang
seharusnya mengabdi pada kepentingan nasional sekarang berubah menjadi
mengabdi pada kepentingan global juga.
Otonomi pendidikan tinggi hari ini adalah otonomi kelembagaan yang
hanya dipahami secara instrumentasis dan teknis. Sehingga otonomi hanya
dimaknai sebagai teknik-teknik manajerial dan perspektif kewirausahaan
menjadi lebih mengemuka. Struktur pembentukan keputusanpun tidak lagi
terdesentralisir melainkan hanya berada di tangan pejabat professional
(rektor). Elit yang berkuasa dapat mengendalikan perguruan tinggi dengan
sewenang-wenang dan melanggar kebebasan akademis.
Permasalahan di dunia Perguruan Tinggi tidak hanya berakhir pada
masalah biaya pendidikan yang semakin mahal dan privatisasi kampus
namun juga dalam hal pembatasan demokratisasi mahasiswa di dalamnya.
Seperti yang dapat kita lihat sekarang Pemerintah dan perguruan tinggi,
terus berusaha memberangus nilai-nilai demokratisasi mahasiswa di
kampus. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI berdiri adalah hasil
perjuangan yang terpimpin dalam sebuah organisasi rakyat melawan
kolonial asing. Demikian pula dalam sejarah panjang perjuangan saat ini,
organisasi menjadi sebuah keharusan yang wajib hukumnya diberi
kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berserikat. Namun, saat ini
kebebasan berorganisasi di kampus menjadi sebuah formalitas semata saja
di Republik ini. Sebagai contoh berikut beberapa kasus pembatasan
demokratisasi di kampus:
1. Drop out (DO) yang dialami oleh 6 mahasiswa Universitas
Tujuh Belas Agustus (Untag) karena berdemonstrasi dan
mengkritisi kebijakan kampus. Saat ini kasus mahasiswa Untag
tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
2. Drop out (DO) mahasiswa Universitas Pancasila (UP) pada
tahun 2013 setelah menjalankan kegiatan latihan kepemimpinan
bersama organisasinya di dalam kampus.
3. Drop out (DO) terhadap mahasiswa Universitas Nasional yang
mengkritisi kebijakan jam malam kampus. Pimpinan mahasiswa
yang diberhentikan dikaitkan dengan maraknya penggunaan
narkoba di Universitas Nasional, padahal tidak bisa dibuktikan
bahwa mereka positif menggunakan narkoba.
Apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi di Pasal 77 yang mengatur tentang Organisasi
Mahasiswa berbunyi;
1. Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan
2. Organisasi mahasiswa paling tidak memiliki fungsi untuk
mewadahi, mengembangkan, memenuhi, dan mengembangkan
tanggung jawab sosial.
3. Organisasi mahasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1
merupakan organisasi intra kampus
Pada pasal 77 ini dapat kita nilai bahwa budaya kampus yang
mengekang kebebasan berorganisasi pada masa otoriter Soeharto masih
tetap berlaku di kampus sampai saat ini. NKK/BKK berkembang dan tetap
tumbuh subur dalam UU Pendidikan Tinggi. Perampasan hak demokratis
mahasiswa semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan
berorganisasi, mengeluarkan pendapat, menjalankan aktfitas dan
kebudayaan lainnya di dalam kampus. Normalisasi kampus tetap
dilanggengkan agar mahasiswa semata-mata fokus dengan kegiatan
akademik, dies natalis, menwa, minat bakat dan lain-lain. Dan parahnya lagi
pasal 77 ayat 3 tersebut, sesungguhnya adalah bentuk diskriminasi terhadap
mahasiswa-mahasiswa untuk mendapatkan hak atas kebebasan untuk
berorganisasi. Perguruan tinggi seakan-akan merawat iklim demokrasi di
kampus melalui organisasi intra saja, tanpa memaknai bahwa mahasiswa-
mahasiswa harus dijamin pula membentuk organisasi yang benar-benar
lahir dari aspirasi mahasiswa itu sendiri. Diskriminasi ini pun masih dikuat
dengan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun 2002 Tentang pelarangan organisasi
ekstra di kampus. Lagi-lagi kebebasan berdemokrasi di kampus dipasung
dengan regulasi dan menanamkan paradigma organisasi intra dan ekstra
yang sesungguhnya tidak mencermikan kebebasan alam berdemokrasi di
kampus.
B. Perkembangan pendidikan di Indonesia
Kita semua tentu tahu, bahwa indonesia adalah negara yang dikenal sebagai
negara yang kaya raya, namun sumber daya manusianya masih lemah dalam
pendidikan. Hal ini diakui oleh banyak orang di dunia, bahkan oleh masyarakat
indonesia sendiri. Boleh dibilang, pendidikan di indonesia adalah salah satu yang
kurang maju dari semua negara di dunia. Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah
pendidikan di indonesia yang masih sangat sulit diatasi. Adapun beberapa masalah
utama pendidikan di indonesia adalah:

1. Mahalnya Biaya Pendidikan


Inilah masalah utama pendidikan di negeri ini, yaitu
mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan
fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak indonesia.
Jangankan untuk sekolah swasta, untuk sekolah negeri pun,
biaya pendidikannya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang
diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi
masalah mahalnya biaya pendidikan ini.
2. Kurangnya Pemerintah Pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang, pendidikan adalah hal yang biasa,
namun bagi banyak orang yang berada di wilayah terpencil,
pendidikan adalah barang mewah dan sangat berharga. Kenapa?
Karena memang di negara yang menganut faham desentralisasi
ioni, pendidikan lebih difokuskan di wilayah-wilayah pokok
yang lebih potensial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
kurangnya pemerataan dan menjadikan kesenjangan dalam
pendidikan.
3. Rendahnya Kualitas Sarana dan Prasarana Pendidikan
Kita tentu sudah banyak mendengar berita tentang
sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunannya yang
sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah.
Inilah salah satu bukti betapa rendahnya kualitas sarana dan
prasarana pendidikan di indonesia.
4. Masih Rendahnya Kesejahteraan Guru
Salah satu acuan yang bisa diukur untuk menentukan
keberhasilan pendidikan adalah tingkat kesejahteraan pada guru.
Namun apa bisa dikata, di indonesia masih banyak guru yang
dibayar dengan upah yang kurang layak atau bahkan tidak layak.
Walaupun banyak orang beranggapan bahwa guru itu adalah
profesi yang mewah, namun tetap saja masih banyak guru yang
belum bisa menerima hasil jerih payahnya secara adil.

5. Rendahnya Prestasi Siswa


Dari penelitian Balitbang, daya tangkap materi siswa di
indonesia hanya sekitar 30% dari semua materi yang diajarkan. Hal
ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya
kepedulian dalam dunia pendidikan dan juga masih kurangnya
pengetahuan para siswa tentang arti sebuah pendidikan.
C. Pendidikan Indonesia yang masih tertinggal
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain,
harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah
pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktik pendidikan kita.
Sebagai siswa dan sekaligus sebagai calon pendidik, kami merasakan ketimpangan-
ketimpangan pendidikan, seperti :
1. Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-uba
tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum
baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan
berusaha eksis dalam menguji cobaan formula pendidikan baru dengan mengubah
kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus menerus, pada prakteknya kita tidak
tahu apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya.
Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam praktiknya guru di
Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan.
Hal ini terjadi karena pemerintah menginginkan hasil yang baik tapi lupa dengan
elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer
yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam
kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya
sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar inilah yang
menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa
guru itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang
memandang rendah profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi
seperti sekarang ini.
2. Biaya
Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami
kenaikan BBM.Banyak Masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal
dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen
pendidikan yang berkualitas konsenkuensinya harus membayar mahal.
Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis
pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan.
Sekarang ini memang digalakkan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan
BOS. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana ? Apa
mereka sudah mengeyam pendidikan ?? Padahal mereka sebagai WNI berhak
mendapatkan pendidikan yang layak.
Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan
membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur
formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan
akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa
yang mapan secara akademik maupun finansial . Sedangkan jalur formal standar
diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan
tidak mampu. Hal ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebiajakan ini sama saja
dengan mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita
bila kita terus dalam dan pasrah menerima keputusan pemerintah?? Ironis sekali
bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
3. Tujuan Pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu
menyesatkan.Bagaimana tidak ? lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur
dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan
mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik masyarakat ataupun pejabat-
pejabat).Bukankah ini memalukan ?? Berarti kalau kita punya uang maka kita
tidak usah sekolah tapi sama dengan yang sekolah karena memiliki ijazah.
Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang
tinggi,memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila diterjunkan dalam
suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.
4. Kontroversi diselenggarakannya UN
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat
kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003.UN atau pada
awalnya bernama UJian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Dari hasil kajian koalisi pendidikan ,
setidaknya ada 4 penyimpangan dengan digulirkannya UN. Perrtama, aspek
pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga
aspek,yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap
(afektif).
Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif,
sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Kedua,
aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
tahun 2003 telah dilanggar,misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa
standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi , proses, kompetensi, lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar
pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.Pasal 58 ayat 1
menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidikuntuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan. Kenyataannya,selain merampas hak guru melakukan
penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.Selain itu, pada
pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
evaluasi terhadap pengelola,satuan jalur,jenjang,dan jenis pendidikan.Tapi dalam
UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang
sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
deiselenggrakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan3,01 pada
tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005 . Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang
tua siswa . Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UNkan
di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi.Secara ekonomis, pelaksanaan UN
memboroskan biaya .Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai
Rp.260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Kemudian ,
belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana
UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas
pertanggung jawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan
(korupsi) dana UN.
Salah satu pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di
wilayah Jawa Barat, sekolah yang rusak mencapai 50 persen.
Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan
yang sudah tua. Menurut Faturrahman, kerusakan bangunan pendidikan jelas
akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak
akan merasa tidak nyaman belajar pada kondisi ruangan yang hamper roboh.
Akhir-akhir ini banyak kita mendengar dan melihat di televisi berita
tentang sekolah-sekolah yang hampir roboh, dimana anak-anaknya terpaksa
belajar di luar kelas. Miris melihat ini, bahkan sampai sekolah yang berada di
ibukota pun mengalami kejadian seperti ini. Bukankah negara ini memiliki
anggaran pendidikan yang tentunya dapat menanggulangi permasalahan seperti
ini. Para pejabat kita di Senayan saja tiap bulan bisa melakukan tour ke luar negeri
berkedok studi banding, mengapa hanya memperbaiki sekolah yang rusak mesti
berlarutlarut. Yang dirugikan tentunya anak-anak calon penerus bangsa ini.
Bagaimana mereka tidak was-was jika harus belajar di dalam gedung yang hampir
roboh (Kasim, 2009).
D. Solusi masalah pendidikan di Indonesia
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara
terkotak-kotak. Tetapi harus di tempuh dalam suatu tindakan yang menyeluruh.
Misalnya jika pemerintah hanya menaikkan anggaran, tetapi sumber daya dan
mutu pendidikan masih rendah, maka apa yang diharapkan tidak akan tercapai.
Jika kita lihat melalui permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi
adalah pelaksanaan dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum ini.
Contohnya, jika guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan
kurikulum (asal masih berada pada koridornya) maka janganlah guru dituntut
untuk menghabiskan materi. Bukankah pembelajaran akan lebih bermakna jika
siswa benar-benar memahami materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi yang
diketahui hanya permukaannya saja.
Menyoal masalah biaya, jika semua pemangku pendidikan menjalakan
program dengan benar, anggaran pendidikan di Negara ini tidaklah kurang.
Sayangnya dengan adanya permainan oknumoknum, segala hal menjadi kurang,
pemerataan penerimaan dana pendidikan pun tidak seimbang.Pendidikan yang
berkualitas memang tidak murah, atau tepatnya bisa kita katakan tidak harus
murah atau gratis. Pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga
negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah
bisa mengakses pendidikan yang bermutu. Idealnya pendidikan di Indonesia
harus dapat dikenyam oleh anak usia sekolah minimal SMA sederajat, tanpa
memandang anak tersebut berasal dari keluarga kaya ataupun miskin.
Mengenai permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan
kelulusan UN. Ijazah memang penting untuk menunjukkan legalitas kemampuan
kita, akan tetapi hendaknya yang memerlukan ijazah ini lebih menekankan proses
perolehan ijazah. Tidak ada bedanya dengan UN, sebenarnya pelaksanaan UN
masih relevan, tetapi dalam prosesnya masih ada yang perlu diperhatikan dan
dibenahi. Contohnya, standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi
dan lingkungan masing-masing siswa.
Jika menyangkut masalah sarana prasarana tentunya akan berpulang lagi
pada komitmen pemerintah dan pemangku pendidikan terkait. Dan tidak terlepas
pula yang sudah dibahas di atas bahwa semuanya harus dikembalikan ke pribadi
pemangku kepentingan, apakah mereka berniat untuk benar-benar berguna bagi
negara atau sekedar mencari keuntungan ditengah kondisi pendidikan bangsa ini.
Jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk
memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat
tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita, niscaya
pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari pejabat
pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung dengan siswa, harus memiliki
komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini.
BAB III
KESIMPULAN

Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Padahal pendidikan memiliki peranan


penting dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa ini. Ada
beberapa aspek pendidikan yang akhir-akhir ini mengemuka dalam beberapa wacana yang
berkaitan dengan problematika pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. kurikulum yang pelaksanaanya belum relevan dengan tuntutan masyarakat,
b. biaya pendidikan yang mahal,
c. tujuan pendidikan yang dalam prosesnya pencapaiannya menyimpang,
d. kontroversi pelaksanaan Ujian nasional, dan
e. banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai.
Semua hal tersebut pada dasarnya berpulang pada kejujuran pelaksana pendidikan
dalam menjalankan pendidikan bangsa ini. Jika semua pelaksana pendidikan memiliki
kejujuran dan komitmen yang sama yaitu untuk memajukan bangsa ini, niscaya
pendidikan yang berkualitas akan diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Faturrahman, dkk.2012.Pengantar Pendidikan.Jakarta: Prestasi Pustaka


Publisher
Permasalahan Pendidikan Serta Rekomendasi Untuk Pemerintahan
Baru, Komite Nasional Pendidikan 2014, www.bantuanhukum.or.id, 02-12-
2016
Musyaddad, Khalid.2014.Problematika pendidikan di Indonesia.
http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/edubio/article/download/378/346
.05-12-2016

Anda mungkin juga menyukai