Anda di halaman 1dari 13

KEBANKSENTRALAN

(EKI 319 B1 REGULER)


Dosen Pengampu :
Luh Gede Meydianawathi, SE.M.Si

Pokok Bahasan :
SAP 15.
Koordinasi Kebijakan Antara Bank Sentral Dengan Lembaga Otoritas
Dan Pemerintah

Oleh :
Anak Agung Sagung Intan Prativi Setiawan (1607511148)
Ni Made Cahaya Septya Dewi (1607511157)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2018
I. Koordinasi Kebijakan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan sektor keuangan yang


terintegrasi, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan. OJK melalui fungsi yang diamanatkan dalam UU OJK, diharapkan dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dari dinamika sistem keuangan di
Indonesia. Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan ikut mengalihkan Peran Bank Indonesia sebagai
pengawas perbankan, namun Bank Indonesia akan tetap menjalankan fungsinya dalam
pembentukan regulasi dibidang moneter. Pengalihan tugas ini juga tidak sepenuhnya
melepaskan pengawasan Bank Indonesia terhadap industri perbankan di Indonesia. Koordinasi
antara OJK dan Bank Indonesia tetap dibangun guna menjamin tercapainya tujuan masing-
masing lembaga serta tercapainya stabilitas sistem keuangan.

Setelah dibentuknya OJK, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia menjadi
berkurang. Tugas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan menjadi tanggung jawab
OJK, sedangkan kebijakan moneter dan sistem pembayaran tetap dilaksanakan oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Fungsi pengawasan perbankan yang dialihkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan fokus Bank Indonesia dalam menjalankan
wewenangnya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran dengan menggunakan
instrumen-instrumen yang dimilikinya.
Otoritas Jasa Keuangan lahir sebagai amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia
yang berdasarkan atas prinsip-prinsip reformasi keuangan yaitu Independensi, terintegrasi,
serta menghindari benturan kepentingan. Pasal 1 ayat (1) UU OJK disebutkan bahwa Otoritas
Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK ini. OJK menjalankan
tugasnya memiliki kedudukan diluar pemerintah dan memiliki kewajiban untuk
menyampaikan laporan kepada DPR RI dan BPK RI. Kelembagaan OJK yang berada diluar
Pemerintah menunjukan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.

Tujuan OJK seperti tercantum di dalam UU OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; serta
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan. OJK, dalam mencapai tujuannya tersebut, melaksanakan fungsinya
dengan menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut
dilakukan di sektor perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang
meliputi perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya. Dalam bertugas dan melaksanakan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan
berlandaskan tata kelola dan asas, yang meliputi independensi, kepastian hukum, kepentingan
umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas.

Peralihan keseluruhan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan


Perbankan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan tercermin dalam Pasal 7
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bank Indonesia, dalam hal ini, masih
tetap memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi sektor perbankan, yaitu dalam
rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Bank
Indonesia menjalankan wewenangnya dalam kebijakan moneter dengan menetapkan jumlah
uang beredar atau tingkat suku bunga, dengan tujuan menjaga sasaran laju inflasi yang
ditetapkan oleh pemerintah menggunakan sejumlah instrumen, antara lain operasi pasar
terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain itu, BI juga berperan
dalam menciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses, dan perlindungan
konsumen.

Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal
minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar
negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan,
transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk
kategori systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan
kerahasiaan informasi.

Dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU OJK disebutkan bahwa BI dapat melakukan


pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan
penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan
oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan
oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya
semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah
sesuai dengan kewenangan BI sebagai bank sentral.

Dinamika perkembangan sektor keuangan menuntut OJK untuk melakukan


pengawasan secara terintegrasi dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan atas
lembaga jasa keuangan secara terintegrasi antar subsektor jasa keuangan. Pelaksanaan
pengawasan terintegrasi diharapkan dapat menurunkan potensi risiko sistemik kelompok jasa
keuangan, mengurangi potensi moral hazard, mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa
keuangan, serta mewujudkan stabilitas sistem keuangan.

Pasal 2 UU OJK menyebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk
hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- undang. Independensi OJK tercermin dari
kepemimpinan OJK, dimana secara perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa
jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang diatur dalam
Undangundang. Namun demikian, OJK harus memberikan laporan kepada DPR dan Presiden,
serta harus memperoleh persetujuan dari DPR terkait anggaran dalam melaksanakan
kegiatannya.
Undang-undang mengatur bahwa tidak ditutup kemungkinan adanya unsur-unsur
perwakilan Pemerintah / Bank Indonesia di OJK karena pada hakikatnya OJK memiliki relasi
dan keterkaitan kuat dengan otoritas lain terutama otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu,
dalam melaksanakan tugasnya OJK melakukan koordinasi dengan Pemerintah, Bank
Indonesia, maupun LPS. Protokol koordinasi ini diatur dalam bentuk Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Kementrian Keuangan, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS. Dalam kondisi stabilitas keuangan yang normal,
FKSSK wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan. Pertemuan
FKSSK paling sedikit dilakukan 1 kali dalam 3 bulan dan disusun rekomendasi kepada setiap
anggota untuk melakukan tindakan dan / atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara
stabilitas sistem keuangan. Selain itu dalam pertemuan juga dilakukan pertukaran informasi
antar lembaga.

Dalam kondisi stabilitas keuangan yang tidak normal, maka untuk pencegahan dan
penanganan krisis, Menteri keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan/atau
ketua Dewan Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi
krisis pada sistem keuangan dapat mengajukan ke FKSSK agar segera dilakukan rapat untuk
memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis tersebut. Dalam kondisi ini,
FKSSK melakukan penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang diperlukan bagi masingmasing
institusi sesuai kewenangan yang diberikan bagi masing- masing institusi tersebut.

Dalam konteks pengawasan FKSSK, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU OJK,


kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat
persetujuan DPR. Saat ini, dasar yang digunakan mengenai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan (FKSSK) adalah Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemenkeu, BI, OJK dan LPS
yang ditandatangani tanggal 1 Oktober 2012 untuk menjaga koordinasi antar lembaga dalam
mengantisipasi krisis.

Salah satu sektor jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh OJK adalah sektor
perbankan. Pengawasan perbankan terbagi menjadi dua, yaitu macro-prudential supervision
dan micro-prudential supervision. Kedua jenis pengawasan tersebut harus dijalankan secara
selaras agar sasarannya dapat tercapai dengan baik.

Melalui pengawasan macro-prudential, bank diharapkan dapat mengambil peran dalam


pencapaian sasaran ekonomi makro melalui instrumen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
meliputi kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, neraca
pembayaran yang mencapai kemantapan, lapangan pekerjaan yang semakin luas, kestabilan
sistem moneter, serta pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja. Sedangkan, pengawasan
micro-prudential, bank diharapkan dapat menjaga kinerja dan tingkat kesehatan secara
individual menurut ukuran dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang
pada akhirnya dapat menjaga sehatnya industri perbankan secara keseluruhan dan melindungi
kepentingan konsumen. Dengan diberlakukannya UU OJK, maka konteks macro-prudential
merupakan ranah Bank Indonesia, sedangkan konteks micro-prudential menjadi tugas dan
wewenang OJK. Dalam melaksanakan fungsinya, kedua lembaga ini bersifat independen,
namun koordinasi antar keduanya tetap dijalin karena pengawasan secara mikro ikut
mempengaruhi kinerja perekonomian secara makro, khususnya bank-bank besar yang memiliki
dampak sistemik terhadap perekonomian. OJK perlu melakukan pengawasan langsung
terhadap bank untuk memastikan adanya mitigasi risiko yang matang dilakukan oleh setiap
bank, khususnya bank yang memiliki dampak sistemik dan dengan demikian dapat mencegah
kegagalan bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sistem perekonomian.

Sebelum dibentuknya OJK, pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan tugas


dan tanggung jawab Bank Indonesia. Peran dan tugas dari Bank Indonesia menurut UU BI
yaitu mencakup tiga sub sistem: moneter, perbankan, dan pembayaran. Pelaksanaan dan
penentuan kebijakan pada ketiga sub-sistem tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan BI,
yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu stabilnya nilai rupiah terhadap barang dan jasa
serta terhadap mata uang negara lain, dan hal ini penting dalam mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan serta dalam mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat.

Setelah tugas pengawasan perbankan beralih dari BI kepada OJK, maka kewenangan
yang dimiliki oleh BI terhadap bank juga ikut beralih kepada OJK. Otoritas Jasa Keuangan
kemudian memiliki wewenang dalam pengaturan dan pengawasan bank dalam hal memberi
dan mencabut izin kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, menetapkan
peraturanperaturan, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank
dengan tujuan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia demi terciptanya sistem
perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara
kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang dengan wajar serta bermanfaat bagi
perekonomian nasional.

Kewenangan pengaturan dan pengawasan bank yang dimiliki oleh Otoritas Jasa
Keuangan, adalah Kewenangan memberikan izin (right to license); Kewenangan untuk
mengatur (right to regulate); Kewenangan untuk mengawasi (right to control); Kewenangan
untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction); serta Kewenangan untuk melakukan
penyidikan (right to investigate). Dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan, OJK
memiliki sejumlah kewajiban, terutama terkait pemberian informasi dan pelaporan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya yang diuraikan sebagai berikut:

1. OJK harus memberikan informasi yang lengkap dan terbaru keuangan kepada Bank
Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan tugas dan kebutuhan
masingmasing lembaga tersebut guna mendukung penyelenggaraan fungsi kedua
lembaga tersebut dengan baik.
2. Dalam melakukan analisis mengenai stabilitas keuangan, OJK wajib melakukan
pertukaran informasi dengan Bank Indonesia yang melaksanakan pengawasan
macroprudential;
3. Dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan tingkat kesehatan bank, OJK
harus selalu bekerjasama dengan BI;
4. OJK wajib melaporkan tingkat kesehatan dan efisiensi bank kepada Menteri Keuangan
dalam bentuk laporan berkala;
5. OJK menyusun mekanisme yang mengatur kerjasama antara OJK, BI, LPS, dan
Kementerian Keuangan sebagai bentuk pencegahan akan terjadinya gangguan pada
stabilitas perekonomian secara nasional yang diakibatkan oleh buruknya kinerja suatu
bank tertentu.

Adapun koordinasi antara OJK dengan BI telah diatur dalam Pasal 39 UU OJK, dimana
bentuk koordinasinya adalah dalam penentuan peraturan untuk pelaksanaan pengawasan atas
bank, yang meliputi:

1. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank (KPMM)


KPMM merupakan indikator pengukuran dalam pengawasan bank secara
individual atau masuk dalam bentuk micro-prudential, namun penyediaan modal
minimum ini juga terkait dengan pengaturan Basel Core Principles dan BI merupakan
salah satu anggota dari BIS (Bank for International Settlement), oleh sebab itu, OJK
tetap harus berkoordinasi dengan BI dalam penetapan KPMM.
2. Sistem Informasi Perbankan (SIP) yang Terpadu
SIP menyajikan berbagai informasi, baik yang bersifat makro dan individual
bank, maupun informasi lain terkait lingkungan bisnis bank, serta informasi dari media
massa, institusi pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya. SIP mengintegrasikan data
yang tersebar pada sistem yang berbeda-beda.
3. Kebijakan Penerimaan Dana dari Luar Negeri, Penerimaan Dana Valuta Asing, dan
Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Koordinasi antara OJK dan BI dilakukan penyusunan peraturan tentang
penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman
komersial luar negeri, serta membuat tata cara pelaksanaannya. Penerimaan dana ini
adalah pelengkap pembiayaan APBN dan pembangunan, selain sumber pembiayaan
dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri dan penerimaan pajak, serta
tabungan, baik tabungan masyarakat maupun sektor swasta.
4. Produk Perbankan, Transaksi Derivatif, Kegiatan Usaha Bank Lainnya
Pada umumnya, produk perbankan meliputi simpanan di bank, pemberian
kredit, pemberian jasa pembayaran dan peredaran uang, dan lain-lain. Sedangkan,
transaksi derivatif merupakan suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar,
komoditi, ekuiti, dan indeks. Kemudian, kegiatan usaha lainnya dari bank meliputi
usaha kartu kredit, kartu debit, dan internet banking. Dalam menentukan kebijakan
terkait dengan hal-hal ini, OJK perlu melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan
BI.
5. Penentuan Institusi Bank yang Masuk Kategori Systemically Important Bank
Systemically Important Bank adalah suatu bank yang ukuran aset, modal, dan
kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta
keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun
finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Kegagalan bank ini
dapat berdampak secara makro, maka diperlukan koordinasi BI dan OJK untuk
mengelompokkan bank mana yang masuk kategori ini dan bank yang memerlukan
perhatian lebih.
6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Data-data yang bersifat rahasia dan diatur dalam undang-undang terkait
kerahasiaannya tidak termasuk dalam data yang dapat disampaikan oleh OJK, kecuali
pengecualiannya diatur dalam undang-undang. Untuk itu, data-data di luar data yang
rahasia dapat disampaikan oleh OJK kepada BI dalam tujuan mencapai kestabilan
perekonomian.
Apabila dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya BI membutuhkan
informasi dan perlu melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, maka BI dapat
melakukan kegiatan pemeriksaan bank secara langsung terhadap bank tersebut dengan terlebih
dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK yang memuat tujuan, ruang
lingkup, jangka waktu, dan mekanisme pemeriksaan. Selain itu, dalam melaksanakan tugas
mengawasi sistem pembayaran, BI memerlukan informasi dari OJK terkait kondisi bank, maka
apabila terdapat indikasi kesulitan likuiditas suatu bank, kondisi kesehatan yang memburuk,
dan kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan memiliki potensi mengakibatkan krisis
yang membahayakan sistem keuangan, OJK wajib menginformasikan ke BI untuk selanjutnya
melakukan langkah-langkah penanganan. Langkah-langkah penanganan yang dimaksud adalah
penanganan yang dapat dilakukan oleh BI dalam menjalankan fungsinya sebagai lender of the
last resort dengan memberikan fasilitas pembiayaan jangka pendek dan pembiayaan darurat.

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia telah menandatangani Surat Keputusan
Bersama (SKB) yang menjadi landasan kerjasama dan koordinasi antara kedua lembaga
tersebut. Tujuan Surat Keputusan Bersama tersebut adalah untuk memperlancar dan
mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi antara OJK dan BI dalam rangka melaksanakan
fungsi, tugas, dan wewenang kedua lembaga tersebut. Bentuk kerjasama yang diatur dalam
Surat Keputusan Bersama tersebut mencakup 4 hal:

1. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas sesuai
kewenangan masing-masing;
2. OJK dan BI melakukan pertukaran informasi mengenai Lembaga Jasa Keuangan serta
melakukan pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan;
3. OJK dan BI menetapkan penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau
digunakan oleh kedua lembaga tersebut; dan
4. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam hal pengelolaan pejabat dan
pegawai Bank Indonesia yang dialihkan atau dipekerjakan pada Otoritas Jasa
Keuangan.

Dalam konteks pelaksanaan dan koordinasi pelaksanaan tugas sesuai kewenangan Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, kedua lembaga ini akan saling berkoordinasi dalam hal
Bank Indonesia akan menyusun peraturan pengawasan di bidang macroprudential maupun
Otoritas Jasa Keuangan yang akan menyusun peraturan pengawasan di bidang microprudential.
Disamping itu, koordinasi dan kerjasama dalam konteks pemeriksaan bank akan dilakukan,
khususnya terhadap bank-bank yang dikategorikan sebagai systemically important bank.
Kerjasama dalam bentuk pertukaran informasi hasil pengawasan dari masingmasing institusi,
penetapan stance dalam fora-fora internasional, maupun penelitian dan penyusunan kajian
bersama, akan dilakukan juga oleh BI dan OJK.

Selain SKB yang dijelaskan sebelumnya, mekanisme koordinasi juga terjadi dalam
bentuk komposisi keanggotaan Dewan Komisioner di OJK. Sebagaimana diketahui terapat 2
anggota Dewan Komisioner yang merupakan pejabat ex-officio dari Kementrian Keuangan
(Wakil Menteri Keuangan) dan Bank Indonesia (Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia).
Susunan komposisi ini diharapkan dapat memperlancar dan mempermulus koordinasi yang
dilakukan oleh BI dan OJK. Disamping itu, terdapat pula forum- forum koordinasi rutin di
high-level antar institusi-insitusi tersebut.

II. Koordinasi Kebijakan dengan Lembaga Pemerintah (Departemen)

Bank Indonesia sebagai sebuah bank sentral dari Bank Indonesia dengan pemerintah
adalah untuk sebagai sebuah pembantuk yang dimana kemudian akan menerbitkan dan juga
melakukan sebuah penempatan terhadap berbagai macam surat hutang dari negar ayang dimana
kemudian akan berguna utnuk melakukan pembiayaan terhadap anggaran pendapatan dan juga
belanja dari sebuah negara ( kemudian disebut dengan APBN ) yang dimana kemudian tanpa
sebuah izin untuk melakukan pembelian sendiri dari sebuah surat hutang negara tersebut.

Dilihat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai lembaga


negara yang independen tidak sejajar dengan lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan
Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan BI juga tidak sama
dengan Departemen karena kedudukan BI berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan
yang khusus tersebut diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai
otoritas moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, dan pengelolaan uang Rupiah secara
lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai lembaga negara independen,
dalam melaksanakan tugasnya, BI mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik
dengan DPR, BPK, Pemerintah dan pihak lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden dan
DPR, BI setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi
pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus
kepada DPR, pelaksanaan tugas dan wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta
oleh DPR. Selain itu, BI menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada
Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, BI wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan kepada BPK. Informasi lebih lanjut dapat mengunjungi informasi
Pengawasan terhadap Bank Indonesia.

a) Hubungan BI dengan Pemerintah : Hubungan Keuangan


Dalam hal hubungan keuangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia membantu
menerbitkan dan menempatkan suratsurat hutang negara guna membiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa diperbolehkan membeli sendiri surat-
surat hutang negara tersebut. Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir Pemerintah
yang menatausahakan rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan atas permintaan
Pemerintah, dapat menerima pinjaman luar negeri untuk dan atas nama Pemerintah
Indonesia. Namun demikian, agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia benar-benar
terfokus serta agar efektivitas pengendalian moneter tidak terganggu, pemberian kredit
kepada Pemerintah guna mengatasi deficit spending - yang selama ini dilakukan oleh
Bank Indonesia berdasarkan undang-undang yang lama - kini tidak dapat lagi dilakukan
oleh Bank Indonesia.

b) Hubungan BI dengan Pemerintah : Independensi dalam Interdependensi


Meskipun Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen, tetap
diperlukan koordinasi yang bersifat konsultatif dengan Pemerintah, sebab tugas-tugas
Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan
ekonomi nasional secara keseluruhan. Koordinasi di antara Bank Indonesia dan
Pemerintah diperlukan pada sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi,
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas-tugas Bank Indonesia. Dalam
sidang kabinet tersebut Pemerintah dapat meminta pendapat Bank Indonesia. Selain itu,
Bank Indonesia juga dapat memberikan masukan, pendapat serta pertimbangan kepada
Pemerintah mengenai Rancangan APBN serta kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan
dengan tugas dan wewenangnya. Di lain pihak, Pemerintah juga dapat menghadiri
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan hak bicara tetapi tanpa hak suara. Oleh
sebab itu, implementasi independensi justru sangat dipengaruhi oleh kemantapan
hubungan kerja yang proporsional di antara Bank Indonesia di satu pihak dan
Pemerintah serta lembaga-lembaga terkait lainnya di lain pihak, dengan tetap
berlandaskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing.
c) Kerjasama BI dengan Lembaga Lain

Menyadari pentingnya dukungan dari berbagai pihak bagi keberhasilan


tugasnya, BI senantiasa bekerja sama dan berkoordinasi dengan berbagai lembaga
negara dan unsur masyarakat lainnya. Beberapa kerjasama ini dituangkan dalam nota
kesepahaman (MoU), keputusan bersama (SKB), serta perjanjian-perjanjian, yang
ditujukan untuk menciptakan sinergi dan kejelasan pembagian tugas antar lembaga
serta mendorong penegakan hukum yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Website Bank Indonesia. https://www.bi.go.id

Yudisaputra Betaubun, Yunus Husein, dan Aad Rusyad Nurdin. 2014. Koordinasi antara
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Dalam Pengaturan dan Pengawasan
Perbankan Di Indonesia. http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-05/S56082-
Yudisaputra%20Betaubun diakses pada 20 November 2018.

Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan ; Kebijakan Moneter dan Perbankan.
Edisi Kelima. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

M. Natsir. 2014. Ekonomi Moneter & Kebanksentralan. Jakarta : Penerbit Mitra Wacana
Media.

Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada.

Simorangkir, Iskandar. 2014. Pengantar Kebanksentralan : Teori dan Praktik di Indonesia.


Edisi 1. Jakarta : Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai