Anda di halaman 1dari 6

Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

1st International Conference on Geografi dan Pendidikan (ICGE 2016)

Manajemen Bencana Praktek Menuju Beragam


Kelompok Rentan di Yogyakarta
Dyah Rahmawati Hizbaron
Enviromental Geografi Jurusan, Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Indonesia Sesuai email:
dyah.hizbaron@ugm.ac.id

Maulida Iffani
Enviromental Geografi Jurusan, Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Indonesia

Helvetia Wijayanti
Enviromental Geografi Jurusan, Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Indonesia

Ghalih Nur W.
Lingkungan Geografi Jurusan, Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Indonesia

Abstrak pergeseran paradigma -A dalam praktek manajemen bencana Kata kunci - Kerentanan, mitigasi bencana, DI Yogyakarta, Indonesia
telah digariskan dalam Kerangka Aksi Hyogo dan Sendai Kerangka Aksi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi kemungkinan hubungan antara bencana program manajemen bagi kelompok
rentan di Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi. daerah penelitian ini dipilih secara acak beberapa SAYA. saya P ENDAHULUAN
dusun, yaitu Kepuharjo dan Umbulharjo Desa, sebagai daerah rawan bahaya letusan Gunung
Penelitian ini diamati pada berbagai jenis praktek manajemen bencana
Merapi; Kricak Kidul dan Pingit Desa, sebagai daerah rawan bahaya banjir; dan Parangtritis Desa
sebagai daerah hazardprone tsunami. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pendekatan
yang berusaha untuk meringankan masalah kelompok-kelompok rentan di
kualitatif untuk menggambarkan hubungan antara dua variabel utama, seperti program manajemen
Provinsi Yogyakarta (DIY). Karakteristik kelompok rentan di DIY dapat
bencana (pra, per dan pasca bencana) baik di daerah perkotaan dan pedesaan terutama bagi dilihat dari beberapa faktor penyebab. Pertama, kondisi fisik wilayah serta
kelompok rentan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) ada sistem organisasi yang berbeda kombinasi dari perencanaan pembangunan,
dalam praksis manajemen bencana; 2) pemangku kepentingan utama dalam praksis manajemen menunjukkan peningkatan
bencana sangat besar, namun BPBD dan Dinas Sosial memegang peran penting; 3) ide utama dari potensi risiko di DIY. DIY adalah salah satu daerah yang rawan bencana, dengan
program biasanya fokus dalam situasi darurat, namun merenungkan logika ke bisnis sehari-hari; 3) skor 165 (kategori tinggi) di peringkat 14 th skor tertinggi di seluruh Indonesia, menurut
distribusi dan intensitas bencana manajemen praksis belum spasial yang sama; 4) output dari penelitian dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (BNPB, 2014).
program ini umumnya diakui untuk memperkuat ketahanan, namun tidak menjamin keberlanjutan
belum. Secara umum, dua lembaga ini memiliki tujuan yang sama untuk membangun sebuah
komunitas tangguh bencana. BPBD telah mendirikan Desa Tangguh Bencana ( 3) distribusi dan
intensitas bencana manajemen praksis belum spasial yang sama; 4) output dari program ini
umumnya diakui untuk memperkuat ketahanan, namun tidak menjamin keberlanjutan belum. Secara
umum, dua lembaga ini memiliki tujuan yang sama untuk membangun sebuah komunitas tangguh
bencana. BPBD telah mendirikan Desa Tangguh Bencana ( 3) distribusi dan intensitas bencana
manajemen praksis belum spasial yang sama; 4) output dari program ini umumnya diakui untuk
memperkuat ketahanan, namun tidak menjamin keberlanjutan belum. Secara umum, dua lembaga
ini memiliki tujuan yang sama untuk membangun sebuah komunitas tangguh bencana. BPBD telah
mendirikan Desa Tangguh Bencana ( Destana) dengan indikator kemandirian desa dalam melakukan
kegiatan mitigasi bencana. Badan sosial membentuk Kampung Siaga Bencana (KSB) berkaitan
dengan keberlanjutan kegiatan mitigasi bencana melalui pemantauan. Sementara itu, faktor utama
yang berkontribusi terhadap kerentanan adalah 1) kurangnya kesiapan; 2) dukungan infrastruktur
minimum; 3) sistem manajemen bencana yang belum diimplementasikan di daerah penelitian.

Copyright © 2017, Penulis. Diterbitkan oleh Atlantis Press.


Ini adalah sebuah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC (http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/). 7
Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

Gambar. 1. Peta DIY Tata Ruang 2012-2017 (gambar tidak skala)

Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (BNPB, 2014)

Selanjutnya, Yogyakarta telah direkam dari tahun 2012-2015 setidaknya 656 Ketiga, kelompok rentan yang terkait dengan pelaksanaan praktik
kejadian angin kencang, 382 insiden tanah longsor, 85 banjir, 27 gempa bumi dan manajemen bencana. Postearthquake bencana 2006, Yogyakarta memiliki
3 insiden kekeringan. Kondisi akan menghasilkan kelompok rentan yang berada modal sosial yang cukup baik untuk mengakomodasi potensi bencana, yaitu
di lokasi rawan bahaya. Mereka akan mendapatkan potensi risiko yang lebih satu dengan praktek manajemen bencana banyak. Letusan pasca-gunung
tinggi dibandingkan dengan kelompok rentan yang berada di lokasi yang kurang berapi
berbahaya. 2010, Yogyakarta memiliki respon yang sangat cepat karena banyak keterlibatan
pemangku kepentingan. Dengan demikian, modal sosial tidak hanya berakar dari
masyarakat intern, namun juga merangkul stakeholder eksternal ke dalam
Karakteristik kedua, sosial dan ekonomi kelompok rentan kewilayahan yang
masyarakat yang beresiko. praktek manajemen bencana beragam contoh pada
ditandai dengan tingkat kemiskinan dan didistribusikan kesenjangan kedalaman
proses yang berkesinambungan di tingkat masyarakat. Oleh karena itu
kemiskinan. Data BPS (2015) pada pertumbuhan penduduk di DIY telah mencatat
praktek-praktek tersebut segera mempengaruhi kerentanan mereka. praktek
peningkatan penduduk dari
manajemen bencana sering didefinisikan sebagai segala upaya bantuan bencana,
3.393.003 pada tahun 2008 untuk 3.594.854 orang pada tahun 2013. Pertumbuhan penduduk
terutama pada fase tanggap darurat dan termasuk tahapan prabencana
merupakan salah satu indikasi potensi peningkatan
(kesiapsiagaan dan mitigasi) serta fase pasca bencana (rehabilitasi dan
kerentanan masyarakat terhadap bencana alam. pengamatan lebih lanjut menunjukkan
rekonstruksi) (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 / 2007). Argumen ini
bahwa garis kemiskinan di DIY meningkat karena inflasi dalam perekonomian,
menggarisbawahi gagasan bahwa setiap fase akan berkontribusi pada kerentanan
bahwa adalah Rp 220.830 per
masyarakat.
kapita / bulan Maret 2009, menjadi Rp 321.056 per kapita / bulan pada bulan September
2014. urbanisasi yang tinggi tampaknya menjadi salah satu kendala dalam mengendalikan
jumlah orang miskin di daerah perkotaan mengingat kurangnya penurunan jumlah penduduk
miskin di daerah perkotaan sejak tahun 2009 adalah 14,25%. Singkatnya, kelompok rentan Berdasarkan tiga kategori utama kelompok rentan di Yogyakarta,
tinggal di wilayah perkotaan, memberikan karakteristik tertentu untuk mereka tinggal di maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik
daerah pinggiran kota maupun di daerah pedesaan. kelompok rentan terkait untuk itu
pelaksanaan praktek manajemen bencana. Penelitian ini dibagi menjadi tiga
tujuan utama, sebagai berikut:

8
Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

• Untuk mengidentifikasi manajemen bencana praktek et al., (2011) telah melakukan analisis kerentanan menggunakan pendekatan
dilaksanakan di Yogyakarta spasial dan temporal di daerah rawan bencana gempa bumi sebagai salah satu
masukan penting dalam penyusunan rencana tata ruang. penelitian terkait yang
• Untuk mengidentifikasi penyebab kerentanan akibat bencana alam di
dilakukan kerentanan di wilayah rawan kekeringan, Gunung Kidul yang melibatkan
Yogyakarta
pendekatan partisipatif

• Untuk menilai hubungan atau hubungan antara pelaksanaan (Khasanah, Hanum, & Hizbaron, 2014).
praktek manajemen bencana dengan jenis kerentanan. Selanjutnya, Hizbaron et al., (2015) menyoroti analisis kerentanan
menggunakan pendekatan multi-kriteria karena banjir lahar di sepanjang
lereng Gunung Merapi. Definisi kerentanan dalam penelitian ini ditekankan
• Konsep manajemen bencana di dunia telah mengalami sebagai terukurnya potensi kerugian, kerusakan dan kehilangan potensi
pergeseran paradigma yang sangat dinamis. Beberapa bahaya alam (Cutter, 1996; Cardona, 2003; UNISDR, 2004; Moser, 2010;.
pergeseran paradigma diuraikan dalam Kerangka Aksi Hyogo Hizbaron et al, 2012; Hizbaron et al 2015). Secara umum, kerentanan
(UNISDR, 2005) dan Sendai Kerangka Aksi (United Nations,
dieksploitasi dalam penelitian ini tidak hanya terbatas pada kondisi
2015), yaitu:
terpengaruh, tetapi lebih dipahami sebagai proses yang menghasilkan orang
yang tidak mampu menahan gangguan bencana alam tertentu karena modal
1) Reaktif untuk Pengurangan Risiko Bencana Responsif sosial terbatas, fisik modal, modal lingkungan, modal ekonomi dan modal
politik sebagaimana tercantum dalam teori mata pencaharian (Ma'arif &
2) Darurat untuk Pengurangan Risiko Bencana
Hizbaron 2015; Birkmann & Teichman, 2010; Rijanta, Hizbaron, & Baiquni,
3) Pemerintah Masyarakat (pemerintah Berdasarkan ke 2014). Ara berikut. 3 menggambarkan pemikiran penelitian.
Berbasis Komunitas Pengurangan Risiko Bencana)

4) Teknik teknis untuk Rekayasa Sosial


(Teknik berbasis Orang-berpusat Pengurangan Risiko
Bencana)

Gambar berikut menggambarkan rekap sejarah kebijakan manajemen bencana


di Indonesia (Gambar. 2).

Gambar. 2. Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Indonesia

Sumber: Hasil 2016 Analisa

Gambar. 3. Penelitian Dasar Pemikiran


Pergeseran titik balik itu terjadi pada 2007 sedangkan hukum Indonesia
mengenai manajemen bencana pertama kali diumumkan. Praksis manajemen Penelitian tersebut maka berpendapat, bahwa jenis kerentanan muncul di DIY
bencana di Indonesia tidak lagi menaruh perhatian ke satu orientasi fase, dipengaruhi oleh ketidakhadiran dari salah satu faktor atau lebih, terutama faktor-faktor lain

yang tahap darurat. Hal ini telah bergeser menjadi orientasi tiga fase, seperti dalam pendekatan penghidupan.

pra-bencana, per bencana atau darurat dan pascabencana. Seluruh siklus


II. METODE
manajemen bencana adalah jauh salah satu paket dari praksis bantuan
bencana. Analisis risiko sering diklaim dalam tahap pra-bencana, Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menerapkan pendekatan
bersama-sama dengan analisis bahaya dan analisis kerentanan. Pentingnya pragmatis untuk praktek bantuan bencana Ulasan pengaruh dan berdampak pada
melakukan analisis tersebut terutama untuk memprediksi skenario akurat dari pembentukan kelompok rentan. Unit Penelitian adalah kabupaten / kota, di mana

potensi terjadinya berdasarkan tren sebelumnya dan likelihood. masing-masing kabupaten / kota diharapkan proses catatan yang menunjukkan
pelaksanaan praktek bantuan bencana. Pengumpulan data dilakukan melalui
mekanisme wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh kunci di setiap daerah
rawan bahaya di DIY.
Penelitian dengan tema kerentanan di daerah rawan bencana di
provinsi itu telah dilakukan secara intensif. Hizbaron

9
Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

TABEL 1. PENELITIAN KERANGKA kegiatan, dan kulit kering yang sangat cepat, beberapa indikasi mereka harus

kesiapan Respon darurat Rehab-recons menggambarkan potensi peningkatan risiko letusan gunung berapi. Dengan ini
• Persiapan dan • penilaian cepat dan akurat • rehabilitasi modal manusia mereka lebih dari cukup untuk meminimalkan kerentanan mereka.
pengujian dari situs, kerusakan, • rekonstruksi Selain itu, masyarakat lokal-di-risiko memberikan kekerabatan yang kuat dengan
rencana manajemen kehilangan, dan sumber • Membangun kembali keluarga mereka, yang tentu saja sangat penting untuk mengembangkan
bencana darurat daya prasarana dan sarana mekanisme informasi timbal balik mereka. Masyarakat lokal mampu beredar
• pengorganisasian, • Penentuan status
informasi melalui "gethok tular" yang terutama berfokus untuk mendistribusikan
instalasi dan uji sistem darurat bencana • rekonstruksi
peringatan dini
informasi langsung. Gambar 8 menggambarkan jenis kerentanan yang terbentuk di
sosial
• Penyelamatan dan • Kebangkitan kehidupan
atas panggung sebelum, selama dan setelah bencana.
• Penyediaan dan persiapan evakuasi masyarakat sosial budaya masyarakat
pasokan untuk memenuhi yang terkena dampak
kebutuhan dasar • Pemenuhan kebutuhan • Penerapan desain bangunan
dasar yang tepat dan penggunaan
• pengorganisasian, • Perlindungan terhadap peralatan yang lebih baik dan
konseling, pelatihan, kelompok rentan, dan tahan terhadap bencana
dan mekanisme tanggap
darurat simulasi • Pemulihan infrastruktur
dan fasilitas vital • Partisipasi dan keterlibatan
• Evakuasi persiapan segera lembaga-lembaga
situs masyarakat sipil dan Gambar. 4. Kerentanan Tipe 1 dari Desa Kepuharjo dan Umbulharjo Village
• Persiapan data yang organisasi
akurat, informasi, dan Ara. 4. menunjukkan jenis kerentanan menurut bencana manajemen praksis
• Perbaikan kondisi
prosedur memperbarui sosial ekonomi dan untuk daerah. masyarakat lokal di Desa Kepuharjo dipandu oleh BPBD untuk
operasi tanggap darurat budaya membentuk Forum Equity Risiko Bencana ( FPRB) atau Forum Pengurangan
• Peningkatan Risiko Bencana di 2014. FPRB diketuai oleh kepala administrasi lokal, dan
pelayanan publik memiliki sekitar 40 anggota terdiri dari tokoh masyarakat, pemuda, dan LPMD.
• Pasokan dan • Peningkatan utama
Forum ini menjadi dasar yang paling penting untuk membentuk Desa Tanggap
persiapan bahan, layanan di masyarakat
barang, dan alat Bencana (Destana) atau Desa Tangguh. Tugas pertama dari FPRB adalah
untuk pemenuhan untuk membuat peta kerentanan ditampilkan di daerah, dengan bantuan
pemulihan prasarana masyarakat setempat. Data yang dikumpulkan kemudian dibuat sebagai data
dan sarana spasial oleh BPBD dan memberikan peta kerentanan untuk wilayah. Desa ini
juga berfungsi sebagai salah satu pilot project dari Dinas Sosial untuk
membentuk sebagai Kesiapsiagaan Hamlet atau Kampung Siaga Bencana
yang telah dinyatakan sejak tahun 2006.
AKU AKU AKU. MENEMUKAN DAN DISKUSI

A. Studi Kerentanan dan Bantuan Bencana di Kepuharjo dan Umbulharjo

Desa Kepuharjo dan Desa Umbulharjo berada dalam radius 10


kilometer dari puncak Gunung Merapi. Wilayah dalam radius ini memiliki
potensi bahaya ledakan lava (pijar)> 2 milimeter. Desa Kepuharjo dan
Desa Umbulharjo termasuk dalam daerah disasterprone III. Kondisi fisik
dari Kepuharjo dan Umbulharjo wilayah desa Desa yang dilalui oleh
sungai yang berbatasan dengan bagian timur dari desa Gendol
Glagaharjo. Kali Gendol langsung dipengaruhi oleh jalur erupsi Gunung
Merapi pada 2010 lalu. Kerentanan dalam Kepuharjo dan Umbulharjo Gambar. 5. Kerentanan Tipe 1 dari Pakem Kecamatan
desa sangat dipengaruhi oleh lokasi desa dekat sumber bahaya. Kondisi
Penelitian ini mencoba untuk mengamati kerangka yang lebih besar melalui
yang cukup masyarakat dapat dilihat dari dasar kepemilikan aset, seperti
pengamatan kecamatan. Sebagai jenis kerentanan 1 menyoroti bahwa adanya
perumahan, kendaraan dan bahkan lahan produktif.
program yang disebut” Destana” belum tentu menurunkan tingkat kerentanan
masyarakat. Pada setiap tahap, jenis kerentanan mungkin ada bersamaan. Sejajar
dengan itu, keberadaan “ Destana ”Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk
menghadapi kejadian bencana, oleh karena itu tingkat kerentanan belum
Berusaha dengan aset fisik seperti, akibatnya menempatkan ditentukan oleh keberadaan program.
Pemerintah Desa Kepuharjo untuk bekerja dengan beberapa lembaga dan
relawan, seperti SKSB, Palem, Dewan Chakra, dan Balerante Komunitas.
Untuk menambahkan, Destana dari Kepuharjo telah membuat rencana
Pemerintah daerah perlu memastikan upaya optimal untuk mengurangi
darurat untuk bencana letusan gunung berapi. Rencana kontingensi digunakan
potensi risiko. Hubungan antara dua desa menunjukkan rasa yang sangat
sebagai panduan untuk menerapkan praktik tanggap darurat. Pedoman ini berlaku
kuat dari modal sosial. Dengan ini, masyarakat berisiko lokal, sensitif
hanya untuk menangani letusan gunung berapi. Panduan rencana kontinjensi
mengakui gejala letusan. sensitivitas mereka untuk bau belerang terus
dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jenis tis bahaya, seperti letusan efusif dan
meningkat, peningkatan panas yang sangat cepat, terus menerus
eksplosif. Operasi evakuasi diatur dalam rencana kontingensi.
ledakan-suara seperti selama sehari

10
Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

Evakuasi dilakukan untuk kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, penyandang Letusan itu sendiri. Oleh karena itu, pentingnya kawasan sepanjang saluran
cacat, dan lanjut usia), warga biasa, dan ternak. Sapi menjadi salah satu prioritas atau sungai dalam Kota Yogyakarta tidak sepenuhnya dipertimbangkan untuk
evakuasi karena kebanyakan orang tidak ingin dievakuasi jika ternak mereka tidak Manajemen Praxis Bencana. Menurut pengamatan, ada Program Bencana
diselamatkan. masyarakat memiliki kendaraan pribadi mereka seperti mobil untuk Tanggap Kampung (Katana) di Kotabaru yang dilakukan oleh pemerintah dalam
mengevakuasi diri mereka sendiri, tetapi salah satu kendala yang mungkin terjadi membentuk ketahanan pada tahun 2014. Pada tahap awal, tim membentuk
adalah kemacetan lalu lintas karena jumlah besar mobil digunakan untuk melarikan manajemen yang terstruktur untuk menjalankan program disertai dengan
diri. Sebelum bencana, kepala desa melaksanakan tanggung jawab utama dari BPBD Yogyakarta. Kemudian mereka terpilih sebagai ketua, koordinator
kegiatan evakuasi. Baru-baru ini, hampir semua masyarakat berisiko di daerah evakuasi lapangan, koordinator logistik, koordinator penampungan, dan
penelitian, menerima tanggung jawab yang sama, memiliki peran yang sama dalam koordinator penyembuhan trauma. Dewan Katana harus melaporkan ke SAR
skenario evakuasi dan menyadari ke mana harus pergi, karena adanya rencana (Search and Rescue) Yogyakarta dan BPBD Yogyakarta saat bencana terjadi.
kontingensi. SAR Yogyakarta secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan untuk membantu
mengevakuasi para korban. Seperti pada saat banjir, pada bulan Maret 2016,
tim SAR melakukan evakuasi dua orang dari banjir dengan aman.

Seperti disebutkan sebelumnya, di daerah penelitian ini juga menerima


program lain berhak sebagai Kampung Siaga Bencana atau Kesiapsiagaan
Hamlet dari Dinas Sosial. Selain program ini, Kepuharjo dan Umbulharjo desa
bersama-sama menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dengan Pelaksanaan praktik manajemen bencana dengan Katana memiliki
desa Wukirsari untuk membentuk Suster Village. Suster Village adalah sistem kemajuan yang baik dalam hal kesiapan masyarakat saat banjir terjadi. Pada
kerjasama untuk melakukan respon darurat untuk letusan gunung berapi. Desa dasarnya, perubahan ini terjadi karena kesadaran yang muncul dari lokasi
Wukirsari bertindak sebagai desa penyangga dan kamp-kamp pengungsi untuk perumahan swasta dan aktivitas masyarakat dalam kontak langsung dengan
Kepuharjo dan Umbulharjo desa. praksis manajemen bencana seperti sungai Winongo. Munculnya kesadaran ini didukung oleh pembentukan Katana,
berkontribusi kegiatan manajemen bencana yang sangat cepat terutama dalam yang memainkan peran penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
situasi darurat, belum menyoroti pra dan per kegiatan bencana. terhadap bencana, terutama banjir, namun ditambah dengan pengetahuan
tentang kesiapan terhadap bencana alam seperti tanah longsor, dan bencana
sosial seperti kejahatan pada umumnya .

B. Penilaian Kerentanan dan Mitigasi Bencana di Yogyakarta

BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah / Badan Penanggulangan Berbeda dengan pengalaman Katana, proses Kampung Siaga
Bencana Daerah) Yogyakarta telah diucapkan yang Winongo Sungai memiliki Bencana (KSB) atau Kesiapan Hamlets memberikan nuansa yang
risiko tinggi banjir untuk orang, menurut informasi dari Koordinator Evakuasi di berbeda. Proses ini terkait erat dengan mekanisme partisipatif. Meskipun
Desa Tanggap Bencana (Destana). Pernyataan tersebut dikeluarkan sejak kricak sudah berlangsung selama dua tahun, program KSB Pengok terus
Village terletak tepat di persimpangan antara dua sungai, yang disebut melakukan perbaikan dan evaluasi. Salah satunya adalah dalam hal
Tempuran. Di tengah modal fisik seperti miskin, daerah juga menderita dari kegiatan rutin masyarakat, seperti simulasi dan sosialisasi kegiatan.
tingkat kerentanan yang tinggi, karena latar belakang sosial ekonomi tidak aman. Namun,
Seperti yang terlihat pada gambar. 6, daerah ini menerima program minimal secara umum, masyarakat desa Pengok
pengurangan risiko bencana. Tidak seperti di daerah Gunung Merapi, ini mengalami perubahan sikap dalam menghadapi bencana. Sebuah perbedaan
citycentred-rawan bahaya daerah menganggap memadai dalam memberikan besar dalam sikap masyarakat terlihat ketika menghadapi bencana banjir pada
selfassistance selama situasi darurat. tahun 2010 dan 2016. Dewan KSB bertanggung jawab untuk kegiatan yang
mendukung pengetahuan masyarakat yang terletak di daerah rawan peringatan
bencana untuk fenomena tersebut, seperti pemantauan kadar air, yang
membantu orang dalam bahaya banjir mendeteksi kode sungai. Selain itu,
kelompok pendapatan rendah umumnya mempromosikan kualitas rendah Tagana (Taruna Siaga Bencana) Yogyakarta memiliki program untuk
perumahan, dengan lingkungan dan kesehatan minimum layanan padat penduduk melampirkan poster untuk mengajar masyarakat tentang tindakan awal ketika
seperti sanitasi yang buruk. Ditandai dengan kualitas rendah dari pemukiman, atau bencana terjadi. Poster ini akan dipasang di aula RT / RW (lingkungan / dusun)
bahkan kita menyebutnya sebagai kumuh, komunitas ini berisiko tidak hanya rentan dari kota Yogyakarta. Sedangkan untuk bantuan peralatan medis dan
dari aspek sosial, mereka juga mengalami ketidakmampuan untuk menyimpan milik obat-obatan akan dibantu oleh Dinas Kesehatan (Dinkes Umum) Yogyakarta.
pribadi seperti rumah-rumah, aset berharga seperti peralatan rumah tangga,
kendaraan, dan sebagainya (Gambar. 6.).

C. Praktik Manajemen Bencana dan Kelompok Rentan di Daerah Tsunami


rawan
Kabupaten Bantul berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan
memiliki garis pantai yang panjang hingga 17 kilometer (Pemerintah Kabupaten
Bantul, 2012). Setidaknya ada tiga kabupaten dengan 11 desa pesisir yang
berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. kabupaten ini District Kretek,
Sanden dan Srandakan. Penentuan kelompok rentan oleh FPRB di Desa
Gambar. 6. Kerentanan Ketik Kotabaru
Parangtritis dilakukan oleh kondisi fisik seseorang dalam merespon
Pertimbangkan banjir lahar sebagai bahaya jaminan dari letusan gunung
berapi, potensi risiko dianalisis secara berbeda dari

11
Kemajuan dalam Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora Research, Volume 79

keadaan darurat. Karena modal fisik, area tersebut kemungkinan memperburuk oleh diidentifikasi adalah: 1) kurangnya kesiapan masyarakat yang tinggal di daerah rawan
Tsunami. bahaya; 2) kurangnya infrastruktur dalam manajemen pengurangan risiko bencana
yang mendukung; 3) manajemen bencana yang sistematis di daerah penelitian belum
Modal sosial di daerah ini menanggapi agak berbeda daripada di Sleman dan
dilaksanakan.
Yogyakarta. kelompok rentan dalam hal ini adalah mereka yang kurang atau bahkan tidak
dapat menyelamatkan diri atau melakukan respon darurat saat terjadi bencana. Mereka
R EFERENCES
adalah orang tua, anak-anak di bawah lima tahun-tua, wanita hamil, dan orang-orang
[1] Birkmann, J., & Teichman, K. v, (2010), “Mengintegrasikan risiko bencana
yang memiliki cacat atau dinonaktifkan. Sayangnya, akses yang paling penting untuk
pengurangan dan adaptasi perubahan iklim: tantangan Key - sisik, pengetahuan dan
evakuasi umumnya belum siap untuk melakukan evakuasi. faktor sosial dan ekonomi
norma-norma,”Sutain Sci, 5, 171-184, Nomor catatan kaki secara terpisah di superskrip, Tempatkan
yang sebelumnya, karena kebanyakan dari mereka sangat terlibat untuk modal fisik catatan kaki yang sebenarnya di bagian bawah kolom di mana ia dikutip, Jangan menempatkan
sebagai sumber utama hidup mereka. Tidak begitu banyak alternatif, yang bisa mereka catatan kaki dalam daftar referensi, Gunakan huruf untuk catatan kaki meja. [2] Badan Nasional
lakukan untuk mendapatkan penghasilan bulanan, oleh karena kerentanan mereka Penanggulangan Bencana, (2014), “Indeks Risiko

membandingkan cukup spesifik untuk studi kasus lainnya.


Bencana Indonesia Tahun 2013,”Jakarta: BNPB. [3] Badan Pusat Statistik, (2016),

“Jumlah Penduduk * Menurut Kabupaten /


Kota di DI,”Yogyakarta, Acsessed di yogyakarta.bps.go.id/link/TableStatis/view/id/70,
Desa Parangtritis memiliki praktek manajemen bencana yang diprakarsai 4 Juli 2016. [4] Cutter, Susan L, (1996), “Kerentanan terhadap Lingkungan Hazard,”
oleh BPBD Yogyakarta melalui BPBD Bantul. Destana (Desa Tangguh
Kemajuan dalam Geografi Manusia, Vol. 20, pp 529-539, Desember 1996. [5] Hizbaron, D.,
Bencana / Disaster Tangguh Village) Parangtritis diprakarsai oleh BPBD
sebagai upaya pengurangan risiko bencana. BPBD melihat tsunami sebagai Baiquni, M., Sartohadi, J., & Rijanta, R, (2012), “Perkotaan
Kerentanan di Kabupaten Bantul, Indonesia - Menuju Aman dan Pembangunan
bencana yang harus dipecahkan dan memiliki risiko tinggi, sehingga mereka
Berkelanjutan,”Keberlangsungan vol 4 DOI: 10,3390 / su4092022
mengusulkan pembentukan (Pengurangan Risiko Forum / Bencana Forum , 2022-2037. [6] Hizbaron, DR, Rahmat, PN, Setyaningrum, A., & Malawani, M. N,
Equity Risiko Bencana) FPRB di daerah. Destana dari Parangtritis dibentuk
pada tahun 2011 yang telah diratifikasi oleh kepala Parangtritis, masyarakat, (2015), “Kajian Pola Spasial Kerentanan Sosial, Ekonomi dan Fisik di Wilayah
dan BPBD Bantul. Bahaya prihatin dengan Destana dari Parangtritis adalah Rawan Bencana Erupsi gunungapi Merapi, Yogyakarta,” Jurnal Riset Kebencanaan
tsunami, banjir, dan tanah longsor. Partisipasi masyarakat dalam membuat Indonesia, 1 (1), 16-24. [7] Khasanah, A., Hanum, N., & Hizbaron, D, (2014),
skenario tanggap darurat cukup baik, karena masyarakat berpartisipasi dalam “Kapasitas
Peningkatan Menuju Pengelolaan Air Partisipatif di Peri-Urban Giripurwo,
menentukan evakuasi sementara, evakuasi akhir, rute evakuasi dan skenario
Gunungkidul Yogyakarta. Dalam Hartono, S. Purwono, S. Maarif, D. Sofjan, &
lainnya.
Suhadi (Ed.), Prosiding The 6th International Graduate Students dan Konferensi
Cendekiawan di Indonesia Tema: Ilmu, Spiritualitas dan lokal Wiscom: Pendekatan
bencana Interdisipliner ke Isu global sekarang ( pp 321-331),”Yogyakarta:. Sekolah
Fenomena telah terbukti di masyarakat. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. [8] Ma'arif, S., & Hizbaron, D, (2015),
“Strategi Menuju Masyarakat
IV. C ONCLUSION DAN S UGGESTIONS
Tangguh Bencana dalam Perspektif Sosial,”Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University
Paradigma praktik manajemen bencana yang dilakukan di Press. [9] Moser, S, (2010), “Sekarang, lebih dari sebelumnya: Kebutuhan lebih societally
Yogyakarta telah responsif, meskipun tidak sepenuhnya. Masih banyak
hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. penelitian yang relevan tentang adaptasi vulnerabilityand perubahan iklim,”Terapan
Geografi, 30 ( 4), 464-474.
Tahap Pengurangan Risiko Bencana telah diterapkan meskipun fokus
[10] O, D, Cardona, (2003), “The Need for Memikirkan kembali Konsep Kerentanan dan Risiko
utama masih berpusat pada Tanggap Darurat. modifikasi teknis dan
dari Perspektif Holistik: Sebuah Tinjauan Diperlukan dan kritik untuk Manajemen Risiko
sosial telah diterapkan di ketiga wilayah studi. Modifikasi sosial berusaha Efektif,” Dalam G. Bankoff, G. Frerks, dan D. Hilhorst , editor, Pemetaan Kerentanan:
dalam berbagai bentuk kegiatan seperti Destana / KSB dan Katana. Bencana, Pembangunan dan People, bab 3. London, 2003. [11] Pemerintah

Kabupaten Bantul, 2012,


http://dkp.bantulkab.go.id/filestorage/dokumen/2014/07/Data%20Kelaut sebuah,%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) ada perbedaan dalam praktek 20Pesisir,% 20dan% 20Pulau-Pulau% 20Kecil% 202013.pdf Download 25 th Agustus 2016

penyelenggaraan sistem manajemen bencana; 2) para pemangku pada 13:28. [12] Rijanta, R., Hizbaron, D., & Baiquni, M, (2014), “Modal Sosial Dan

kepentingan utama dalam kegiatan praktek manajemen bencana BPBD dan


Manajemen Bencana, ” Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. [13] United
Dinas Sosial; 3) program penanggulangan bencana difokuskan pada Nation, (2015), “Sendai Kerangka Pengurangan Risiko Bencana
penguatan fase tanggap darurat; 4) pelaksanaan program penanggulangan
bencana telah dilakukan di berbagai daerah namun intensitasnya belum 2015-2030,”United Nation. Jenewa: United Nation. [14] Undang-undang
merata; 5) Output dari program manajemen bencana adalah sebuah Republik Indonesia No. 24/2007 TENTANG
Penanggulangan Bencana [15] UNISDR, (2005), “Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015, ”
komunitas yang tahan bencana, namun belum menempatkan upaya
keberlanjutan. Selain itu, BPBD membentuk Destana (Desa Tangguh Dunia
Konferensi Pengurangan Risiko Bencana, UNISDR. Kobe: United Nation.
Bencana / Disaster Desa Tangguh) dengan indikator kemandirian desa
dalam melakukan kegiatan mitigasi bencana. Sementara itu, Dinas Sosial
membentuk KSB (Kampung Siaga Bencana) dengan memperhatikan
keberlanjutan kegiatan mitigasi bencana melalui pemantauan. Faktor-faktor
yang mendasari kerentanan yang dapat

12

Anda mungkin juga menyukai