Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kriminalitas sebagai suatu realitas sosial mempunyai kaitan

dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya sebagai fenomena dalam

masyarakat yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa

kriminalitas adalah interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.

Berbagai tindakan kriminalitas seperti: perampokan, perkecuan,

penculikan, penjarahan dan kegiatan-kegiatan kriminalitas lain biasanya dinilai

mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat disebut perbanditan. Para

pelaku kejahatan tersebut sering disebut “bandit, lenggaong, durjana”1. Yang

dianggap menyimpang dari nilai moral yang berlaku dalam masyarakat. Masalah-

masalah kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat tersebut selalu dianggap

mengganggu pemerintah dan penguasa setempat, sehingga baik pemerintah

maupun penguasa setempat akan mengambil tindakan untuk memberantasnya dan

mengancam dengan hukum-hukum formal yang berlaku.2

Hobsbawm mengemukakan bahwa kriminalitas atau banditisme yang

didasarkan pada ketidakpuasan terhadap penguasa yang pernah menindasnya

merupakan bagian dari protes sosial. Menurut Hobsbawm bandit dapat dibedakan

menjadi dua yaitu bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (sosial bandit).

Bandit merupakan istilah untuk menyebut individu atau kelompok yang

menentang hukum. Secara lebih rinci pengertian bandit dibedakan menjadi empat,

1Soemarsaid Moertono, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 99-100.

2Bowman, P.J. 1976. Sosiologi: Pengertian dan Masalah. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

1
2

yaitu 1) perampok berkawan, 2) seseorang yang mencuri, membunuh dengan cara

kejam dan tanpa rasa malu (gangster), 3) seseorang yang mendapat keuntungan

dengan tidak wajar, dan 4) musuh.3

Dalam suatu masyarakat luas biasanya terdapat berbagai perilaku yang

saling bertentangan dalam menanggapi atau menyikapi suatu masalah, karena

terkadang terdapat perilaku masyarakat yang menyimpang dari penilaian

penguasa. Para bandit yang sering dianggap sebagai penjahat oleh penguasa

setempat justru dianggap teman oleh sekelompok masyarakat dan bahkan terjalin

hubungan yang baik antara bandit dan masyarakat. Demikian ternyata terdapat

dua sisi yang berbeda tentang penilaian terhadap perbanditan. Di satu sisi

Pemerintah Kolonial memandang bandit dari sudut pandang hukum-hukum

formal yang berlaku pada saat itu, sehingga bandit dianggap pelanggar hukum

Kolonial serta gerombolan pengacau keamanan dan ketertiban masyarakat. Di sisi

lain masyarakat belum tentu menganggap bandit sebagai orang yang berani

menentang kebijakan Pemerintah Kolonial.4

Terdapat pula bandit yang dibenci oleh Pemerintah Kolonial juga dibenci

oleh masyarakat yaitu bandit yang dalam setiap tindakannya selalu menggunakan

kekerasan atau kriminal. Masyarakat menganggap bandit ini sebagai penjahat

murni karena dalam mencari sasaran tidak membeda-bedakan masyarakat kaya

atau miskin, bahkan mereka tak segan-segan melukai atau bahkan membunuh

korbannya.

3Suhartono, 1995, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942.


Yogyakarta: Aditya Media, hlm. 93.

4Sartono Kartodirdjo, 1986, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3S, hlm.
74-94.
3

Kawasan pedesaan Surakarta pada awalnya terdiri dari tanah apanage

yang tersebar di beberapa tempat yaitu di Klaten, Karanganyar dan Boyolali.

Tanah apanage merupakan tanah yang subur sehingga sangat baik bagi

perkebunan, namun letak tanah apanage terpencar-pencar, maka sangatlah sulit

dalam perkembangan produksinya terutama dalam bidang transportasi. Untuk itu

Pemerintah Kolonial kemudian mencari tempat yang luas untuk perkebunan.

Berkembangnya perusahaan-perusahaan perkebunan mendapat dukungan

dari Pemerintah Kolonial. Sebagai buktinya pada tahun 1870-an pemerintah

mengeluarkan kebijaksanaan menghapuskan sistem apanage dan menggantinya

dengan sistem penguasaan tanah secara perorangan atau individu. Hal ini

menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan perkebunan, Pemerintah

Kolonial berusaha mendominasi semua aspek yaitu aspek ekonomi, aspek sosial

maupun aspek politik.5

Penghapusan sistem apanage secara sepintas memang tampak berdampak

positif bagi masyarakat, yaitu dengan diakuinya tanah sebagai hak milik

perseorangan. Kenyataanya dalam kebijakan reorganisasi tanah tersebut juga

diatur sewa–menyewa tanah, yaitu perusahaan perkebunan dapat menyewa tanah

secara langsung dari petani dan bahkan dalam jangka waktu yang sangat lama

yaitu lebih dari 30 tahun. Hal ini menguntungkan bagi perusahaan perkebunan

karena mereka dapat menyewa langsung dari petani. Pihak perkebunan lebih

senang menyewa tanah secara langsung pada petani daripada kepada bangsawan

sebagai pemegang patuh, sebab posisi petani secara perorangan lebih lemah.

5Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 1990, Sosiologi Pedesaan Jilid I, Yogyakarta: UGM Press, hlm.
36-43.
4

Ditambah lagi kondisi ekonomi para petani yang telah menyudutkan mereka agar

mau menyewakan tanahnya kepada perusahaan perkebunan.6

Akibat adanya penyewaan tanah oleh perusahaan perkebunan semakin

menyusutkan lahan pertanian masyarakat petani. Kondisi itu mengakibatkan

semakian berkurangnya pemenuhan bahan pokok pangan sehingga kelaparan

semakin menjalar di kawasan pedesaan Surakarta. Penyewaan area pertanian oleh

pemilik modal ternyata membawa dampak negatif bagi masyarakat terutama

masalah ekonomi, sehingga penyewaan tanah dapat disebut sebagai faktor

pendorong semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di pedesaan.7

Penghapusan sistem apanage dan pemberlakuan hak milik perseorangan

tersebut di pihak pemilik perkebunan yaitu para pemilik modal semakin

membuatnya menjadi sangat kaya, tetapi bagi para petani justru semakin

menambah kemiskinan dan menyengsarakan, karena dominasi perkebunan telah

mendesak perekonomian tradisional yang merupakan sokoguru kehidupan petani.

Hal itu mendorong para petani yang merasa tidak puas dengan kebijakan

Pemerintah Kolonial tersebut melakukan tindak kejahatan seperti perampokan,

pembegalan, pencurian dan kejahatan-kejahatan lainnya terhadap para pemilik

perkebunan dan orang-orang yang bekerja sama dengan pihak perkebunan.

Berbagai macam tindak kejahatan yang dilakukan oleh penduduk pribumi

tersebut dalam terminologi Kolonial disebut sebagai perbanditan. Pemerintah

Kolonial menilai para bandit tersebut hanya sebagai para penjahat, perusuh dan

6Darsiti Soeratman, 1989, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Taman
Siswa, hlm. 15.

7Djoko Suryo, 1989, Sejarah Sosial Pedesaan di Keresidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta:
UGM Press, hlm. 51-54.
5

kelompok pengacau saja.8 Para petani menganggap bandit sebagai tokoh

pemberani dan pembela kaum lemah. Petani menganggap bandit sebagai orang

yang berani menentang kebijaksanaan Pemerintah Kolonial dengan melakukan

protes dan dengan tindakannya yang selalu mengganggu Pemerintah Kolonial.

Dalam hal ini bandit tersebut adalah bandit sosial yaitu suatu bentuk perbanditan

yang dilakukan untuk mendapatkan harta rampokan yang hasilnya dibagi-bagikan

kepada rakyat miskin yang oleh para petani pedesaan selalu dilindungi dan

didukung dalam setiap aksi kejahatannya terhadap Pemerintah Kolonial beserta

antek-anteknya. Para bandit sosial biasanya muncul bila terjadi suatu penindasan

yang dilakukan terhadap para petani pedesaan.9

B. Perumusan Masalah

1. Apa yang melatarbelakangi munculnya perbanditan di Surakarta

pada tahun 1870-1920 ?

2. Apa yang membedakan perbanditan dengan jenis kejahatan lainnya

3. Golongan sosial mana yang menjadi sasaran perbanditan dan

mengapa menjadi sasaran perbanditan ?

4. Bagaimana respons Pemerintah Kolonial terhadap maraknya

perbanditan yang terjadi di Surakarta ?

8 Padahal sebenarnya perbanditan di pedesaan itu muncul lebih disebabkan karena


adanya ketidakadilan sosial dan ketidakpuasan terhadap Pemerintah dan struktur atas lainnya yang
dianggap merugikan petani secara ekonomi dan kultural. Pemerintah Kolonial hanya menganggap
perbanditan sebagai suatu bentuk kriminalitas biasa karena Pemerintah Kolonial tidak mengetahui
sebab-sebab yang mendalam tentang munculnya perbanditan yaitu karena adanya eksploitasi
terhadap petani. Suhartono, 1995, Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
(1830-1920), Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, hlm. 161-165.

9Ibid, hlm. 144.


6

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya perbanditan di

Surakarta tahun 1870-1920.

2. Untuk mengetahui perbedaan perbanditan dengan jenis kejahatan

lainnya.

3. Untuk mengetahui golongan sosial mana yang menjadi sasaran

perbanditan.

4. Untuk mengetahui respons Pemerintah Kolonial terhadap

maraknya perbanditan.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi mengenai perbanditan di Surakarta tahun

1870-1920.

2. Sebagai bahan kajian bagi peneliti lain terhadap penanggulangan

bentuk-bentuk kejahatan baik secara formal maupun informal.

3. Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi historiografi

sejarah sosial.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam buku karangan Heniy Astiyanto yang berjudul Sosiologi

Kriminalitas (1990), dijelaskan mengenai latar belakang terjadinya kriminalitas

yang ditinjau dari aspek sosiologis. Heniy Astiyanto menggambarkan bahwa

kompleksitas kota sebagai pusat kehidupan menimbulkan persoalan yang sangat


7

dilematis, yaitu di satu pihak kota menjanjikan kehidupan yang lebih baik tetapi di

lain pihak daya dukung kota tidak dapat memenuhi janji tersebut. Di samping itu

muncul akibat sampingan yang tak terelakkan, yaitu terdapat kepincangan sosial

dalam masyarakat.10 Kegunaan buku tersebut dalam penelitian ini adalah

memberikan sumbangan teoritis yang akan digunakan untuk melakukan

pendekatan terhadap studi sosiologi kriminalitas.

Dalam tulisan Onghokham, Gali-gali dan Masyarakat Kita (1983),

dijelaskan bahwa salah satu motif terkuat terjadinya perbanditan adalah apabila

perasaan keadilan dilanggar, misalnya, kabayan desa mencuri kas desa jutaan

rupiah hanya dihukum 3 bulan, sedang kakak atau adiknya yang mencuri ayam

dihukum tahunan atau ditembak polisi. Ini biasanya menimbulkan perbanditan.

Salah satu penyebab lain banditisme adalah konsep dan struktur pengikut di

sekitar orang jago. Lurah, polisi atau pejabat lain di mata rakyat adalah jago.

Disamping Lurah selalu ada seorang atau beberapa jago desa, dan mereka ini

dapat melakukan fungsi lurah dalam melindungi, menarik upeti atau menjadi

penghubung antara penghuni desa dan dunia luar.11 Tulisan Onghokham ini sangat

membantu mengkaji latar belakang munculnya gejala-gejala banditisme di dalam

masyarakat.

Nico Schulte Nordholt dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan

Anarki Negara Indonesia modern (2003), membahas cara-cara bagaimana

monopoli Negara atas sarana-sarana kekerasan yang telah digali oleh tokoh-tokoh

paling utama di Indonesia. Hal itu sering berpaling pada kekerasan untuk

10Heniy Astiyanto, 2003, Sosiologi Kriminalitas, Yogyakarta: Legal Center 97, hlm. 1-2.

11Onghokham, “Gali-gali dan Masyarakat Kita”, Tempo, 4 Juni 1983, hlm. 54.
8

meneruskan kepentingan mereka dengan menyewa para jago geng-geng kriminal

kota, kaum muda yang hilang arah atau suka mencari masalah, juga para militer

dan petugas–petugas keamanan swasta (biasanya didominasi oleh para penjahat).

Metode menggunakan orang lain untuk mengerjakan tugas kotor seseorang ini

bukanlah hak yang baru di Jawa, namun penggunaanya meluas dengan cepat

selama kekuasaan Soeharto. Hal ini membawa apa yang disebut oleh Nico Schulte

Nordholt “anarki kekuasaan” karena terbukti sangat sulit untuk membasmi para

antek ini begitu mereka menyelesaikan tugasnya.12 Tulisan Nico Schulte Nordholt

ini sangat membantu mengkaji latar belakang munculnya gejala-gejala kekerasan

dan anarki negara di dalam masyarakat.

Dalam studi Suhartono yang berjudul Apanage dan Bekel Perubahan

Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (1991), dijelaskan bahwa keresahan di

Surakarta pada abad XIX timbul karena ketidakpuasan dari golongan besar

masyarakat pedesaan, yaitu petani. Ketidakpuasan ini khususnya merupakan

akibat perubahan sosial dan ekonomi kolonial yang intensif di sektor agraria.

Adalah wajar jika dalam kondisi obyektif muncul perubahan baru dalam

masyarakat sebagai akibat perubahan sebelumnya. Bertolak dari ketidakpuasan,

keresahan dan gerakan sosial selalu dapat dikembalikan pada kemerosotan

kedudukan ekonomi maupun politik.13 Dalam buku ini belum dijelaskan mengenai

penanganan perbanditan yang terjadi di Surakarta.

12Nico Schulte Nordholt. 2003. “Kekerasan dan Anarki Negara Indonesia Modern” dalam Frans
Husken dan Huub de Jonge (eds), Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia
1965-1998. Yogyakarta: LKiS, hlm. 9.

13Suhartono, op. cit, hlm. 161-162.


9

Dalam tulisannya yang lain, Bandit-bandit pedesaan di Jawa: Studi

Historis 1850-1942 (1995), Suhartono menjelaskan latar belakang munculnya

perbanditan di pedesaan Jawa. Seperti yang telah diketahui bahwa perbanditan di

pedesaan Jawa merupakan dampak dari perubahan-perubahan yang dilakukan

oleh Pemerintah Kolonial terhadap kehidupan sosial, ekonomi petani yang

berakibat pada timbulnya perasaan tidak puas petani. Para petani merasa bahwa

miliknya telah direbut oleh Pemerintah Kolonial melalui cara-cara modern.

Sebagai kompensasi kekecewaannya maka petani melakukan berbagai tindakan

kriminal.14 Dalam buku ini Suhartono menjelaskan tentang berbagai macam

bentuk perbanditan yang terjadi di Jawa pada masa kolonial, yang meliputi Jawa

Tengah yaitu di Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Timur di daerah Pasuruan dan

Probolinggo dan Jawa Barat yaitu di Banten dan Batavia, sehingga buku ini belum

secara rinci menjelaskan tentang perbanditan yang terjadi di Surakarta, serta buku

ini menjelaskan perbanditan secara umum tidak secara khusus menjelaskan

tentang bandit sosial dan dalam buku ini juga belum dibahas mengenai

bagaimanakah cara-cara Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Kerajaan dalam

menangani perbanditan itu sendiri.

Dalam tulisan Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang

Bengawan (2004), dibahas tentang perbanditan pada masa revolusi di Surakarta.

Perbanditan pada masa revolusi merupakan suatu bentuk refleksi kelampauan dan

kekinian. Hal tersebut bersumber pada kekecewaan masyarakat Surakarta yang

tidak dapat dilepaskan dari tiga patokan yang terjadi sebelum masa revolusi, yaitu

eksploitasi pada masa kolonial Belanda, penindasan pada masa Jepang, dan

14Suhartono, op. cit, hlm. 3-4.


10

kekacauan pada masa awal revolusi. Tiga patokan tersebut kemudian

menempatkan Keraton, Pamong Praja, Orang-orang Cina dan orang-orang kaya

sebagai kelompok yang harus bertanggung jawab terhadap penderitaan

masyarakat Surakarta. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Surakarta melakukan

kekerasan. Gerakan spontan masyarakat tersebut dikenal sebagai revolusi sosial. 15

Tulisan Julianto Ibrahim ini sangat membantu untuk mengetahui latar belakang

kriminalitas di Surakarta pada masa revolusi yang berpangkal pada perbanditan di

masa sebelum revolusi (masa kolonial). Dalam buku ini Julianto Ibrahim

menjelaskan tentang perbanditan yang terjadi di Surakarta pada masa revolusi.

Dalam buku ini tidak secara khusus membicarakan tentang bandit tetapi berbagai

macam kriminalitas yang secara umum terjadi di Surakarta pada waktu itu, yaitu:

pembunuhan, penculikan, pembakaran, penjarahan, perdagangan candu,

pemalsuan uang dan penimbunan uang receh. Dalam buku ini dijelaskan tentang

penanggulangan masalah-masalah kriminal tersebut, tetapi tidak dijelaskan secara

rinci tentang bagaimana cara-cara aparat terkait dalam memberantas kriminalitas

tersebut sehingga yang tampak hanyalah penambahan pasukan polisi saja tanpa

diketahui hasil dari usaha tersebut, entah berhasil atau tidak.

Hobsbawm dalam bukunya yang berjudul Bandit Sosial (2000),

menjelaskan mengenai konsep-konsep tentang bandit sosial secara umum yang

berada di berbagai negara, siapa sajakah yang dapat disebut sebagai bandit sosial

yang secara hukum adalah siapa saja yang termasuk dalam kelompok orang yang

menyerang dan merampok dengan kekerasan, tetapi tetap merupakan bagian dari

masyarakat petani dan petani menganggap mereka sebagai pahlawan, pembela,

15Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan. Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
11

penuntut balas, pejuang keadilan dan pembebas. Dalam buku ini juga dijelaskan

bahwa para bandit tersebut didukung dan dikagumi bahkan dibantu dalam setiap

aksinya. Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendapat yang bertolak belakang

mengenai perbanditan ini. Para bandit sosial ini merupakan suatu fenomena sosial

yang paling universal yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Bandit sosial ini

muncul apabila terjadi ketidakadilan di lingkungannya, mereka sebenarnya

merupakan perwujudan dari sebuah protes kepada pihak penguasa yang

menindasnya.16

Abdul Syani dalam buku karangannya yang berjudul Sosiologi

Kriminalitas (1987) mendefinisikan tentang kriminalitas yang berasal dari bahasa

Inggris yaitu ”crime” yang artinya kejahatan. Suatu perbuatan dapat disebut

kriminalitas apabila menunjukkan tingkah laku kejahatan, sehingga dapat

diartikan bahwa ”crime” kejahatan dan ”criminal” dapat diartikan jahat atau

penjahat, maka kriminal tersebut dapat diartikan sebagai perbuatan kejahatan.17

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), perbanditan berasal dari

kata ”bandit” yang berarti penjahat, pencuri (penyerobot) atau tokoh penjahat

dalam cerita drama. Sedangkan perbanditan atau banditisme adalah cara-cara atau

perbuatan melakukan kejahatan layaknya seorang bandit. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa perbanditan adalah suatu tindakan kriminalitas yang

melakukan kejahatan pencurian terhadap korbannya yang tidak jarang diserai

dengan tindak kejahatan lainnya, seperti: penganiayaan dan pembunuhan.18

16Hobsbawm, 2000, Bandit Sosial, Jakarta: Teplok Press, hlm. 1-4.

17Abdul Syani, 1987, Sosiologi Kriminalitas, Bandung: CV Remadja Karya, hlm. 11.

18Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
BalaiPustaka, hlm. 100.
12

Bandit dapat dibedakan menjadi dua yaitu bandit biasa (ordinary bandit)

dan bandit sosial (social bandit). Bandit biasa merupakan kriminalitas murni

karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilakukan

dengan jalan kriminal tanpa adanya sebab-sebab lain. Ciri-ciri yang muncul dalam

bandit biasa adalah mereka tidak membeda-bedakan korbannya masyarakat kaya

atau miskin, pribumi atau orang Belanda. Sedangkan bandit sosial adalah suatu

bentuk kriminalitas yang dilakukan sekelompok orang sebagai wujud protesnya

terhadap berbagai tekanan dan eksploitasi yang dilakukan penguasa terhadap

petani, dan ciri-cirinya adalah operasi mereka masih sangat lokal, berusia pendek,

terpisah-pisah dan tradisionil, selain itu mereka lebih selektif dalam menentukan

korbannya, biasanya korban tersebut berasal dari orang-orang Belanda atau yang

bekerjasama dengan Belanda dan mengambil keuntungan dari kesengsaraan

petani.19

Dalam Taco Roorda De Javaanesche Wetten Namelijk De Angger Gunung,

De Angger Nawala Pradata (1930) terdapat serat Jugul Muda dan serat Sultan

Surya Ngalam yang membahas tentang hukuman yang harus diterima seseorang

yang terbukti mencuri yaitu denda dengan mengganti sejumlah barang yang

hilang atau yang dicurinya, hukuman tersebut disebut kisas yang berupa hukuman

yang berupa sama dengan perbuatan pelaku.20

F. Metode Penelitian

19Sartono Kartodirdjo, 1986, op.cit, hlm. 74-94.

20Taco Roorda, 1930, De Javaansche Wetten Namelijk De Angger Gunung, De Angger


Nawala Pradata, Surakarta: Rekso Pustoko Mangkunagaran, hlm. 6.
13

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap

yaitu menghimpun sumber-sumber sejarah yang sesuai dengan permasalahan

(heuristik), kritik sumber, interpretasi yang merupakan analisa dan sintesa serta

penyusunan atas penulisan sejarah (historiografi) dengan penjelasan sebagai

berikut21:

Tahap pertama, mengumpulkan sumber-sumber mengenai perbanditan di

Keresidenan Surakarta, mulai dari latar belakang, korban dan cara-cara

penanggulangan perbanditan. Serta dokumen-dokumen lainnya yang sesuai

dengan permasalahan yang sedang dikaji (heuristik). Data yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber. Hal ini disebabkan karena jenis

penelitian ini adalah menggunakan metode historis, maka jenis sumber data yang

digunakan adalah data yang berupa arsip antara lain: Rijksblad Mangkunagaran

no. 28 tahun 1917 dan no. 8 tahun 1918, Rijksblad Soerakarta no. 25 tahun 1915

dan no. 36 tahun 1918, Staatsblad tahun 1848 no. 9 dan Staatsblad tahun 1847 no.

30, buku ”Ha” jilid II tahun 1848-1895, Memorie van Overgave der Residentie

Soerakarta tahun 1914 dan 1918 yang ditemukan di perpustakaan Rekso Pustoko

Mangkunegaran, perpustakaan Sonopustoko Kasunanan dan perpustakaan Radya

Pustaka Surakarta. Selain arsip penelitian ini juga menggunakan data primer yang

berupa terbitan resmi sezaman atau surat kabar, antara lain: Darmo Kondo tahun

1918-1920, Boedi Oetomo tahun 1920, Neratja tahun 1920 dan Sin Po tahun

1920.

Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu sumber maupun data yang sudah

didapat dikelompokkan sesuai kriteria, terutama kejadian atau peristiwa apa saja

21Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hlm. 79.


14

yang terjadi dan terjadi pada tahun berapa, kemudian dipilih dan diseleksi sumber-

sumber yang akurat mengenai perbanditan yang terjadi di Keresidenan Surakarta

sehingga mendapat informasi yang valid.

Tahap ketiga adalah interpretasi, tahap ini terbagi menjadi dua bagian,

yaitu: analisis dan sintesa. Analisis dilakukan dengan cara menguraikan data-data

dan sumber-sumber yang sudah dipilih menjadi kalimat-kalimat yang sesuai

dengan sumber-sumber yang ada dengan memperhatikan aspek kausalitas. Sintesa

merupakan penyatuan kedua sumber, sumber primer dan dilengkapi pula dengan

sumber sekunder, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Tahap keempat adalah cara penyusunan penulisan sejarah (historiografi),

yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai satu satuan yang utuh.

Penulisan tentang perbanditan di Keresidenan Surakarta ini ditulis mulai dari latar

belakang munculnya perbanditan, permasalahan yang muncul hingga

penanggulangan perbanditan.

G. Sistematika Penulisan

Bab I berisikan tentang pendahuluan yang memuat latar belakan masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II berisikan tentang latarbelakang kemunculan perbanditan di

Surakarta yang diawali dengan masuknya perkebunan di pedalaman Jawa dan

adanya politik Kolonial liberal, sehingga menimbulkan perubahan status sosial di

Surakarta. Kemudian dijelaskan pula mengenai kondisi sosial ekonomi di

Surakarta pada tahun 1870-1920 yang menunjukkan suatu gamabaran


15

perekonomian yang buruk dengan adanya ketimpangan sosial ekonomi.

Kemudian dijelaskan mengenai awal mula munculnya perbanditan dan faktor-

faktor pendorong munculnya perbanditan serta pengertian perbanditan dilihat dari

dua sudut pandang yang berbeda.

Bab III menjelaskan tentang perbedaan perbanditan dengan jenis kejahatan

lainnya, mulai dari pemimpin dan anggota bandit, struktur organisasi, kasus-kasus

perbanditan, bentuk-bentuk perbanditan dan sasaran perbanditan di Surakarta.

Bab IV memuat tentang respons Pemerintah Kolonial dan Kerajaan

terhadap maraknya perbanditan di Surakarta yang kemudian diwujudkan dalam

pembentukan badan-badan pengadilan di Mangkunegaran dan Kasunanan, usaha-

usaha Pemerintah Kolonial yang bekerjasama denagn Pemerintah Kerajaan dalam

rangka pemberantasan perbanditan dengan melakukan reorganisasi dibidang

kepolisian dengan menambah pasukan yang digunakan untuk membantu polisi

dan penggunaan kenthongan sebagai sarana preventif perbanditan.

Bab V berisikan kesimpulan.


16

Anda mungkin juga menyukai