Pengertian Tindak Tutur
Pengertian Tindak Tutur
Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap
komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan,
maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu
selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah
struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan
perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa, yang merupakan pijakan analisis pragmatik
(Rahardi, 2005).
Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara,
pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur
digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.
Austin (dalam Rusminto, 2010: 22) pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur.
Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu,
tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle
(dalam Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah
kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan
permintaan.
Searle (dalam Rusminto, 2010: 22) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang
mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan
yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan
merupakan sarana untuk berkomunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika
direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan,
perintah, dan permintaan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam
komunikasi. Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang
berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi tindakan ini
disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu
tindakan.
Chaer (2004: 16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.
Tarigan (1990: 36) menyatakan bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran
atau ucapan tertentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua
belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan yang
berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka instrumen pada
penelitian ini mengacu pada teori tindak tutur. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tindak tutur adalah teori yang mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan
tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam
berkomunikasi. Artinya, tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi
nyata.
Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act
of saying something)(Austin dalam Rusminto, 2012:77). Oleh karena itu, yang diutamakan
dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur.
Leech (dalam Rusminto, 2012: 77) menyatakan bahwa tindak bahasa ini lebih kurang dapat
disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan. Contoh:
“Saya lapar‟
Seseorang mengartikan “Saya‟ sebagai orang pertama tunggal (si penutur) dan “lapar‟
mengacu pada “perut kosong dan perlu diisi‟, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
2. Tindak Tutur Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan
tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing somethings in saying
somethings) (Austin dalam Rusminto, 2012: 77). Contohnya,
” Saya lapar‟
Jika tindak tutur lokusi berkaitan dengan makna, maka tindak ilokusi berkaitan dengan
maksud yang dibawakan oleh preposisinya. Jadi, dalam kalimat “saya lapar” memiliki maksud
meminta makanan.
Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra
tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan (Austin dalam
Rusminto, 2012: 77-78). Tindakan tersebut seperti janji, tawaran, atau pertanyaan yang
terungkap dalam tuturan. Misalnya:
“Saya lapar‟
Tuturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada mitra tutur, yaitu dengan reaksi
memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.
C. Peristiwa Tutur
Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial
karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa
tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act)
yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu
berada dalam peristiwa tutur. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di
atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi
tertentu. Jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak
tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2009:47).
Oleh karena itu, interaksi yang terjadi antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada
waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah
peristiwa tuturan. Peristiwa serupa juga dapat ditemukan dalam acara diskusi di ruang kuliah,
rapat dinas di kantor, dan sebagainya.
Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau kereta api yang terjadi antara para
penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan yang tidak
menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat disebut sebagai
peristiwa tutur?secara sosiolinguistik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah
peristiwa tutur sebab pokok percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa
tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap dan
menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti (Chaer dan Agustina, 2009:48).
Bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan
tertentu.. Di dalam peristiwa tutur, bermacam-macam tuturan dapat diekspresikan untuk
menyatakan satu tujuan tuturan, dan bermacam-macam tuturan dapat dinyatakan untuk tujuan
yang sama. Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan
bertutur. Komponen ini yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki suatu
tujuan (Tarigan, 2009:33). Oleh karena itu, penutur perlu menguasai cara bertutur dengan baik
agar segala tuturan yang ingin disampaikan kepada lawan tuturnya dapat diterima dengan baik
pula.
D. Kesantunan Bertutur
Teori Kesantunan
Leech (1983) adalah salah seorang pakar yang memberi teori kesantunan berbahasa. Leech
(dalam Chaer, 2010: 56) mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan
(politenes principles) yang di jabarkan menjadi maksim (ketentuan). Keenam maksim itu
adalah maksim (1) kearifan (tact). (2) kedermawanan (Generosity), (3) pujian (agreement), (6)
simpati (simphaty) (Leech, dalam Rusminto, 2012: 111-118). Berikut ini uraian dari keenam
maksim tersebut.
1. Maksim Kearifan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Buatlah kerugian orang lain
sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Contoh:
B : “Tidak usah.”
Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si A sungguh
memaksimalkan keuntungan bagi si B.
2. Maksim Kedermawanan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Buatlah keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Contoh :
Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang
kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”
Informasi indeksial: Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos
pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat
dengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan
jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan
beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak
pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya
tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya.
3. Maksim Pujian
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Kecamlah orang lain sesedikit
mungkin; b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. Contoh :
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi indeksial: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga
seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitahuan yang
disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B. Pada contoh di atas, ditanggapi dengan
sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun.
4. Maksim Kerendahan Hati
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Pujilah diri sendiri sesedikit
mungkin; b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh :
Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang
masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka. Dari tuturan
sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian
untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5. Maksim Kesepakatan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Usahakan agar ketaksepakatan
antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sesedikit mungkin. b. Usahakan agar
kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin. Contoh :
Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang
juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas. Tuturan di atas
terasa santun karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan
memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.
6. Maksim Simpati
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Kurangilah rasa antipati antara
diri sendiri dengan orang lain. b. Tingkatkanlah rasa simpati sebanyak-banyaknya antara
diri sendiri dengan orang lain. Contoh :
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang
sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. Dari tuturan di
atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu
memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.
Sedangkan Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai
berikut.
1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun
dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
E. Skala Kesantunan
a. Skala kerugian dan keuntungan (cost benefit scale), merujuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah
pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap
santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu
pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra
tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunla
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara
keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
santunlah tuturan yang digunakan itu.
2. Kesantunan Linguistik
3. Panjang-Pendek Tuturan
Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang atau pendek suatu
tuturan menjadi penentu tuturan tersebut mempunyai makna santun dan penutur dapat
diidentifikasi dengan sangat jelas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin panjang
suatu tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Selain itu, pada
masyarakat bahasa Indonesia basa basi sangat penting kemunculannya pada saat kegiatan
bertutur. Berikut ini disajikan contoh-contoh dari tuturan yang pendek ke tuturan yang
panjang.
E. Konteks
Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga sebaliknya
konteks baru memiliki fungsi dalam situasi interaksi yang diciptakan, tetapi fungsi
bahasa juga membentuk dan menciptakan situasi tertentu dalam interaksi yang sedang
terjadi (Duranti dalam Rusminto, 2012:54).
D. Jenis-Jenis Konteks
Dengan cara yang lebih konkret, Syafi‟ie (dalam Rusminto, 2012: 55)
membedakan konteks ke dalam empat klasifikasi yaitu sebagai berikut.
1. Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu
komunikasi.
2. Konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui
oleh penutur dan mitra tutur.
3. Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang
mendahului atau mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi,
konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.
4. Konteks sosial yakni relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara
penutur dan mitra tutur.
F. Unsur-Unsur Konteks
Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49) mengatakan bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING,
yakni sebagai berikut.
a. Setting and Scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau
situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang bahasa yang berbeda.
Berada di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam
situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan
pada waktu banyak orang membaca dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak
bola seseorang biasa berbicara keras-keras tetapi di ruang perpustakaan sedapat
mungkin pelan.
b. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara
dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua
orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau
pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan
jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan
sangat menentukan ragam atau gaya bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang
anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan
orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan ketika berbicara dengan teman
sebayanya.
c. Ends merujuk pada maksud dan tujuan yang diharapkan dari pertuturan.
d. Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran itu
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
e. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat.
f. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu
pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek, fragam, dan register.
g. Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan
yang dipakai pada suatu peristiwa tutur, juga mengacu pada norma penafsiran
terhadap ujaran dari lawan bicara.
h. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.