Anda di halaman 1dari 16

A.

Pengertian Tindak Tutur

Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap
komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan,
maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu
selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah
struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan
perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa, yang merupakan pijakan analisis pragmatik
(Rahardi, 2005).

Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara,
pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur
digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.

Austin (dalam Rusminto, 2010: 22) pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur.
Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu,
tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle
(dalam Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah
kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan
permintaan.

Searle (dalam Rusminto, 2010: 22) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang
mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan
yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan
merupakan sarana untuk berkomunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika
direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan,
perintah, dan permintaan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam
komunikasi. Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang
berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi tindakan ini
disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu
tindakan.
Chaer (2004: 16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.

Tarigan (1990: 36) menyatakan bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran
atau ucapan tertentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua
belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan yang
berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka instrumen pada
penelitian ini mengacu pada teori tindak tutur. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tindak tutur adalah teori yang mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan
tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam
berkomunikasi. Artinya, tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi
nyata.

B. Jenis-Jenis Tindak Tutur

Berkenaan dengan tuturan, Austin (dalam Rusminto, 2010: 22–23) mengklasifikasikan


tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur
perlokusi.

1. Tindak Tutur Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act
of saying something)(Austin dalam Rusminto, 2012:77). Oleh karena itu, yang diutamakan
dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur.

Leech (dalam Rusminto, 2012: 77) menyatakan bahwa tindak bahasa ini lebih kurang dapat
disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan. Contoh:

“Saya lapar‟

Seseorang mengartikan “Saya‟ sebagai orang pertama tunggal (si penutur) dan “lapar‟
mengacu pada “perut kosong dan perlu diisi‟, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
2. Tindak Tutur Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan
tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing somethings in saying
somethings) (Austin dalam Rusminto, 2012: 77). Contohnya,

” Saya lapar‟

Jika tindak tutur lokusi berkaitan dengan makna, maka tindak ilokusi berkaitan dengan
maksud yang dibawakan oleh preposisinya. Jadi, dalam kalimat “saya lapar” memiliki maksud
meminta makanan.

3. Tindak Tutur Perlokusi

Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra
tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan (Austin dalam
Rusminto, 2012: 77-78). Tindakan tersebut seperti janji, tawaran, atau pertanyaan yang
terungkap dalam tuturan. Misalnya:

“Saya lapar‟

Tuturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada mitra tutur, yaitu dengan reaksi
memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.

C. Peristiwa Tutur

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial
karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa
tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act)
yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu
berada dalam peristiwa tutur. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di
atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi
tertentu. Jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak
tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2009:47).
Oleh karena itu, interaksi yang terjadi antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada
waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah
peristiwa tuturan. Peristiwa serupa juga dapat ditemukan dalam acara diskusi di ruang kuliah,
rapat dinas di kantor, dan sebagainya.

Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau kereta api yang terjadi antara para
penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan yang tidak
menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat disebut sebagai
peristiwa tutur?secara sosiolinguistik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah
peristiwa tutur sebab pokok percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa
tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap dan
menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti (Chaer dan Agustina, 2009:48).

Bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan
tertentu.. Di dalam peristiwa tutur, bermacam-macam tuturan dapat diekspresikan untuk
menyatakan satu tujuan tuturan, dan bermacam-macam tuturan dapat dinyatakan untuk tujuan
yang sama. Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan
bertutur. Komponen ini yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki suatu
tujuan (Tarigan, 2009:33). Oleh karena itu, penutur perlu menguasai cara bertutur dengan baik
agar segala tuturan yang ingin disampaikan kepada lawan tuturnya dapat diterima dengan baik
pula.

D. Kesantunan Bertutur

Teori Kesantunan

Leech (1983) adalah salah seorang pakar yang memberi teori kesantunan berbahasa. Leech
(dalam Chaer, 2010: 56) mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan
(politenes principles) yang di jabarkan menjadi maksim (ketentuan). Keenam maksim itu
adalah maksim (1) kearifan (tact). (2) kedermawanan (Generosity), (3) pujian (agreement), (6)
simpati (simphaty) (Leech, dalam Rusminto, 2012: 111-118). Berikut ini uraian dari keenam
maksim tersebut.

1. Maksim Kearifan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Buatlah kerugian orang lain
sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Contoh:

A : “Mari saya bawakan tas Anda.”

B : “Tidak usah.”

Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si A sungguh
memaksimalkan keuntungan bagi si B.
2. Maksim Kedermawanan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Buatlah keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Contoh :

Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang
kotor.”

Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”
Informasi indeksial: Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos
pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat
dengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan
jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan
beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak
pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya
tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya.
3. Maksim Pujian
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Kecamlah orang lain sesedikit
mungkin; b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. Contoh :
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi indeksial: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga
seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitahuan yang
disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B. Pada contoh di atas, ditanggapi dengan
sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun.
4. Maksim Kerendahan Hati
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Pujilah diri sendiri sesedikit
mungkin; b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh :
Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”
Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang
masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka. Dari tuturan
sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian
untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5. Maksim Kesepakatan
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Usahakan agar ketaksepakatan
antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sesedikit mungkin. b. Usahakan agar
kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin. Contoh :
Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang
juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas. Tuturan di atas
terasa santun karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan
memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.
6. Maksim Simpati
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Kurangilah rasa antipati antara
diri sendiri dengan orang lain. b. Tingkatkanlah rasa simpati sebanyak-banyaknya antara
diri sendiri dengan orang lain. Contoh :
Ani : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang
sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. Dari tuturan di
atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu
memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.
Sedangkan Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai
berikut.
1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun
dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

E. Skala Kesantunan

Leech (dalam Chaer, 2010:66-69) membagi skala kesantunan sebagai berikut.

a. Skala kerugian dan keuntungan (cost benefit scale), merujuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah
pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap
santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu
pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra
tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunla
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara
keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
santunlah tuturan yang digunakan itu.

1. Kesantunan Linguistik dan Kesantunan Pragmatik

Wujud kesantunan yang menyangkut ciri linguistik akan melahirkan kesantunan


linguistik, sedangkan wujud kesantunan yang menyangkut ciri nonlinguistik akan
melahirkan kesantunan pragmatik (Rahardi, 2005:158). Dapat disimpulkan bahwa
kesantunan secara langsung menggunakan bahasa disebut kesantunan linguistik atau
langsung, sedangkan kesantunan secara pragmatik merupakan kesantunan yang
menyangkut ciri nonlinguistik, diungkapkan secara tersirat dan tidak langsung. Dalam
pertuturan, kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik banyak dijumpai dalam
tuturan kalimat imperatif. Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau
meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat
imperatif biasanya diungkapkan dengan kisaran dari tuturan yang sangat keras atau kasar
hingga ke tuturan yang paling halus atau santun (Rahardi, 2005: 79). Dengan demikian,
jika kita ingin memerintah atau meminta harus diperhatikan kesantunannya dengan
menggunakan penanda kesantunan dalam kesantunan linguistik atau dengan diungkapkan
secara tidak langsung atau disebut kesantunan pragmatik.

2. Kesantunan Linguistik

Rahardi (2005:118) mengemukakan bahwa kesantunan linguistik tuturan imperatif


dalam bahasa indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut :

(1) panjangpendek tuturan,

(2) urutan tuturan,

(3) intonasi tuturan dan syarat-syarat kinesik,

(4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan.

3. Panjang-Pendek Tuturan

Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang atau pendek suatu
tuturan menjadi penentu tuturan tersebut mempunyai makna santun dan penutur dapat
diidentifikasi dengan sangat jelas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin panjang
suatu tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Selain itu, pada
masyarakat bahasa Indonesia basa basi sangat penting kemunculannya pada saat kegiatan
bertutur. Berikut ini disajikan contoh-contoh dari tuturan yang pendek ke tuturan yang
panjang.

(1) “Bacakan materi diskusi kita!”

(2) “Bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!”

(3) “Tolong, bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!”


Informasi indeksial: Dituturkan oleh seorang moderator kepada penyaji materi
dalam kegiatan diskusi di kelas. Tuturan di atas jika dilihat dari panjang pendeknya tuturan,
tuturan pertama terlihat sangat pendek sehingga unsur memerintahnya secara langsung,
sedangkan tuturan ketiga menggunakan penanda kesantunan tolong sehingga dari tuturan
tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang paling panjang memiliki kesantunan yang lebih
tinggi.

4. Urutan Tuturan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik


Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya seseorang sering mengutarakan
maksud-maksud tertentu dengan cara mengatur tata urutan tuturan tersebut. Tuturan yang
ditata urutannya dapat terkesan lebih santun. Berikut ini disajikan contoh.
(1) Ruangan ini akan digunakan rapat, bersihkan meja ini! Cepat!
(2) Cepat! Bersihkan meja ini! Ruangan ini akan digunakan rapat. Tuturan pertama
yang memerhatikan tata letak dan urutan terlihat lebih santun.

5. Intonasi dan Syarat-Syarat Kinesik sebagai Penentu Tuturan Kesantunan


Linguistik

Sunaryanti (dalam Rahardi, 2005:123) menyatakan bahwa intonasi adalah


tinggirendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang
menyertai tuturan.dapat dikatakan bahwa panjang pendek suatu tuturan menentukan
peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia. Disamping intonasi,
kesantunan juga dipengaruhi oleh syarat-syarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-
bagian tubuh penutur seperti : (1) ekspresi wajah, (2) sikap tubuh, (3) gerakan jari-jemari,
(4) gerakan tangan, (5) ayunan tangan, (6) gerakan pundak, (7) goyangan pinggul, (8)
gelengan kepala.

6.Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan sebagai Penentu Kesantunan


Linguistik

Ungkapan penanda kesantunan itu merupakan realisasi dari tuturan yang


disampaikan secara santun. Penanda tersebut meliputi hal sebagai berikut.
1. Penanda kesantunan tolong sebagai penentu kesantunan linguistik
2. Penanda kesantunan mohon sebagai penanda kesantunan linguistik
3. Penanda kesantunan silakan sebagai penanda kesantunan linguistik
4. Penanda kesantunan mari sebagai penanda kesantunan linguistik
5. Penanda kesantunan biar sebagai penanda kesantunan linguistik
6. Penanda kesantunan ayo sebagai penanda kesantunan linguistik
7. Penanda kesantunan coba sebagai penanda kesantunan linguistik
8. Penanda kesantunan harap sebagai penanda kesantunan linguistik
9. Penanda kesantunan sudi/kiranya/sudikah/sudi apalah kiranya sebagai penanda
kesantunan lingustik.
F. Kesantunan Pragmatik
Makna pragmatik bahasa Indonesia dapat dituturkan dengan cara yang
berbedabeda. Pragmatik imperatif kebanyakan wujudkan dengan tuturan nonimperatif
pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif.
Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna imperatif itu, biasanya
mengandung unsur ketidaklangsungan (Rahardi, 2005: 134). Dengan demikian, dalam
tuturan pragmatik imperatif, semakin tidak langsung maka semakin santun tuturan tersebut.

1. Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Deklaratif


Selain menggunakan kesantunan linguistik, seperti yang telah diungkapkan di atas,
kesantunan dapat dilakukan dengan cara kesantunan pragmatik. Kesantunan pragmatik
imperatif dapat dituturkan menggunakan tuturan deklaratif. Rahardi (2005: 135)
membedakan kesantunan pragmatik yang dituturkan dengan tuturan deklaratif menjadi
beberapa macam sebagai berikut.
1. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Suruhan Tuturan imperatif
suruhan dapat diungkapkan menggunakan tuturan deklaratif. Dalam kegiatan
bertuturnya, penutur menggunakan tuturan nonimperatif, sehingga seolah-olah
terdengar halus karena dituturkan secara deklaratif, tidak langsung menyuruh.
Berikut ini contoh tuturannya. Contoh :
Dosen : “Tugas menerjemahkan surat-surat bisnis sekarang ini tidak dapat
dikerjakan tanpa menggunakan kamus.”
Informasi indeksial : Tuturan itu disampaikan oleh seorang dosen bahasa
Inggris kepada para mahasiswanya di dalam kelas saat mengajar penerjemahan.

2. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan Dalam kegiatan bertutur


yang sesungguhnya, makna pragmatik ajakan ternyata banyak diwujudkan
dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. Pemakaian tuturan
yang demikian lazimnya memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi. Karena
tuturan itu memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi, dapat dikatakan
bahwa di dalam tuturan itu terkandung maksud-maksud kesantunan. Berikut ini
contoh tuturan dengan wujud kesantunan pragmatik ajakan dalam tuturan
deklaratif.
Ibu : “Ayah, nanti sore ibu tidak ada pengajian. Kata Pak Kades akan ada rapat
dalam rangka memperingati satu Muharam di masjid kita.”
Ayah : “Iya, nanti dengan Ayah saja berangkatnya.”
Informasi indeksial : Dituturkan seorang istri pada suaminya agar sang suami
bersedia menemani untuk menghadiri pertemuan di balai desa.

3. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan Di dalam


komunikasi yang sesungguhnya, seringkali didapatkan bahwa makna imperatif
memohon tidak diungkapkan dengan tuturan-tuturan memohon. Bentuk
deklaratif ternyata banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik
memohon. Dengan menggunakan tuturan deklaratif itu, tuturan yang semula
terlalu kentara memohon, akan menjadi tidak kentara dan dapat dipandang lebih
santun (Rahardi, 2005: 138). Berikut ini contohnya :
Guru :”Pak, sepertinya siang ini banyak guru yang akan ke Kantor Dinas
Pendidikan untuk mengumpulkan berkas sertifikasi.”
Kepala Sekolah :”Kalau begitu, rapat kita tunda besok saja.”

4. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan Dalam komunikasi


sehari-hari, seringkali ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif persilaan
diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkonotasi deklaratif.
Dengan cara yang demikian, makna pragmatik imperatif persilaan itu dapat
diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005: 140). Contoh tuturan berikut
untuk memperjelas uraian di atas.
Mahasiswa : ”Maaf Pak, apakah kami dapat datang ke rumah untuk meyerahkan
bab I dan bab II sekaligus?”
Dosen : ” Baik. Pukul lima sore saya ada di rumah.”

5. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan Makna imperatif


larangan seringkali diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang
berkonstruksi deklaratif. Dengan demikian, ciri ketidaklangsungan tuturan
tersebut sangat tinggi. Karena mengandung ketidaklangsungan yang tinggi,
tuturan tersebut juga terkandung maksud-maksud kesantunan (Rahardi, 2005:
141). Berikut contoh tuturan deklaratif yang menyatakan makna imperatif
larangan.
(1) “Memecahkan berarti membeli.” Informasi indeksial : bunyi peringatan di
sebuah toko swalayan.
(2) “Tidak menerima tamu, sedang ada rapat.” Informasi indeksial : bunyi
peringatan di depan ruang kepala personalia sebuah perusahaan.

2. Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Interogatif


Sama halnya dengan tuturan deklaratif, tuturan interogatif digunakan untuk
menyatakan makna kesantunan imperatif. Berbagai macam tuturan interogatif
yang menyatakan makna imperatif sebagai berikut.
1. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Perintah
Biasanya tuturan interogatif digunakan untuk menanyakan sesuatu
kepada mitra tutur. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari sering dijumpai
tuturan interogatif yang digunakan yang bermakna pragmatik perintah.
Contoh :
(1) Komandan : “Apakah lokasi sudah diamankan?”
(2) Prajurit : “Kami akan segera kembali ke lokasi, Komandan.”
Informasi: : Tuturan ini merupakan cuplikan sebuah instruksi militer
seorang pemimpin kepada anak buahnya pada saat diadakan apel siaga.

2. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan


Maksud imperatif ajakan akan terasa lebih santun jika diungkapkan
dengan tuturan interogatif daripada diungkapkan dengan tuturan
imperatif. Berikut ini contoh tuturan interogatif yang menyatakan
makna imperatif ajakan.
(1) Anak : “ Aduh Pak, perutku sakit. Masih lama tidak ya?”
(2) Bapak : “ Sebentar Nak, Bapak nyalakan motor dulu.”

Informasi indeksial : Tuturan ini disampaikan seorang anak yang


perutnya sakit karena lapar kepada bapaknya dan mengajak sang bapak
membeli makanan ke pasar.

3. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan


Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, sering dijumpai tuturan
interogatif yang memiliki maksud imperatif permohonan. Dengan
digunakannya tuturan interogatif itu, maksud imperatif permohonan
akan dapat diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005: 145-146).
Berikut ini contoh tuturan interogatif yang menyatakan makna
pragmatik imperatif permohonan.
Pasien : “Dokter, apakah saya akan diberi obat antibiotik lagi?Tahun
lalu saya alergi karena obat itu lho Dok.”
Informasi indeksial : Dituturkan oleh seorang pasien kepada dokter
di ruang praktik. Tuturan diungkapkan dengan tuturan interogatif
dengan maksud permohonan agar tidak diberi obat yang menyebabkan
alergi.
4. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan
Bentuk persilaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya digunakan
dalam situasi formal dengan penuh basa basi. Situasi yang dapat
ditemukan misalnya dalam kegiatan resmi dan perayaan tertentu
(Rahardi, 2005: 147). Misalnya :
Siswa : “Sudah ditunggu pak, apakah Bapak bersedia pidato sekarang?”
Kepala Sekolah : “Apakah para pesertanya sudah di dalam?”
Informasi indeksial : Dituturkan seorang siswa kepada kepala
sekolah untuk mempersilakan memberi pidato pada peringatan HUT
sekolah.
5. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan
Di dalam menyatakan makna imperatif larangan dapat digunakan
tuturan interogatif agar terdengar santun. Misalnya :
Guru : “Siapa yang mau mendapat hukuman karena ribut di kelas?
Informasi indeksial : Dituturkan seorang guru di kelas yang
siswanya sedang gaduh.

E. Konteks

Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga sebaliknya
konteks baru memiliki fungsi dalam situasi interaksi yang diciptakan, tetapi fungsi
bahasa juga membentuk dan menciptakan situasi tertentu dalam interaksi yang sedang
terjadi (Duranti dalam Rusminto, 2012:54).

D. Jenis-Jenis Konteks
Dengan cara yang lebih konkret, Syafi‟ie (dalam Rusminto, 2012: 55)
membedakan konteks ke dalam empat klasifikasi yaitu sebagai berikut.
1. Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu
komunikasi.
2. Konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui
oleh penutur dan mitra tutur.
3. Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang
mendahului atau mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi,
konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.
4. Konteks sosial yakni relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara
penutur dan mitra tutur.

F. Unsur-Unsur Konteks

Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49) mengatakan bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING,
yakni sebagai berikut.

a. Setting and Scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau
situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang bahasa yang berbeda.
Berada di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam
situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan
pada waktu banyak orang membaca dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak
bola seseorang biasa berbicara keras-keras tetapi di ruang perpustakaan sedapat
mungkin pelan.
b. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara
dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua
orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau
pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan
jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan
sangat menentukan ragam atau gaya bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang
anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan
orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan ketika berbicara dengan teman
sebayanya.
c. Ends merujuk pada maksud dan tujuan yang diharapkan dari pertuturan.
d. Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran itu
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
e. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat.
f. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu
pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek, fragam, dan register.
g. Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan
yang dipakai pada suatu peristiwa tutur, juga mengacu pada norma penafsiran
terhadap ujaran dari lawan bicara.
h. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai