Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rinitis alergi merupakan suatu reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat
paparan alergen terhadap individu yang telah tersensitisasi dan ditandai dengan gejala
berupa bersin (5-10 kali berturut-turut), rinore, hidung tersumbat serta dapat dijumpai
mata berair, rasa gatal (pada mata, hidung, telinga, tenggorokan, palatum), post nasal drip,
tekanan pada sinus, dan rasa lelah. Berdasarkan bangkitannya, rinitis alergi dapat terjadi
secara seasonal (musiman) ataupun secara parennial (menahun). Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma (ARIA) telah mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan lamanya
serangan (intermittent/persistent) dan derajat keparahan penyakit (mild/moderate/severe).1
Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan dan telah menjadi
masalah global yang menyerang 10-20 % populasi dunia. Oleh sebab itu, rinitis alergi
telah menjadi masalah kesehatan yang serius dikarenakan prevalensinya yang terus
meningkat dan memberikan dampak terhadap kehidupan sosial, aktivitas sekolah, dan
produktivitas kerja penderita.2
The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) telah
melakukan pemetaan terhadap prevalensi rinitis alergi di beberapa negara belahan dunia,
antara lain: USA (12-30%), Amerika Latin (5,5-45,1%), Afrika (7,2- 54,1%), Eropa (23-
30%), Turki (2,9-37,7%), kawasan Timur Tengah (7,4-45,2%), China / Hong kong /
Taiwan (1,6-43%), Australia (12,41,3%), Asia Tenggara (5,5-44,2%), dan Jepang / Korea
(9,1-35,7%).3
Selanjutnya penelitian Wong et al lebih spesifik di kawasan Asia Pasifik
menunjukkan prevalensi berdasarkan usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Pada anak usia 6-7
tahun, di Jepang 10,6%, Korea (Seoul) 9%, Thailand (Bangkok) 13,4%, Singapura 8,7%,
dan Indonesia 3,6%. Sementara untuk anak usia 13-14 tahun, di Jepang 17,6%, Korea
(Seoul) 11,9%, Thailand (Bangkok) 23,9%, Singapura 16,5%, dan Indonesia 4,8%. Dari
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa negara dengan prevalensi tertinggi di Asia
Pasifik adalah Hong Kong dan Thailand (Bangkok).4

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


2.1.1. Anatomi Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri
dari 1) lubang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.5

2.1.2. Anatomi Hidung Dalam


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di
pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.5

2
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding medial, lateral, inferior dan superior.5
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah 1)lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista
nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1)
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan
diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema

3
ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.5
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.5

2.1.3 Batas rongga hidung


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-sarabut saraf olfaktorius. Dibagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.5

2.1.4 Persarafan Hidung (Cavum Nasi)


Nervus olfaktorius atau saraf penciuman, merupakan juluran sentral dari sel-sel
saraf reseptor olfaktorius didalam membran mukosa bagian atas rongga hidung (diatas
konka nasalis superior). Berkas-berkas serabut saraf ini berjalan melalui lubang didalam
lamina cribrosa os etmoidalis dan berakhir pada bulbus olfaktorius didalam fossa cranii
anterior. Dari ujung posterior bulbus olfaktorius keluar sebuah pita putih yang disebut
traktus olfaktorius yang berjalan kebelakang menuju ke area olfaktorius cortex cerebri.1
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi oftalmika dan maxillaris nervus trigeminus.
Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari nervus etmoidalis anterior. Persarafan
bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus
palatinus ganglion pterygopalatinum.1

4
2.1.5 Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna, dibagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna
diantaranya adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri Fasialis.5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, etmoid, labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama
pada anak.5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup
sehingga merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke
intrakranial.5

2.1.6 Fisiologi Hidung


Mukosa Olfaktorius mengandung tiga jenis sel: reseptor olfaktorius, sel penunjang
dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus yang melapisi saluran hidung. Sel-
sel basal adalah prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru, yang diganti setiap
dua bulan. Sel-sel olfaktorius sendiri merupakan ujung-ujung neuron aferen khusus dan
satu-satunya neuron yang mengalami pembelahan sel. Akson-akson sel reseptor secara
kolektif membentuk saraf olfaktorius. Bagian reseptor dari sel olfaktorius terdiri dari
sebuah kepala yang menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang meluas ke
permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat pengikatan untuk melekatnya molekul-
molekul odoriferous (pembentuk bau).6
Agar dapat berikatan dengan sel-sel olfaktorius dan dapat membentuk bau maka
suatu bahan harus:6

5
• Cukup mudah menjadi gas (mudah menguap), sehingga sebagian melekulnya
dapat masuk ke hidung dalam udara yang dihirup

• Cukup mudah untuk larut-air, sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus yang
melapisi mukosa olfaktorius.
Pengikatan suatu molekul odoriferous ke tepat perlekatannya disilia akan
menyebabkan pembukaan saluran-saluran Na+ dan K+. Terjadi perpindahan ion-ion yang
menimbulkan depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya potensial
aksi di serat aferen. Serat-serat aferen berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng
tulang datar yang memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak diatasnya. Serat-serat
tersebut segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur saraf kompleks yang
mengandung beberapa lapisan sel yang berbeda-beda. Serat yang keluar dari bulbus
olfaktorius berjalan melalui dua rute:6
• Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di sistem limbik,
khususnya sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap sebagai korteks
olfaktorius primer)

• Rute talamus kortikal dimana rute ini mencakup keterlibatan hipotalamus,


memungkinkan koordinasi erat antara reaksi penciuman dan perilaku, dan rute ini
juga penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus penciuman.

Fungsi Hidung5
• Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.

• Fungsi penciuman karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidung\fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang.

• Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.

• Refleks nasal.

6
2.1.7. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam
rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, mulai dari yang terbesar yaitu
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun.3

Dikutip dari: Atlas of Human Anatomi7


Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal
7
2.2. Rinitis Alergi
2.2.1. Definisi rinitis alergi

Rinitis Alergi (RA) adalah suatu penyakit respon inflamasi yang diperantarai oleh
IgE pada membran mukosa hidung setelah terpajan oleh alergen inhalan. Gejalanya
meliputi rinore (anterior atau posterior), hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin.8

2.2.2. Klasifikasi rinitis alergi


Rinitis alergi dahulu diklasifikasikan berdasarkan waktu serangannya, dibagi
menjadi seasonal (musiman) dan parennial (menahun). Rinitis alergi parennial sering
disebabkan oleh alergen yang berasal dari dalam rumah seperti debu, tungau, jamur, dan
insekta. Sedangkan rinitis alergi seasonal berkaitan dengan variasi alergen di luar
lingkungan rumah seperti polen (serbuk sari) ataupun jamur. Namun klasifikasi ini masih
belum memuaskan, sehingga ARIA – WHO melakukan revisi dan mengklasifikasikannya
berdasarkan lamanya serangan dan derajat keparahan.9

Tabel 2.1 Klasifikasi Rinitis Alergi9


Klasifikasi Gejala
Intermittent Gejala berlangsung kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
Persistent Gejala berlangsung lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4
minggu
Mild Tidak ditemukan gangguan tidur,
aktivitas harian, olahraga,
bersantai, aktivitas sekolah dan
bekerja
Moderate – Severe Ditemukan adanya gangguan
tidur, gangguan terhadap aktivitas
harian, olahraga, bersantai,
aktivitas sekolah dan bekerja

8
Berdasarkan tabel di atas, maka rinitis alergi diklasifikasikan menjadi:9
• Rinitis alergi dengan gejala intermittent – mild

• Rinitis alergi dengan gejala intermittent – moderate-severe

• Rinitis alergi dengan gejala persistent – mild

• Rinitis alergi dengan gejala persistent – moderate-severe

2.2.3. Epidemiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negara berkembang. Dengan
prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA).Menurut American Academy of Allergy Asthma & Immunology (AAAAI)
berdasarkan data World Health Organization (WHO) rinitis alergi menyerang 10% - 30%
populasi di dunia. Sedangkan di asia pasifik sendiri dilaporkan oleh Wong et al.bahwa
pada kelompok dewasa muda, gejala rhinoconjunctivitis menduduki peringkat menengah
menurut skala global. Namun, negara dengan prevalensi tertinggi adalah Hongkong dan
Thailang (Bangkok).Pada kelompok anak-anak berumur 6-7 tahun, Asia-Pasifik
menduduki peringkat ketiga tertinggi untuk kejadian rhinoconjunctivitis berulang.
Berdasarkan pola global, prevalensi penyakit alergi, asma, dan rhinoconjunctivitis lebih
tinggi daripada negara berkembang, seperti Korea, Jepang, Hongkong dan Singapura.
Prevalensi terendah dari gejala asma dilaporkan pada Negara yang kurang berkembang,
seperti Indonesia, beberapa daerah di Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara
China.4

2.2.4. Faktor resiko rinitis alergi

Gejala dari rinitis alergi berkembang sebelum usia 20 tahun pada 80% kasus. Pada
anak yang memiliki riwayat rinitis alergi pada kedua orang tuanya, akan mendapatkan
rinitis alergi pada usia yang lebih muda dibanding dengan anak yang memiliki riwayat
rinitis alergi pada salah satu orang tuanya. Rinitis alergi berkembang pada 1 dari 5 orang
anak pada usia 2-3 tahun dan kurang lebih 40% pada usia 6 tahun. Sekitar 30%
berkembang pada usia remaja. Pada anak-anak rinitis alergi lebih dominan terjadi pada
anak laki-laki daripada perempuan. Tetapi pada orang dewasa prevalensinya lebih sering
terjadi pada perempuan. Beberapa faktor resiko lainnya yang berpengaruh adalah :

9
• Riwayat atopi dari keluarga. Ada peranan genetik yang turut menentukan kondisi
ini. Beberapa penelitian menemukan adanya bentuk polimorfisme pada beberapa
kromosom (1,2,3,5,6,7,9,11,12,13,14,16,17,19,dll) dan juga dijumpai adanya
perbedaan distribusi allel yang berkaitan alergi (IL-4 dan gen IL-4R) pada
beberapa ras.10

• Serum IgE > 100 IU/ml pada anak sebelum usia 6 tahun.

• Hasil positif pada uji cukit kulit / Skin Prick Test (SPT).11

• Terpapar alergen. Alergen inhalan merupakan faktor utama. Alergen inhalan


yang paling sering terlibat adalah debu, tungau rumah (Dermatophagoides
pteronyssinus & Euroglypus maynei), polen, jamur, bulu binatang, polusi (NO,
Sulfur dioksida, CO, ozon) . Makanan jarang menyebabkan terjadinya rinitis
alergi.9

2.2.5. Patofisiologi rinitis alergi


Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi oleh IgE.
Reaksi terdiri atas 2 fase yaitu: 1) reaksi fase cepat, yang terjadi segera setelah paparan
dengan alergen, 2) reaksi fase lambat, yang terjadi setelah 4-8 jam setelah paparan
alergen.5

10
Gambar 2.3. Mekanisme Rinitis Alergi12

Reaksi alergi tipe I diawali dengan adanya sensitisasi. Pada fase ini, setiap alergen
/antigen yang masuk ke mukosa akan diangkut oleh antigen presenting cell (APC) melalui
MHC Class II ke sel CD+4 T limfosit (T cell). T cell akan berdiferensiasi menjadi sel Th1
dan Th2. Selanjutnya sel Th2 akan melepaskan berbagai sitokin seperti IL-4 dan IL-13.
Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel B dan mengaktifkan sel
B untuk memproduksi IgE spesifik antigen yang akan berikatan pada permukaan sel mast
dan basofil pada reseptor Fc.13
Jika suatu saat alergen yang sama terpapar kembali pada mukosa hidung yang telah
tersensitisasi, maka alergen tersebut akan berikatan dengan kompleks IgE dan akan
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan basofil yang akan mengeluarkan
mediator – mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin, leukotrien, prostaglandin,
heparin, kinin, dan protease.13 Mediator seperti histamin akan langsung mempengaruhi
pembuluh darah (meningkatkan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma) dan ujung
saraf sensoris, sedangkan leukotrien menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi dari saraf
sensoris akan menimbulkan rasa gatal dan berbagai refleks sentral. Hal tersebut meliputi

11
refleks bersin dan refleks parasimpatis yang menstimulasi sekresi banyak mukus di hidung
dan kejadian vasodilatasi. Hiperresponsif saraf sensoris merupakan gejala yang paling
menonjol pada rinitis alergi.14
Pada reaksi fase lambat, mediator inflamasi yang paling berperan adalah eosinofil.
Aktivasi dari eosinofil ini akan mengeluarkan beberapa produk granul yang toksik seperti
major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), dan eosinophil peroxidase
(EPO) yang dapat merusak sel – sel epitel dari rongga hidung.13

2.2.6. Manifestasi klinis rinitis alergi


a) Bersin
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut
juga sebagai bersin patologis.15 Bersin terjadi disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf
sensorik (trigeminus) di mukosa hidung yang ditransmisikan ke pusat bersin di medulla
oblongata. Efek iritan dari histamin pada saraf sensorik dibangkitkan oleh alergi dan
menyebabkan bersin.16

b) Watery Rhinorrhea
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi).15 Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf
parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicu pelepasan asetilkolin oleh
saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsung pada pembuluh darah mukosa hidung dan
menyebabkan kebocoran plasma.16

c)Pembengkakan Mukosa Hidung


Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Pembengkakan
mukosa hidung disebabkan oleh edema pada mukosa hidung akibat kebocoran plasma dan
kongesti pembuluh darah mukosa. Aksi langsung oleh mediator inflamasi seperti histamin,

12
PAF, prostaglandin D2, kinin, dan secara spesifik, eosinofil, memegang peranan penting
pada pembengkakan mukosa hidung yang diobservasi pada fase akhir. Fase awal rinitis
alergi disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe1 IgE. Lalu, sel inflamasi yang
menginfiltrasi menyebabkan fase akhir. Iritasi antigen yang berlangsung terus menerus
menyebabkan lesi kronik. 16

d) Gejala lain17
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
1. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat
muncul kebiruan.
2. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii.
3. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid.
4. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.18

2.2.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini terutama
merupakan gejala pada Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan kadang-kadang pada Reaksi
Alergi Fase Lama (RAFL) sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang

13
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.15,19 Perlu
ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting.
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain
yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan
lingkungan kerja dan dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan dengan
awitan gejala. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif.20

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi, sekaligus juga
menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip hidung, atau tumor. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai aanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak pada
muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung . Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance)
serta dinding faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.19

14
Gambar 2.4 Gejala spesifik pada pemeriksaan fisik rinitis alergi

3. Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
 Pada hitung darah lengkap, eosinofilia perifer bisa ditemukan tetapi temuan ini
tidak konsisten, dapat normal ataupun meningkat. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.15
 Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

15
bermakna adalah Radioallergosorbent test (RAST) merupakan suatu uji in vitro dan
mengukur konsentrasi antibodi IgE spesifik pada serum pasien, atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan ini dapat dilakukan
tetapi hasilnya kurang spesifik bila dibandingkan dengan uji alergi pada kulit.15
 Uji provokasi hidung merupakan metode untuk merangsang mukosa hidung
dengan cara meletakkan sedikit alergen pada ujung tusuk gigi dan meminta pasien
untuk menghirup. Hal ini juga digunakan untuk mengobservasi apakah gejala
alergi muncul.21
 Nasal smear menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada rinitis alergi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat rinitis alergi aktif secara klinis atau
setelah uji provokasi hidung.16
 Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik.16

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.15
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT) namun gold standart diagnosis
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2 minggu. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.15

2.2.8. Diagnosa Banding rinitis alergi22


Diagnosa Banding dari Rinitis Alergi
1. Rinitis Vasomotor
2. Rinitis Virus

16
Berikut adalah perbandingan Rinitis Alergi dengan Rinitis Vasomotor :
Tabel 2.2 Perbandingan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor

Sedangkan rinitis virus penyebabnya beberapa jenis virus dan yang paling penting
adalah Rhinovirus. Penyakit ini sangat menular dan gejala apat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh.

2.2.9. Penatalaksanaan rinitis alergi


Tujuan utama penatalaksanaan rinitis alergi adalah mengurangi gejala dan
memperbaiki HRQL. Pemilihan terapi dilakukan berdasarkan keparahan gejala, tipe
penyakit, dan gaya hidup.2
1. Terapi Nonfarmakologi
a.Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit,
dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk mengurangi

17
gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi hipersensitivitas,
atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai
keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi
yang salah dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat yag diresepkan.23

b.Menghindari alergen secara komplit


Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.15 Menurut studi placebo-controlledoleh
penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah akses serbuk sari ke dalam
hidung,mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi terhadap serbuk sari.23

2. Terapi Farmakologi
a.Topikal
1. Kortikosteroid Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone, ciclesonide,
triamcinolone, flunisolide, beclametason, dan betamethasone. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respon fase
lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid tropikal.
Keuntungan: terapi anti inflamasi paling poten, sangat mengurangi gejala
pada hidung, memiliki efek pada gejala konjungtiva, memperbaiki
HRQL,bioavailibilitas rendah. Kerugian: membutuhkan beberapa hari untuk
mengurangi gejala dan memiliki efek samping epistaxis

2. Antihistamin : Azelastine, Olopatadine


Keuntungan: efektif dan aman untuk mengatasi gatal pada hidung, bersin,
dan rhinorrhea, onset cepat (15 menit). Kerugian: pengabaian terhadap
gejala sistemik lain.

3. Chromone : Sodium cromoglicate, nedocromil sodium


Keuntungan: aman untuk gejala rinitis alergi. Kerugian: penggunaan
beberapa kali sehari, efek pada gejala lemah

18
4. Antikolonergik: Ipratropium bromide
Keuntungan: efek baik hanya pada gejala rhinorrhea karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor bermanfaat. Kerugian: penggunaan
3 kali sehari. Efek samping: hidung kering, epistaxis, retensi urin, dan
glaukoma.

5. Dekongestan: Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline


Keuntungan: agen vasokonstriktif yang poten hanya pada hidung tersumbat,
onset cepat (10 menit). Kerugian: sering digunakan pasien secara berlebihan,
efek samping iritasi hidung dan gejala rhinorrhea memburuk (rebound
phenomenon)

b. Sistemik
1. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). 15
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Generasi pertama – tidak dianjurkan karena
efek samping sedasi dan retardasi psikomotor. Preparat simpatomimetik
golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis medikamentosa.15
Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine, desloratadinedan
loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine, carebastine dan ebastine.
Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal, bersin, dan
rhionrrhea, mengurangi gejala konjungtiva, onset cepat (1 jam),

19
daninteraksi obat sedikit. Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang
baik.15

2. Kortikosteroid: Hydrocortisone, prednisolone


Keuntungan: terapi anti inflamasi sistemik, mengurangi seluruh gejala.
Kerugian: hanya boleh digunakan jangka pendek.23

3. Antileukotrien
Antagonis respetor rleukotrien: montelukast dan zafirlukast. Inhibitor sintesis
leukotrien: zileuton. Hanya montelukast yang boleh digunakan sebagai terapi
rinitis alergi. Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat, rhinorrhea, dan
gejala konjungtiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberap apasien,
umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping: sakit kepala, gejala pada
sistem pencernaan, ruam, dan sindrom Churg-Strauss.23

4. Dekongestan: Pseudoephedrine.
Keuntungan: mengurangi gejala hidung tersumbat. Efek samping: hipertensi,
insomnia, agitasi, dan takikardi.23

3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat.15

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan igE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.15

20
Gambar 2.5. Guideline Diagnosis dan Pengobatan Rinitis Alergi 24

21
Gambar 2.6. Algoritma penatalaksanaan rinitis alergi berdasarkan ARIA-WHO25

2.2.10. Komplikasi
1.Sinusitis berulang
Gajala klinis saat rinitis alergi mengalami eksaserbasi dapat menyebabkan
obstruksi pada sinus paranasal dan menyebabkan sinusitis berulang. Sinusitis paranasal
merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga
terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein
basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.23

22
2. Polip hidung
Iritasi yang terjadi padamukosa hidung secara berulang pada rhinitis alergi dapat
memicu pertumbuhan polip pada hidung. Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.15

3. Otitis media serosa akut


Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. Kondisi ini dapat terjadi
karena adanya penyumbatan berulang pada tuba Eustachius. 15

4. Masalah orthodontic
Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkan pasien bernapas melalui
mulut. Kondisi ini, terutama pada anak-anak dapat menyebabkan masalah orthodontic.23

5. Asma bronkial
Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada saluran napas bagian
bawah termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan biokimia. Survei epidemiologi
menunjukkan bahwa rinitis alergi merupakan faktor independen untuk terjadinya asma
bronkial.23

2.2.11. Prognosis
Pada umumnya prognosis dari rinitis alergi baik dan dapat diobati. Namun, pada
kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-
anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap alergen. Dan jika suatu zat
menjadi penyebab alergi bagi seseorang individu, maka zat tersebut dapat terus
mempengaruhi orang tersebut dalam jangka panjang. 26
Pada anak-anak, gejala pada hidung mengganggu kegiatan mereka di sekolah dan
menyebabkan mereka malu karena diejek teman-teman sekolahnya. Prestasi di sekolah
dapat menurun karena berkurangnya perhatian saat jam pelajaran, kelelahan, efek samping
pengobatan, dan sering tidak masuk sekolah. Penelitian pada remaja yang dilakukan di
Brazil menunjukkan bahwa gejala fisik (paling sering pada hidung) lebih sering

23
dikeluhkan daripada gejala emosional. Faktor-faktor ketidaknyamanan lain yang juga
sering disebutkan antara lain kelelahan, haus, rasa cemas, penggunaan obat, dan perasaan
malu saat gejala muncul.27
Pada 9 dari11 penelitian yang dilakukan oleh para ahli pada tahun 1991-2009,
didapatkan data bahwa rhinitis alergi berkolerasi dengan gangguan ansietas. Berdasarakan
data pada10 dari 12 penelitian yang dilakukan para ahlipada tahun 1993-2008, penderita
rinitis alergi kelompok usia remaja memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami
depresi.28

24
BAB 3
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,


rinore, rasa gatal dan hidung tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah,
kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang
masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut,
udang, kepiting dan kacang-kacangan, alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau
tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah dan alergen kontaktan yang masuk melalui
kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa
bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai keluar air mata (lakrimasi). Pada anamnesis perlu
ditanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada
pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer dan banyak.
Penatalaksaaan rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi dan edukasi pada pasien. Dan komplikasi yang
sering adalah sinusitis berulang, polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan
asma bronkial. Serta untuk prognosis umumnya baik pada pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Brożek JL, Bousquet J, Baena-Cagnani CE, Bonini S, Canonica GW, Casale TB.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) Guidelines 2010 Revision. J
Allergy Clin Immunol. 2010 Sept;126(3):466-76.
3. Mangunkusumo, E & Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
N.; Bashiruddin, J.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi 6.
Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 150-154.
4. Wong GW, Ting FL, Ko FW. Changing Prevalence of Allergic Disease in The Asia-
Pacific Region. Allergy Asthma and Immunology Research. 2015 Sept;5(5):251-7.
5. Soetjipto, D & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.; Iskandar,
Nurbaiti.; Bashiruddin, Jenny.; Restuti,R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL,
Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Hal, 119-122.
6. Sherwood, L., 1996. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Netter, F.H., 2011. Atlas of Human Anatomy, Edisi 5. Philadephia: Saunders Elsevier.
8. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR, et al.
Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. J Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2015;152(IS):S1-S43.
9. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens W, Togias A. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008 Update In Collaboration with the World
Health Organizatio, GA2LEN, and AllerGen. Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma; 2008.
10. Wang DY. Risk Factors of Allergic Rhinitis. J Therapeutics and Clinical Risk
Management. 2005;1(2):115-23.
11. Wallace DV, Dykewicz MS. The Diagnosis and Management of Rhinitis: An Updated
Parameter. J Allergy Clin Immunol. 2008 August;122(2):S1-S84.
12. Okubo K, Kurono Y, Fujieda S, Ogino S, Uchio E, Odajima H, et al. Japanese
Guideline for Allergic Rhinitis 2014. Allergology International. 2014;63(3):357-75.
13. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Proceedings
of American Thoracic Society. 2011;8:106-14.
14. Wheatley LM, Togias A. Allergic Rhinitis. N Eng J Med. 2015 Jan;372(5):456-63.
26
15. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
16. Okubo, K. etal., 2011, JapaneseGuidelineforAllergicRhinitis,
AllergologyInternational, 60 (2): 171-189.
17. Bousquet,Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001
18. Lumbanraja, P.L.H., 2007, Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di
Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, USU Repository.
19. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.\
20. Rusmono N, 1993. Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang Telinga,
Hidung dan Tenggorakan, Dalam: Kumpulan Makalah Kursus Penyegaran Alergi
Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit Tinggi, pp.1-5.
21. Dhingra PL, 2010. Anatomy of Ear, in Disease of Ear, Nose, and Throat.5rd ed.
Elsevier. New Delhi. p : 3-22.
22. Fadhila, H., Aryani, A.,, 2011. Rinitis Alergi. FK USU. Medan. p : 1-18.
23. Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic
Rhinitis. Lancet 2011;378:2112-22. Available
from:http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?accountid=50257
[Accessed 24 February 2019]
24. Guideline Penyakit THT di Indonesia. Dalam: Soetjipto D, Wardhani RS, penyunting.
Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007;59
25. Min YG,. The pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy
Asthma Immunol Res. 2010;2:65-76
26. National Library of Medicine Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm [Diakses 24 February 2019]
27. da Silva, C.H.M, da Silva, T.E., Morates, N.M.O., Fernandes, K.P., and Pinto, R.M.C.
2009. Quality of Life in Children and Adolescents with Allergic Rhinitis. Braz. J.
Otholaryngol. 2009;75(5):642-9. Available from:
www.scielo.br./pdf/bjorl/v75n5/v75n5a05.pdf. [Accessed 24February 2019]
28. Sansone, R.A. and Sansone, L.A. 2011. Allergic Rhinitis: Relationships with Anxiety
and Mood Syndromes. Innov Clin Neurosci. 2011;8(7):12–17.

27
28

Anda mungkin juga menyukai