Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga secara eufemistis sebagai
anak mandiri. Sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang tersisih, marginal dari perlakuan
kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan
lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Diberbagai sudut kota,
sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang
atau bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum, sekedar untuk menghilangkan rasa lapar
dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya. Tidak jarang pula mereka dicap sebagai
pengganggu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor, sehingga yang namanya razia atau
penggarukan bukan lagi hal yang mengagetkan meraka.
Marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat tepat untuk
menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan
jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan umumnya juga tidak
menjanjikan prospek apapun dimasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung
akibat jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial yang
sangat rawan. Adapun disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar
menawar (bargainingposition) yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi
objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak
bertanggung jawab.
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di kota besar yang tidak dibarengi dengan
meningkatnya kesejahteraan, mengakibatkan semakin tingginya ketimpangan social yang
terjadi di masyarakat. Seiring dengan semakin padatnya populasi penduduk yang tidak diikuti
peningkatan penghasilan perkapita, menjadikan masyarakat memiliki beban berat dalam
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan hidup manusia meliputi sandang, pangan, dan papan.
Serta kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat pula terutama dinegara berkembang,
salah satunya Indonesia.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor banyaknya masyarakat mempunyai
pendidikan rendah dan mengakibatkan ruang gerak mereka menjadi sempit. Kebutuhan hidup
yang semakin tinggi dan pemasukan ekonomi yang rendah, menjadikan masyarakat merasa
terhimpit dan yang menjadi korban bukan hanya orang dewasa, akan tetapi anak-anak kecil.
Mereka menjadi korban karena orang tuanya yang terhimpit masalah ekonomi dan tidak
mampu menyekolahkan mereka demi masa depan mereka dan memperbaiki kehidupan
mereka. Akhirnya dengan sangat terpaksa, anak-anak yang seharusnya mengenyam
pendidikan di usia mereka, harus bekerja membantu orang tuanya untuk memenuhi
kebutuhan mereka.Melihat kenyataan yang seperti ini sangatlah miris, sehingga membuat
Rumah Belajar Pandawa tergerakmerangkul mereka untuk mendapatkan pendidikan yang
yang layak, berusaha menjadikan anak-anak jalanan ini setara dengan anak-anak yang lain
yang mengenyam pendidikan formal, selain itu Mengupayakan agar anak-anak jalanan

1
disekitar daerah ini bisa bergabung dengan anak-anak yang lain untuk belajar di Rumah
Belajar Pandawa, sehingga diharapkan mampu meminimalisir rendahnya pendidikan bagi
anak-anak jalanan.
Dalam penanganan anak jalanan, pemerintah Indonesia memiliki berbagai regulasi
dasar, diantaranya yaitu Pasal 34 UUD 1945, Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999
bagian kesepuluh, Keppres No. 36 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, UU
kesejahteraan anak No.4 Tahun 1979, dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988. Selain
aspek regulasi, pemerintah Indonesia juga memiliki beragam program yang diberikan kepada
anak jalanan. Namun, beragamnya program tersebut tidak berdampak kepada tahap
perubahan sosial dalam diri anak jalanan. Anak jalanan dalam KHA (Konvensi Hak Anak)
disebutkan bahwa anak jalanan merupakan satu kelompok anak yang berada dalam kesulitan
khusus (children in especiallydifficultcircumtance) yang menjadi prioritas yang harus segera
ditangani. Adanya berbagai kebijakan dan program telah membawa dampak positif terhadap
tataran mikro, akan tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan pada tataran makro.
Berbagai kebijakan dan program dapat memperlambat pertumbuhan anak jalanan, namun
belum berpengaruh terhadap pengurangan jumlah anak jalanan. Di Kota Surabaya, jumlah
anak jalanan cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Seperti yang tercantum dalam tabel
berikut ini. Jumlah Anak Jalanan di Kota Surabaya
Tahun Jumlah
2012 114
2013 94
2014 76
2017 50

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana program pengembangan kapasitas (capacity buiilding) dinas sosial surabaya
dalam pemberdayaan anak jalanan?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengembangan
kapasitas (Capacity Building) pada tingkat individu pada anak jalanan dikota Surabaya.

2
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran serta wacana terkait dengan perlindungan anak jalanan
dan sebagai pengembangan Ilmu Pemerintahan
Manfaat Praktis
1.Bagi Mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan serta menjadi refrensi
mengenai pengembangan kapasitas
2.Bagi Instansi
Menjadi bahan masukan dan informasi bagi instansi terkait mengenai pengembangan
kapasitas (Capacity Building) pada anak jalanan yaitu
-Anak Jalanan
-Dinas Sosial Surabaya

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
sekarang mengenai capacity building dalam pengembangan kapasitas adalah yang dilakukan
oleh :
2.1.1. RIZA AZWARI
Penelitian yang dilakukan ini berjudul “pemberdayaan anak jalanan di lembaga sosial
hafara yogyakarta”
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang di lakukan dalam bab sebelumnya maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Program pemberdayaan anak jalanan yang dikhususkan bagi mereka hanya dua program
yakni pendidikan dan pengelolaan kemampuan soft skill. Pendidikan dalam hal ini dibagi ke
dalam dua yakni formal dan non formal. Anak jalanan yang sudah mampu kembali dari track
jalanan menjadi anak pada umumnya mereka kembali bersekolah formal sepeti SD, SMP dan
SMA
2.Proses pemberdayaan bagi anak jalanan yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Hafara
adalah sebagaimana berikut ini:
a. Pendampingan/voulenteer. Karena perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan
anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak
dikasihi, kita dapat memulihkan sikap percaya diri mereka, dengan waktu yang kita berikan
untuk mendampingi mereka. Sikap “Penerimaan kita” tersebut, dapat mengatasi “luka masa
lalu” mereka.
b. Bantuaan pendidikan. membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar,
memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan, Bimbingan Uper (Ujian
Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah dan bantuan “Beasiswa”
(memang pemerintah telah membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri/swasta.
c. Bantuan Kesehatan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, serta lingkungan
yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan sakit dan penyakit.
2.1.2 FRANSISCA NUGRAENY TIRTANINGTYAS
Penelitian yang dilakukan ini berjudul “pemberdayaan anak jalanan (penelitian deskriptif
pada Lsm rumah impian di kalasan sleman) Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan, maka peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut:
Pemberdayaan anak jalanan di LSM Rumah Impian dengan menggunakan strategi digunakan
untuk kegiatan pemberdayaan anak jalanan, adanya sebagian anak jalanan yang malas
mengikuti kegiatan pemberdayaan dan mempengaruhi anak jalanan lainnya, dan adanya
beberapa orang tua yang melarang anaknya ikut kegiatan pemberdayaan, Hasil yang telah

4
dicapai LSM Rumah Impian sebagai pendamping anak jalanan yaitu dengan berkurangnya
jumlah anak jalanan di daerah binaan dan kembali kepada orangtua, selain itu hasil yang telah
dicapai dengan adanya beberapa anak jalanan yang kembali ke sekolah dengan mengikuti
kegiatan Hope Shelter. Dengan mengikuti kegiatan Hope Shelter, anak jalanan dapat hidup
lebih kondusif. Lokasi asrama Hope Shelter yang jauh dari jalan raya tidakmemudahkan anak
jalanan untuk kembali ke jalanan lagi. Sehingga optimisme dan semangat keberhasilan dari
pendamping dan pengelola untuk membina anak jalanan agar ke luar dari jalanan dan
memiliki mimpi sekaligus masa depan yang cerah telah terjawab.
2.1.3 OKTAVIANI SITI ROKHANI
Penelitian yang dilakukan ini berjudul’’ problematika anak jalanan di kota layak anak
(Studi Kasus Anak Jalanan di Kota Surakarta)’’
Kesimpulan dari skripsi ini adalah Pertama. berdasarkan narasumber yang berjumlah 8
(delapan) orang anak jalanan menyatakan bahwa, mereka turun ke jalanan karena 3 (tiga)
faktor: (1) Faktor ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga anak
turun ke jalanan dengan tujuan untuk membantu perekonomian keluarganya yang kurang; (2)
Faktor keluarga, kekerasan baik fisik maupun visual yang terjadi pada anak seringkali
menjadi faktor pendorong anak turun ke jalanan karena mereka menganggap jalanan adalah
tempat yang mengasikan tanpa harus memikirkan masalah yang ada di rumah, selain
kekerasan faktor keluarga ini juga meliputi perceraian atau ketidak harmonisan keluarga; (3)
Faktor lingkungan, anak yang berada di lingkungan yang penuh dengan orang jalanan mereka
akan menganggap bahwa kehidupan hanya berada disitu saja, tidak mengenal pendidikan dan
dunia yang layak pada umunya. Kedua, Anak jalanan yang ditemui oleh penulis juga
memberikan informasi bahwa mereka berada di jalanan juga mengalami berbagai
problematika yang sangat kompleks, yakni: (1) Problematika anak jalanan dengan anak
jalanan lainnya, contohnya berkelahi karena memperebutkan tempat mengamen atau alasan-
alasan yang lainnya; (2) Problematika anak jalanan dengan kehidupan jalanan yang keras,
tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban tindak pidana, bahkan ada beberapa dari
mereka yang menjadi pelaku tindak pidana karena untuk mempertahankan hidup di jalanan
dan pengaruh dari lingkungan jalanan yang keras; (3) Problematika anak jalanan dengan
aparat penagak hukum, pendekatan yang dilakukan Dinas Sosial dirasa kurang melayakkan
anak jalanan, mereka sering “kucing-kucingan” dengan petugas Dinas Sosial karena mereka
menganggap bahwa petugas Dinas Sosial adalah musuh bagi diri mereka berbeda dengan
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang lebih dianggap teman bagi anak jalanan.
Dalam hal ini penulis memberikan saran Pertama untuk pemerintah Kota Surakarta
untuk lebih mengawasi terhadap anak jalanan yang sudah tidak berada di jalanan, walaupun
mereka sudah tidak berkecimpung didunia jalanan akan tetapi kemungkinan mereka untuk
balik ke jalanan sangat besar. Kedua, untuk lebih banyak melakukan pendekatan dengan anak
jalanan, sehingga anak jalanan tidak merasa takut untuk dilakukan pembinan dan lebih
menjadikan pemerintah sebagai kawan bukan lawannya. Ketiga, selalu melakukan sharing
dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat) mengenai aktivitas, dan perkembangan anak
jalanan yang masih di jalanan dan yang sudah mendapat binaan, agar nantinya tidak kembali
ke jalanan lagi.

5
2.1.4 PUTRI PRASTIWI ANDRIANI
Penelitian yang dilakukan berjudul ‘’ POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK JALANAN
(Studi Anak Jalanan di Kecamatan Way Halim)’’
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Pola Asuh Orangtua Pada Anak
Jalanan (Studi Anak Jalanan di Kecamatan Way Halim), dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orangtua pada anak jalanan di Kecamatan Way Halim adalah:
a. Pola asuh demokratis
Pola asuh ini orangtua memberikan perhatian, kasih sayang serta waktu untuk
anaknya.Orangtua memberikan anaknya kebebasan namun tetap dalam pengawasan atau
kontrol orangtua. Selain itu, orangtua memberikan peraturan yang tegas kepada anaknya,
sehingga ketika anak melakukan kesalahan maka akan diberikan hukuman.
b. Pola asuh penelantar
Pola asuh ini orangtua kurang memperhatikan anaknya, waktu yang diberikan kepada anak
sangat sedikit, orangtua sibuk dengan urusannya seperti bekerja atau urusan lainnya.
Orangtua memberikan kebebasan kepada anak tanpa adanya pengawasan. Meskipun
orangtua memberikan peraturan tetapi peraturannya kurang tegas, sehingga jika anak
melanggar tidak akan diberikan hukuman.
2.2 Kajian Teoritis / studi pustaka
A. Konsep Pengembangan Kapasitas
2.2.1 Pengertian Pengembangan Kapasitas (Capacity Building)
Definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli dengan ahli lainnya. Hal ini
dikarenakan capacity building merupakan kajian yang multi dimensi, dapat dilihat dari
berbagai sisi, sehingga pendefinisian yang masih sulit didapat. Secara umum konsep
capacity building dapat dimaknai sebagai proses membangun kapasitas individu, kelompok
atau organisasi. Capacity building dapat juga diartikan sebagai upaya memperkuat kapasitas
individu, kelompok atau organisasi yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan,
ketrampilan, potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu,
kelompok atau organisasi dapat bertahan dan mampu mengatasi tantangan perubahan yang
terjadi secara cepat dan tak terduga. Capacity building dapat pula dimaknai sebagai proses
kreatif dalam membangun kapasitas yang belum nampak. Pengertian mengenai karakteristik
dari pengembangan kapasitas menurut Milen (2004:16) bahwa Pengembangan kapasitas
tentunya merupakan proses peningkatan terus menerus (berkelanjutan) dari individu,
organisasi atau institusi, tidak hanya terjadi satu kali. Ini merupakan proses internal yang
hanya bisa difungsikan dan dipercepat dengan bantuan dari luar sebagai contoh
penyumbang (donator).

Proses meningkatkan kemampuan, keterampilan, bakat, dan potensi yang dimiliki


oleh individu, kelompok individu atau organisasi. Kemampuan tersebut guna memperkuat
diri sehingga mampu mempertahankan profesinya di tengah perubahan yang terjadi di

6
lingkungan individu, kelompok individu atau organisasi. Kemudian menurut Whardani
(2013:19) melihat capacity building yakni:

Suatu proses untuk melakukan sesuatu atau serangkaian gerakan, perubahan


multilevel di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan
sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu
dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada.

Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli dengan ahli
lainnya. Hal ini dikarenakan capacity building merupakan kajian yang multi dimensi dapat
dilihat dari berbagai sisi. Secara umum konsep capacity building dapat dimaknai sebagai
proses membangun kapasitas individu, kelompok atau organisasi. Hal senada dikemukakan
Sensions (2003:15) mendefinisikan bahwa :

Capacity building usually is understood to mean he lping governments,


communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve
their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant’s
abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may
include education and training, institutional and legal reforms, as well as
scientific, technological and financial assistance.

Penguatan kapasitas di atas, biasanya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah,


masyarakat dalam mengembangkan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan-tujuan. Program penguatan kapasitas (pengembangan kapasitas) pada
dasarnya didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi pilihan-pilihan
kebijakan mereka dan menjalankan keputusan-keputusannya dengan efektif. Pengembangan
kapasitas termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan
kelembagaan, pengetahuan, teknologi dan juga asistensi finansial. Kemudian Philbin
(2006:20) mendifinisikan Capacity Building sebagai berikut :

Capacity building is defined as the "process of d eveloping and strengthening the


skills, instincts, abilities, processes and resources that organizations and
communities need to survive, adapt, and thrive in the fast-changing world
penguatan kapasitas sebagai proses mengembangkan dan meningkatkan
keterampilan, bakat, kemampuan sumber daya organisasi sebagai kebutuhan
untuk bertahan, menyesuaikan diri, dan menumbuhkan organisasi di era
perubahan yang cepat.

Morgan merumuskan pengertian kapasitas sebagai kemampuan, keterampilan,


pemahaman, sikap, nilai-nilai, hubungan, perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-
kondisi yang memungkinkan setiap individu, organisasi, jaringan kerja/ sektor, dan sistem
yang lebih luas untuk melaksanakan fungsi-fungsi mereka dan mencapai tujuan
pembangunan yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, Milen melihat
capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan
faktor-faktor dalam suatu organisasi atau sistem tertentu pada suatu waktu tertentu. UNDP
(United Nations Development Program) dan CIDA (Canadian International Development
Agency) dalam Milen memberikan pengertian peningkatan kapasitas sebagai: proses

7
dimana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan
kemampuan mereka untuk (a) menghasilkan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
(core functions), memecahkan permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan, dan (b) memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan
dalam konteks yang lebih luas dalam cara yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
konsep pengembangan kapasitas menurut Grindle (1997) yang menyatakan bahwa
pengembangan kapasitas sebagai ability to perform appropriate task effectvely, efficiently
and sustainable. Bahkan Grindle menyebutkan bahwa pengembangan kapasitas mengacu
kepada improvement in the ability of public sector organizations.

Menurut Sedarmayanti (2005:336) pengembangan kapasitas kelembagaan/ penataan


kelembagaan merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang sangat penting dan
menentukan sehingga benar-benar pengarah pada upaya mewujudkan pemerintahan yang
memenuhi kriteria good governance. Suatu lembaga salah satu variable yang dianggap
penting dalam proses pengembangan kapasitas kelembagaan adalah mengembangkan pola
struktur organisasi. Karena struktur organisasi berkaitan dengan pembagian tugas yang
dapat menjadikan organisasi yang efesien, efektif, dan solidaritas tinggi dalam menjalankan
tugasnya sebagai wadah bagi pelaksanaan fungsi pemerintah.

2.2.2 Tujuan Pengembangan Kapasitas


Menurut Morrison bahwa Capacity Building (Pengembangan Kapasitas) adalah
serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan
responsifitas dari kinerja. Lebih lanjut Morrison mengatakan bahwa : Capacity Building
adalah pembelajaran, berawal dari mengalirnya kebutuhan untuk mengalami suatu hal,
mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian dalam hidup, dan mengembangkan
kemampuan yang dibutuhkan untuk beradaptasi menghadapi perubahan. Berdasarkan
pendapat ahli di atas, penjelasan tersebut menunjukkan bahwa adapun tujuan dari Capacity
Building (pengembangan kapasitas) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
a. Secara Umum diidentikan pada perwujudan sustainabilitas ( keberlanjutan ) suatu sistem.
b. Secara Khusus ditujukan untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik dilihat dari aspek :
1). Efesiensi dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan
guna mencapai suatu outcome.
2). Efektifitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan.
3). Responsifitas yakni bagaimana mensikronkan antara kebutuhan dan kemampuan
untuk maksud tersebut.
4). Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu grup, organisasi, dan sistem.
2.2.3 Karakteristik Capacity Building
Capacity Building (Pengembangan kapasitas) dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Merupakan sebuah proses yang berkelanjutan.
b. Memiliki esesensi sebagai sebuah proses internal.

8
c. Dibangun dari potensi yang telah ada.
d. Memiliki nilai intrinsik tersendiri.
e. Mengurus masalah perubahan.
f. Menggunakan pendekatan terintegrasi dan holistik.
Dari indikator-indikator di atas dapat dimaknai bahwa Capacity Building
merupakan suatu proses yang berlangsung secara berkelanjutan, bukan berangkat dari
pencapaian hasil semata, seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa Capacity Building
adalah proses pembelajaran akan terus melakukan keberlanjutan untuk tetap dapat
bertahan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi secara terus menerus.
Capacity Building bukan proses yang berangkat dari nol atau ketiadaan
melainkan berawal dari membangun potensi yang sudah ada untuk kemudian diproses
agar lebih meningkat kualitas diri, kelompok, organisasi serta sistem agar tetap dapat
beratahan di tengah lingkungan yang mengalami perubahan secara terus-menerus.
Capacity Building bukan hanya ditujukkan bagi pencapaian peningkatan kualitas pada
satu komponen atau bagian dari sistem saja, melainkan diperuntukkan bagi seluruh
komponen,bukan bersifat parsial melainkan holistik, karena Capacity Building bersifat
multi dimensi dan dinamis dimana dicirikan dengan adanya multi aktifitas serta bersifat
pembelajaran untuk semua komponen sistem yang mengarah pada sumbangsih
terwujudnya kinerja bersama (kinerja kolektif). Walaupun konsep dasar dari Capacity
Building ini adalah proses pembelajaran, namun Capacity Building pada penerapannya
dapat diukur sesuai dengan tingkat pencapaiannya yang diinginkan, apakah
diperuntukkan dalam jangka waktu yang pendek, menengah atau panjang. Proses
Capacity Building dalam tingkatan yang terkecil merupakan proses yang berkaitan
dengan pembelajaran dalam diri individu, kemudian pada tingkat kelompok, organisasi
dan sistem dimana faktor- faktor tersebut juga difasilitasi oleh faktor eksternal yang
merupakan lingkungan pembelajarannya. Dalam jangka waktu yang sangat panjang dan
terus menerus, maka pengembangan kapasitas memerlukan aktifitas adaptif untuk
meningkatkan kapasitas semua stakeholder-nya.
2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Capacity Building
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan
program pengembangan kapasitas. Namun secara khusus Soeprapto mengemukakan
bahwa faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pengembangan kapasitas adalah
sebagai berikut:
a. Komitmen bersama.
Collective commitments dari seluruh aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi
sangat menentukan sejauh mana pengembangan kapasitas akan dilaksanakan ataupun
disukseskan. Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus
ditumbuhkembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini akan menjadi
dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi.
Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah dan

9
juga staff yang dimiliki, sangatlah mustahil mengharapkan program pengembangan
kapasitas bisa berlangsung apalagi berhasil dengan baik.
b. Kepemimpinan.
Faktor conducive leadership merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam
mempengaruhi inisiasi dan kesuksesan program pengembangan kapasitas personal dalam
kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi publik, harus
terus menerus didorong sebuah mekanisme kepemimpinan yang dinamis sebagaimana
yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini karena tantangan ke depan yang semakin
berat dan juga realitas keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik.
Kepemimpinan kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen
organisasi dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah modal
dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju realisasi tujuan
organisasi yang diinginkan.
c. Reformasi peraturan.
Kontekstualitas politik pemerintahan daerah di indonesia serta budaya pegawai
pemerintah daerah yang selalu berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor
legal-formalprosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan
program pengembangan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah bagian dari
implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan maka
reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran peraturan yang kondusif) merupakan salah
satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.
d. Reformasi kelembagaan.
Reformasi peraturan di atas tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi
kelembagaan ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kepada pengembangan
iklim dan budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan program kapasitas personal dan
kelembagaan menuju pada realisasi tujuan yang ingin dicapai. Reformasi kelembagaan
menunjuk dua aspek penting yaitu struktural dan kultural. Kedua aspek ini harus dikelola
sedemikian rupa dan menjadi aspek yang penting dan kondusif dalam menopang program
pengembangan kapasitas karena pengembangan kapasitas harus diawali pada identifikasi
kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari personal dan lembaga tentang
kelemahan dan kekuatan yang dimiliki dari kapasitas yang tersedia (existing capacities).
Pengakuan ini penting karena kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan
setengah syarat yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan
kapasitas.

10
2.3 Kerangka Konseptual
Anak Jalanan Di Surabaya

Idividu Pengetahuan

Organisasi Ketrampilan

Kelembagaan Kompetensi

Capacity Building anak jalanan di surabaya

2.4 Definisi Konsep


Penelitian ini mengenai Pengembangan kapasitas (capacity buiilding) Dinas Sosial surabaya
dalam pemberdayaan anak jalanan yang bertujuan untuk mengetahui tindakan Dinas Sosial
Surabaya dalam melakakukan program pemberdayaan anak jalanan diarea surabaya.
Pengembangan kapasitas (Capacity Building) disini dimaksud dimana Dinas Sosial Surabaya
yang melakukan pemberdayaan pada anak jalanan dengan cara memberi fasilitas melalui
kampoeng anak negeri dengan melakukan kegiatan untuk mengasah pengetahuan,
keterampilan, beroganisasi dan pembinaan pada masing-masing individu anak jalanan yang
terlantar dan tidak tahu harus bagaimana menjalai hidupnya. Dengan pemberian fasilitas ini
para anak jalanan akan mendapatkan pendidikan dan ketrampilan yang sepadan dengan
masyarakat lainnya dan juga kemampuan untuk melakukan kegiatan sosial secara normal.

11
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ini bersifat deskriptif, dimana
peneliti akan menggambarkan karakteristik anak jalanan yang ada di kota Surabaya,
selanjutnya peneliti akan mencari alternative kebijakan yang sesuai dalam menangani anak
jalanan dan sesuai dengan karakteristik anak jalanan tersebut. Populasi dalam penelitian ini
adalah para pembuat dan pelaksana kebijakan dari Pemkot Surabaya dan anak jalanan.
Sampel akan ditarik secara The Sistematic Selection Procedur. Teknik ini digunakan dengan
nalar bahwa kita sudah mengetahui secara jelas kriteria sampel yaitu para pembuat dan
pelaksana kebijakan dan anak jalanan.
3.2 Fokus penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada pengembangan kapasitas anak jalanan di Surabaya.
Sasaran penelitian yaitu anak jalanan di kampoeng anak negeri di Jalan Wonorejo Timur No.
130 Rungkut,Surabaya.
Tingkat Individu:
1.Pengetahuan
-Tingkat pendidikan formal
-Tingkat pendidikan non formal
-Bentuk program peningkatan
2. Keterampilan
-Keterampilan origanisasi
-Keterampilan teknis
-Pelatihan minat dan bakat
-Pemyuluhan
3. Kompetensi
-Kemampuan berorganisasi
-Program peningkatan kompetensi

12
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah letak dimana penelitian akan dilaksanakan untuk
memperoleh data atau informasi yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Dalam penelitian ini, lokasi yang diambil adalah di kantor dinas sosial dan para anak jalanan
di Kampoeng Anak Negeri, Jalan Wonorejo Timur No. 130 Rungkut,
3.4 Teknik Pengambilan Data
Data akan dikumpulkan dengan cara mewancarai pegawai Dinas Sosial dan para anak
jalanan di kota Surabaya. Selain itu juga digunakan data sekunder yang mendukung, serta
dilakukan observasi lapangan. Data yang diperoleh di lapangan akan dianalisis secara
kualitatif, yaitu semua hasil wawancara, data sekunder, serta hasil pengamatan di lapangan
akan ditarik kesimpulan dengan cara menjelaskan menjadi suatu kesimpulan.
3.5 Teknik Penentuan Informasi
Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni (dalam Manalu, 2010), dalam penelitian
kualitatif posisi narasumber sangat penting. Ia bukan hanya sebagai sumber data, melainkan
juga sebagai aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian
berdasarkan informasi yang ia berikan. Untuk itu antara peneliti dan informan harus
berkedudukan sama, dan peneliti harus pandai menggali data atau informasi dengan cara
membangun kepercayaan, keakraban, dan kerjasama dengan subyek yang diteliti, di samping
tetap kritis.
Menurut Spreadly (1990: 57), agar lebih valid perolehan datanya, perlu dipertimbangkan
beberapa kriteria dalam menentukan informan, antara lain:
1. Subyek telah lama dan intensif menyatu dengan lokasi penelitian, ditandai oleh
kemampuan memberikan informasi di luar kepala tentang sesuatu yang dinyatakan.

2. Subyek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan yang menjadi
sasaran penelitian.

3. Subyek mempunyai cukup informasi yang dibutuhkan oleh peneliti, serta memilki banyak
waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.

Berdasarkan kriteria di atas, penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara
Snowball (karena peneliti tidak banyak tahu tentang populasi yang akan diteliti). Teknik ini
adalah pencarian info yang mula-mula dari satu informan, lalu kemudian berkembang dari
informasi yang diberikan oleh informan pertama sehingga menjadi dua atau lebih informan,
sampai tidak ada lagi variasi informasi-informasi yang didapat. Tehnik penelitian ini ibarat
bola salju menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dengan penjelasan lain bahwa
pertama-tama dipilih satu atau dua orang informan, tetapi karena dengan dua orang informan
tersebut belum dirasa lengkap data atau informasi yang diberikan, maka peneliti mencari
pengamen yang dipandang tahu dan dapat melengkapi informasi berdasarkan petunjuk
informan sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah informan semakin banyak.

3.6 Teknik Validasi Data

Metode wawancara dan Metode observasi. Disini peneliti melakukan triangulasi


sumber dan metode dengan melakukan beberapa hal.

13
Pertama, peneliti membandingkan hasil wawancara satu informan dengan informan lainnya.
Terhadap jawaban atas pertanyaan yang sama, peneliti melakukan pembandingan apakah
keterangan yang disampaikan oleh informan pertama bersesuaian, dibenarkan, dikuatkan
ataukah justru dibantah dan diklarifikasi oleh keterangan informan lainnya. Jika ternyata
ditemukan keterangan yang disampaikan justru dibantah akan diklarifikasi kebenarannya,
peneliti kembali akan melakukan wawancara untuk mencari kebenaran atas keterangan yang
disampaikan tersebut.Kedua, peneliti membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi.
Keterangan-keterangan yang disampaikan oleh informan dalam proses wawancara
selanjutnya dilakukan cross-check dengan dokumen-dokumen yang terkait dengan
keterangan dari informan tersebut. Ketiga, peneliti membandingkan hasil wawancara dengan
hasil pengamatan. Keterangan-keterangan yang disampaikan oleh informan akan
dibandingkan dengan catatan lapangan hasil pengamatan peneliti. Peneliti membandingkan
apakah yang diungkapkan informan dalam wawancara benar-benar terjadi atau dilaksanakan
di lapangan. Keempat, peneliti membandingkan hasil pengamatan dengan hasil dokumentasi.
Hasil catatan lapangan yang bersesuaian dengan informasi yang terdapat dalam dokumen
menunjukkan adanya kepatuhan pelaksana terhadap apa yang telah dituangkan dalam
dokumen-dokumen resmi tersebut.

3.7 Teknik Analisis Data


Analisis Data menurut Moloeng (2002:103) adalah proses mengatur urutan data
mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian besar. Analisis data
dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Miles dan
Huberman dalam H.B Sutopo, menyajikan dua model pokok proses pertama, model analisi
mengali, dimana tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan atau
verifikasi) dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data dan mengalir
bersamaan. Kedua model analisis interaksi, dimana komponen reduksi data dan sajian data
dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Setelah data terkumpul maka tiga
komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan) berinteraksi. Pengolahan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap yaitu:
a. Pengumpulan data
Peneliti mencatat semua data secara obyektif dan apa adanya sesuai dengan hasil
observasi dan interview di lapangan
b. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-
catatan tertulis di lapangan (Matthew B.Miles:1992)
c. Penyajian data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang member kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Matthew B.Miles: 1992)
d. Kesimpulan atau verifikasi data
Penarikan kesimpulan adalah sebagian dari suatu kegiatan konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung (Matthe
B.Miles,1992:19). Dalam penarikan kesimpulan ini didasarkan pada reduksi data dan
penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian

14
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Moleong, Lexi J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujarweni, Wiratna. (2014). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Suyanto,

Bagong. (2010). Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.


.
RUJUKAN DARI JURNAL :
Departemen Sosial RI, 2001, Intervensi Psikososial, Jakarta: Departemen Sosial.

Huraerah, Abu, 2006, Kekerasan Pada Anak, Bandung: Penerbit Nuansa. Mulandar,

Surya, 2002, Dehumanisasi Anak Marjinal, Yogyakarta: Nur Cahaya.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor


11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten atau Kota
Layak Anak

Suryanto, Febby HP,2015, “Surakarta Kota Layak anak Hanya Formalitas,” Jurnal
Serambi Hukum, No.02, Vol. 08, Agustus 2014 – Januari 2015.

Sukoco, Bambang, 2008. Anak jalanan Dan Hukum Pidana Sebuah Tinjauan terhadap
Fenomena Kriminalitas Anak jalanan Di Kota Surakarta. Skripsi. UMS Tidak di
publikasikan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang


Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .

Purnama dkk. 2012. Strategi Pemberdayaan Anak Jalanan pada Dinas Sosial Pemuda dan Olehraga Kota
Semarang. Semarang,
diakses tanggal 4 Juli 2013, pukul 09.00 wib,
http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/ippmr/article
/view/1613
Riska, Muhamad. 2010. Pola Pendampingan Anak Jalanan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah
Impian Yogyakarta. Yogyakarta (Skripsi). Universitas
Negeri Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai