Anda di halaman 1dari 59

PROFIL PENCITRAAN DELAY BERDASARKAN VARIASI

INDEKS MASSA TUBUH PASIEN TERHADAP NILAI


SUVMAX :
Studi pada Pemeriksaan 18F-FDG PET/CT pada Pelvis

PROPOSAL TESIS
Disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Strata 2
Magister Terapan Imaging Diagnostik

Oleh :

Dimas Prakoso
NIM. P1337430417017

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN IMAGING DIAGNOSTIK


PROGRAM PASCASARJANA POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2019
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tinjuan Penelitian..................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
E. Keaslian Penelitian ................................................................... 8
F. Ruang Lingkup ......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Positron Emission Tomography / Computed
Tomography (PET/CT)...................................................... 12
2. 18F-fluoro-deoxy-D-glukose (18F-FDG) ............................. 22
3. Teknik Pemeriksaan PET/CT ............................................ 25
4. Fase Delay dalam PET/CT ................................................ 27
5. Standarized Uptake Value (SUV) ..................................... 28
6. Indeks Massa Tubuh .......................................................... 31
B. Kerangka Teori ......................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Konsep ..................................................................... 36
B. Hipotesis Penelitian .................................................................. 37
C. Jenis dan Rancangan Penelitian................................................ 37
D. Populasi dan Sampel Penelitian................................................ 39
E. Definisi Operasional, Variabel Penelitian, dan Skala
Pengukuran ............................................................................... 41
F. Instrumentasi Penelitian ........................................................... 42
G. Prosedur Penelitian ................................................................... 42
H. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Hasil ............................ 44
I. Etika Penelitian ......................................................................... 45
J. Jadwal Penelitian ...................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 48
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Matriks Penelitian Terdahulu .......................................................... 8


Tabel 2.1. Karakteristik SUV pada 18F-FDG PET organ normal .................... 30
Tabel 2.2. Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT ....................................... 33
Tabel 3.1. Definisi Operasional ....................................................................... 41
Tabel 3.2. Instrumen Penilaian SUVmax ........................................................... 42
Tabel 3.3. Jadwal Penelitian............................................................................. 47

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sistem pada PET ......................................................................... 14


Gambar 2.2. Perbedaan konfigurasi detektor PET (a) detektor cincin
penuh (fullring), (b) detektor heksagonal panel, (c) Detektor
plat berbentuk kurva dari NaI(Tl) ............................................... 15
Gambar 2.3. Perbedaan hasil citra PET dan CT Scan (a) gambaran CT
Scan, (b) gambaran PET, (c) gambaran fusi PET/CT ................. 16
Gambar 2.4. Kombinasi PET dan CT Scan...................................................... 16
Gambar 2.5. Pinsip rekonstruksi backprojection ............................................. 19
Gambar 2.6. Proses rekonstruksi iterative ....................................................... 21
Gambar 2.7. Biokimia 18F-FDG ....................................................................... 23
Gambar 2.8. Kerangka Teori ............................................................................ 35
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 36
Gambar 3.2. Alur Penelitian............................................................................. 38
Gambar 3.3. Rancangan Eksperiman Penelitian .............................................. 39

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Kuesioner Penelitian


Lampiran 2. Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme

vi
DAFTAR ISTILAH

18
1. F-FDG
Perunut yang digunakan dalam pemeriksaan PET/CT yang masuk ke
dalam aliran darah dan mengikuti metabolisme tubuh.
2. Gula Darah Sewaktu (GDS)
Pengukuran kadar glukosa dalam darah untuk menentukan seseorang
memiliki kadar gula yang rendah, normal, maupun tinggi.
3. Indeks massa tubuh
Ukuran yang menentukan status gizi seseorang dari perbandingan berat
dan tinggi badan.
4. Positron Emission Tomography / Computed Tomography (PET/CT)
Modalitas pemindai dalam bidang radiologi kedokteran nuklir
menggunakan radiofarmaka dimasukkan dalam tubuh untuk diagnostik,
terapi, maupun paliatif untuk melihat perubahan anatomi dan fisiologi
secara molekul dari organ tubuh.
5. Radiofarmaka
Senyawa kimia mengandung radioaktif yang digunakan dalam bidang
kedokteran nuklir untuk diagnostik maupun terapi.
6. SUVmax
Analisis citra PET secara kuantitatif dengan melihat nilai uptake 18F-FDG
optimum yang telah masuk kedalam tubuh.
7. Waktu delay
Fase pemindaian tambahan yang dilakukan setelah pemindaian menit ke
60 dengan tujuan melakukan analisis lebih lanjut atau adanya kelainan
yang kurang jelas pada pemidaian sebelumnya.

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi dalam bidang pencitraan pada kesehatan

telah berkembang secara pesat, salah satunya adanya bidang kedokteran

nuklir yang dapat digunakan sebagai diagnostik atau terapi. Kedokteran

nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber

radiasi terbuka dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiofarmaka)

dengan berdasarkan perubahan fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme,

dan molekuler dari organ tubuh. Dalam pelayanannya, radioisotop

dimasukkan tubuh pasien (in vivo) atau direaksikan bahan biologis (in

vitro)(1).

Kedokteran nuklir utamanya berperan dalam menegakkan diagnosa

suatu penyakit seperti kelainan pada jantung, tiroid, ginjal, dan penyebaran

sel kanker atau metastases dalam tubuh. Dalam hal pencitraan, terdapat

dua jenis modalitas yang dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran

dari radiofarmaka tubuh yaitu Positron Emission Tomography (PET) dan

Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)(1).

PET merupakan teknik pencitraan medis secara kuantitatif oleh

World Health Organization (WHO) dan International Atomic Energy

Agency (IAEA) merupakan ilmu kedokteran yang berkembang dan

menjadi spesialisasi medis yang digunakan menyelidiki suatu fisiologi dan

1
2

anatomi serta mendiagnosa suatu penyakit dengan sumber radionuklida(2).

Dalam aplikasinya pemindaian PET menjadi teknologi tomografi

gabungan atau hibrid dengan digabungkan dengan CT Scan untuk

memperoleh informasi secara struktural dan fungsional dalam satu

pencitraan. Data yang saling melengkapi pada CT Scan untuk melihat

lokasi serta menentukan presisi lokasi, volume lesi, dan karakteristik dari

lesi yang dihasilkan dan PET digunakan untuk menyoroti area

metabolisme yang abnormal(3). Pada PET/CT banyak menggunakan


18
radiofarmaka F fluoro-2-deoxy-D-glucose (18F-FDG) secara in vivo

untuk pencitraan onkologi(4).

Salah satu patologi yang banyak menggunakan PET dalam

mengevaluasi pasca tindakan seperti operasi serviks. Kanker serviks

merupakan jenis kanker pada wanita paling umum kedua di dunia setelah

kanker payudara. Kanker ini disebabkan Human Papilioma Virus (HPV)

onkogenik, yang menyerang leher rahim. Sebagian besar wanita dengan

kanker serviks mengalami periode asimtomatik yang panjang sebelum

penyakit ini jelas secara klinis. Perlu pengenalan dini perubahan sitologi

yang abnormal melalui skrining rutin untuk mencegah perkembangan dari

preinvasif ke penyakit invasif(5).

Di dalam tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks di

dunia adalah 454.000 kasus. Data ini didapatkan dari registrasi kanker

berdasarkan populasi, registrasi data vital, dan data otopsi verbal dari 187

negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per tahun insiden kanker serviks
3

meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun 1980. Ditemukan sekitar

200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000 diantaranya adalah

wanita usia 15 - 49 tahun yang hidup di negara sedang berkembang. Di

Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker

terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens

sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini,

jumlah wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90 - 100 kasus per

100.000 penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks(6).

Untuk dapat menghasilkan gambaran PET/CT yang baik,

diperlukan beberapa persiapan dan komunikasi serta koordinasi yang baik

sebelum melakukan pemeriksaan. Persiapan dimulai dari adanya

koordinasi antara dokter rujukan, radiofarmasi, teknologis, dan staf

pendukung lain tentang penjadwalan pasien. Perlu informasi pasien

termasuk riwayat diabetes, berat badan untuk menentukan dosis, dan

edukasi persiapan sebelum pemindaian. Sebelum melakukan pemeriksaan

PET, kadar gula darah sewaktu (GDS) pasien dipantau ≤ 150 mg/dL(7).

Pemeriksaan PET/CT dilakukan dengan persiapan pasien tidak

melakukan aktifitas berlebihan, melakukan puasa 4 - 6 jam sebelum

pemeriksaan tetapi boleh megkonsumsi air putih ± 600 ml. Radiofarmaka


18
F FDG diinjeksikan secara intravena dengan dosis 10 - 20 mCi/kg sesuai

berat badan pasien(8). Pemindaian dilakukan 1 jam setelah injeksi secara

seluruh tubuh, pada beberapa kasus seperti tumor ganas di soft tissue atau

jaringan lunak diperlukan adanya fase delay atau penambahan waktu


4

pemeriksaan setelah pemeriksaan menit ke 60 selesai dilakukan, dengan

penambahan fase delay ini dapat melihat perbedaan tangkapan

radiofarmaka antara tumor ganas atau tumor jinak(9). Waktu pemindaian

fase delay dilakukan 2 jam setelah injeksi dan pemindaian pada daerah

yang dicurigai adanya kelainan(10).

Fase delay juga dapat dilakukan pada 150 - 180 menit setelah

injeksi. Evaluasi dilakukan setelah rekonstruksi gambar dengan melakukan

penandaan berupa Region of Interest (ROI) pada organ yang dicurigai

kanker ganas. Hasil dari ROI digunakan untuk melihat nilai Standarized

Uptake Value maximum (SUVmax)(11). SUV merupakan parameter semi


18
kuantitatif F-FDG secara universal yang digunakan untuk menganalisis

pencitraan dengan PET. Nilai SUV ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu berkorelasi positif dengan berat badan dan pemberian dosis. Selain

itu ekstravasasi dosis, parameter atenuasi, parameter rekonstruksi, dan

kadar glukosa dalam plasma darah juga mempengaruhi nilai SUV(12).

Pada departemen kedokteran nuklir MRCCC Siloam Semanggi

Jakarta pencitraan fase delay dilakukan pada 2 sampai 3 jam setelah

injeksi radiofarmaka pada berbagai variasi berat badan pasien.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian

untuk mengetahui pengaruh waktu delay dalam menghasilkan nilai

SUVmax pada daerah pelvis dan pengaruh dari variasi indeks massa tubuh

pasien terhadap nilai SUVmax pemeriksaan delay daerah pelvis.


5

B. Perumusan Masalah

Dalam melakukan pencitraan di bidang kedokteran nuklir, sebagai

radiografer dituntut menghasilkan gambaran yang baik sehingga dapat

dianalisa untuk memberikan diagnosa yang tepat serta akurat. Pada

pemeriksaan PET/CT radiografer perlu melakukan komunikasi dan

koordinasi dengan dokter spesialis kedokteran nuklir, perawat,

radiofarmasi, dan staf pendukung lainnya serta dengan pasien terkait

persiapan pemeriksaan yang akan dilakukan dan menginformasikan waktu

yang tepat dalam melakukan pemindaian PET agar radiofarmaka 18F-FDG

yang telah disuntikkan ke dalam tubuh pasien dapat tertangkap maksimal

dan mudah dianalisis melalui penilaian SUVmax. Nilai SUV ini juga

dipengaruhi oleh berat badan pasien. Pada beberapa kasus pemeriksaan

PET/CT dilakukan pemindaian tambahan atau delay yang digunakan untuk

menganalisis kelainan patologi tertentu, memastikan jenis lesi, serta

evaluasi tindak lanjut pemberian terapi. Pemindaian delay saat ini

dilakukan antara 2 jam setelah injeksi hingga 3 jam setelah injeksi

radiofarmaka.

1. Rumusan Masalah Umum

a. Bagaimana pengaruh variasi waktu pencitraaan delay terhadap


18
nilai SUVmax dalam pemeriksaan F-FDG dengan PET/CT

daerah pelvis ?
6

b. Bagaimana pengaruh variasi indeks massa tubuh pasien terhadap


18
nilai SUVmax pada pemindaian delay pemeriksaan F-FDG

dengan PET/CT daerah pelvis ?

2. Rumusan Masalah Khusus

a. Bagaimana pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan indeks

massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ vertebra lumbal 5 pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT ?

b. Bagaimana pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan indeks

massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ ileum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT ?

c. Bagaimana pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan indeks

massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ sacrum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT ?

d. Bagaimana pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan indeks

massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ rektum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengetahui

pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan pengaruh variasi indeks

massa tubuh pasien terhadap nilai SUV max pada pemindaian delay

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT daerah pelvis.


7

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan

indeks massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ vertebra

lumbal 5 pada pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT.

b. Mengetahui pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan

indeks massa tubuh terhadap nilai SUV max organ ileum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT.

c. Mengetahui pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan

indeks massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ sacrum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT.

d. Mengetahui pengaruh variasi waktu pemindaian delay dan

indeks massa tubuh terhadap nilai SUVmax organ rektum pada

pemeriksaan 18F-FDG dengan PET/CT.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

a. Memberikan informasi mengenai nilai SUVmax pemindaian

delay pada daerah pelvis.

b. Memberikan wawasan mengenai pengaruh indeks massa tubuh

terhadap nilai SUVmax pada pemindaian delay.

c. Memberikan wawasan mengenai pengaruh waktu pemindaian

delay terhadap nilai SUVmax.


8

2. Manfaat bagi Peningkatan Pelayanan Kesehatan

a. Memberikan gambaran bagi praktisi spesialis kedokteran nuklir

tentang pengaruh variasi indeks massa tubuh pasien terhadap

waktu pemeriksaan delay dilihat dari nilai SUVmax.

b. Dapat melakukan optimisasi waktu pemeriksaan PET/CT pada

fase delay dan memberikan informasi diagnostik yang dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosa.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan judul ―Profil Pencitraan Delay

Berdasarkan Variasi Indeks Massa Tubuh Pasien Terhadap Nilai SUVmax :


18
Studi pada Pemeriksaan F-FDG PET/CT pada Pelvis‖ belum pernah

dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian sejenis pernah dilakukan terkait

pengaruh variasi waktu pemindaian dan variasi indeks massa tubuh,

diantaranya :

Tabel 1.1. Matriks Penelitian Terdahulu


No Judul Penelitian Peneliti Tujuan Metodologi Hasil
1. Impact of Benjamin S, et Mengevaluasi Pemeriksaan Teknologi
Patient Weight al, 2004(13) protokol dilakukan CT detektor LSO
and Emission pemindaian whole body memungkinkan
Scan Duration PET/CT standart dan emisi pemindaian 3D
on PET/CT dengan PET 1- 4 menit per dengan durasi
Image Quality teknologi bed. pencitraan 1 - 3
and Lesion detektor LSO Pengelompokan menit per bed
Detectability berdasarkan pasien dibedakan memberikan
berat badan atas < 59 kg, 59 – gambaran lesi
dan waktu 81 kg, dan > 82 kg. serupa dengan
emisi terhadap durasi pemindaian
kualiatas dan 4 menit per bed
gambaran lesi berdasarkan berat
badan pasien
9

2. The value of X.-L. Lan, et Menilai nilaiPencitraan PET Pencitraan 18F-


dual time point al, 2008(12) klinis dilakukan 2 kali, FDG PET
18
F-FDG PET pemindaian pemindaian merupakan
imaging for the dual-time point
pertama dilakukan metode non
18
differentiation F-FDG PET pada menit ke invasif yang
between untuk antara 45 - 55 menit penting untuk
malignant and diferensiasi dan pemindaian membedakan lesi
benign lesions antara lesi kedua pada antara ganas dan jinak.
ganas dan 150 - 180 menit Pemindaian kedua
jinak pasca injeksi 18F- pada waktu antara
FDG. Evaluasi 150 - 180 menit
dilakukan kualitatif dapat
dan kuantitatif. memperlihatkan
Nilai SUVmax lesi lesi dengan baik
dihitung pada 2
pencitraan
3. Dual-time point Rong Tian, et Mengevaluasi Pemeriksaan Dual-time point
18
PET/CT with F- al, 2009(11) F-18 FDG PET whole-body F-FDG PET
18 FDG for the dapat PET/CT dilakukan dapat
differentiation of membedakan 1 jam pasca injeksi memberikan
18
malignant and lesi tulang F-FDG dan delay informasi dalam
benign bone ganas dan pada 2 jam pasca membedakan
lesions jinak serta injeksi. Analisis tumor ganas dan
gambaran dilakukan jinak pada tulang,
delay dapat semikuantitatif dengan adanya
meningkatkan dengan nilai nilai RI nilai
akurasi SUVmax gambar sensitivitas
patologi awal dan delay. 90,6%, spesifitas
Dihitung nilai 76,0%, dan
Retention Index akurasi 83,7%
(RI), kemudian
SUVmax awal dan
nilai RI
dibandingkan untuk
membedakan lesi
jinak dan ganas
4. Increasing Bennett B. Mengetahui Penelitian Pemindaian PET
Uptake Time in Chin, et al, jaringan dilakukan pada FDG pada 3 jam
FDG-PET: 2008(14) normal dan pasien dengan dibandingkan 1
Standardized blood pool diketahui atau jam terlihat
Uptake Values uptake FDG suspek keganasan perubahan yang
in Normal pada 1 dan 3 yang dilakukan signifikan. Pada 3
Tissues at 1 jam setelah pemeriksaan jam pada aorta
versus 3 h injeksi 18F- PET/CT. daerah blood pool
FDG Pemindaian memiliki aktifitas
dilakukan pada 60 yang rendah dan
10

menit (± 15 menit) pada jaringan


dan 180 menit adiposa seperti
(± 15 menit). serebelum, otot,
Analisis dilakukan limpa, dan
pada jaringan sumsum tulang
normal tanpa lebih tinggi.
adanya keganasan Aktifitas pada
atau artefak hati dan paru
terutama pada aorta tidak berubah
secara signifikan
5. Delayed time- Bjorn A. Menentukan Penelitian Pemindaian pada
point 18F-FDG Blomberg, et waktu sirkulasi dilakukan dual time waktu 1 dan 2
18
PET CT al, 2013(15) F-FDG ideal point pada 60, 120, jam suboptimal
imaging untuk dan 180 pasca dalam penilaian
enhances mendeteksi injeksi. Masing- inflamasi plak
assessment of dan mengukur masing dinilai pada aterosklerotik
atherosclerotic inflamasi plak aorta dan karotid dibandingkan 3
plaque aterosklerosisi secara kualitatif dan jam. Pemanfaatan
inflammation pada PET visual dan nilai delay 3 jam
uptake SUV digunakan untuk
mendeteksi dan
kuantifikasi
peradangan plak
aterosklerotik
arteri pada
manusia
11

F. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2019.

2. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilaksanakan peneliti dengan lokasi penelitian di

Departemen Kedokteran Nuklir Rumah Sakit MRCCC Siloam

Semanggi Jakarta.

3. Ruang Lingkup Materi

Penelitian ini mencakup materi tentang pengaruh waktu

pemindaian delay dan variasi indeks massa tubuh pasien terhadap nilai

SUVmax organ pelvis pada pemeriksaan 18F-FDG PET/CT.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Positron Emission Tomography / Computed Tomography (PET/CT)

Menurut World Health Organization (WHO) dan International

Atomic Energy Agency (IAEA) pada tahun 1974, kodekteran nuklir

merupakan ilmu kedokteran yang berkembang dan menjadi

spesialisasi medis yang digunakan menyelidiki suatu fisiologi dan

anatomi serta mendiagnosa suatu penyakit dengan sumber

radionuklida(2). Kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi

terbuka dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiofarmaka) untuk

tujuan diagnostik, terapi, dan paliatif dengan berdasarkan perubahan

fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme, dan molekuler dari organ

tubuh, Dalam pelayanannya, radioisotop dimasukkan tubuh pasien (in

vivo) atau direaksikan bahan biologis (in vitro). Dalam hal pencitraan,

terdapat dua jenis pencitraan yang dapat digunakan untuk

menghasilkan gambaran dari radiofarmaka yang dimasukkan dalam

tubuh yaitu Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon

Emission Computed Tomography (SPECT)(1).

PET merupakan teknik tomografi yang menghitung distribusi

radioaktivitas secara tiga dimensi (3D) berdasarkan foton yang saling

menghancurkan muatan (annihilation) yang dipancarkan oleh positron

dan PET memungkinkan penilaian kuantitatif secara proses biokimia

12
13

dan fungsional(7). PET didasarkan dari deteksi dua foton yang

memiliki energi 511 keV yang berlawanan arah 180 o, foton ini

diproduksi dari proses anihilasi positron yang dipancarkan

radionuklida dan bertumbukan dengan elektron dalam tubuh. Detektor

yang mampu digunakan mendeteksi foton yang berenergi 511 keV

adalah detektor scintilation atau detektor skintilasi(16). Komponen

utama yang diperlukan dalam PET dapat dilihat pada gambar 2.1,

antara lain (i) sepasang detektor atau detektor cincin yang digunakan

untuk mendeteksi foton berenergi 511 keV, (ii) sistem akuisisi data

yang dapat mengolah data menjadi digital dari sinyal detektor, (iii)

sistem yang digunakan untuk memilih foton yang berpasangan dan

memiliki energi 511 keV, (iv) proses mengubahan data menjadi

sinogram atau line of reponse (LOR), dan (v) metode rekonstruksi

data menjadi gambaran(3).


14

Gambar 2.1. Sistem pada PET(3)

a. Detektor PET

Detektor PET diposisikan secara horizontal berbentuk

silinder dengan lubang berdiameter 80 - 90 cm. Detektor PET

disusun dalam blok blok kecil bentuk cincin dan berkembang

dalam 3 jenis seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.2. Detektor

ini digabungkan dengan tempat tidur untuk pasien melakukan

pencitraan dan dikendalikan dengan komputer detektor yang

digunakan sebagai kamera ini menggunakan bahan NaI(Tl)(16).


15

Gambar 2.2. Perbedaan konfigurasi detektor PET (a) detektor cincin


penuh (fullring), (b) detektor heksagonal panel, (c) Detektor plat
berbentuk kurva dari NaI(Tl)(16)

b. Kombinasi PET dan CT Scan

PET dapat dikombinasikan dengan CT atau MRI. PET/CT

ditemukan pertama kali pada tahun 2000 oleh Milwaukee, GE

Healthcare di USA, diikuti Biograph dari Siemens Medical

Solutions dan Gemini dari Philips. Teknologi tomografi gabungan

atau hibrid PET/CT digunakan untuk memperoleh informasi

secara struktural dan fungsional dalam satu pencitraan. Data yang

saling melengkapi pada CT digunakan untuk menentukan lokasi

kelainan fungsional dan PET digunakan untuk menyoroti area

metabolisme yang abnormal(3).


16

Gambar 2.3. Perbedaan hasil citra PET dan CT Scan (a) gambaran CT
Scan, (b) gambaran PET, (c) gambaran fusi PET/CT(17)

Dalam beberapa tahun PET/CT banyak digunakan dalam

onkologi. Hal ini karena pasien mendapat manfaat dari

pengambaran secara anatomi letak lesi dari radiofarmaka seluruh

tubuh dalam sekali melakukan pencitraan. PET/CT

memungkinkan gambaran dari transmisi yang cepat, pada

PET/CT simulator memungkinkan seorang spesialis kedokteran

nuklir untuk memberikan informasi koordinat letak sel kanker

pada uptake radiofarmaka dari simulator untuk perencanaan

radiasi eksternal(3).

Gambar 2.4. Kombinasi PET dan CT Scan(3)


17

c. Rekonstruksi citra dalam CT Scan

Dalam pencitraan CT Scan tabung sinar X berputar

melingkari pasien dan detektor mengukur radiasi yang melewati

objek yang menghasilkan atenuasi. Atenuasi merupakan reduksi

pada objek yang disebabkan adanya beberapa foton yang diserap

dan mengalami penyebaran. Atenuasi ini disebabkan densitas

atom, nomor atom objek, dan energi foton. Untuk dapat

menghasilkan citra, sistem komputer diperlukan untuk

merekonstruksi gambar dengan algoritma tertentu diantaranya

interpolasi, konvolusi, dan backprojection(18).

Interpolasi linear dikenal sebagai z-interpolation yang

membuat data konsisten dari gambar acak berbentuk gelombang

yang dihasilkan dan dikenal sebagai ZR. Interpolasi linear ini

disesuaikan dengan sudut pengambilan data yang spiral 360 o.

Data yang telah dilakukan interpolasi selanjutnya dilakukan

konvolusi dan proyeksi balik. Dalam proyeksi balik tiap nilai

proyeksi menempati matriks yang sesuai. Untuk mendapatkan

gambar yang memiliki batas yang jelas diperlukan konvolusi pada

saat proyeksi balik(18).

d. Rekonstruksi citra dalam PET

Data yang diperoleh dari pencitraan PET merupakan

kumpulan dari proyeksi berbagai sudut pandang. Masing - masing

proyeksi mewakili aktivitas total garis sepanjang obyek yang


18

dicitrakan, dilihat dari sudut pandang tertentu. Jika sampel cukup

pada sekitar obyek, proyeksi atau garis integral ini berisi seluruh

informasi yang dibutuhkan untuk melakukan rekonstruksi

distribusi aktivitas dalam 3D. Terdapat dua metode dalam

rekonstruksi citra dalam PET yaitu filtered backprojection dan

rekonstruksi iterative(3).

1) Filtered backprojection

Rekonstruksi filtered backpojection atau rekonstruksi

proyeksi balik dengan filter merupakan rekonstruksi citra

secara analitik yang umum digunakan. Backprojection adalah

operasi rekonstruksi gambar yang terdiri dari perbaikan

elemen sinogram yang segaram pada sepanjang garis untuk

menghasilkan gambar. Dalam proyeksi ini, data proyeksi

dilakukan pembalikan proyeksi kedalam matrik gambar

setiap sudut. Operasi proyeksi balik akan menghasilkan

gambar yang menyerupai distribusi aktivitas yang

sebenarnya, tetapi resolusi mengalami degradasi, kontras

yang rendah, dan kehilangan kuantifikasi relatif.

Efek proyeksi ini dapat digambarkan secara matematis

dan dapat dibalik dengan menerapkan filter ke data proyeksi

awal. Langkah melakukan filter akan mengembalikan

resolusi yang terjadi jika diproyeksikan kembali dan


19

mempertahankan kuantifikasi realtif antar struktur dalam

gambar.

Pada saat proses rekonstruksi, masing - masing elemen

diberikan voxel dan elemen sinogram yang sesuai dengan

garis respon yang memotong voxel. Tiap voxel menyimpan

memori, proses pembacaan sinogram secara berganda.

Masing - masing elemen bertanggungjawab melakukan

perbaikan elemen sinogram sepanjang garis respon citra.

Untuk setiap pembacaan elemen sinogram dari memori,

elemen prosesing menulis beberapa voxel gambar kembali

dalam memori(3).

Gambar 2.5. Pinsip rekonstruksi backprojection(16)

Prinsip dari rekonstruksi backprojection dapat dilihat

pada gambar 2.5, (a) terdapat sebuah objek padat dengan 2

inti didalamnya dan ditangkap oleh 3 sudut proyeksi 120 o, (b)


20

banyaknya tampilan yang diperoleh dari proyeksi

direkonstruksi berdasarkan distribusi aktivitas inti, tetapi

aktivitas di sekitar inti mengalami pengaburan, (c) efek kabur

ini disebabkan adanya jarak ke titik tengah. Untuk mengatasi

efek pengaburan tersebut dilakukan filtering(16).

2) Rekonstruksi Iterative

Rekonstruksi kedua adalah rekonstruksi Iterarive atau

rekonstruksi algoritma berulang. Penggunaan algoritma ini

dapat menghasilkan kualitas citra yang lebih baik terutama

pada SNR. Prinsip dasarnya adalah merekonstruksi gambar

melalui iterasi yang paling baik mewakili data yang diperoleh

sistem pencitraan. Proses iteratif dimulai dengan proses

estimasi awal dari distribusi yang seragam berkali - kali.

Tahap selanjutnya adalah menjumlahkan intensitas gambar

sepanjang (Line of Response) LOR yang sama dengan

akuisisi data. Proses ini biasanya disebut sebagai foward

projection. Data proyeksi ini dibandingkan dengan data

proyeksi terukur. Perbedaan antara data yang diukur dan

diproyeksikan kemudian digunakan untuk membuat

penyesuaian pada estimasi gambar sebelumnya sepanjang

LOR yang diukur. Proses ini kemudian diulang sampai

perbedaan antara data yang diproyeksikan dan diukur

maksimal.
21

Keuntungan dari rekonstruksi ini adalah mendapatkan

distribusi gambar atau aktivitas mempertimbangkan

perhitungan statistik dan fisika misal hamburan, normalisasi,

dan resolusi detektor. Kelemahannya adalah sangat mahal

secara komputasi, terutama jika sistem terperinci. Proyeksi

ini memerlukan banyak iterasi sebelum mendapat hasil yang

baik(3).

Gambar 2.6 Proses rekonstruksi iterative(16)

Proses dari rekonstruksi iterative dapat dilihat pada gambar

2.6, tiga proyeksi dari detektor A, B, dan C masing - masing

diambil dari matriks 5 x 5, j merupakan nomor piksel dan i

merupakan detektor dan pi merupakan jumlah piksel yang

terproyeksi sepanjang dari LOR. Hasil proyeksi ini akan

dibandingkan dan diulang sehingga menghasilkan perbedaan

antara data maksimal(16).


22

e. Aplikasi Klinis PET/CT

Selama beberapa tahun pencitraan PET/CT digunakan

untuk pencitraan khususnya dalam onkologi. Penggunaan

PET/CT ini dikarenakan pasien mendapatkan informasi

diagnostik anatomi dan fungsional seluruh tubuh dalam satu

pemeriksaan, pemeriksaan PET/CT memberikan informasi lebih

akurat dibandingkan PET atau CT saja, PET/CT memungkinkan

ahli onkologi menggunakan informasi fungsional oleh PET untuk

perencanaan perawatan radiasi(3).

Beberapa klinis yang mampu dideteksi dengan PET/CT

antara lain tumor otak; nasofaring atau daerah kepala dan leher;

kanker paru baik solid, stagging, dan evaluasi kanker pasca terapi;

kanker kolon baik restugging, kanker pada rektum, dan respon

evaluasi pasca terapi; limpoma; melanoma; kanker payudara;

tumor gaster, lumen daerah perut, dan esofagus; kanker ovarium;

serta monitoring respon tumor setelah operasi(19).


18
2. F-fluoro-deoxy-D-glukose (18F-FDG)

Radiofarmaka yang banyak digunakan dibidang onkologi pada


18
PET merupakan F-FDG (fluorodeoxyglucose). PET pada onkologi

dengan FDG dapat digunakan untuk melihat metabolisme oksigen;

metabolisme glukosa; asam amino, sintesis protein, dan metabolisme

asam nukleat(16).
23

18
Radionuklida F diproduksi dalam siklotron dengan waktu
18
paruh 110 menit yang diperoleh dari O air dengan energi 11 – 18
18
MeV yang dibombardir dengan proton untuk menghasilkan F dari

reaksi nuklir [18O (p,n) 18


F]. Setelah produksi radioisotop ini,
18
selanjutnya integrasi F ke dalam molekul glukosa pada posisi 2,

menghasilkan 18F-fluoro-deoxyglucose(20).

Gambar 2.7. Biokimia 18F-FDG(16)

Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui

penggunaan 18F-FDG untuk fungsi klinis seperti metabolisme di otak,

jantung, serta deteksi berbagai tumor. Dalam metabolisme tubuh FDG

diberikan fosfor oleh hexokinase sehingga tidak melakukan

metabolisme lanjutan(16).
18
F-FDG yang dimasukkan tubuh akan mengikuti glukosa dalam

tubuh sehingga dapat dilakukan untuk evaluasi pada organ seperi otak,
18
jantung, dan aliran darah. Selain itu, F-FDG akan mempengaruhi

repon metabolisme pada tingkat sel, jaringan, maupun organ tertentu

dalam tubuh. Hal ini bergantung pada keseimbangan tubuh dan

pengaruh dari metabolisme pada tingkat organ atau tubuh(21).


24

a. Respon 18F-FDG pada tingkat sel


18
Pada tingkat sel, F-FDG yang masuk dalam tubuh akan

mengikuti aliran dari peredaran darah dan mengalami

peningkatan aktivitas pada jaringan sel tumor atau lesi. Hal ini
18
disebabkan F-FDG menuju sel yang mengalami inflamasi.

Adanya perbedaan aktivitas yang signifikan antara sel normal dan

sel tumor atau lesi ini dengan pencitraan PET ini digunakan

dalam mengevaluasi tumor atau lesi tersebut.

b. Respon 18F-FDG pada tingkat jaringan


18
Pada tingkat jaringan, penyerapan F-FDG terkait dengan

jumlah sel aktif, aktivitas proliferasi, jaringan perfusi, dan adanya

sel inflamasi. Faktor - faktor ini dapat mengontrol aktivitas

keseluruhan bahkan aktivitas 18F-FDG dalam jaringan.

c. Respon 18F-FDG pada tingkat organ

Pada tingkat organ, penangkapan 18F-FDG terkait dengan

perfusi organ, volume tumor, metabolisme glukosa, dan adanya

respon inflamasi seperti kemoterapi dan terapi radiasi atau

aktivitas metabolisme glukosa dari adanya obat-obatan. Beberapa

tumor seperti kanker tiroid dan prostat mengalami penurunan


18
penangkapan F-FDG pada endoktrin akibat dari hormon dan

menyebabkan kurang dapat dievaluasi.


25

d. Respon 18F-FDG pada tingkat tubuh

Pada tingkat sistemik atau seluruh tubuh, jumlah glukosa


18
dalam darah mempengaruhi penangkapan F-FDG. Seseorang

dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah > 200 mg/dL)


18
mengalami penurunan penangkapan F-FDG, untuk pasien
18
diabetes dengan insulin penyuntikan F-FDG harus menunggu

3 - 4 jam. Pengaruh konsumsi makanan sebelum pemeriksaan


18
juga dapat menyebabkan penyebaran F-FDG menyebar ke otot

tubuh sehingga sulit untuk dideteksi apabila ada tumor dalam

daerah tersebut(21).

3. Teknik Pemeriksaan PET/CT

Dalam penggunaan PET/CT dibidang onkologi biasanya


18
menggunakan perunut berupa F-FDG, pencitraan PET lebih banyak

digunakan untuk mendeteksi kanker(19). Dalam setiap pemeriksaan

PET/CT perlu koordinasi antara spesialis kedokteran nuklir,

radiofarmasi, radiografer, dan staf pendukung lain(16).

a. Persiapan Pasien

Untuk pemindaian PET/CT seluruh tubuh dengan 18F-FDG,

perlu melakukan persiapan antara pasien dengan spesialis

kedokteran nuklir, radiofarmasi, dan staf pendukung lain tentang

penjadwalan dan persiapan yang perlu dilakukan sebelum

melakukan pemeriksaan. Kadar glukosa dalam darah pasien harus

dimonitor pada tingkat ≤ 150 mg/dL(8). Untuk mendapatkan


26

kualiatas gambaran yang baik pasien melakukan puasa 4 hingga

6 jam sebelum pemeriksaan(8,20). Dosis radiofarmaka yang

diberikan untuk orang dewasa memiliki dosis 370 - 740 MBq

yang diinjeksikan secara intravena 30 - 60 menit sebelum

pemindaian dilakukan(9).

Pasien juga diminta mengkosongkan kandung kemih atau

kantong kolostomi, mengganti popok, dan pastikan tidak

mengkantongi benda - benda lain pada kantong (kunci, dompet,

dan lain - lain) selama pemindaian(8). Sekresi urin dapat


18
mengurangi artefak yang disebabkan aktifitas F-FDG dalam

kandung kemih sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi

tumor ginekologi primer dan membedakan lesi ganas dan

jinak(22).

b. Posisi Pemeriksaan

Pemindaian dilakukan dengan posisi pasien supine di meja

pemeriksaan dengan kepala terlebih dahulu (head first).

Masukkan informasi pasien kedalam workstation seperti nama,


18
nomer identitas, tanggal lahir, berat badan pasien, dan dosis F-

FDG. Pemindaian dilakukan seluruh tubuh dan dilakukan

pencitraan CT Scan terlebih dahulu untuk digunakan sebagai

topogram dan dilanjutkan pencitraan PET. Antara hasil CT Scan

dan PET akan direkonstruksi dengan metode back projection atau

iterative untuk dapat menghasilkan fusi PET/CT(16).


27

4. Fase Delay dalam PET/CT

Fase delay atau biasa disebut teknik dual time point merupakan

fase pemindaian yang dilakukan setelah dilakukan pencitraan awal,

biasanya 2 - 3 jam setelah dilakukan injeksi untuk dapat membedakan

antara lesi jinak atau lesi ganas pada tulang. Sahlmann et al juga

melakukan penelitian terhadap metabolisme glukosa pasien mengenai

penialian kuantitatif untuk membedakan lesi jinak dengan ganas pada

tulang serta mendeteksi lesi ganas pada tulang dengan menggunakan

teknik dual time point (menit ke 30 dan 90 setelah injeksi)(11).

Kegunaan dengan adanya fase delay pada 2 jam dapat

memperlihatkan tumor ganas karena pada uptake 2 jam menunjukkan

peningkatan lebih tinggi dibandingkan pada 1 jam, pada jaringan

normal nilai uptake lebih rendah pada 2 jam dibandingkan pada 1 jam,

tetapi tidak dapat membedakan lesi ganas yang aktif seperti

sarkoidosis dan serapan yang stabil oleh otot tidak dapat membedakan

lesi pada kelenjar getah bening di aksila dan leher(23). Pada

pemindaian delay 3 jam, jaringan adiposa terlihat lebih rendah

sedangkan pada cerebellum, otot, limpa, dan aktivitas sumsum tulang

mengalami peningkatan secara signifikan(14).

Untuk pemeriksaan PET/CT organ pelvis seperti evaluasi pada

daerah kandung kemih perlu dilakukan sekresi urin pada fase delay.

Hal ini karena radiofarmaka berakhir di kandung kencing, pada

beberapa kasus pasien yang susah buang air kecil dapat menggunakan
28

obat diuretik seperti furosemide dan hidrasi oral sehingga urin yang

mengangung 18F-FDG dapat dikeluarkan(24).


18
Aktivitas F-FDG yang tinggi dalam urin dapat membuat

artefak yang dapat mengnaggu dalam diagnosis lesi daerah di pelvis.

Kelainan tumor seperti di reproduksi wanita dan kanker rektum lokal

sulit untuk dideteksi apabila pasien tidak melakukan sekresi urin

terlebih dahulu. SUV dapat digunakan untuk mengevaluasi jenis lesi

reproduksi wanita antara jinak dan ganas. Sugawara dalam

penelitiannya pasien dengan kanker serviks uterus memiliki nilai SUV

yang lebih dari 2,0(22).

5. Standarized Uptake Value (SUV)

Hasil dari pemeriksaan PET/CT merupakan analisis visual dan

kuantitatif, analisis kuantitatif berupa distribusi akumulasi dari

perunut FDG pada jaringan organ normal yang biasanya disebut degan
18
Standarized Uptake Value (SUV). SUV merupakan nilai uptake F

FDG yang dapat digunakan untuk membedakan citra antara lesi ganas

dan jinak. SUV dapat dihitung dengan rumus berikut(25).

( )
( )
[2.1]
⁄ ( )

SUV dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berat badan

pasien, ekstravasasi dosis, parameter atenuasi, parameter rekonstruksi,

efek volume parsial, dan kadar glukosa plasma darah. SUV dapat

dilihat dengan melakukan Region of Interest (ROI) organ dan nilainya


29

akan muncul secara otomatis. Nilai SUV yang digunakan untuk

mengevaluasi adalah nilai SUVmax karena nilai ini tidak dipengaruhi

oleh efek volume parsial dan merupakan nilai piksel maksimal dalam

irisan gambar(26).

Selain mengevaluasi metabolisme glukosa, SUV dapat

digunakan untuk mengukur radiofarmasi seperti cholin dan thymidine.

Beberapa akumulasi FDG secara fisiologis dalam organ kadang

meniru patologi secara nilai SUV, oleh karena itu perlu mengetahui

nilai dari SUV organ normal, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel 2.1(25).
30

Tabel 2.1. Karakteristik SUV pada 18F-FDG PET organ normal(25)


Organ Rata-rata Minimum Maksimum SD
Cerebral Hemisfer Kanan 8,9 5,0 12,6 1,9
Cerebral Hemisfer Kiri 8,9 4,8 11,7 1,7
Cereberal Hemisfer 6,7 4,2 10,5 1,7
Kanan
Cereberal Hemisfer Kiri 6,5 4,6 9,5 1,3
Nasofaring Kanan 1,8 1,2 2,8 0,5
Nasofaring Kiri 1,7 1,1 2.4 0,3
Tonsil Kanan 3,8 1,9 7,4 1,5
Tonsil Kiri 2,3 1,3 4,6 0,9
Glandula Parotis Kanan 1,9 1,3 2,6 0,4
Glandula Parotis Kiri 1,9 1,3 2,8 0,4
Glandula Submandibula 1,6 1,0 3,0 0,4
Kanan
Glandula Submandibula 1,7 1,0 3,1 0,5
Kiri
Lidah 1,9 1,2 3,5 0,6
Musculus 1,0 0,8 1,4 0,1
Sternocleidomastoid
Kanan
Musculus 1,0 0,6 1,4 0,2
Sternocleidomastoid Kiri
Tiroid 1,5 1,2 2,2 0,2
Paru-paru Kanan 0,6 0,3 1,7 0,3
Paru-paru Kiri 0,6 0,2 1,2 0,2
Hilum Kanan 1,8 1,2 3,6 0,7
Hilum Kiri 1,8 0,9 2,6 0,4
Aorta Ascending 1,9 1,4 2,9 0,4
Aorta Descending 2,0 1,3 3,1 0,5
Vena Cava Inferior 1,7 0,1 3,5 0,8
Miokardium 5,2 1,7 12,9 3,8
Hati 3,2 2,3 5,0 0,8
Kantung empedu 1,9 1,0 3,7 0,6
Limpa 2,4 1,6 4,1 0,6
Pancreas 2,0 1,0 3,1 0,5
Lambung 2,2 1,2 5,0 0,8
Caecum 2,2 1,5 3,0 0,4
Colon Ascdending 2,8 1,8 3,6 0,6
Colon Transversus 1,8 1,1 2,3 0,3
Colon Descending 2,3 1,7 3,0 0,4
Sigmoid 2,7 1,5 4,1 0,7
Rectum 2,9 1,4 5,8 1,2
Prostat 2,7 1,4 6,2 1,2
Testis Kanan 2,6 1,3 3,6 0,7
Testis Kiri 2,8 1,3 5,1 0,7
Vertebra Cervical 2,0 1,1 3,1 0,6
Vertebra Thorakal 2,4 1,3 4,1 0,8
Vertebra Lumbal 3,0 1,2 5,2 1,1
31

Pada tabel 2.1, nilai SUV tersebut didapat dari 38 orang pria normal
18
yang melakukan pemindaian PET/CT dengan F-FDG. Nilai SUV

pada vertebra mengalami peningkatan pada thoracal kemudian

mengalami penurunan ke sakrum. Berdasarkan usia, uptake FDG di

vertebra pada usia lebih dari 50 tahun memiliki nilai lebih rendah

dibandingkan dengan yang usia dibawah 50 tahun(27).

Pada organ hati, indeks massa tubuh dan waktu inkubasi atau

waktu tunggu sebelum pemindaian berpengaruh terhadap nilai SUV.

Pasien dengan obesitas memiliki nilai SUV yang lebih tinggi

disebabkan adanya akumulasi lemak dan inflamasi dari parenkim

secara kronis yang menyebabkan peningkatan SUV. Pada waktu

inkubasi semakin lama waktu tunggu pasien obesitas masih dapat

dievaluasi dengan baik dibandingkan pasien normal karena adanya

peningkatan kadar sitokin yang mampu menyerap uptake FDG lebih

lama dibandingkan dengan pasien indeks massa tubuh normal(28).

6. Indeks Massa Tubuh

a. Pengertian Indeks Massa Tubuh

IMT atau sering juga disebut indeks Quatelet pertama kali

ditemukan oleh seorang ahli matematika Adolphe Quatelet pada

tahun 1832 yang merupakan alat pengukuran komposisi tubuh

dengan menggunakan berat badan dan tingi seseorang(29).

IMT merupakan petunjuk untuk menentukan kelebihan

berat badan berdasarkan indeks quatelet (berat badan dalam


32

kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter

(kg/m2). Interpretasi IMT pada anak tergantung umur dan jenis

kelamin karena memiliki kadar lemak tubuh yang berbeda. IMT

adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta

berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga

penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai

risiko komplikasi medis(30).

IMT merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran

lemak tubuh karena mudah serta metode skrining kategori berat

badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini,

dapat dihitung dengan rumus berikut(31).

( )
[2.2]
[ ( )]

b. Kategori Indeks Massa Tubuh

Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT

diinterpretasi menggunakan kategori status berat badan standard

yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita. Untuk anak-

anak dan remaja, interpretasi IMT adalah spesifik mengikuti uisa

dan jenis kelamin(31).

Secara umum, IMT 25 ke atas membawa arti pada obesiats.

Batas ambang telah ditentukan dengan ketentuan FAO/WHO,

yang membedakan ambang batas untuk laki - laki dan perempuan.

Desebutkan ambang batas untuk laki - laki adalah 20,1 - 25,0 dan

untuk perempuan adalah 18,7 - 23,8. Untuk kepentingan


33

pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat

kegemukan lebih lanjut, FAO/WHO menyarankan menggunakan

satu batas ambang antara laki - laki dan perempuan. Ketentuan

yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki - laki

untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang

batas pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat. Untuk

di Indonesia, batas ambang telah dimodifikasi berdasarkan klinis

dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Nilai

ambang IMT untuk Indonesia menurut Kemenkes adalah sebagai

berikut(31).

Tabel 2.2. Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT(31)


Klasifikasi IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat rendah 17,0 - 18,4
Normal 18,5 - 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 - 27,0
Kelebiahn berat badan tingkat berat > 27,0

1) Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori kurus

Indeks massa tubuh di kategorikan kurus jika pembangian

berat badan per kuadrat tingginya kurang dari 18 kg/m 2.

Penyebab rata - rata dikarenakan konsumsi energi lebih

rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan sebagian

cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan.


34

2) Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori normal

Indeks massa tubuh masuk kategori normal jika pembagian

berat badan per kaudrat tingginya antara 18,5 sampai 25

kg/m2. Kategori ini bisa diwujudkan dengan mengkonsumsi

energi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan tubuh.

Sehingga tidak terjadi penimbunan energi dalam bentuk

lemak, maupun penggunaan lemak sebagai sumber energi.

3) Indeks Massa Tubuh (IMT) kategori berlebihan (kegemukan)

Menurut Direktorat Gizi Masyarakat RI, kagemukan atau

obesitas digolongkan menjadi dua kategori, yaitu kelebiahan

berat badan tingkat ringan dan tingkat berat. Obesitas

berpotensi menjadi faktor primer kasus degeneratif dan

metabolik sindrom. Beberapa studi menunjukkan bahwa

obesitas adalah risiko yang paling tinggi untuk penyakit

jantung, diabetes melitus, dan beberapa jenis kanker(32,33).


35

B. Kerangka Teori

Pemeriksaan
PET/CT
Puasa minimal 4 jam
Persiapan Istirahat cukup
Pasien
Kadar glukosa ≤ 150 mg/dL
Tidak melakukan aktivitas
Tekanan darah normal olahraga berlebihan
Penyuntikan
18
F-FDG

Pencitraan
PET/CT
Setelah 2 jam
Pencitraan delay
Setelah 3 jam

Analisa Citra
Indeks Massa Tubuh
ROI
Parameter rekonstruksi

Efek volume parsial Nilai SUV

Ekstravasasi dosis

Parameter atenuasi

Gambar 2.8. Kerangka Teori


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pemindaian delay

terhadap nilai SUVmax serta mengetahui pengaruh indeks massa tubuh

pasien terhadap nilai SUVmax pada pemindaian delay pemeriksaan


18
F-FDG PET/CT daerah pelvis. Kerangka konsep ditunjukkan pada

gambar 3.1 di bawah ini.

Variabel Bebas
Variabel Terikat
1. Waktu pencitraan
delay Nilai SUVmax
a. 120 menit pencitraan delay organ :
b. 150 menit a. Vertebra Lumbal 5
c. 180 menit b. Ileum
2. Indeks massa tubuh c. Sacrum
a. IMT kurus d. Rektum
b. IMT normal
c. IMT gemuk

Variabel Terkontrol

1. Protokol pencitraan
2. Kadar GDS
3. Dosis 18F-FDG

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

36
37

B. Hipotesis Penelitian

HO1 : Tidak ada pengaruh variasi waktu pencitraan delay terhadap


18
nilai SUVmax dalam pemeriksaan F-FDG PET/CT daerah

pelvis.

Ha1 : Ada pengaruh variasi waktu pencitraan delay terhadap nilai

SUVmax dalam pemeriksaan 18F-FDG PET/CT daerah pelvis.

HO2 : Tidak ada pengaruh variasi indeks massa tubuh pasien terhadap
18
nilai SUVmax pada pencitraan delay pemeriksaan F-FDG

PET/CT daerah pelvis.

Ha2 : Ada pengaruh variasi indeks massa tubuh pasien terhadap nilai
18
SUVmax pada pencitraan delay pemeriksaan F-FDG PET/CT

daerah pelvis.

C. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian

true eksperimen post test only design. Rancangan penelitian dengan

melakukan variasi waktu pemindaian pada delay dan variasi indeks massa

tubuh terhadap nilai SUVmax pada organ vertebra lumbal 5, ileum, sacrum,

dan rektum. Analisis dilakukan dengan melihat nilai SUV max dan

dibandingkan pada variasi waktu pemeriksaan delay 120 menit, 150 menit,

dan 180 menit serta pada variasi indeks massa tubuh kurus, normal, dan

gemuk. Alur penelitian dapat dilihat pada gambar 3.2.


38

Persiapan
Pasien
IMT Kurus 18 sampel
Pengukuran
IMT Normal 18 sampel
Berat Badan
IMT Gemuk 18 sampel
Penyuntikan
18
F-FDG

Pemeriksaan Nilai
menit ke 60 SUVmax

Delay

Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan


menit ke 120 menit ke 150 menit ke 180

Nilai
SUVmax

Informasi Organ
1. Vertebra
Lumbalis 5
2. Ileum
3. Sacrum
4. Rektum

Gambar 3.2. Alur Penelitian


39

Kelompok Perlakuan Post-test


X1
K1 X2 O1
X3
X1
K2 X2 O2
X3
X1
K3 X2 O3
X3
Gambar 3.3 Rancangan Eksperimen Penelitian
Keterangan :
K1 : Kelompok Indeks Massa Tubuh kurus
K2 : Kelompok Indeks Massa Tubuh normal
K3 : Kelompok Indeks Massa Tubuh gemuk
X1 : Pencitraan delay menit ke 120
X2 : Pencitraan delay menit ke 150
X3 : Pencitraan delay menit ke 180
O1 : Nilai SUVmax kelompok 1
O2 : Nilai SUVmax kelompok 2
O3 : Nilai SUVmax kelompok 3

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian. Populasi

dalam penelitian ini merupakan pasien dengan pemeriksaan PET


18
dengan radiofarmaka F-FDG seluruh tubuh dengan adanya

pencitraan delay pada organ pelvis di Rumah Sakit MRCCC Siloam

Semanggi Jakarta.

2. Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih

menggunakan kriteria dan aturan tertentu untuk mengumpulkan

informasi atau data yang menggambarkan sifat atau ciri yang dimiliki

populasi. Untuk itu perlu melakukan penentuan kriteria inklusi

maupun kriteria eksklusi.


40

Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :

a. Pasien pasca terapi kanker serviks dengan pencitraan PET/CT

fase delay pada organ pelvis.

b. Kadar gula darah 90 - 100 mg/dL.

c. Tekanan darah dalam batas normal.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi :

a. Tidak melakukan persiapan pasien sebelum melakukan

pemeriksaan seperti puasa dan istirahat yang cukup.

b. Mengkonsumsi obat - obatan sejenis insulin.

Teknik sampling dilakukan Non-Probability sampling dengan

pemilihan secara acak dan menggunakan purposive sampling.

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan rumus

sebagai berikut.

[3.1]

Keterangan :

n = Jumlah sampel minimal

z = 1,962

p = Proporsi penelitian sebelumnya(14)

q = 1-p

d = Limit dari error atau presisi absolut (ditetapkan 0,05)


41

maka :

N = 4,6 dibulatkan menjadi 5 sampel tiap kelompok

Angka kejadian drop out diperkirakan 10% sehingga jumlah sampel

minimal dalam penelitian menjadi 6 sampel pada tiap kelompok.

Jumlah kelompok sebanyak 9 kelompok, sehingga seluruh objek

penelitian adalah 54 sampel.

E. Definisi Operasional, Variabel Penelitian, dan Skala Pengukuran

Tabel 3.1. Definisi Operasional


No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
1 Pemindaian Fase pemindaian Timmer Interval
delay tambahan yang
dilakukan setelah
pemindaian menit ke
60 dengan tujuan
melakukan analisis
lebih lanjut atau
adanya kelainan yang
kurang jelas pada
pemindaian
sebelumnya
2 Indeks Ukuran yang Body Interval
Massa Tubuh menentukan status gizi Scales
seseorang dari
perbandingan berat
dan tinggi badan
3 Nilai SUVmax Penilaian secara Sistem Interval
kuantitatif citra PET Komputer
dari uptake 18F-FDG
dengan nilai
maksimum organ
42

No VariabelDefinisi Operasional Alat Ukur Skala


4 Dosis Dosis radiofarmaka cyclotron Interval
18
F-FDG yang dimasukkan
kedalam tubuh
5 Gula Darah Nilai kadar glukosa Tensimeter Interval
Sewaktu dalam tubuh seseorang
(GDS)

F. Instrumentasi Penelitian

Instrumentasi dalam penelitian ini berupa lembar penilaian yang

digunakan untuk melakukan pencatatan indeks massa tubuh pasien, waktu

pencitraan delay, dan nilai SUVmax pada organ yang telah ditentukan di

daerah pelvis yaitu vertebra lumbalis 5, ileum, sakrum, dan rektum.

Tabel 3.2. Instrumen Penilaian SUVmax


No Responden :
Indeks Massa Tubuh :
Kadar GDS :
Pencitraan delay menit ke : 120/150/180*
Nilai SUVmax Nilai SUVmax
No. Organ yang dilihat pencitraan menit pencitraan delay
ke 60
1 Verteba Lumbalis 5
2 Ileum
3 Sakrum
4 Rektum
*) Keterangan : Pilih salah satu

G. Prosedur Penelitian

1. Alat dan bahan dalam penelitian meliputi :

a. Pesawat PET/CT.

b. CD sebagai penyimpan data dari PET/CT ke perangkat

komputer
43

c. Perangkat komputer yang digunakan untuk melakukan analisis

nilai SUVmax dengan menggunakan ROI organ tertentu.

2. Tahapan Penelitian

a. Persiapan

Dalam persiapan meliputi persiapan pasien sebelum

melakukan pemeriksaan PET/CT, yaitu puasa makan minimal

6 jam sebelum pemeriksaan, istirahat yang cukup dan tidak

melakukan aktivitas olahraga berlebihan.

b. Pemeriksaan PET/CT dan delay

Pemeriksaan dimulai dengan pengecekan kadar gula darah

sewaktu (GDS). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat

badan guna persiapan radiofarmaka yang akan digunakan yaitu


18
F-FDG dengan dosis 0,15 mCi/Kg berat badan pasien.

Selanjutnya memposisikan pasien di meja pemeriksaan dengan

posisi supine head first. Pemindaian dilakukan dari kepala

sampai distal femur atau seluruh tubuh atas rekomendasi

dokter. Pemindaian pertama merupakan CT Scan dan

dilanjutkan PET. Setelah pemindaian menit ke 60 selesai

dilakukan, pasien diharap menunggu untuk melakukan

pemindaian delay sesuai dengan karakteristik sampel

penelitian.
44

c. Pengukuran nilai SUVmax

Citra yang telah didapatkan selanjutnya disimpan dalam CD

untuk dianalisis dengan menggunakan perangkat komputer.

Analisis dilakukan dengan membuat ROI pada organ yang

telah ditentukan yaitu pada vertebra lumbal 5, ilium, sacrum,

dan rektum. Hasil dari ROI akan menampilkan nilai SUV max

yang kemudian dicatat dalam masing - masing sampel untuk

selanjutnya dilakukan analisa.

H. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Hasil

Dari data nilai SUVmax yang telah diperoleh berdasarkan hasil

pengukuran ROI tersebut, peneliti melakukan pengolahan data dan analisis

data dengan menggunakan SPSS 17. Pada tahap awal dilakukan uji

normalitas data, apabila data sudah terdistribusi normal dilakukan

pengujian dengan one-way anova untuk melihat pengaruh dari variasi yang

dilakukan terhadap nilai SUVmax. Untuk tahap awal melihat pengaruh

variasi waktu pemidaian delay terhadap nilai SUVmax pada organ yang

telah ditentukan kemudian pada tahap kedua melihat pengaruh variasi

indeks massa tubuh terhadap nilai SUVmax pada organ yang sama.

Selanjutnya dibuat grafik melihat seberapa besar nilai pengaruhnya dan

dibuat persamaan.

y = a + bx [3.2]

Dengan, y = variabel terikat (nilai SUVmax)

a = konstanta
45

b = koefisien regresi (nilai peningkatan atau penurunan)

x = variabel bebas (waktu pencitraan delay atau indeks

massa tubuh)

Selanjutnya dilakukan pengambilan kesimpulan untuk nilai SUV

terhadap waktu delay yang digunakan pada pasien dengan inedeks massa

tubuh tertentu.

I. Etika Penelitian

Penelitian dengan subyek manusia harus memperhatikan masalah

etika dan moral meliputi :

1. Anonymity (Tanpa Nama)

Dalam penelitian ini, peneliti menjaga kerahasiaan identitas dari

subyek penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama subyek

dalam lembar data yang telah dikumpulkan, namun dalam data yang

diperoleh diberikan kode tertentu.

2. Confidentiallity (Kerahasiaan)

Kerahasiaan dari informasi dari responden dijamin oleh peneliti,

hanya kelompok tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian.

3. Beneficience (Bermanfaat atau Melakukan yang Baik untuk

Kemanusiaan)

Prinsip yang digunakan dalam penelitian ini adalah sisi manfaat

lebih besar dibandingkan dengan sisi kerugian. Peneliti akan

menjelaskan keuntungan kepada responden apabila berpartisipasi


46

dalam penelitian ini, yaitu untuk memperoleh citra yang tervisualisasi

dengan jelas dan mampu menegakkan diagnosa.

4. Autonomy (Kebebasan untuk Diri Sendiri)

Penelitian ini memberikan kebebasan pasien atas hak sampel

atau keluarga yang membuat keputusan. Peneliti akan meminta

persetujuan sebelum melakukan penelitian baik kepada calon sampel

maupun keluarga mengenai apa yang akan dilakukan dalam penelitian

dan hasil yang didapat dari penelitian ini.

5. Justice (Adil dan Tidak Membeda-bedakan)

Peneliti tidak akan membeda-bedakan sampel dalam penelitian,

semua sampel mendapatkan perlakuan yang sama baik dari sebelum,

selama, dan sesudah dilakukan penelitian. Semua sampel

mendapatkan intervensi sesuai tujuan dari penelitian, dan peneliti

tidak membeda-bedakan sampel berdasarkan agama, suku, budaya,

serta status sosial ekonomi.


47

J. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian tercantum pada tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.3. Jadwal Penelitian


No. Kegiatan Waktu
1 Penyusunan proposal September 2018 - Februari 2019
2 Seminar Proposal Maret 2019
3 Perbaikan Proposal Maret 2019
4 Pengambilan Data Maret - Mei 2019
5 Pengolahan Data dan Analisis Data Mei 2019
6 Penyusunan Hasil dan Pembahasan Mei 2019
7 Seminar Hasil Penelitian Mei - Juni 2019
8 Perbaikan Hasil Penelitian Juni 2019
9 Ujian Tesis Juni - Juli 2019
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas Z, Hidayati S, Akhadi M, Purba M, Purwadi D, Ariyanto S, et al.


Buku Pintar Nuklir. Batan; 2015. 1-216 p.
2. Adam WE. Handbook of Nuclear Medicine Practice in Developing
Countries. Clin Nucl Med. 2006;19(3):257–8.
3. Karellas A, Thomadsen BR. Physics of PET and SPECT Imaging.
Dahlbom M, editor. Taylor & Francis Group; 2017. 504 p.
4. Boellaard R. Chapter 3: PET Imaging Instrumentation and Principles of
PET Protocol Optimisation. 2010;
5. Canavan TP, Doshi NR. Cervical Cancer. Am Fam Physician.
2000;61(5):1369–76.
6. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia : Kanker Servis.
2017.
7. Boellaard R, Doherty MJO, Weber WA, Mottaghy FM, Lonsdale MN,
Stroobants SG, et al. FDG PET and PET / CT : EANM procedure
guidelines for tumour PET imaging : version 1.0. J Nucl Med Imaging.
2009;181–200.
8. Hamblen SM, Lowe VJ. Clinical 18 F-FDG Oncology Patient Preparation
Techniques *. Technol Sect Soc Nucl Med. 2003;3–11.
9. Delbeke D, Coleman RE, Guiberteau MJ, Brown ML, Royal HD, Siegel
BA, et al. Procedure Guideline for Tumor Imaging with 18F-FDG PET/CT
1.0*. J Nucl Med. 2006;885–96.
10. Hamada KH, Tomita YT, Ueda TU, Enomoto KE, Kakunaga SK, Myoui
AM, et al. Evaluation of delayed 18 F-FDG PET in Differential Diagnosis
for Malignant Soft-tissue Tumors. 2006;20(10):671–5.
11. Tian R, Su M, Tian Y, Li F, Li L, Kuang A, et al. Dual-time Point PET /
CT with F-18 FDG for the Differentiation of Malignant and Benign Bone
Lesions. Spinger. 2008;451–8.
12. Lan X, Zhang Y, Wu Z, Jia Q, Wei H, Gao Z. The value of dual time point
18 F-FDG PET imaging for the differentiation between malignant and
benign lesions. Clin Radiol. 2008;756–64.
13. Halpern BS, Dahlbom M, Quon A, Schiepers C, Waldherr C, Silverman
DH, et al. Impact of Patient Weight and Emission Scan Duration on PET /
CT Image Quality and Lesion Detectability. J Nucl Med. 2004;797–802.

48
14. Chin BB, Green ED, Turkington TG, Hawk TC, Coleman RE. Increasing
Uptake Time in FDG-PET : Standardized Uptake Values in Normal Tissues
at 1 versus 3 h. Mol Imaging Biol. 2008;(November 2008):118–22.
15. Blomberg A, Akers SR, Saboury B, Mehta NN, Cheng G, Torigian DA, et
al. Delayed time-point 18 F-FDG PET CT imaging enhances assessment of
atherosclerotic plaque inflammation. Nucl Med. 2013;
16. Saha GB. Basics of PET Imaging. Third Edit. Spinger; 2016. 292 p.
17. T B, Dw T, T B, Pe K, M C, R R, et al. A combined PET/CT scanner for
clinical oncology. J Nucl Med [Internet]. 2000;41(8):1369–79. Available
from:
http://europepmc.org/abstract/med/10945530%5Cnhttp://www.ncbi.nlm.ni
h.gov/pubmed/10945530
18. Hogg P, Testanera G, Heathcote A, Meadows A. Principles and Practice of
PET/CT, Part 1 of A Technologist’s Guide. 2010;5. Available from:
http://www.google.com/url?q=http://www.eanm.org/publications/guideline
s/gl_Principles_and_Practice_of_PET-
CT_Part_1.pdf&sa=D&sntz=1&usg=AFQjCNE94RDvaeLQPLp2vA3Q3T
uEYZWuJA
19. Bailey DL, Townsend DW, Valk PE, Maisey MN. Positron Emission
Tomography - Basic Sciences. London: Spinger; 2005. 381 p.
20. Nabi HA, Zubeldia JM. Clinical Applications of F-FDG in Oncology. J
Nucl Med Technol. 2002;3–10.
21. Lin EC, Alavi A. PET and PET/CT - A Clinical Guide. 2nd ed. Vol. 53,
Thieme. 2009. 160 p.
22. Koyama K, Okamura T, Kawabe J, Ozawa N, Torii K, Umesaki N, et al.
Evaluation of 18 F-FDG PET with Bladder Irrigation in Patients with
Uterine and Ovarian Tumors. J Nucl Med. 2018;1–5.
23. Kubota K, Itoh M, Ozaki K, Ono S, Tashiro M, Yamaguchi K, et al.
Advantage of Delayed Whole-body FDG-PET Imaging for Tumour
Detection. Spinger. 2001;28(6):11–2.
24. Anjos DA, Etchebehere ECSC, Ramos CD, Santos AO, Albertotti C,
Camargo EE. PET / CT Delayed Images After Diuretic for Restaging
Invasive Bladder Cancer. J Nucl Med. 2007;48(5):764–71.
25. Zincirkeser S, Sahin E, Halac M, S S. Standardized Uptake Values of
Normal Organs on 18 F-Fluorodeoxyglucose Positron Emission
Tomography and Computed Tomography Imaging. J Int Med Res.
2007;231–6.

49
26. Soongsathitanon S, Masa-ah P, Tuntawiroon M. A new Standard Uptake
Values ( SUV ) Calculation based on Pixel Intensity Values. 2012;6(1):26–
33.
27. Shen G, Liang M, Su M, Kuang A. Physiological uptake of 18F-FDG in the
vertebral bone marrow in healthy adults on PET / CT imaging.
2018;0(37):1–7.
28. Mahmud MH, Nordin AJ, Fikri F, Saad A, Zaid A, Azman F. Impacts of
biological and procedural factors on semiquantification uptake value of
liver in fluorine-18 fluorodeoxyglucose positron emission tomography /
computed tomography imaging. Quant Imaging Med Surg. 2015;5(5):700–
7.
29. Eknoyan G. Adolphe Quetelet (1796 - 1874)— the average man and
indices of obesity. 2008;(September 2007):47–51.
30. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. 2009;
31. Kementerian Kesehatan. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang
Dewasa.
32. Centre for Obesity Research and Education (CORE). BMI Calculator.
33. Centers for Disease Control and Prevention. About Child & Teen BMI.
2018;

50
Lampiran 1

LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

No Responden :
Indeks Massa Tubuh :
Kadar GDS :
Pencitraan delay menit ke : 120/150/180*

No. Organ yang dilihat Nilai SUVmax pencitraan Nilai SUVmax


menit ke 60 pencitraan delay
1 Verteba Lumbalis 5
2 Ileum
3 Sakrum
4 Rektum
*) Keterangan : Pilih salah satu

Anda mungkin juga menyukai