Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA

UNIT 2
PEMERIKSAAN INDERA

Disusun Oleh :
Nafadiela Azhari I1C018001
Andra Nurjaya Maulana I1C018005
Vinesa Febriana I1C018015
Fira Fadhilah I1C018025
Anik Susilowati I1C018045
Ukhti Ika Nur Risvana I1C018047
Nabila Fauziah Hapsari I1C018049

Asisten : Sylvymay Nur Basuki (G1A016013)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Unit 2 : Pemeriksaan Indera

B. Waktu dan Tanggal Praktikum


Rabu, 28 November 2018

C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu memahami pemerikasaan fungsi pendengaran, fungsi
penghidu, dan keseimbangan.
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan refraksi pada seseorang serta
mengoreksi kelainan yang ditemukan pemeriksa luas lapang pandang
beberapa macam warna dengan meggunakan kampimeter serta melakukan
pemeriksaan tes buta warna.

D. Dasar Teori
Pancaindera adalah organ-organ akhir yang dikhususkan untuk
menerima jenis rangsangan tertentu. Serabut saraf yang melayaninya
merupakan alat perantara yang membawa kesan rasa (sensory impression) dari
organ indera menuju otak, tempat perasaan itu ditafsirkan. Beberapa kesan
rasa timbul dari luar, seperti sentuhan, pengecapan, penglihatan, penciuman,
dan suara. Lainnya timbul dari dalam antara lain lapar, haus, dan rasa sakit
(Pearce, 2018).
Indera pendengaran merupakan salah satu indera manusia yang
berfungsi untuk mengenali berbagai macam bunyi menentukan lokasi sumber
bunyi. Indera pendengaran merupakan indera yang sangat penting bagi
manusia karena tidak hanya diperlukan untuk komunikasi antara sesama
manusia namun juga untuk mengenali kondisi sekitar tubuh. Bunyi itu sendiri
merupakan suatu getaran yang berasal oleh benda yang menimbulkan suatu

1
gelombang. Gelombang tersebut akan menghasilkan bunyi, baik yang bernada
tinggi ataupun bernada rendah. Manusia dapat mendengarkan bunyi antara 20
Hz sampai dengan 20 ribu Hz.
Organ yang berperan untuk fungsi pendengaran adalah telinga. Telinga
selain berfungsi untuk pendengaran juga berfungsi untuk keseimbangan.
Secara anatomis telinga terbagi menjadi telinga luar (auris externa), telinga
tengah (auris media) dan telinga dalam (auris interna). Telinga luar berperan
seperti mikrofon yaitu mengumpulkan bunyi dan meneruskannya melalui
saluran telinga (canalis acusticus externus) menuju telinga tengah dan telinga
dalam. Getaran yang sampai ke telinga dalam selanjutnya akan diubah
menjadi rangsang listrik yang selanjutnya akan dikirim ke pusat pendengaran
di otak (Pearce, 2018).

Kekurangan pendengaran :
1. Tuli konduksi
Gangguan pada penghantaran dari m.ratus auditorius eksterna sampai
koklea
2. Tuli syaraf
Gangguan impuls dari koklea ke Nn. Auditorius sampai denga pusat
3. Tuli campuran
Gangguan pendengaran yang merupakan campuran kedua jenis gangguan
diatas, mengalami kelainan di telinga bagian luar dan tengah juga syaraf

Organ yang berperan dalam indera penglihatan adalah mata. Mata


adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang di bungkus oleh tiga lapisan dari
luar ke dalam.isi bola mata terdiri atas lensa , badan bening dan cairan dalam
mata.indera penglihatan juga dinamakan fotoreseptor karena mampu
menerima rangsang fisik yang berupa cahaya. Saraf optikus atau urat syaraf
kranial kedua adalah syaraf sensorik untuk penglihatan. Syaraf ini timbul dari
sel-sel ganglion dari retina yang bergabung menggabung syaraf optikus.

2
Syaraf ini bergerak ke belakang secara medial dan melintasi kanalis optikus
memasuki rongga kranium, lantas menuju kiasma optikum (Pearce, 2018).
Refraksi adalah pembelokkan berkas cahaya dari satu medium ke
medium lainnya. Jenis kelainannya terbagi menjadi :
1. Hipermetropia
Sinar sejajar yang masuk ke mata fokusnya jatuh dibelakang retina.
Penderita hipermetropia dapat dibantu dengan lensa cembung.
2. Miopia
Sinar sejajar masuk ke mata fokusnya jatuh di depan retina. Penderita
miopia dapat dibantu dengan lensa cekung.
3. Astigmatisma
Sinar yang datang pada mata dibiaskan lebih dari satu bidang meridian
dan mempunyai beberapa titik fokus. Penderita ini dapat dibantu dengan
lensa silinder.

Mata dapat melakukan adaptasi cahaya dari terang ke gelap maupun


gelap ke terang. Adaptasi terang ke gelap bertahap dari saat diruangan
terang rhodopsin di resintesis secara lambat, dan ketika di rungan gelap,
mata membutuhkan waktu untuk resintesis rhodopsin dengan cepat sampai
mencukupi. Adaptasi gelap ke terang bertahap saat di ruangan gelap
rhodopsin di resintesis secara cepat dan ketika pindah di ruangan terang
akan terjadi pemecahan rhodopsin secara cepat, sehingga intensitas impuls
meningkat tajam dan otak menginterprestasikan impuls sebagai rasa nyeri.
Setelah beberapa saat diruang terang rhodopsin kembali di resintesis
secara lambat dan perlahan nyeri akan hilang.

3
E. Metode Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Pendengaran
a. Tes Tutur
Pada tes tutur digunakan tes berbisik, karena lebih efisien dan
praktis. Dalam tes ini pasien harus koorperatif. Pemeriksaan ini
bersifat semi kuantitatif, mengetahui derajat ketulian ini tidak berupa
angka.
b. Tes Garpu Tala
Garputala tes bersifat kualitatif artinya dapat mengetahui dan
mengevaluasi tuli konduktif atau tuli saraf. Dalam tes ini, pasien harus
koorperatif. Tes garputala terdiri dari Rinne, Webber, dan Schwabah.

2. Pemeriksaan Penglihatan
Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut
ini akan dijelaskan cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:

a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)

Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera


penglihatan sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat penting
untuk bisa mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata
dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih
lanjut.

Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan


jarak penglihatan normal seseorang dengan jarak penglihatan yang
dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya ketajaman penglihatan
20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki
sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki.
Orang dengan mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20
(Yunita dkk, 2012).

4
b. Pemeriksaan Buta Warna

Metode yang digunakan untuk tes buta warna adalah


menggunakan buku pseudo isokhromatik ishihara atau sering disebut
dengan metode ishihara yaitu metode yang dapat dipakai untuk
menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna yang didasarkan
pada penggunaan kartu bertitik-titik.

Tes buta warna ishihara terdiri dari lembaran yang didalamnya


terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna
tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran. Warna titik itu dibuat
sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan melihat
perbedaan warna (Widianingsih dkk, 2010).

F. Alat dan Bahan

1. Pemeriksaan Pendengaran

a. Tes Tutur

 Ruangan panjang 6 meter, sepi (derajat kebisingan 30 dB)

b. Tes Garpu Tala

 Ruang sunyi (tingkat kebisingan 30 dB)

 Penala berfrekuensi

2. Pemeriksaan Penglihatan

 Snellen card

 Buku pseudo isokhromatik ishihara

5
G. Cara Kerja

1. Pemeriksaan Pendengaran

a. Tes Tutur

1. Pemeriksa berdiri di belakang pasien supaya pasien tidak dapat


membaca gerakan bibir pemeriksa.
2. Perintahkan pasien untuk meletakkan satu jari pada tragus telinga
yang tidak diperiksa untuk mencegah agar pasien tidap dapat
mendengar suara dari telinga itu.
3. Bisikkan kata pada telinga pasien yang akan diperiksa. Kata harus
dimengerti oleh pasien, kata dibagi atas : yang mengandung huruf
lunak ( m, n, l, d, h, g ) dan yang mengandung huruf desis ( s, c, f,
j, v, z ).
4. Suruh pasien untuk mengulang kata – kata tersebut.
5. Sebut minimal 2 kata
Apabila penderita tidak / kurang mendengar huruf desis → tuli
persepsi.
Apabila penderita tidak / kurang mendengar huruf lunak → tuli
konduksi1
6. Apabila pasien tidak mendengar bisikan, pemeriksa harus maju
satu meter dan seterusnya sampai jarak pasien bisa mendengar
pasien.

b. Tes Garputala

 Cara Rinne

1.Penala dengan frekuensi 256 Hz, digetarkan dengan cara


memukulnya pada tepi telapak tangan (tidak boleh ke meja / benda

6
keras lainnya), atau dengan cara menjentikkannya. Penala dipegang
pada pangkalnya.

2. Tekanlah pangkal gagang penala yang sedang bergetar itu pada


prosesus mastoideus telinga kanan o.p. secara tegak lurus dari
kulitnya.

3. O.p. disuruh memberikan tanda dengan jarinya (tanpa bersuara),


bila ia dapat mendengar dengungan suara penala, dan segera member
tanda bila ia tidak dapat mendengar lagi dengungan.

4. Segera angkat penala dari prosesus mastoideus, kemudian


tempatkan ujung penala sedekat – dekatnya ke liang telinga kanan o.p.
(jangan tersentuh pada telinga). Tanyakan apakah dengungan penala
dapat didengar kembali atau tidak.

5. Pila o.p. : o dapat mendengar kembali, maka hasil tes Rinne positif
o tidak mendengar kembali, maka hasil tes Rinne negative

6. Hitung juga waktu saat o.p., mendengar kembali suara penala saat
ditempatkan di depan liang telinga sampai suara tersebut tidak
terdengar sama sekali (biasanya dengan dengungan masih terdengar
kembali selama 45 detik)

7. Ulangi pemeriksaan untuk telinga kri

8. Bila ada kelainan kulit di prosesus mastoideus, penempatan penala


boleh dipindahkan di tengah – tengah batas rambut dahi.

9. Berilah penilaian secukupnya dari hasil percobaan

7
 Cara Weber

1. Getarkanlah penala dengan frekuensi 512 Hz, seperti cara


Rinne.

2. Tekankan pangkal gagang penala di vertek / garis median tulang


tengkorak.

3. Tanyakan pada o.p. apakah ia mendengar dengungan “sama


keras” atau “tidak sama keras” pada kedua telinga.

4. Bila terdengar sama keras : hasilnya “tidak ada lateralisasi”. Bila


terdengar tak sama keras hasilnya “ada lateralisasi”. o Bila
terdengar lebih keras ditelinga kanan, hasilnya “lateralisasi ke
kanan”. o Bila terdengar lebih keras ditelinga kiri, hasilnya
“lateralisasi ke kiri”.

5. Ulangi percobaan dengan menutup salah satu telinga o.p.


dengan kapas.

6. Ulangi percobaan untuk telinga lainnya.

 Cara Schwabach

1. Getarkan penala frekuensi 100 Hz.

2. Tekankan pangkal gagang penala pada prosesus mastoideus o.p.


. Suruhlah ia memberi tanda bila dengungan tidak terdengar lagi.

3. Segera pindahkan gagang penala ke prosesus mastoideus


pemeriksa (telinga pemeriksa harus normal)

4. Bila pemeriksa masih dapat mendengar dengungan, maka hasil


tes Schwabach “memendek”.

8
5. Ulangi percobaan akan tetapi sekarang penala ditempatkan lebih
dahulu ke prosesus mastoideus pemeriksa. Bila dengungan sudah
tidak terdengar lagi, segera pindahkan ke prosesus mastoideus o.p.
. Suruhlah o.p. memberi tanda bila ia ternyata masih dapat
mendengar degungan.

6. Bila o.p. masih dapat mendengar degungan, maka hasilnya


Schwabch “memanjang”.

7. Bila hasil kedua percobaan hampir sama antara o.p. dengan


pemeriksa (atau sama), maka hasilnya tes Schwabach “sama
dengan pemeriksa”.

8. Ulangi pemeriksaan pada telinga lainnya

9. Setelah seluruhnya dilakukan, gabungkanlah hasil pemeriksaan


dan berikanlah kesimpulan saudara.

9
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Pemeriksaan Indera Pendengar
 Tes Tutur
Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun
Hasil : mendengar bisikan pada jarak 2 Meter,
mengindikasikan bahwa pasien menderita
Tuli Berat.

JARAK KETERANGAN
6 Meter Normal
5-4 Meter Tuli Ringan
3-2 Meter Tuli Sedang
2-1 Meter Tuli Berat

 Tes Garputala
a. Tes Rinne
Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Hasil :
HASIL AC : BC KESIMPULAN
AC ≥ BC NORMAL / SNHL

10
b. Tes Weber
Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Hasil :
Hasil Lateralisasi Kesimpulan
AD = AS - NORMAL

c. Tes Schwabach
Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Hasil :
Hasil Kesimpulan
BC pm = BC pd NORMAL

Interpretasi

Diagnosis Weber Schwabach Rinne


Normal Lateralisasi - Sama +
Tuli Lateralisasi ke
Memanjang -
konduksi telinga yang sakit
Lateraliasi ke
Tuli syaraf Memendek +
telinga yang sehat

11
2. Pemeriksaan Indera Penglihatan
 Tes ketajaman mata ( visus )
Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Hasil :
Hasil
20 𝑘𝑎𝑘𝑖
Mata Kanan
25 𝑘𝑎𝑘𝑖
20 𝑘𝑎𝑘𝑖
Mata Kiri
50 𝑘𝑎𝑘𝑖

 Tes Buta Warna


Nama : Fernando Andreas Tunip
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Hasil : NORMAL

B. PEMBAHASAN
Tubuh manusia memiliki pancaindera yaitu mata, telinga,
hidung, lidah dan kulit. Dengan memiliki indera tersebut, maka
manusia mampu mengenal lingkungannya dan memberikan respon
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan tersebut
(Arrington, 1972).
Saraf yang melayani indra pendengaran adalah saraf kranial
kedelapan atau nervus auditorius. Telinga terdiri atas tiga bagian yaitu
tenlinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Bagian luar dan tengah
berfungsi menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam
yang berisi cairan, untuk memperkuat energy suara. Telinga dalam
berisi dua system saraf sensorik yaitu koklea yang mengadung

12
reseptor- reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls
saraf sehingga kita dapat mendengar dan apparatus vestibularis yang
penting untuk keseimbangan tubuh.
Pendengaran adalah suara yang ditimbulkan akibat getaran
atmosfer yang dikenal dengan gelombang suara, yang kecepatan dan
volumenya berbeda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga
luar yang menyebabkan membrane timpani bergetar. Getaran-getaran
tersebut diteruskan menuju incus dan stapes melalui maleus. Tulang-
tulang itu memperbesar getRn kemudian disalurkan melalui fenestra
vestibular menuju perilimfa. Getaran perilimfa diteruskan melalui
membran menuju endolimfa dan rangsangan mencapai ujung-ujung
akhir saraf untuk kemudian diantarkan mejuju otak oleh nervus
auditorius (Pearce, 2018).
Pada pemeriksaan tutur digunakan tes berbisik pada jarak
pertama adalah 6 meter, jika pasien mendengar bisikan maka pasien
normal. Apabila pasien mendengar bisikan sejauh 4-5 meter, maka
pasien menderita tuli ringan. Sedangkan pada jarak 2-3 meter pasien
menderita tuli sedang, dan pada jarak 1-2 meter pasien menderita tuli
berat.
Pada pemeriksaan tes garpu tala yang bersifat kualitatif
digunakan 3 cara, yaitu rinne yang menggunakan alat yang disebut
penala yang berfrekuensi 512 hz. Penala tersebut akan di hantarkan
melalui hantaran tulang dan hantaran udara. Apabila AC lebih besar
dari BC, maka pasien normal. Dan jika AC lebih kecil dari BC, maka
pasien menderita CHL. Selanjutnya menggunakan cara schwabah yang
dilakukan dengan membandingkan BC antara penderita dan pemeriksa
dengan menggunakan alat penala. Tujuan pemeriksaan dengan penala
adalah untuk membedakan jenis tuli pada pasien. Cara yang terakhir
adalah weber, pada cara ini tujuan nya adalah membandingkan
kekerasan BC antara telinga kanan dan telinga kiri.

13
Pada pemeriksaan ketajaman mata menggunakan snelen card
pasien berdiri sejauh 6 meter, kemudian pasien diminta membaca
kombinasi huruf dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil. Ketika
pasien tidak lagi dapat melihat huruf atau telah salah menyebutkan
huruf sebanyak 3 kali, maka pasien hanya dapat membaca sampai
barisan tersebut. Jarak pandang pasien dapat dihitung dengan
membandingkan visus pasien tersebut dengan visus orang normal.
Misal pasien hanya dapat melihat sampai visus 20 kaki, sedangkan
orang normal dapat melihat sampai visus 25 kaki, maka jarak pandang
pasien tersebut adalah 20/25 kaki.
Pada pemeriksaan buta warna digunakan metode dengan buku
pseudo isokhromatik ishiharah, pada pemeriksaan ini pasien harus
menyebutkan angka yang terbentuk dari titik-titik warna dibuku atau
menunjuk alur yang terdapat dibuku. Apabila pasien tidak dapat
membedakan 1 atau 2 jenis warna dasar yang teridiri dari warna
merah,biru, dan hijau, maka pasien menderita buta warna parsial. Jika
pasien tidak dapat membedakan 3 jenis warna, maka pasien menderita
buta warna total.

C. Aplikasi Klinis
 Indra Pendengaran
1. Untuk tes pendengaran apakah normal, SNHL atau CHL
2. Dalam bidang kedokteran, digunakan untuk menngetahui
adanya kelainan pendengaran.

 Indra Penglihatan
1. Untuk tes memakai kacamata apakah mata plus, minus atau
silindris.
2. Dalam bidang kedokteran digunakan untuk mengukur
ketajaman mata pasien

14
BAB III
KESIMPULAN

1. Tes Pendengaran terdapat 3 cara yaitu tes tutur, tes garpu tala, dan tes
audiometer.
2. Tes garpu tala menggunakan 3 cara yaitu rinne, weber, dan schwabach.
Tes rinne yaitu tes yang membandingkan anatara AC dan BC. Tes weber
yaitu tes yang membandingkan kekerasan BC antara telinga kanan dan
telinga kiri. Dan tes scwabach yaitu tes yang membandingkan BC antara
penderita dengan pemeriksa.
3. Tes penglihatan dibagi menjadi tes visus dan buta warna. Tes visus adalah
tes yang menggunakan snellen card, Sedangkan tes buta warna
menggunakan buku pseudo isokhromatik ishiharah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arrington, L. 1972. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Malang : Media


Prasetya.
Pearce, Evelyn C. 2018. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, cetakan
ke-47. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Widianingsih, R., Awang H.K., dan Ahmad R.H. 2010. Aplikasi Tes Buta
Warna dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Jurnal
Universitas Mulawarman.
Yunita, R., Mafa A.S., dan Iput H. 2012. Pemeriksaan Fisik Sistem
Sensori. Makalah Program Studi Keperawatan, Universitas Jember.

16

Anda mungkin juga menyukai