Anda di halaman 1dari 17

PENDIDIKAN INKLUSIF

“KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF”

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusif

Diasuh Oleh :

Mirnawati, M.Pd.

Disusun Oleh :

Mahridha (1610118120010)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

SEPTEMBER 2018
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii


BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
BAB II..................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
A. Filosofi Pendidikan Inklusif ........................................................................................................ 2
B. Definisi Pendidikan Inklusif ....................................................................................................... 2
C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif .............................................................................................. 4
D. Sejarah Pendidikan Inklusif ........................................................................................................ 4
E. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia.............................................................................. 5
F. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia ........................................................................ 7
G. Landasan Pendidikan Inklusif ..................................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 14

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Pendidikan Inklusif” ini guna menyelesaikan
tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi.
Makalah ini saya susun bertujuan untuk memberikan pembahasan tentang filosofi,
pengertian, sejarah, perkembangan, dan macam-macam landasan pendidikan inklusif sehingga
dapat memberikan gambaran tentang pendidikan inklusif itu sendiri dimana akan membantu
meningkatkan pengetahuan mahasiswa pada khususnya dan semua orang pada umumnya.
Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan yang tidak
saya sadari. Untuk itu, saya memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai penyempurnaan
untuk kedepannya.

Banjarmasin, 19 September 2018

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu
seluruh warga negaranya, dengan adanya pendidikan diharapkan semua akan mampu
mengaktualisasi dirinya dalam masyarakat. Pendidikan merupakan hak semua warga
negaranya tanpa terkecuali. Hak pendidikan tidak membedakan derajat, kondisi
ekonomi ataupun kelainannya, semua berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin didefinisikan sebagai suatu sistem
layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus
dilayani sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama dengan teman teman-teman
seusianya. untuk itu perlu adanya rekonstruksi di sekolah sehingga menjadi komunitas
yang mendukung kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di masyarakat masih belum dapat
sepenuhnya diterima, sehingga banyak hal yang menyangkut hak anak-anak
berkebutuhan khusus belum dapat diperoleh atau dengan kata lain masih terjadi
deskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus baik dalam bidang sosial,
hukum ataupun pendidikan. Untuk itu banyak usaha dari pemerintah ataupun gerakan
masyarakat internasional yang peduli dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang
melahirkan kesepakatan dan perangkat hukum perundang-undangan yang mengikat.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa filosofi pendidikan inklusif?
2. Apa definisi pendidikan inklusif?
3. Bagaimana bentuk konsep dasar pendidikan inklusif?
4. Bagaimana sejarah terbentuknya pendidikan inklusif?
5. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di dunia?
6. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia?
7. Apa landasan pendidikan inklusif?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filosofi Pendidikan Inklusif


Filosofi pendidikan inklusif adalah mengakui bahwa setiap manusia mempunyai
keunikan dan perbedaan, dimana keunikan itu harus diakomodir dalam pendidikan.
Jauh sebelum munculnya paradigma pendidikan inklusif, sebenarnya Indonesia sudah
mempunyai falsafalah yang sejalan dengan filosofi pendidikan inklusif. yakni
falsafalah Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu.
Falsafalah Bhinneka Tunggal Ika sering kali hanya diidentikkan dengan persatuan
bangsa, namun jika diteliti lebih lanjut falsafalah tersebut sudah termasuk ke dalam
filosofi dari pendidikan inklusif. Falsafalah Bhinneka Tunggal Ika membuat semua
perbedaan menjadi kekayaan bangsa. Semangat falsafalah Bhinneka Tunggal Ika
belum semua dipakai dalam kehidupan sekolah atau lembaga pendidikan, masih ada
sekolah yang belum bisa mengakomodir semua keunikan atau perbedaan pada setiap
individu. Perbedaan yang diakomodir masih dalam kategori wajar seperti suku bangsa,
agama, warna kulit, latar belakang ekonomi orangtua. Seharusnya, semua keunikan
atau perbedaan setiap individu tidak dijadikan sebagai masalah, tetapi dijadikan
sebagai alat untuk pembenahan diri dari pemerintah untuk menciptakan lingkungan
atau suasana yang sesuai agar keunikan atau perbedaan tersebut menjadi hal yang
positif.

B. Definisi Pendidikan Inklusif


Definisi pendidikan inklusif cukup beragam. Para ahli mendefinisikan pendidikan
inklusif dari berbagai sudut pandang. Ada satu persamaan makna dari berbagai definisi
yaitu “mengakomodir perbedaan manusia”.

Pada tahun 1998 EENet mengemukakan yang dimaksud pendidikan inklusif


adalah pendidikan yang :

1) menyesuaikan struktur pendidikan,


2) sistem dan metodologi untuk kebutuhan semua anak,
3) menjadi bagian strategi menuju masyarakat yang inklusif,
4) proses dinamis yang terus berkembang, dan
5) mengatasi berbagai macam hambatan.

2
Menurut Permendiknas Nomor 70 tahun 2009, Pendidikan Inklusif
didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memilki kelainan dan memilki potensi
kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.

Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai


berikut: Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya
di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan
pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi
kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Lebih spesifik untuk kepentingan anak-anak berkebutuhan khusus, Sapon
Sehevin mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan khusus
yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-
sekolah terdekat di kelas biasa (sekolah reguler) bersama teman-teman seusianya.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa paradigma pendidikan


inklusif mengandung makna :

 Pendidikan yang diperuntukkan bagi semua (education for all).


 Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodir semua perbedaan
peserta didik.
 Pendidikan inklusif bukan hanya untuk kepentingan ABK, namun untuk semua
anak. ABK menjadi perhatian yang serius dalam pendidikan inklusif karena ABK
harus ditangani secara spesifik. Makna ini diartikan bahwa jika sekolah kebetulan
tidak ada ABK bukan berarti sekolah tidak inklusif. Inklusif mengandung makna
menjadi “sekolah siaga”, artinya jika radius penerimaan siswa baru kebetulan ada
ABK dan anak-anak yang termajinalkan lainnya maka sekolah mempunyai
kewajiban untuk menerima anak tersebut.
 Inklusif diartikan juga bagaimana sistem sekolah dapat menyesuaikan dengan
kondisi dan kemampuan anak. Penyeseuaian sistem tidak hanya berlaku bagi
ABK saja namun diupayakan berlaku bagi semua anak.

3
 Inklusif mengandung makna sekolah dapat mengatasi berbagai hambatan belajar.

C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif


Beberapa konsep yang mendasari munculnya paradigma pendidikan inklusif
diantaranya :

1) Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan, dan harus
diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan
yang wajar,
2) Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan, dan kebutuhan belajar
yang berbeda-beda,
3) Sistem pendidikan seharusnya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan
dengan memerhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan terebut,
4) Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memeroleh akses ke
sekolah regular yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogik yang
berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
5) Sekolah regular dengan orientasi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk
memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun
masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan bagi semua.

D. Sejarah Pendidikan Inklusif


Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan
diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika
Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar
Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
dari segregatif ke integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama


sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi
“education for all”. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota

4
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan


konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive
education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan


inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun
2005 diadakan simposium internasional di Bukit tinggi dengan menghasilkan
Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus
dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa
semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas
dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka


Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu
yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali
dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

E. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia


Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya
dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak
dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan.
Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan atau tertolak adalah faktor
pendidikan sehingga pendidikan menjadi isu utama untuk mengatasi masalah ini. Jika
kita mengacu pada data International Consultative Forum on Education for All (2000)
di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak
sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga
menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara

5
Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out atau putus
sekolah padahal pendidikannya belum selesai.

Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada
sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat
sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk
bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah
terbatas. Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau
sejumlah orang tidak dapat menikamti haknya untuk memperoleh pendidikan,
diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-
lain. Berdasarkan hal tersebut maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di
bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu
konferensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan
dengan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989).
Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien
World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota
PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO) serta
Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam konferensi
itu, mereka berupaya serius mencari solusi, dalam konferensi ini lah munculnya konsep
pendidikan untuk semua.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi


oleh Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (PBB1948) (yang menyatakan tentang hak
pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989)
itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya
pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil
konferensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan
masalah marginalisasi itu. Hasil dari konfrensi diantarnya menyatakan bahwa: (1)
memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan
pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konfrensi belum
termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi


penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa
6
Negara, kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi
sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk
Orang-Orang Penyandang Cacat (PBB, 1993). Konferensi ini dinamai The Salamanca
World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994), dari konferensi
inilah muncul prinsip-prinsi dan konsep dasar dari pendidikan inklusif, yang
selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusif. Untuk
mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di
Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui
UNESCO menyelenggarakan konferensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di
Dakar tahun 2000. Dari Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi
pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah atau region.

F. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia


Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakikatnya
sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil
diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum,
meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat laun terjadi perubahan sikap
masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa
tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian
terhadap pentingnya integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk
membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah
menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986
tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan
integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan,
terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk
mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan
pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB.

Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimpllementasikan


pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi
mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber
dan sejak saat itu lebih dari 1.500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah reguler,
dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah
anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau

7
15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD,
75 SLTP, dan 56 SLTA.

Selanjutnya untuk mendorong implementasi pendidikan inklusi secara lebih


luas, pada tahun 2004 di Bandung diadakan lokakarya nasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung. Guna terus mengembangkan pendidikan inklusi pemerintah juga
telah mengambil berbagai strategi, baik melalui diseminasi ideologi pendidikan
inklusif, mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber,
penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guruguru sekolah reguler, reorientasi
pendidikan guru LPTK, desentralisasi dalam implementasi pendidikan inklusif,
pembentukan kelompok kerja pendidikan inklusi, samapai pada pembukaan program
magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Hasilnya pada kisaran
tahun 2004-2007 muncul apresiasi dan antusiasme kuat di kalangan masyarakat untuk
mengimplementasikannya. Misal, pada tahun 2005 cukup banyak sekolah regular yang
mengajukan untuk menjadi sekolah inklusi, yakni 1200 sekolah, tetapi yang disetujui
oleh pemerintah untuk dilaksanakan baru 504 sekolah, karena konsekuensinya
pemerintah harus memberikan subsidi dan fasilitas lain penunjang proses pembelajaran.
Meningkatnya implementasi pendidikan inklusi waktu itu, menjadikan Indonesia
(menurut UNESCO) berada pada ranking ranking ke 58 dari 130 negara dalam
implementasi pendidikan inklusi. Sayang ranking tersebut kemudian terus merosot
dalam tahun-tahun berikutnya.

G. Landasan Pendidikan Inklusif


1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi
yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai
wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun
horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, dan kemampuan pengendalian diri, sedangkan
kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, dan afiliasi politik.

8
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan bakat
hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa
budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan
keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti
terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang
diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik
satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.
Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antarsiswa yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling
mencerdaskan, saling mencinta, dan saling tenggang rasa).

2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarki dari undang-undang dasar, undang-undang,
peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan
direktur, hingga peraturan sekolah. Selain itu, juga melibatkan kesepakatan-
kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan
UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan
di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif, dalam kesepakatan tersebut juga
dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak
peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga
tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama.
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan
dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregasi hanya untuk
keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan
(education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus
disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada
umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
a) Instrumen Internasional
 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)

9
 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat
 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus
 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan
Angka Kemiskinan dan Pembangunan
 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan

b) Instrumen Nasional
 UUD 1945 (amandemen) pasal 31
 UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53.
 UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
 Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-
14 Agustus 2004
 Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
 Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

3. Landasan Pedagogik
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan anak didik di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. Jelaslah melalui rumusan tersebut bahwa hakikatnya
pendidikan itu perlu atau dibutuhkan oleh siapa saja dan dimana saja.
Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

10
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan berkebutuhan khusus atau
berkelainan dibentuk menjadi manusia yang bertanggung jawab dan menjadi warga
negara yang demokratis yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat.

4. Landasan Religius
Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama islam. Dalam
konsepsi islam, sebenarnya telah mengamanatkan bahwa kita tidak boleh membeda-
bedakan perlakuan terhadap mereka yang memiliki perbedaan, hal ini dapat kita
simak dalam Al-Qur’an, yaitu Surah An-Nur ayat 61 yang artinya, “Tidak ada
halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang
sakit dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah
kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-
saudaramu….”.
Dalam ayat tersebut menyiratkan makna bahwa Allah SWT tidak membeda-
bedakan kondisi, keadaan, dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga sangat jelas bahwa sebagai ciptaan-Nya, setiap manusia harus menerima
adanya perbedaan sebagai anugerah maha pencipta, ada laki-laki dan perempuan, ada
yang cacat dan tidak cacat,. Dengan demikian, inklusif adalah fitrah’yang harus
menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh
kasih sayang.

5. Landasan Psikologis
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk
merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta
didik mengerti, menerima, serta menhargai orang lain yang berbeda suku, budaya,
nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan setiap individu
termasuk dalam tahapan perkembangannya yang sejalan dengan paham pada ilmu
psikologi yang disemua referensinya menekankan bahwa setiap individu akan tumbuh
dan berkembang sesuai dengan ritme serta karakterisktik khas masing-masing.

11
6. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak
1980-an, namun penelitian yang berskala besar yang dipelopori oleh the National
Academy of Science (AS). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan
mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan
anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.
Prisoner yang melakukan survei pada kepala sekolah tentang sikap mereka
terhadap pendidikan inklusif dan menemukan bahwa hanya satu dari lima sekolah
yang memiliki sikap postif tentang penerapan pendidikan inklusif. Meyer mengatakan
bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki
keberhasilan yang lebih besar manakala mereka memperoleh pendidikan dalam
lingkungan yang menerima mereka, khususnya yang berkaitan dengan hubungan
sosial dan persahabatan mereka dengan masyarakatnya

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Filosofi pendidikan inklusif adalah mengakui bahwa setiap manusia mempunyai
keunikan dan perbedaan dan keunikan itu harus diakomodir dalam pendidikan
2. Definisi pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan pendidikan khusus yang
mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah
terdekat di kelas biasa (sekolah reguler) bersama teman-teman seusianya.
3. Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan
diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education
for all”. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar
semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana
pendidikan secara memadai.
4. Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakikatnya sudah
berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya
beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada
13
upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat laun terjadi perubahan sikap masyarakat
terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
5. Adapun landasan pendidikan inlklusif, diantaranya :
 Landasan filosofis
 Landasan yuridis
 Landasan pedagogik
 Landasan religious
 Landasan psikologis
 Landasan empiris

DAFTAR PUSTAKA

Rasyidi, Imron. 2009. Pendidikan berparadigma Inklusif. Malang: UIN-Malang Press.

Stubbs, Sue. 2002. Terjemahan (Inclusive Education, Where There Are Few Resources).
Norway: the Atlas-Alliance.

UNESCO. 1994. Penyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Mengenai Pendidikan Kebutuhan
Khusus(Online).
(http://www.idpeurope.org/indonesia/docs/SALAMANCA_indo.pdf, diakses 19
November 2018).

Yuwono Imam, dan Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif. Banjarmasin : Pustaka Banua.

14

Anda mungkin juga menyukai