Anda di halaman 1dari 22

Etika dan Rahasia Kedokteran

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jl.Arjuna Utara no.6, Jakarta 11510
Veresa Chintya 102010013
Cindy Dewinta S 102010109
Metta 102010204
Andreas Esa 102010248
Hendi Putra Hartanto 102010258
Priscila Ratna Suprapto 102010262
Patricia Virginia 102010294
Zulhelmi B. Ayop 102010384
Semester 7, Blok 30
10 Januari 2014

PENDAHULUAN
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang tindih pada suatu isu tertentu, seperti pada informed concent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain sebagainya. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma
hukum yang mengandung nilai-nilai etika.1
Dengan menyandang profesi kedokteran, segala tindakan yang dilakukan dokter
didasari oleh etika dan moral profesi kedokteran. Sebagai dokter, kita harus tahu apa saja
hak-hak pasien yang tidak bisa kita langgar. Tindakan kita pun untuk menangani segala
pasien tidak boleh merugikan pasien atau mengambil keuntungan dari pasien. Apabila dokter

1
melanggar etika dan moral tersebut ada aspek hukum yang berlaku sesuai dengan tindakan
yang dilakukannya.
Sama halnya dengan kasus yang diperoleh, dimana ada seorang pasien laki-laki
datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut. Kali
ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan
teman wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan
istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan
terasa nyeri. Setelah di periksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui oleh
istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati
penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga
dengan istrinya maka mungkin istri juga sudah tertular. Untuk itu istrinya juga harus di obati.
Didalam makalah ini juga akan membahas tentang etika kedokteran, informed concent,
rahasia kedokteran, hukum yang terkait, penyakit GO dan AIDS yang terkait kasus diatas.

PEMBAHASAN
1. Prinsip etika kedokteran
Keputusan yang hendak diambil oleh dokter sebaiknya mempertimbangkan mengenai
hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan pelanggaran atas
kebutuhan dasar diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1,2
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika
yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut oleh
orang yaitu teori deontologi dan teologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatan itu sendiri, sedangkan teologi mengajarkan untuk melihat baik-buruknya
sesuatu dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih mendasar kepada ajaran
agama, tradisi dan budaya, sedangkan teologi lebih berdasar pada arah penalaran dan
pembenaran kepada azas manfaat.1,3
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan dibawahnya.
Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
A. Prinsip Otonomi

2
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed
concent.
B. Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence adalah prinsip moral yng mengutamakan tindakan yang ditujukan
demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari
sisi buruknya
C. Prinsip Non-malificence
Prinsip non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan “primum non nocere”
atau “above all, do no harm”.
D. Prinsip Justice
Prinsip justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka),
privacy (menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasien)
dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika profesi
sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin
dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah berisi “kontrak moral” antara
dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan
“kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan komunitasnya yaitu masyarakat
profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah
kewajiban moral yang melekat pada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah
kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban
moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran.
Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler
dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang
essential dalam pelayanan klinik, yaitu:
A. Medical indication

3
Kedalam topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai
untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi
medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan
non-malificence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh
informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin informed
concent.
B. Patient preferences
Pada topik ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan
beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan
etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan
keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam
keadaan tidak sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
C. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insan. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence dan autonomy.
D. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului
keputusan seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi
sumber daya dan faktor hukum.

2. Hubungan dokter-pasien
Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang
berdasarkan atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan
tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya. Hal
inilah yang menyebabkan hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang sulit
tergantikan oleh dokter lain. Akan tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun terakhir ini
telah berubah akibat makin menipisnya keharmonisan antara keduanya. Berubahnya pola
hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik menjadi hubungan kolegial atau
kemitraan, membuat pasien makin kritis terhadap dokternya. Ketika terjadi suatu hasil
pengobatan yang tidak diinginkan seperti penyakit makin parah, kecacatan atau kematian,
maka pasien serta merta menganggap dokter dan rumah sakitnya lalai.1,5

4
Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya,
dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis
dan menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien
merasa dalam posisi lebih rendah di hadapan dokter (superior-inferior), sehingga takut
bertanya dan bercerita atau hanya menjawab sesuai pertanyaan dokter saja.Tidak mudah
bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh
begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing.
Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan
yang benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit
pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien. Komunikasi yang baik dan
berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan agar
pasien mau atau dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur dan jelas.
Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan
tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan
mengundang masalah.

Teori hubungan dokter dengan pasien


Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain:
A. Bersifat religius
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit berasal dari
kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada sang pemimpin agama
lalu dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan. 6
B. Bersifat paternalistis
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan dimana orang-orang
pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri.Salah satunya adalah ada orang-
orang yang mau menolong orang sakit. Orang tersebut boleh dikatakan dokter
generasi pertama dan tidak lagi berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter
zaman dahulu mempunyai murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya
itu.Profesi kedokteran seperti ini dimulai pada abad ke -5 SM oleh Hipokrates di
Yunani. Karena pengajaran (pendidikan) yang bersifat turun-temurun tersebut, para
dokter kuno merupakan golongan yang tertutup bagi komunitas terbatas yang
menguasai ilmu pengobatan ilmu kedokteran kuno tersebut. Masyarakat atau orang

5
awam sangat tidak memahami proses pengobatan. Akhirnya timbul suatu hubungan
yang berat sebelah dan pasien sangat tergantung pada dokter. Para dokter kuno selain
berpendidikan juga mengaku sebagai keturunan dewa. Hubungan ini disebut
hubungan paternalistis. Dokter mengobati dengan memberi perintah yang harus
dituruti oleh pasien hubungan model ini berlangsung sejak abad ke-5 SM sampai
zaman modern sebelum teknologi informasi berkembang. Ilmu kedokteran sejak
zaman Hipokrates hingga sekarang disebut juga seni kedokteran (medicine is a
science and art). Dokter zaman kuno menerima imbalan sebagai tanda kehormatan,
karena itu imbalan tersebut disebut honorarium.Seiring dengan perkembangan
teknologi kedokteran dan teknologi informasi, terjadilah perubahan dalam hubungan
kedokteran. Teknologi kedokteran dan informasi memberikan dampak positif seperti
diagnosa dan terapi yang tepat, selain juga damak negatif seperti tingginya biaya
pengobatan. Selain itu, akibat lain dari modernisasi adalah perubahan hubungan
dokter dan pasien dari paternalistis enjadi hubungan baru yang lebih menonjolkan
aspek bisnis sehingga hubungan dokter dan pasien berubah menjadi hubungan antara
penyedia jasa dan konsumen. 6
C. Bersifat penyedia jasa dan konsumen
Hubungan jenis ini disebut juga provider dan consumer relationship. Perubahan dari
paternalistis ke hubungan ini bertepatan dengan perkembangan teknologi informasi
dimana masyarakat makin sadar akan hak-haknya serta mampu menilai pekerjaan
dokter. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat mengidentifikasi berakhirnya
era paternalistis :
 Pelayanan kesehatan mulai bergeser dari pelayanana prorangan (praktik pribadi)
menuju praktik pelayanan di rumah sakit.
 Perkembangan ilmu teknologi kesehatan memberikan kesempatan tindakan yang
makin canggih. Namun, tidak semua tindakan berhasil dengan baik sesuai
harapan.
 Kekecewaan sering menimbulkan tuntutan hukum.
 Pengacara juga ikut terlibat
Dalam era penyedia jasa dan konsumen, terbentang jarak psikologis antara dokter dan
pasien. Seolah ada dua pihak yang menandatangani kontrak perjanjian dimana pasien
harus membayar dan dokter harus bekerja. Dengan demikian, unsur bisnis terasa
kental. Akibat dari pola hubungan ini, masyarakat mudah menuntut bila merasa tidak

6
puas dan dokter bersikap defensif (defensive medical service), ini membuat hubungan
dokter dan pasien sedikit merenggang. Berdasarkan pola hubungan ini, tidak heran
bahwa dalam undang-undang perlindungan konsumen, praktik dokter dimasukkan ke
dalam industri jasa, dan dengan sendirinya praktik kedokteran masuk dalam UU
perlindungan konsumen. Kondisi ini menggelisahkan para dokter sehingga sebagian
dokter senior berusaha untuk merumuskan pola hubungan baru, yaitu pola kemitraan
dokter-pasien. 6
UU No. 8 / 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mempunyai 2 sasaran
pokok, yaitu :
 Memberdayakan konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha (publik atau
privat) barang dan atau jasa;
 Mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab
Jenis-jenis masalah perlindungan konsumen sejak berlakunya UU No. 8 / 1999
tentang Perlindungan Konsumen sangat beragam, namun gugatan konsumen terhadap
pelayanan jasa kesehatan dan yang berhubungan dengan masalah kesehatan masih
tergolong langka. Hal ini antara lain disebabkan selama ini hubungan antara si
penderita dengan si pengobat, yang dalam terminologi dunia kedokteran dikenal
dengan istilah transaksi terapeutik, lebih banyak bersifat paternalistik. Seiring dengan
perubahan masyarakat, hubungan dokter-pasien juga semakin kompleks, yang
ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistik menuju partnership, yaitu
kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan mitra bagi
pasien). 6
D. Bersifat upaya bersama dan kemitraan
Dalam kondisi sakit, baik berat maupun ringan, baik sakit fisik maupun mental,
seorang pasien membutuhkan dokter. Di lain pihak, budaya paternalistis di Indonesia
jangan sampai disalahgunakan oleh dokter yang tujuan utamanya adalah mencari uang
tanpa memerhatikan kondisi pasien. Budaya saling menghargailah yang justru harus
dikembangkan agar ada rasa saling percaya antara pasien dan dokter. Di Indonesia
banyak pasien mengajukan tuntutan hukum kepada dokter, sementara sang dokter
bersikap defensif. Semakin banyak jug pasien yang pergi ke luar negeri untuk berobat
karena tidak lagi mempercayai kompetensi dokter di Indonesia. Tidak sedikit pula
dokter senior yang sangat diminati pasien hingga harus berpraktik hingga dini hari,
padahal banyak pasiennya yang bisa dirujuk atau didelegasikan kepada dokter lain.

7
Kondisi ini menyebabkan dokter tidak bisa bekerja maksimal dan mengecewakan
pasien. Peristiwa berlebihan semacam inilah yang akan diatur oleh IDI dengan
pembatasan tempat praktik dan pelayanan dokter di maksimum tiga tempat. Hal
tersebut tertuang dalam UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan
kedokteran gigi. 6
Hubungan dokter-pasien semestinya atas saling percaya, bukan kontrak bisnis.
Dokter maupun pasien sama-sama profesional dan proporsional dalam memecahkan
permasalahan kesehatan. Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan
profesinya, serta mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait
dengan tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek
yang terkait dengan pengambilan keputusan medis sehingga mengerti manfaat dan
risiko dari tindakan medis tersebut.

3. Informed concent
Di Indonesia informed concent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik (informed
consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur
tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor perbedaan
kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.1
Informed concent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa
yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed concent dilihat dari aspek hukum
bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan
sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.1
Menurut PerMenKes no. 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no. 29 th 2004 Pasal 45
ayat 1 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, informed concent
adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan informed concent
adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum
kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif. Informed concent dapat
diberikan:
 Dinyatakan (expressed)
- Dinyatakan secara lisan.
8
- Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti
di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang berisiko
mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang Persetujuan
Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.1
 Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini
tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam
praktek sehari-hari.1

Informed concent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan
sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan
dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat
darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-concent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi,
dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien
apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-concent adalah suami/isteri, anak,
orang tua, saudara kandung dan lain-lain. Proxy-concent hanya boleh dilakukan dengan
pertimbangan yang matang dan ketat.1

4. Rekam medis
Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di
rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan
sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa
rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat
dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil
pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman
itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil
pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat
ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian.
Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa
9
sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini
makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di
atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami
dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.1

Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang
rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya
rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang
berkualitas.5

Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan


dipertegas dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79
diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak
Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.5

Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian


RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.5

Isi RM

Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:

• RM untuk pasien rawat jalan

• RM untuk pasien rawat inap1

Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien,
antara lain:

a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)

b. Riwayat penyakit (anamnesis)

10
c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,
MRI, dan lain lain.

d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding

e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang
berwenang.1

Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan,
dengan tambahan :

• Persetujuan tindakan medik

• Catatan konsultasi

• Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya

• Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan

• Resume akhir dan evaluasi pengobatan.

Secara umum kegunaan RM adalah:

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan
membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat
pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui
penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus
berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar
rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti
bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan
penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis

11
atau data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi
ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.
5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter
maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima
semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan
dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila
catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter
dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti
sulit dipercaya.
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-
gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit
pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan
penelitian.
7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila
pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala
biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.

Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan
dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak
yang memerlukan masa mendatang.6

5. Rahasia kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan pasien. Sumpah dokter indonesia
salah satunya berbunyi: ”saya akan merahasikan segala sesuatu yang saya ketahui karena
ke profesian saya”, sedangkan kode etik kedokteran indonesia merumuskannya sebagai
”setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”2
Peraturan pemerintah No.10 tahun 1966 yang mengatur tentang seluruh tenaga
kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang diketahuinya selama melakukan

12
pekerjaan di bidang kedokteran sebagai rahasia. Namun PP tersebut membrikan
pengecualian sebagaimana terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan
perundang-undanganyang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya
lain.2
Baik UU kesehatan maupun UU praktik kedokteran juga mewajibkan tenaga
kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran. Selanjutnya UU praktik kedokteran
memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam
pasal 48 ayat (2):2
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
c. permintaan pasien sendiri
d. bedasarkan ketentuan undang-undang
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidanakan
oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat
peluang bagi tenaga kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka
”rahasia kedokteran ” tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan ”bebasnya” para
dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat Visum et Repertum (kewajiban
dalam KUHAP) dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit
wabah, dan karantina (diatur dalam UU terkait).
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin
atau persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP),
daya paksa (pasal 48 KUHP) dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP) selain itu
etika kedokteran umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas
untuk kepentingan konsultasi profesional, pendidikan dan penelitian. Permenkes No. 749a
juga memberikan peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan
penelitian.
Dalam kaitannya dengan keadaan yang memaksa dikenal dua keadaan yaitu pengaruh
daya paksa yang memadai (overmatch) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand).
Noodtoestand dapat diakibatkan oleh tiga keadaan yaitu adanya pertentangan antara dua
kepentingan hukum, pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum,
dan pertentangan antara dua kewajiban hukum. Dalam menggunakan alasan-alasan yang
bersifat hukum diatas haruslah dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan

13
sebaiknya hanya dilakukan oleh dokter yang bersangkutan dan atau pimpinan sarana
kesehatan tersebut.2

Rahasia medis antara suami istri4


Rahasia medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter-pasien.
Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien
yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien.
Hal ini di negara-negara barat merupakan sesuatu yang harus dijaga benar, karena
berdasarkan paham individualisme yang dianut. Hal ini berlainan dengan keadaan sosial
budaya di Indonesia, di negara kita yang bersifat timur, jika ada seorang anggota keluarga
menderita sakit, tidak saja harus diketahui oleh keluarga kecilnya, tetapi juga merupakan
sesuatu yang harus diketahui pula oleh keluarga besarnya.
Merupakan hal yang lazim bahwa antara suami istri umumnya tidak ada rahasia.
Namun jika menyangkut suatu masalah seperti rahasia medis tertentu (termasuk di
Indonesia) para dokter haruslah bertindak lebih hati-hati. Jika yang diderita penyakit
penyakit umum seperti usus buntu, wasir, influenza tidaklah menjadi persoalan
diketahuinya. Lain halnya jika menyangkut penyakit-penyakit tertentu yang bisa
menularkan seperti penyakit kelamin, atau hal-hal yang bersangkut paut dengan
kehidupan seksual seperti keguguran, kehamilan, kadangkala juga menyangkut penyakit
jiwa, jika diminta suatu keterangan tertulis oleh suami atau istrinya, apalagi jika yang
meminta adalah seorang pengacara dari suami atau istri. Jika hendak memberitahukan hal
hal demikian, maka haruslah diminta persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
Misalnya dalam pemeriksaan seorang suami ternyata ia terkena penyakit kelamin
yang menular. Hal ini bisa menularkan kepada istrinya. Atau penyakit menular lain
seperti HIV/AIDS yang bisa membahayakan terutama istrinya sendiri dan anggota
keluarganya.
Secara umum sebaiknya dokter itu merundingkannya dengan pasien itu sendiri, cara
bagaimana ia harus memberitahukan kepada istri/suaminya, karena pasangannya harus
diperiksa juga. Timbul persoalan jika yang diperiksa adalah istri yang diantar oleh
suaminya. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua
belah pihak untuk mengungkapkan. Apakah dokter dengan bebas boleh mengutarakan
bahwa istrinya sedang mengandung atau mengalami keguguran. Sebaiknya juga
dibicarakan dahulu dengan pasien itu, sebab bisa saja ada kemungkinan bahwa sang

14
suami baru saja kembali dari luar negeri sesudah sekian bulan. Juga jika menyangkut
penyakit kelamin, tidak dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.

6. Aspek hukum
Norma kesusilaan dan norma hukum yang merupakan pedoman seorang dokter
dalam melaksanakan profesinya di Indonesia di antaranya terdapat pada Sumpah
Kedokteran Indonesia dan Pasal 13 Kodeki, Pasal 15 UU Nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan, Pasal 322 dan 224 KUHP, Pasal 1909 dan 1365 KUHPerdata, Pasal 170 dan
179 KUHAP, Pasal 146 ayat (3) HIR dan PP Nomor 10 tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran.
Adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran terdapat
pada :
 Hukum perdata
- Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien
- Pasal 1909, 3e KUH Perdata
Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut
undang–undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata–mata
mengenai hal–hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai
demikian.1
- Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap–tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian terhadap orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya, menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.1
 Hukum Pidana
- Pasal 322 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatannya atau mata pencahariannya, baik yang sekarang maupun
yang dahulu, akan diancam hukuman pidana penjara paling lama 9 bulan
atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
2) Jika kejahatan itu dilakukan seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

15
Berdasarkan ayat (2) tersebut seorang dokter yang membuka rahasia pasien
tidak dengan sendirinya akan dituntut di pengadilan. Dokter akan dituntut
setelah ada pengaduan yang diajukan oleh pasien.
- Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang secara sah dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau sebagai
penterjemah tidak memnuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dihukum :
1) Dalam perkara pidana dengan hukuman penjara paling lama 9 bulan.
2) Dalam perkara lainnya dengan hukuman penjara paling lama 6 bulan. 1
 Hukum Acara Pidana
- Pasal 170 KUHAP
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.
- Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. 1

7. Dampak hukum
Kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran pada pokoknya ialah kewajiban
moril yang telah ada bahkan sebelum zaman Hipokrates jadi lama sebelum adanya
undang-undang atau peraturan yang mengatur soal tersebut. Umumnya hampir tidak ada
perbedaan antara kedua istilah tersebut.1
Untuk memahami soal rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum, tingkah laku seorang
dokter kita bagi dalam 2 jenis :
1. Tingkah laku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari
Dalam hal ini harus diperhatikan ialah :1
- Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
1) Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib
menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang
maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah.
16
2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu, ia hanya dituntut
atas pengaduan orang itu.
Ayat (2) undang-undang ini terutama berkenaan dengan rahasia jabatan dokter
saat dokter membuka rahasia tentang keadaan pasiennya, namun tidak dengan
sendirinya akan dituntut di muka pengadilan, melainkan hanya sesudah
terhadapnya diadakan pengaduan oleh pasien itu. Dalam undang-undang dikenal
sebagai delik aduan.
- Pasal 1365 KUH perdata
Barang siapa yang berbuat salah sehingga seorang lain menderita kerugian,
berwajib menggantikan kerugian itu.
Seorang dokter berbuat salah kalau ia mungkin sekali tanpa disadari membuka
rahasia tentang seorang pasiennya yang kebetulan terdengar oleh majikan orang yang
sakit itu, lalu memberhentikan pegawainya karena takut penyakitnya akan menulari
pegawai-pegawainya lain. Dokter diadukan oleh pasien itu. Selain hukum pidana
menurut pasal 322 KUHP, dokter itu dapat dihukum perdata dengan kewajiban
mengganti kerugian. Pada hakekatnya adanya ancaman hukuman perdata ini
menimbulkan berbagai soal yang sulit dalam pekerjaan kedokteran sehari-hari.1
2. Tingkah laku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap warga negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk
didengar sebagai saksi, selain itu seorang yang mempunyai keahlian dapat juga
dipanggil sebagai ahli. Dengan demikian dapatlah terjadi, bahwa seorang yang
mempunyai keahlian, umpamanya seorang dokter dipanggil sebagai saksi, sebagai
ahli sekaligus sebagai saksi ahli.
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi
keterangan tentang seorang yang sebelum ia telah menjadi pasien yang diobati nya.
Ini berarti ia seolah-olah diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian yang
bertentangan ini dapat dihindarkan karena adanya hak undur diri seperti yang dahulu
tercantum dalam pasal 277 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) dan
berbunyi :1
1) Barang siapa yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah,
diwajibkan menyimapn rahasia, boleh minta mengundurkan diri dari memberi
penyaksian. Akan hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya dan
dipercayakan karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatatanya itu.

17
2) Pertimbangan apakah permintaan untuk mengundurkan diri itu beralasan atau
tidak, diserahkan ke pengadilan negara atau jika orang yang dipanggil untuk
memberi penyaksian itu orang asing, pertimbangan itu diserahkan kepada ketua
pengadilan negara.
Kini ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi yaitu setelah diundangkannya kitab
undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) yang berlaku sejak tanggal 31
desember 1981. tentang hak undur diri terdapat pasal-pasal 120 dan 168, dan secara
khusus tercantum pada pasal 170 KUHAP sebagai berikut:1
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatanya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk mebri keterangan
sebagai saksi yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut,
pengadilan negeri memutuskan apakah alasan yang dikemukakan oleh saksi atau
saksi ahli untuk tidak berbicara itu, layak dan dapat diterima tau tidak.
Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli hukum
bahwa kedudukan rahasia jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya. Malahan
membebaskan seorang dokter yang menjadi saksi maupun saksi ahli.
Pembebasan itu tidak selalu datang dengan sendirinya. Menurut ayat (2)
pengadilan negeri/ketua pengadilan negeri atau hakim yang memutuskan apakah
alasan yang dikemukakan oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak berbicara itu layak
dan dapat diterima atau tidak, dalam hal ini mungkin sekali timbul pertentangan yang
amat keras antara pendapat dokter dan pendapat hakim, yaitu bila hakim tidak dapat
menerima alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk menggunakan hak undur
dirinya karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan itu melanggar
rahasia jabatannya.1

8. Prosedur Tindakan Medik


 Penisilin prolain 2,4 juta IU yang disuntikkan intramuscular setelah pemberian
probenesid 1 gram merupakan terapi terpilih. Walaupun demikian dosis dapat
diubah sesuai dengan taraf resistensi kuman.
 Dosis untuk wanita lebih tinggi: 4,8 juta IU.
 Obat pengganti:
- Ampisilin dosis tunggal 3,5 gram + 1 gram probenesid

18
- Amoksisilin 3 gram + 1 gram probenesid
- Tiamfenikol oral dosis tunggal 2,5-3,5 gram, tetapi tidak dianjurkan pada
wanita hamil
- Tetrasiklin HCl 4 x 500 mg selama 5 hari
- Eritromisin stearat 4 x 500 mg selama 5 hari
- Bila kuman penyebab diduga resisten terhadap penisilin (Penicillinase
Producing N. gonorrhoeae = PPNG), maka obat terpilih adalah tiamfenikol
atau kuinolon.
 Abses bartholini harus diinsisi

9. Tindak Lanjut Istri Pasien


Pemeriksaan fisik
Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan
pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat
asimptomatis pada wanita.
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita,
gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif.
Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada
panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret
mukopurulen.7
 Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan
yang terdiri dari 5 tahap:
- Sediaan langsung
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan gonokok negative
gram, intraseluler dan ekstraseluler. Bahan duh pada wanita diambil dari uretra,
muara kelenjar bartholin, serviks, dan rektum.
- Kultur
Untuk identifikasi perlu dilakukan pembiakan (kultur). Dua macam media yang
dapat digunakan:
a) Media transport
 Media stuart

19
Hanya untuk transport saja, sehingga perlu ditanam kembali pada media
pertumbuhan.
 Media transgrow
Media ini selektif dan nutritive untuk N.gonorrhoeae dan N.meningitidis,
dalam perjalanan dapat bertahan hingga 96 jam dan merupakan gabungan
media transport dengan media pertumbuhan, sehingga tidak perlu ditanam
pada media pertumbuhan. Media ini merupakan modifikasi media Thayer-
martin dengan menambahkan trimetoprim untuk mematikan Proteus spp.
 Media pertumbuhan
o Mc Leod’s chocolate agar
Berisi agar coklat, agar serum, dan agar hidrokel. Selain kuman
gonokok, kuman-kuman lain juga dapat tumbuh.
o Media Thayer-martin
Media ini selektif untuk mengisilasi gonokok. Mengandung
vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman positive gram,
kolestimetat untuk menekan pertumbuhan bakteri negative gram, dan
nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.
o Modified Thayer-martin agar
Isinya ditambah dengan trimetoprim untuk mencegah pertumbuhan
kuman Proteus spp.
- Tes definitive
a) Tes oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilendiamin
hidroklorida 1 % ditambah pada koloni gonokok tersangka. Semua Neisseria
member reaksi positive dengan perubahan warna koloni yang semula bening
berubah menjadi warna merah muda sampai merah lembayung.
b) Tes fermentasi
Tes oksidatif positive dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa,
maltose, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan glukosa.
- Tes beta-laktamase
Pemeriksaan beta-laktamase dengan menggunakan cefinase TM disc. BBL
961192 yang mengandung chromogenic cephalosporin, akan menyebabkan
perubahan warna dari kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim
beta laktamase.

20
- Tes Thomson
Tes Thomson ini berguna untuk mengetahui sampai mana infeksi sudah
berlangsung. Dahulu pemeriksaan ini dilakukan karena pengobatan pada waktu itu
adalah pengobatan setempat.
Pada tes ini ada syarat yang perlu diperhatikan:
a. Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi
b. Urin dibagi dalam 2 gelas
c. Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II.
Syarat mutlak adalah kandung kencing harus mengandung air seni paling sedikit
80-100 ml, jika air seni kurang dari 80 ml, maka gelas II sukar dinilai karena baru
menguras uretra anterior. 7
 Edukasi
Edukasi yang diberikan pada pasien GO adalah :
- Memberitahu pasien agar menggunakan kondom bila berhubungan. Jika kondom
digunakan dengan benar, hal ini akan menghasilkan proteksi yang sangat efektif
dalam menghalang terjadinya transmisi gonorrhea serta infeksi lain dari dan ke
perukaan mukosa.
- Apabila sudah terdiagnosa dengan infeksi gonorrhea, semua pasangan seksual
harus turut dievaluasi dan diberikan terapi secara bersamaan karena jika tidak agar
terjadi fenomena pingpong yang membuat penyakit itu akan menjangkit pasien itu
lagi dan lagi walaupun sudah sembuh. Pasien juga harus diberitahukan supaya
tidak melakukan aktivitas seksual selama terapi masih berlangsung dan gejala
masih positif.

PENUTUP
Berkaitan dengan kasus diatas, dimana dokter mendapatkan pasien laki-laki dengan
GO dan pasien telah berhubungan dengan istrinya, maka sebagai dokter kita harus mengobati
keduanya. Dokter juga harus mempertimbangkan hak otonomi pasien dimana dia mengatakan
bahwa dia takut ketahuan oleh istrinya. Namun kembali kita harus mempertimbangkan apa
yang terbaik untuk pasien, karena jika kita tidak mengobati keduanya, maka penyakit GO
pasien akan menjadi lingkaran setan yang bukan tidak mungkin akan menular lagi pada orang
lain jika pasien atau istrinya berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini, sebagai dokter
yang harus dikatakan pada pasien adalah tetap menyuruh dia untuk mengajak istrinya

21
berobat, karena dokter harus memberi yang terbaik untuk pasien agar pasien dan istrinya
sehat kembali. Hal yang sama juga dilakukan jika ternyata pasien tersebut adalah orang
dengan AIDS. Yang bisa kita lakukan lebih ke arah mencegah supaya pasien tidak
menularkan AIDS pada istrinya, yaitu dengan cara memkakai kondom bila melakukan
hubungan suami istri.
Pada akhirnya, dalam melakukan komunikasi dokter pasien perlu mempertimbangkan
hak pasien, tapi dokter juga mempunyai kewajiban untuk membuat pasien sehat. Pasien juga
harus dibuat mengerti semua tindakan yang dilakukan dokter juga untuk kebaikan pasien
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka
Dwipar. Jakarta. Oktober 2005
2. Hanafiah,Jusuf M, Amir. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Penerbit Buku
Kedokteran:EGC.Jakarta. 2007
3. Samil, Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesia. Penerbit Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001.
4. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 2006.
5. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari :
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html.Pada 14
Januari 2013
6. Kode Etik Kedokteran. 2009. Diunduh dari
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf
Pada14 Januari 2013
7. Sjaiful Fahmi Daili. Gonore dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; editor: Adhi
Juanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Edisi kelima. Cetakan keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. h.372-3
8. Zubairi, Samsuridjal. Buku ajar ilmupenyakitdalam: hiv/aids di indonesia. Cetakan
Pertama. Jakarta:InternaPublishing ; 2009.h. 2861-8.

22

Anda mungkin juga menyukai