Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mendiskusikan Islam dan budaya lokal seolah-olah mencerminkan dua sisi


yang bersifat binnary opposition, saling bertolak belakang. Kesan ini muncul dan
diperkuat oleh adanya image dari sebagian masyarakat bahwa Islam adalah agama
samawi (langit) yang diturunkan di tanah Arab, yang memiliki netralitas dan
terhindar dari pengaruh konteks sosio-budaya manapun. Pada sisi lain, Islam
dipahami sebagai agama universal yang memiliki fleksibilitas, selaras dengan
dinamika dan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, sehingga
muncul adagium Islam shohihun likulli makanin wa zamanin (sesuai dengan
tempat dan waktu manapun). Islam sebagai sebuah agama universal (rahmatan lil
„alamin), yang adaptable, acceptable serta capable untuk tumbuh dan berkembang
secara dinamis di segala tempat dan waktu bersifat konfirmatif dan adaptatif.

Konfirmatif dalam arti Islam selalu selektif dalam mengadopsi nilai


budaya dan tradisi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat
lokal. Jika sekiranya nilai budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan napas
Islam, maka dalam konteks inilah Islam melakukan reformasi budaya (cultural
reform) sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya lokal tetap selaras
dengan nilai-nilai Islam (Islamisasi budaya).

Hal tersebut diperlukan lantaran pengaruh lokalitas dan tradisi dalam


kelompok suatu masyarakat bangsa sulit dihindari. Namun demikian,
partikularitas dan universalitas Islam tentu tidak akan luntur hanya karena
dinamika tradisi dan budaya masyarakat lokal. Islam yang universal tetap menjadi
pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan
budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip
umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya (technicalities).

1
Islam yang dalam sejarahnya lahir di tanah Arab, tetapi dalam
dinamikanya, seperti kita semua saksikan, tidak harus terikat oleh budaya Arab,
melainkan senantiasa beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan segala lingkungan
sosial di mana Islam dipraktikkan dan dikembangkan. Dalam kaitannya dengan
budaya lokal, Islam memiliki kekuatan koersif dalam mengintegrasikan budaya
lokal sesuai dengan sistem nilai dan sistem simbol dalam Islam dengan berpijak
pada prinsip teosentris-humanis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi islam dan kebudayaan dikalimantan?
2. Apa-apa saja kebudayaan dikalimantan?
3. Bagaimana islam sebagai agama dan budaya dalam pandangan
masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui interaksi islam dan kebudayaan dikalimantan.
2. Untuk mengetahui apa-apa saja kebudayaan dikalimantan.
3. Untuk mengetahui bagaimana islam sebagai agama dan budaya dalam
pandangan masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Interaksi Islam dan Kebudayaan Kalimantan


Proses akomodasi kultural dapat dilihat pada kemampuan Islam
beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuannya
mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.
Menurut Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra dalam Islam dan
Akomodasi Kultural, dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam
tidak hanya melakukan penjinakan (domesti kasi) terhadap dirinya sehingga lebur
dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga mengeksploitasi sejauh mungkin unsur-
unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai Islam yang
ortodoks.
Dalam proses ini, para penyebar Islam memanfaatkan pranata lokal
sebagai infrastruktur bagi pertumbuhan tradisi Islam.
Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi
penting. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan
kebudayaan Islam berhadapan dnegan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan
adat lokal.
Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan
berbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan pendatang baru di
dalam masyarakat di Kepulauan Indonesia.
Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan,
keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas Lokal.
Ketiga, Islam bukan merupakan satusatunya sumber pengetahuan atau
sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia karena selain kepercayaan lokal
dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang
mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan
bangsa Eropa di Asia Tenggara.
Di Kalimantan, upacara Tiwah, yaitu upacara pemujaan pada roh nenek
moyang dan tenaga alam, masih dilakukan hingga saat ini. Praktik tersebut

3
menunjukkan masih kuatnya pengaruh kepercayaan lokal di berbagai tempat yang
tidak begitu saja hilang setelah masuknya pengaruh asing yang datang kemudian.
Interaksi Islam dengan budaya, terutama budaya lokal Kalimantan,
khususnya Dayak, memberikan warna tersendiri yang khas. Kekhasan ini tecermin
dari budaya oloh salam sebagai manusia pendukungnya di tanah Dayak,
Kalimantan Tengah.
Beberapa aspek budaya oloh salam yang khas tersebut meliputi upacara
kehidupan disebut juga gawi belum dan upacara kematian atau gawi matei serta
aspek seni.
Misrita S Kalang dalam Oloh Salam: Rona Kehidupan Dayak Islam di
Kalimantan Tengah menjelaskan, tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya
istilah oloh salam dalam budaya Dayak, tetapi dari berbagai sumber data dapat
diduga bahwa munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya
Islam di Kalimantan atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan.
Melalui politik pecah belahnya membedakan antara satu suku dan yang
lainnya, sebagaimana pembentukan Kampung Lemu Melayu yang didiami oleh
orang Dayak yang telah masuk Islam, sedangkan kampung yang didiami oleh
orang Kristen atau yang beragama helo disebut Kampung Lemu Dayak. Inilah
salah satu bentuk polarisasi sistemik yang dilakukan oleh kolonial di bumi
Kalimantan.
Meski oloh salam sebagai orang Dayak sudah memilih jalan Islam, masih
terdapat sisa-sisa kepercayaan primitif tercampur dengan unsur-unsur agama yang
dahulu kala dianutnya.
Dalam upacara kelahiran, misalnya, upacara kelahiran dalam budaya oloh
salam merupakan salah satu upacara yang penting. Oleh karena itu, jika seorang
ibu telah mengandung tiga bulan, sejak itu dia sudah dihinggapi penyakit pantang.
Pantangan tersebut, di antaranya, dilarang keluar waktu senja, mandi
waktu matahari terbenam, dan duduk di ambang pintu. Ketika kandungan
menginjak enam bulan, pantangan menjadi tambah banyak.

4
Misalnya, tidak boleh berurai rambut, dilarang memaku, makanannya
terbatas, tidak boleh makan yang pedas-pedas atau sayuran yang mengandung
getah, makan kepiting, dan lain-lain.
Sang suami pun berpantang, tidak boleh menebang pohon, menghunjam
tiang, apalagi membunuh binatang. Pantangan ini dilakukan semata-mata karena
percaya takhayul bahwa di luar alam nyata ini, ada alam gaib yang berkeliaran
roh-roh baik dan jahat.
Roh-roh jahat selalu mencari mangsa, termasuk seorang ibu yang sedang
mengandung. Dengan berpantang ini, dapat melindungi sang bayi, baik yang
masih dalam kandungan maupun yang baru lahir, karena masih lemah agar tidak
dapat diganggu oleh roh jahat.
Bila perempuan oloh salam hendak melahirkan, seorang dukun perempuan
tua membantunya melahirkan bayinya. Karena, dukun beranak dianggap punya
kekuatan gaib.
Pembacaan doa secara Islam dilakukan dengan membakar kemenyan dan
menabur-nabur beras kuning sebagai penjagaan diri untuk menolak roh-roh jahat
yang akan mengganggu kelahiran bayi.
Selama dan setelah masa persalinan itu, sang suami membuat api di
halaman rumah dan menjaga agar api yang berkobar- kobar tetap menyala setiap
menjelang waktu Maghrib selama tujuh hari berturut- turut, hal ini dimaksudkan
agar tidak diganggu roh-roh jahat (kuyang) yang suka memakan darah orang yang
baru melahirkan.
Menjelang umur bayi tujuh hari, 40 hari bagi orang Dayak yang beragama
helo, diadakan upacara tasmiyah (Arab: tasmia "pemberian nama si bayi") yang
dilakukan menurut kemampuan keluarga saja.
Nama yang umumnya diberikan kepada bayi oloh salam merupakan
gabungan nama Islam dan Dayak, seperti Hidayatullah S Kurik, Fatah F Nahan,
Komarudin Usop, Wahyudin Usop, Durtje Durasit, Asriansyah S Mawung,
Rahmadi Lentam, dan sebagainya.
Dalam upacara tasmiyah, rambut bayi yang dipotong ditempatkan dalam
buah kelapa, selanjutnya anak diciprati air kembang yang dicampur wewangian

5
agar nama yang diberikan dapat memberikan keharuman laksana bunga sambil
didoakan agar sehat dan menjadi anak yang bertakwa.
Sementara, suatu tradisi dalam masyarakat Dayak jika mendengar berita
kematian warganya, mereka akan segera menghentikan pekerjaan yang sedang
mereka lakukan dan mendatangi rumah duka untuk memberikan dukungan moral
bagi keluarga yang ditinggalkan.
Mereka datang dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi
mereka sendiri. Setelah datang di rumah duka, mereka mendekati dan melihat
wajah jenazah untuk terakhir kali karena melakukan hal ini diyakini akan
mendapat pahala.
Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah dan dikelilingi kaum kerabat
dan keluarga sebelum dimandikan. Karena, setelah dimandikan secara Islam dan
dikafani, jenazah sudah tidak boleh dibuka-buka lagi untuk dilihat oleh para
pelayat.
Pada saat jenazah dimandikan, di atasnya dibentangkan kelambu putih. Ini
dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak dapat mengganggu upacara pemandian
jenazah.
Pujian untuk Rasulullah SAW dalam Hadrah dan Rudat
Sinoman hadrah dan rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh
pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur
menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga
Timur.
Ahmad Ananda Alim Pratama dalam Budaya di Kalimantan Selatan
menjelaskan, sebagai salah satu kesenian Islam yang sudah berusia puluhan tahun,
kesenian hadrah masih sering ditampilkan pada beberapa daerah di Kalimantan
Selatan. Pembinaan dan kegiatan lomba menjadi salah satu cara agar hadrah tetap
lestari dalam kesenian tradisional religius Banjar.
Hadrah ditampilkan dalam berbagai acara bernuansa keagamaan, seperti
sunatan, perayaan perkawinan, atau menyambut tamu kehormatan. Dalam
perkembangannya, kesenian hadrah ada pula di luar Kalsel, yaitu di darah yang
terdapat perantauan orang Banjar.

6
Menurut Ali Djamali bin Gr Taha Tokoh Muda Asli Alalak, seniman
pelaku hadrah lebih menikmati hadrah sebagai puja dan puji untuk Tuhan serta
Muhammad SAW.
Puja dan puji dalam bentuk syair dan pantun tersebut menjadi kasidah
yang pengiring dari gerakan dinamis hadrah.
Merdu kasidah diikuti gerakan tari yang menggunakan putaran payung
ubur-ubur (lambang keagungan dalam kehidupan tradisional) dan umbul-umbul di
antara ritmis pukulan musik tarbang.
Seniman pelaku hadrah lebih banyak ada di Martapura. Dalam
penampilannya, memadukan antara generasi tua dan anak muda. Untuk di
Banjarmasin, seniman hadrah banyak terdapat di Taluk Tiram dan kawasan Alalak
Utara dan Tengah. Namun, di sini generasi mudanya lebih sedikit, malah lebih
banyak didominasi seniman hadrah perempuan.1
B. Suku Bangsa Banjar
Di Kalimantan Selatan, yang biasa disebut sebagai orang banjar adalah
penduduk (awal) daerah sekitar kota Banjarmasin (wilayah Sungai Jingah, kuin
dan Kampung Melayu). Daerah ini meluas sampai kota Martapura, ibukota
kabupaten Banjar dan wilayah sekitarnya.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar adalah bahasa Banjar.
Bahasa Banjar sejatinya adalah pecahan dari bahasa Melayu. Karena diduga kuat
bahwasanya nenek moyang masyarakat Banjar adalah berintikan pecahan suku
bangsa Melayu yang dikembangkan oleh suku bangsa yang mendiami Sumatera
dan Tanah Semenanjung Melayu sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu
berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan Kalimantan khususnya Kalimantan
Selatan (Alfani Daud, 1997: 65) Mereka memasuki daerah daerah Kalimantan dari
arah selatan, laut Jawa, pada waktu daerah rawa-rawa yang luas, yang membentuk
provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah saat ini, masih merupakan
teluk raksasa dengan pantai sebelah timurnya berada di kaki pegunungan Meratus.
Cikal bakal nenek moyang orang-orang Banjar itu mendiami sungai-sungai yang

1
m.republika.co.id/berita/koran/news-update/16/08/28/ocm6g61-harmoni-budaya-dan-islam-
di-kalimantan

7
bermuara di teluk raksasa dan membangun pemukiman di tepi-tepi sungai yang
semuanya berhulu di kaki pegunungan Meratus.
Ketika mereka tiba di kawasan ini, mereka berjumpa dengan suku bangsa
yang lebih dulu dikenal dengan nama orang Dayak yaitu suku Dayak pegunungan
Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju dan suku
Dayak Lawangan. Meskipun suku Dayak Bukit lebih mungkin sama asal usulnya
dengan cikal bakal nenek moyang Banjar, namun mereka tetap merupakan
kelompok terpisah dengan masyarakat Banjar. Karena semakin banyaknya
pindahan dari Sumatera maka terdesaklah orang Dayak tersebut dan mereka
berpindah ke daerah pegunungan Meratus.
C. Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan
Kalimantan Selatan adalah salah satu pulau terbesar di dunia yang
memiliki hutan-hutan yang lebat dan menghasilkan hasil alam yang melimpah
seperti damar, rotan, kayu dan lain-lain. Oleh karena alasan tersebut, banyak
sekali pedagang dari luar Kalimantan berlayar kesana untuk mendapatkannya.
Pedagang-pedagang tersebut selain berdagang mereka juga berusaha menyebarkan
agama yang dianutnya.
Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk
agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja
sangat berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat
Kalimantan hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi
bekas-bekas kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa
dikikis sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan
kebudayaan umat Islam hingga sekarang ini (Kamrani Buseri, 2009).
Para ahli sejarah (historian) belum dapat dengan pasti mengatakan tahun
kedatangan Islam di Kalimantan Selatan, dengan alasan kesulitan menemukan
data untuk mengungkap hal itu (Mukhyar Sani, 2003: 31). Akan tetapi mereka
kebanyakan mengatakan bahwa tahun 1540 M merupakan tahun di mana Islam
diterima secara resmi oleh raja kerajaan Banjar Pangeran Samudera yang
kemudian berganti nama dengan Pangeran Suriansyah. Tersebarnya agama Islam

8
ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama sebelum berdirinya kerajaan Islam
Banjar di Banjarmasin, yaitu diperkirakan pada akhir abad ke 14 M.
Penyebar Islam adalah para pedagang sekaligus ulama sebagai hasil dari
hubungan timbal-balik antara Singapura-Malaka, kemudian Pasai dan Aceh
dengan tanah Banjar serta Marabahan (pelabuhan) yang ramai pada masa
pemerintahan Raden Sari Kaburangan dan Pangeran Temenggung.
Berdirinya kerajaan Islam di Demak (Jawa Tengah) pada sekitar tahun
1500 M, dan adanya hubungan orang Islam dengan pantai antara Jawa Timur dan
Surabaya, semakin mempercepat proses berdirinya kerajaan Islam Banjar.
Ikatan kebudayaan bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa pengantar
dengan tulisan Arab-Melayu (aksara pegon) dalam buku-buku pelajaran agama
Islam yang pertama dikarang yaitu Sabil al-Muhtadin dan Kitab Parukunan di
Kalimantan Selatan yang menunjukkan adanya hubungan erat dengan
semenanjung Malaka.
Sejarah zaman kerajaan Hindu/Budha di Negara Dipa Amuntai,
pelabuhan-pelabuhan di Kalimantan Selatan sudah mulai ramai dikunjungi para
pedagang Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka, Sulawesi bahkan yang jauh
yaitu dari Arab. Kuat dugaan antara pedagang-pedagang itu sebagian beragama
Islam, sambil berdagang mereka melakukan misi dakwah Islamiyah di tempat-
tempat yang mereka singgahi. Di antara mereka ada pula yang menetap dan
melakukan asimilasi, menikah dengan wanita setempat setelah mengislamkannya
terlebih dahulu. Di tempat itu kemudian mereka melakukan dakwah Islam secara
kultural. Pendapat yang demikian ini pun dinyatakan sejarawan Abdul Muis.
Bahwa masuk dan tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan adalah dengan cara
damai setelah berpuluh-puluh tahun kemudian pemeluk agama Islam berangsur-
angsur membentuk masyarakat Islam dan pada akhirnya berdirinya kerajaan Islam
Banjar (Saifuddin Zuhri, 1980: 304), dimana pada permulaannya dibawa oleh para
pedagang dan dai‟i-da‟i Islam secara personal dan melalui perkawinan dengan
wanita setempat, sebagaimana juga tersiarnya Islam di daerah Indonesia lainnya,
seperti di Jawa.

9
Sebelum Islam datang, di kepulauan Nusantara berkembang agama Hindu,
waktu itu kerajaan Hindu diperintah oleh Prabu Brawijaya, putra Angka Wijaya.
Hubungan Kalimantan dengan Jawa sudah ada sejak zaman Hindu Majapahit
hingga berlangsung pada zaman Islam Demak. Hubungan tersebut melalui laut
Jawa. Oleh karena itu lalu lintas perdagangan antara Gresik dan Tuban dengan
pelabuhan Banjar sudah lama terbentuk. Mayoritas penduduk Banjar berada di
pinggir sungai maka mempermudah pedagang sekaligus berdakwah disana.
Pada tahun 1595, pasukan kerajaan Demak datang memasuki wilayah
Banjar dan kemudian antara kedua kerajaan itu mengadakan kompromi saling
membantu satu sama lain dan menghasilkan dua point yang penting, yakni saling
tukar barang-barang dagangan, bahan pakaian serta rempah-rempah dan Pangeran
Samudera harus masuk Islam serta menerima penghulu agama Khatib Dayyan
sebagai seorang yang menyebarkan agama Islam di dalam kerajaan Banjar.
Setelah diterima di kerajaan Banjar Khatib Dayyan melaksanakan
tugasnya untuk menyebarkan agama Islam, sebelumnya dakwah Islam cuma di
daerah pinggiran setelah adanya Khatib Dayyan dakwah Islam sampai ke
pedalaman Kalimantan Selatan. Akan tetapi upaya dakwah ini masih belum
diimbangi dengan pembinaan dan peningkatan ilmu pengetahuan keislaman
sehingga masyarakat yang telah masuk Islam dengan tidak sadar masih
terpengaruh agama Hindu dan Budha.
Perkembangan agama Islam dan peningkatan ilmu keislaman tampaknya
dimulai pada abad ke 18 yaitu di zaman ulama besar Muhammad Arsyad Al
Banjary.
Saat itu dakwah Islam menggunakan metode pengajian dan pendidikan
Islam di langgar (surau). Untuk mempermudah dakwah Islam Muhammad Arsyad
mengarang kitab baik fikih, tauhid, tasawuf dan lain-lain.
D. Islam dan Budaya Banjar
Banyak sekali budaya lokal yang masih sampai sekarang dilakukan di
daerah Banjarmasin dan sekitarnya. Baik budaya tersebut dilakukan secara
periodik dan bersifat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Diantaranya adalah

10
hari al- Syura dan bubur al-Syura, maulitan, baayun maulid, batapung tawar,
bapalas bidan
1. Hari al-Syura (10 Muharam) dan Bubur al-Syura
Muharam adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum
Rasulullah berhijrah dari Makkah ke Madinah, penamaan bulan dibuat mengikut
tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar kepada Islam sama ada dari
sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan syiar Islam itu sendiri.
Karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di hari tersebut,
maka agama menyuruh (hukumnya sunah muakkadah) untuk melaksanakan puasa
di hari tersebut. Selain disunahkan puasa, kita juga disunahkan untuk berbagi
dengan anak yatim dan orang yang membutuhkan lainnya.
Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur al-
Syura yang dibuat bertepatan dengan tanggal 10 Muharam tiap tahunnya. Kenapa
dinamakan dengan bubur al- Syura, karena di hari itulah masyarakat Banjar
bergotong-royong membuatnya. Keistimewaan bubur al- Syura masyarakat
Banjar adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Konon
katanya, bahan-bahan yang digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam
bahan. Biasanya bubur al- Syura terbuat dari beras yang dimasak dengan santan
dan dicampur dengan segala sayur-sayuran. Menurut Daud, pembuatan bubur ini
merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dulu yang ketika itu
selalu dalam kekurangan makanan, dikumpulkanlah segala macam tumbuh-
tumbuhan yang ada di sekitar dan dicampur dengan segala persediaan bahan
makanan yang ada menjadi bubur (Alfani Daud, 1997:330-331). Tidaklah heran
bahan bubur tersebut hampir 40 buah bahan.
Hikmah yang dapat diambil dalam pembuatan bubur ini adalah dapat
dijadikan syiar Islam dan juga dapat mempererat tali silaturahim antar masyarakat
Banjar pada khususnya.
2. Maulitan
Maulitan dan ada juga orang mengatakan mulud. Kata tersebut berasal dari
bahasa Arab maulid yang telah dibanjarkan untuk menunjukkan pada sebuah
acara perayaan yang dikenal sebagai maulid Nabi yang berarti pada hari kelahiran

11
Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabi‟ul Awal. Umat Islam banyak
yang merayakannya dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan pola
kebudayaan masing-masing.
Di Banjarmasin, perayaan maulid diperingati dengan serangkaian acara-
acara, yang biasanya terdiri dari pembacaan sya‟ir-sya‟ir maulid, seperti: al-
Barzanji, al-Diba‟i, Asyaraf al-Anam, atau maulid al-Habsyi. Dilanjutkan dengan
ceramah agama. Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti:
tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan
perkantoran, rumah-rumah penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.
Masyarakat rela bergotong-royong untuk mempersiapkan segala sesuatu demi
suksesnya perayaan ini (Maimanah dan Norhidayat, 2011: 52).
Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari Kab.
Tapin sampai Kab. Tabalong) ada kegiatan yang sangat mengagumkan. Yaitu
melaksanakan perayaan tahunan ini satu bulan penuh yang dibagi perkampung.
supaya tidak terjadi dalam satu hari bentrokan perayaan maulid dalam satu
kampung. Yang menjadi keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam satu
kampung dipusatkan di masjid Jami‟/Agung. Salah satu masjid yang digunakan
sebagai tempat maulid akbar adalah masjid keramat al-Mukarramah yang berada
di desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin.
Sebelum dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada
dalam kampung tersebut mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan
mengundang orang kampung sebelah mereka dan kerabat serta keluarga mereka di
rumah. Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan setelah itu
dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Habsyi atau sering disebut dengan rawi
(pembacaan biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi dengan qasidah-qasidah
yang menggunakan terbang sejenis marawis. Setelah selesai semua itu, ahlu bait
menyuguhkan makanan bagi yang hadir dalam rumah tersebut. Setelah mereka
selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju ke masjid Jami‟/Agung
untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan ayat-ayat Al Quran, maulid
Habsyi serta diadakan ceramah agama oleh kiai setempat atau dengan
mendatangkan penceramah dari luar kota.

12
Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari
swadana masyarakat setempat yang dikumpulkan jauh-jauh hari sebelum acara
tersebut dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan untuk pencarian dana
yang akan digunakan dalam acara tersebut. Selain dalam pencarian dana, mereka
juga saling membantu dan berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada
yang menjadi tukang masak, tukang parkir dan lain sebagainya demi kelancaran
acara maulid. Masjid Agung dijadikan sebagai tempat maulid karena masjid
mempunyai makna sebagai penyatu masyarakat, serta alasan undangan yang
berasal dari luar kota dengan mudah menujunya.
Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid Agung itu diadakan
acara tahlilan dan ceramah agama yang berkaitan dengan maulid Nabi dengan
tema keselamatan dunia dan akhirat. Dijelaskan penceramah bahwa keselamatan
dunia dan akhirat dapat dicapai dengan apabila kita mencintai Nabi dengan
mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari Allah dan Nabi.
3. Baayun Maulid
Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan maulid
Nabi SAW saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah anak
diayun-ayun untuk mengharapkan berkah dari Nabi SAW.
Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun
maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang
berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu
berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan
baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun
topeng (didahului oleh pertujukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi
sambil melagukan syair madihin). Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara
bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat
pengaruh unsur Islam. Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi
Kaharingan dan Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan
dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk mempermudah Islam masuk dan
berkembang.

13
Keistemewaan dari ayunan yang digunakan ketika acara baayun maulid
adalah tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur/daun kelapa muda berbentuk
burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsur, halilipan, kambang sarai/hiasan
dari kertas yang dipintal, hiasan dari wadai/kue 41 seperti cucur, cincin, pisang,
nyiur dan lain-lain. Untuk tempat mengaitkan ayunan tersebut, panitia
menyiapkan bambu yang panjang, di satu bambu ada terdapat sampai puluhan
ayunan yang dikhususkan tempatnya untuk orang dewasa dan anak-anak.
Adapun dengan ayunannya dibuat tiga lapis, dengan kain sarigading
(sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain
bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga. Orang tua yang
melaksanakan baayun diharuskan menyiapkan piduduk (makanan) berupa beras,
gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung),
banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh). Makanan ini
menjadi lambang filosofis, seperti gula habang diharapkan anak yang diayun itu
perkataan-perkataannya selalu memberikan kedamaian bagi orang yang di
sekitarnya.
Pusat tempat dilaksanakan acaran baayun maulid ini adalah di Masjid al-
Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Peserta dalam acara ini tidak hanya
dari anak-anak balita, tapi juga pemuda, orang dewasa, dan bahkan ada juga yang
berusia sampai 100 tahun. Maksud mereka untuk mengikuti acara baayun maulid
ini juga bermacam-macam. Ada yang mengaku untuk mencari berkah maulid nabi
agar anaknya pandai dan berbakti kepada orang tuanya dan ada juga yang
melengkapi nazar mereka. Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun
yang notabene diikuti oleh orang-orang tua, maka maksud maayun anak
bersamaan dengan peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi
sekaligus berharap berkah atas kemuliaan nabi Muhammad Saw, disertai doa agar
sang anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah Swt dan
Rasul-Nya, serta kehidupannya sejak kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut
untuk selalu sholat berjamaah di mesjid. Total jumlah peserta yang mengikuti
mencapai ribuan orang, terdiri dari golongan anak-anak (balita) dan orang dewasa

14
bahkan ada berusia 60 tahunan. Bahkan tahun demi tahun peserta tersebut
semakin bertambah bahkan ada dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei.
Untuk di kota Banjarmasinnya sendiri acara baayun maulid dilaksanakan
di di komplek Makam Sultan Suriansyah, walaupun tidak sebesar yang ada di
masjid al-Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Walaupun ada yang tidak
sepaham dengan komplek Makam Sultan Suriansyah tapi acara itu sudah ke tujuh
kalinya (mulai awal tahun 2004) dilaksanakan di sana.
Ada berbagai motivasi dan tujuan dari peserta dalam mengikuti acara
baayun mulud ini, di antaranya adalah adanya kepercayaan akan terkabulnya
segala hajat; mendapatkan berkah, kesehatan, keselamatan, sembuh dari sakit,
anak tidak nakal/rewel dan karena menunaikan nazar yang sebelumnya telah
dikabulkan Allah swt (Maimanah dan Norhidayat, 2012: 74).
4. Batapung Tawar
Batapung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut
kelahiran seorang anak. Sama halnya dengan acara baayun maulid, ayunan yang
digunakan juga digantungi macam-macam benda. Nantinya gantungan yang ada
akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.
Upacara tapung tawar sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia dan
Malaysia diadopsi dari ritual agama Hindu yang sudah lebih dulu dianut
masyarakatnya.). Upacara ini menyertai berbagai peristiwa penting dalam
masyarakat, seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan lahan baru,
jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya dan sebagainya.
Dalam perkawinan, misalnya, tapung tawar adalah simbol pemberian doa dan
restu bagi kesejahteraan kedua pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap
bala dan gangguan.
Dalam upacara ini, penepung tawar menggunakan seikat dedaunan tertentu
(biasanya menggunakan daun pandan atau daun pisang) untuk memercikkan air
terhadap orang yang ditepungtawari. Air tersebut terlebih dahulu diberikan
wewangian seperti jeruk purut, dicelupkan emas ke dalamnya, dan sebagainya.
Selanjutnya, mereka menaburkan beras dan padi yang sudah dicampuri garam dan
kunyit ke atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya, mereka menyuapkan

15
santapan pulut (atau lainnya) ke mulutnya. Ada anggapan bahwa setiap jenis daun
dan benda-benda yang digunakan mempunyai atau merepresentasi kekuatan gaib
tertentu yang berfungsi menyelamatkan, menyejukkan, menjaga, dan sebagainya.
Terdapat beberapa varian upacara ini untuk daerah yang berbeda (seperti Aceh,
Melayu, Sambas dan lain-lain) tetapi sumber dan tujuannya sama.
Demikianlah yang dilakukan masyarakat sebelum Islam datang di
Nusantara dan demikian pulalah ritual yang sampai sekarang masih berlangsung
dalam agama Hindu. Lihat saja baik secara langsung atau lewat televisi ritual
orang-orang Hindu India atau Hindu Indonesia saat upacara keagamaan mereka.
Karena tidak mampu menghapuskan kebiasaan tersebut, para pembawa
Islam yang terdahulu berusaha memasukkan nilai-nilai Islami ke dalamnya.
Misalnya, acara tapung tawar diisi dengan pembacaan doa kepada Allah Swt.
Mereka menggiring masyarakat untuk menganggap bahwa Tepung Tawar itu
hanya sebatas adat istiadat, pelengkap setiap acara, bukan lagi ritual. Tetapi yang
terjadi jauh panggang dari api. Upacara tapung tawar terus berlanjut dalam
masyarakat yang takut untuk meninggalkannya. Berhubung para ulama kalah oleh
tradisi (tidak berhasil menghilangkan kebiasaan tersebut), akhirnya masyarakat
menganggap bahwa para ulama pun telah membenarkan mereka.
Sebagian kalangan bahkan beranggapan bahwa praktik tapung tawar
memiliki sandaran agama. Beredar anggapan di tengah masyarakat bahwa praktik
semacam ini dijalankan juga oleh para nabi dan keluarganya, termasuk istri Nabi
Imran a.s. yang menggunakan atau melemparkan suatu benda saat menazarkan
kelahiran anaknya Maryam dan Nabi Muhammad SAW yang “menepungtawari”
perkawinan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian orang (termasuk guru agama di kampung-kampung) mengatakan
upacara tapung tawar adalah sunat berdasarkan riwayat di atas. Tetapi setahu saya,
tidak ada ayat atau Hadis yang shahih tentang riwayat-riwayat semacam itu.
Bahkan, cerita-cerita tersebut kalau kurang hati-hati cenderung kepada dosa besar
karena mendustakan para nabi yang mulia. Rasulullah Saw bersabda dalam
sebuah hadis shahih bahwa barang siapa sengaja meriwayatkan darinya sesuatu

16
yang tidak pernah beliau lakukan atau katakan maka orang itu tempatnya di dalam
neraka.
5. Bapalas bidan
Kelahiran dan kematian adalah siklus kehidupan manusia. Dalam
masyarakat Banjar dalam kelahiran seorang anak akan dimulai dengan beberapa
tradisi salah satunya bapalas bidan. Segera setelah lahir, tangkai pusat bayi
langsung dipotong dan kemudian dibungkus dengan kunyit bercampur kapur, bayi
dimandikan, diwudhui, perutnya diolesi dengan bedak beras (Alfani Daud, 1997:
230), ubun-ubunnya dikasai (diolesi) dengan ramuan beras dan garam lalu seluruh
tubuhnya dibalut dengan kain bersih termasuk kedua tangannya (dibedong).
Tembuni bayi dibersihkan dan dicampurkan dengan garam, ada kepercayaan
masyarakat Banjar apabila tembuni seorang bayi dicampur dengan garam, maka
perkatan-perkataan bayi kelak akan masin (berpengaruh/penuh dengan hikmah)
(Alfani Daud, 1997: 232).
Masyarakat Banjar terkenal dengan agamis, terbukti ketika bayi baru lahir
diazankan di telinga sebelah kanan dan diiqamatkan di telinga sebelah kiri.
Masyarakat Banjar biasanya menambahkan surah al-Inshirah dan surah al-Qadr
kemudian ditiupkan dengan pelan ke telinga bayi. Hal demikian pun mereka
lakukan ketika sedang memandikan bayi sampai bayi berumur 40 hari. Apabila
azan magrib berkumandang bayi yang sedang berbaring segera diangkat dan
diayun-ayun seraya membacakan surah al-Qadr sebanyak 3 kali dan kemudian
ditiupkan ke telinga bayi dengan niatan bayi tidak diganggu makhluk gaib.
Masyarakat Banjar juga masih percaya dengan hal yang berbau mistis
seperti terlebih bayi masih berumur di bawah 40 hari maka diletakkan di
samping/dekat kepala bayi cermin, surah Yasin, bawang merah tunggal, daun
jariangau (jeringau) dan jeruk nipis. Hal itu dimaksudkan agar bayi tersebut tidak
diganggu kuyang (semacam makhluk pengisap darah) dan hantu beranak serta
saudara-saudara gaibnya yang lain.
Menurut Daud seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak
bidan sampai dilaksanakannya upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara
pemberkatan yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan ibunya. Selain

17
dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di perdesaan, upacara bapalas
bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang
Dayak Meratus kemudian melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi
hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula
dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya sekaligus
pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai
berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah,
tetap dipimpin oleh balian.Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika
bayi berumur 40 hari.
Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga
merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan
pelaksanaan palas bidan ini diharapkan tidak terjadi pertumpahan darah yang
diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun atas
keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus
oleh si anak pada upacara bapalas bidan tersebut. Pada upacara bapalas bidan ini
si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi hiasan yang menarik, seperti
udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta digantungkan
bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain. Kepada bidan
yang telah berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah segantang beras,
jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam
jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa, rempah-rempah
dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan
berupa uang. Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara
perlengkapan baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan
dengan perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang yang
dilaksanakan orang Dayak Meratus.
Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak
tidak dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit
ditinggalkan. Begitu pula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan
perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam.
Perbedaan yang ada antara ritual Hindu dan Islam ketika melakukan ritual adalah

18
dalam Hindu selalu menggunakan mantera-mantera sedangkan dalam Islam selalu
disisipkan bacaan al-Quran dan shalawat kepada nabi Muhammad Saw.
Tradisi bapalas bidan sendiri adalah sebuah upacara pemberkatan yang
dilakukan oleh seorang bidan kampung/tradisional kepada sang jabang bayi dan
ibunya. Mereka yang melaksanakan tradisi ini berpandangan bahwa jika sebuah
keluarga yang baru saja menerima kehadiran seorang bayi tidak melaksanakan
upacara bapalas bidan, maka seakan-akan bayi yang baru lahir tersebut dianggap
sebagai anak dari bidan yang menolong prosesi persalinannya. Begitu kuatnya
sebagian masyarakat Banjar mempercayai anggapan ini, sampai-sampai mereka
tetap mengadakan acara bapalas bidan, meskipun yang membantu prosesi
melahirkannya bukan lagi bidan tradisional atau bidan kampung, melainkan bidan
yang berpendidikan modern atau dokter di rumah sakit. Mereka juga percaya,
bahwa jika acara bapalas bidan ini tidak dilakukan, maka konon bayinya akan
sering sakit-sakitan karena diganggu makhluk gaib. Dalam pelaksanaan upacara
bapalas bidan, disediakan ayunan (buaian) yang terdiri tiga lapis kain panjang,
lapis yang paling atas biasanya berwarna kuning. Juga disediakan berbagai kue-
kue dan piduduk (sesajian), baik piduduk kering maupun piduduk basah, dan
berbagai perlengkapan lainnya. Pada prosesinya, bayi yang baru dilahirkan
pertama-tama diayun atau dibuai oleh sang bidan, kemudian diserahkan kepada
ibunya atau keluarganya. Selanjutnya, dibacakan do‟a keselamatan dan
keberkahan untuk sang bayi, juga ibu dan keluarga besarnya. Terakhir, kue-kue
dan sesajian lainnya dinikmati bersama-sama.
Tampaknya, acara bapalas bidan ini pada awalnya, lebih dimaksudkan
sebagai ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang baru saja menerima
kelahiran seorang bayi kepada sang bidan yang telah membantu prosesi
kelahirannya. Jika bidan zaman sekarang pada umumnya mendapat imbalan upah
berupa bayaran sejumlah uang, maka dalam tradisi masyarakat Banjar tempoe
dulu, tampaknya seserahan dan piduduk (sesajian) yang disediakan pihak keluarga
dalam upacara bapalas bidan inilah yang menjadi tanda terima kasih pihak
keluarga terhadap bidan yang telah membantu prosesi persalinan. Pada
perkembangan berikutnya, acara bapalas bidan dilakukan bersamaan waktunya

19
dengan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada bulan maulid
atau Rabi‟ul Awwal. Dari sinilah kemudian muncul istilah baayun mulud. Karena
sebagaimana telah dikemukakan, bahwa salah satu prosesi dalam acara bapalas
bidan, adalah membuai atau mengayun bayi yang baru saja dilahirkan di dalam
buaian atau ayunan. Seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah peralatan dan
sesajian pada acara bapalas bidan tetap dipertahankan dalam pelaksanaan upacara
baayun mulud hingga sekarang. (Maimanah dan Norhidayat, 2012: 53-54).
6. Baarwahan dan Bahaulan
Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian umumnya tidak selesai
dengan dikuburkannya mayat. Ia diiringi dengan berbagai acara selamatan atau
aruh yang diakhiri dengan membaca doa arwah ataupun doa haul jama‟. Yaitu
pada hari pertama (manurun tanah), hari ketiga (manigahari), hari ketujuh, hari
kedua puluh lima (manyalawi), hari ke empat puluh, hari ke seratus (manyaratus),
sesudah setahun dan setiap tahunnya.
Dalam acara tersebut selalu ada bacaan al-Quran, shalawat kepada Nabi
serta tahlil yang hadiahnya ditujukan kepada mayat yang bersangkutan. Dan
diakhiri dengan bacaan doa haul atau arwah. Doa arwah berisi permohonan
kepada Allah agar apa yang dibaca berupa bacaan al-Quran, shalawat kepada Nabi
serta tahlil diberikan pahala yang besar, dan menghadiahkan pahala tersebut
kepada nabi Muhammad, kepada orang-orang suci (wali), kepada roh orang tua,
seluruh kaum muslimin dan muslimat serta mukminin dan mukminat khusunya
kepada ruh (biasanya disebutkan namanya dengan jelas atau juga dalam hati di
pembaca doa).
Undangan yang menghadiri acara ini biasanya (di hari pertama sampai hari
keseratus) merupakan kerabat dari si mayat. Adapaun acara haul undangan yang
menghadiri lebih diperluas lagi tidak sekedar dari pihak keluarga si mayat tapi
orang kampung sebelah mereka pun ikut diundang juga.2
E. Islam Sebagai Agama dan Budaya
1. Islam sebagai agama

2
Hasanbanjary.wordpress.com/2016/05/26/islam-dan-budaya-banjar-di-kalimantan-selatan

20
Ada dua sisi yang digunakan untuk memahami pengertian agama Islam,
yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat, dan
berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan
hidup, baik dunia maupun akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan
kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai
panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.

Dengan demikian, secara antropologis perkataan Islam sudah


menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada
Tuhan. Keadaan ini membawa pada timbulnya pemahaman terhadap orang yang
tidak patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya
sendiri.

Adapun pengertian Islam dari secara istilah adalah nama bagi suatu agama
yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang
luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan
dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata
Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.

Selanjutnya, agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi


agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber
dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga
agama yang berasal dari wahyu Allah Swt. kepada Rasul-Nya untuk disampaikan
kepada umat manusia.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang termasuk dalam kelompok agama


wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Perbedaan pendapat itu
terjadi karena dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang
sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah
Swt. pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Misi agama yang

21
mereka anut adalah Islam, tetapi agama yang mereka bawa nama-namanya
dikaitkan dengan nama daerah atau nama penduduk yang menganut agama
tersebut. Agama yang dibawa oleh Nabi Isa as. misalnya, sungguhpun misinya
penyerahan diri kepada Allah Swt. (Islam), tetapi agama tersebut adalah Kristen,
yaitu nama yang dinisbahkan kepada Yesus Kristus sebagai agama pembawa
tersebut, atau agama Nasrani, yaitu nama yang dinisbahkan kepada tempat
kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazaret. Namun dalam kenyataan yang sebenarnya Islam
adalah satu-satunya agama samawi dan sebagai agama wahyu, dapat dilihat
melalui wahyu Allah Swt. dalam ayat-ayat Al-Qur‟an diantaranya:

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Islam-lah wahai dikau Ibrahim,”


Ibrahim menjawab: “Aku telah ber-Islam kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-
Baqarah: 131).

“Nabi Nuh berkata: “Dan aku diperintahkan (oleh Allah Swt) untuk
menjadi seorang dari golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).

“Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Ya kaumku, bila kalian beriman
kepada Allah Swt., bertawakal dirilah kepada-Nya jika benar-benar kalian
muslimin.” (QS. Yunus: 84).

“Dia (Allah Swt) telah menamai kamu semua sebagai orang-orang muslim
dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).

Dari ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah


satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah Swt. dzat yang
paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah
diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat-Nya melalui Nabi dan Rasul-Nya, dari
sejak Nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu Nabi Muhammad saw.

2. Ciri-ciri Islam Sebagai Agama

Islam sebagai agama memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a) Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.

22
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa ajarannya telah
tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah Swt. sendiri
yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali Imran ayat
19 yang artinya:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah Swt hanyalah Islam.”

Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam
adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah Swt untuk umat-Nya.
Mengenai Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari segi pembawa
ajaran Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan agama semua Nabi dan Rasul
beserta pengikut-pengikut mereka.

b) Disampaikan melalui utusan Tuhan.

Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang
disampaikan kepada umat manusia dari Allah Swt. melalui para Nabi dan Rasul
sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.

c) Ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid).

Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah Swt., hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang
merupakan salah satu rukun Islam.

d) Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari campur tangan
manusia.

Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. seperti yang telah dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya QS.
An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (Al-Qur‟an)
diturunkan bersih dari campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya
sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah Swt.

23
e) Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).

Segala macam bentuk ajaran dalam Islam merupakan bentuk konsekuensi


tauhid. Seperti masalah ibadah, yang merupakan realisasi dari ketauhidan
seseorang. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan dan
memelihara alam semesta adalah Allah Swt., konsekuensinya ia harus beibadah
hanya kepada Allah Swt.

3. Penurunan Al-Quran Sebagai Wahyu

Allah Swt turunkan dan tuangkan ajaran-Nya ke dalam bahasa Arab,


karena orang yang Allah Swt tugaskan untuk menyampaikan ajaran-Nya itu
kepada manusia disekitarnya adalah seorang yang dilahirkan dan dibesarkan
dalam masyarakat yang pandai berbahasa Arab, sehingga bahasa Arablah yang
paling ia pahami. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:

Dan Jikalau Kami jadikan Al-Qur‟an itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”
Apakah (patut Al-Qur‟an) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab?
(QS Fushshilat: 4).

Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. seorang Arab dan masyarakat
yang dihadapinya adalah berbahasa Arab, maka Allah pergunakan bahasa Arab itu
menjadi wadah bagi isi wahyu-Nya, agar isi wahyu itu dapat mudah dimengerti.
Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:

Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur‟an dalam bahasa Arab supaya


kamu memahami(nya) (QS Ad Dukhaan: 58).

Sebenarnya tujuan Kami membuat Al-Qur‟an berbahasa Arab adalah agar


kamu dapat mengerti (QS Az Zukhruf: 3).

Untuk keperluan pemahaman yang betul-betul jelas, maka bukan hanya


bahasa Arab dipergunakan menjadi wadah ajaran Allah Swt, tetapi juga Allah Swt

24
turunkan atau sampaikan ajaran-Nya itu sedikit demi sedikit, sebagaimana firman
Allah Swt yang artinya:

Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur‟an itu tidak


diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar) (QS Al-
Furqaan: 32).

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.


Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya (QS Al-
Qiyaamah: 18-19)

Demikianlah metode Allah Swt mengajarkan Al-Qur‟an kepada Rasul.


Pertama, Rasul disuruh dia memerhatikan pembacaannya. Kedua, Rasul disuruh
meniru bacaannya. Ketiga, setelah selesai penyampaian lalu Allah jelaskan isi
pengertian yang terkandung di dalam apa yang disampaikan itu.

Apa yang didapat oleh Rasul itu adalah bacaan, pengertian, dan metode,
Allah Swt perintahkan agar Rasul berlakukan pula terhadap orang-orang
disekitarnya dan sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:

a) Dan Al-Qur‟an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar


kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian (QS Al Israa‟: 106).
b) Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur‟an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS
An-Nahl: 44).
c) Dan apabila dibacakan Al-Qur‟an, maka dengarkanlah baik-baik dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS Al-A‟raaf:
204).

Al-Qur‟an disampaikan kepada Rasul dengan perantara ruh suci atau ruh
kepercayaan yaitu malaikat Jibril, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:

25
1. Dan Sesungguhnya Al-Qur‟an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas (QS Asy-Syu‟araa‟: 192-
195).

2. Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur‟an itu dari Tuhanmu dengan


benar (QS An-Nahl: 102).

3. Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur‟an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah Swt (QS Al-
Baqarah: 97).

4. Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa
yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka (QS
Muhammad: 2).

Wahyu diberikan kepada manusia dalam tiga bentuk, sebagaimana firman


Allah yang artinya:

Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah Swt berkata-
kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki (QS Asy-Syuura: 51).

Al-Qur‟an sejak dari awal sampai selesai seluruh penurunannya adalah


bentuk wahyu yang tertinggi ini. Dalam terminologi Islam dinamakan wahyu
matluww, artinya penyampaian dalam bentuk dibacakan dengan kata-kata yang
jelas.

4. ISLAM SEBAGAI BUDAYA

Islam yang dihubungkan dengan kebudayaan berarti cara hidup atau way
of life yang juga sangat luas cakupannya. Tentu disini Islam juga dilihat sebagai
realitas sosial. Yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan mewaktu, Islam

26
yang dipandang sebagai fenomena sosial bisa dilihat dan dicermati. Dengan
demikian yang dimaksudkan kebudayaan Islam adalah cara pandang komunitas
Muslim yang telah berjalan, terlembaga dan tersosialisasi dari kurun waktu ke
waktu, satu generasi ke generasi yang lain dalam berbagai aspek kehidupan yang
cukup luas tapi tetap menampilkan satu bentuk budaya, tradisi, seni, yang khas
Islam. Biasanya ruang lingkup studi budaya tidak bisa lepas dari beberapa faktor
yang mencangkup manusia, pengaruh lingkungan, perkembangan masyarakat,
serta lintas budaya atau cross-culture.

Keunikan budaya dan peradapan Islam terletak pada kokohnya landasan


budaya dan peradapan ini berdiri dan bersandar. Paling tidak ada lima poin utama
yang membedakan budaya islam dengan budaya lain, yaitu:

1. Konsep tauhid atau oneness of god. Di mana saja kapan saja Islam
selalu menampilkan ajakan satu Tuhan. Semua yang ada di atas bumi tunduk pada
hanya satu Tuhan.

2. Universalitas pesan dan misi peradapan ini. Al-Qur‟an menekankan


persaudaraan manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga,
negara, dan sebagainya. Al-Qur‟an memberi ajaran yang jelas bahwa persatuan
umat manusia adalah satu keharusan dengan tetap bersandar pada kebenaran,
kebaikan, serta taqwa pada Allah Swt.

3. Prinsip moral yang selalu ditegakkan dalam budaya ini. Selain ajaran
Al-Qur‟an, sunnah yang penuh dengan nuansa-nuansa moral, peradaban dan
kebudayaan Islam juga tidak pernah sepi dari ajaran ini. Ajaran moral walisongo
juga disajikan melalui media wayang yang memasyarakat dijawa.

4. Budaya toleransi yang cukup tinggi. Bisa dikatakan bahwa dimana


sebuah negara penduduknya mayoritas muslim, seperti Madinah zaman Nabi
misalnya, pastilah non muslim terjamin hidup aman, damai, berdampingan
bersama-sama. Sementara jika minoritas muslim tinggal disebuah negara dengan
penduduk mayoritas non muslim seperi yang terjadi di India, agaknya keadaan
akan lain.

27
5. Prinsip keutamaan belajar memperoleh ilmu. Budaya ngaji membaca
dan mengkaji kandungan Al-Qur‟an, mempelajar hadits adalah budaya Islam yang
telah lama eksis sejak kurun pertama sampai kini. Al-Qur‟an dan sunah itu sendiri
menekankan mulianya pendidikan dan pencari ilmu. Budaya baca, iqra‟, dengan
demikian telah terbukti membawa peradaban islam pada puncak peradaban dunia
dalam waktu yang sangat lama. Budaya yang mengesankan ini sering disebut
sebagai budaya pendidikan seumur hidup atau “life long educatin” yang terukir
dalam sejarah sekaligus dalam sabda Nabi : “Carilah ilmu dari sejak bayi sampai
keliang lahat”.

5. ISLAM DAN KEBUDAYAAN ISLAMI

Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya.


Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat
berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya
didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama
adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi
hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah
sebaliknya.

Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung


dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan
melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat
dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu
memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya.
Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama.
Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok
kedua dari ajaran agama.

Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut,


mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua,

28
karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada
hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua
ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan
zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18)

Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak.


Pada umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok
pertama terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadis mutawatir. Al-Qur‟an berjumlah
sekitar 6300 (enam ribu tiga ratus) ayat; tetapi yang mengatur tentang keimanan,
ibadah, muamalah, dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama,
tidak lebih dari 500 (lima ratus) ayat. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan
(ed.), 1982: 18).

Al-Qur‟an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas) surat,
dan sekitar 6000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun
Nasution (1985: 8) berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau
3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup
kemasyarakatan. Dengan demikian, perhitungan Harun Nasution tentang jumlah
ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan lebih sedikit daripada hasil
penelitian „Abd al-Wahab Khallaf. Ajaran dasar agama: Al-Qur‟an dan Sunah
yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama
terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karya ulama. Oleh karena itu, ia
merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat islam meyakini bahwa
kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar
agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Qur‟an dan sunah. Oleh
karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.

Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan


nilai nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang merupakan
hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk
didalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-

29
orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun
sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan
pula kebudayaan rohaniah (spritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa,
dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar
sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat (Soerjono
Soekanto, 1993: 189-90).

Soerjono Soekanto, (1993: 190) menjelaskan bahwa pendapat diatas


mengenai kebudayaan dapat dijadikan sebagai pegangan. Selanjutnya, ia
menganalisis bahwa manusia sebenarnya mempunyai dua segi atau sisi
kehidupan: sisi material dan sisi spiritual. Sisi materil mengandung karya, yaitu
kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau yang lainnya yang
berwujud materi. Sisi spritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan
ilmu pengetahuan, karena yang menghasilkan kaidah kepecayaan, kesusilaan,
kesopanan, hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha
mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap
kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Itu semua
merupakan kebudayaan yang menurut Soerjono Soekanto dapat dijadikan patokan
analisis.3

3
https://vhocket.wordpress.com/2018/09/12/islam-sebagai-agama-silam-sebagai-produk-
budaya-dan-islam-sebagai-pengetahuan-ilmiah/

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Proses akomodasi kultural dapat dilihat pada kemampuan Islam
beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuannya
mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.
Menurut Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra dalam Islam dan
Akomodasi Kultural, dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam
tidak hanya melakukan penjinakan (domesti kasi) terhadap dirinya sehingga lebur
dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga mengeksploitasi sejauh mungkin unsur-
unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai Islam yang
ortodoks

B. Saran
Setelah membaca hasil karya ilmiah ini, penulis menyarankan bahwa agar
dapat mencari referensi yang lain. Karena kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam menyajikan hasil makalah ini.

31
DAFTAR PUSTAKA

m.republika.co.id/berita/koran/news-update/16/08/28/ocm6g61-harmoni-budaya-
dan-islam-di-kalimantan
Hasanbanjary.wordpress.com/2016/05/26/islam-dan-budaya-banjar-di-
kalimantan-selatan
https://vhocket.wordpress.com/2018/09/12/islam-sebagai-agama-silam-sebagai-
produk-budaya-dan-islam-sebagai-pengetahuan-ilmiah/

32

Anda mungkin juga menyukai