a. Iodimetri metode langsung, bahan pereduksi dioksidasi dengan larutan baru iodium.
Contohnya pada penetapan asam askorbat.
b. Iodimetri metode residual (titrasi balik), bahan pereduksi dioksidasi dengan larutan baku
iodium dengan jumlah berlebih, kelebihan iod akan dititrasi dengan larutan baku natrium
tiosulfat. Contohnya pada penetapan kadar Natrium Bisulfit (Rahma G.M, 2010).
Kompleks iod-amilum ini adalah senyawa yang agak sukar larut dalam air sehingga kalau
pada reaksi ini I2 tinggi, kesetimbangan akan terletak jauh di sebelah kanan, kompleks iod-
amilum yang terbentuk banyak, akan terjadi endapan. Akibatnya kalau pada titrasi I2 “hilang”
karena tereduksi, kesetimbangannya tidak segera kembali bergeser ke arah kiri, warna kompleks
iod-amilum agak sukar hilang. Adapun Dari hasil percobaan titrasi iodometri terdapat kesalahan.
Faktor yang mempengaruhinya yaitu:
a. Oksidasi dari Iodida dalam keadaan asam oleh O2 dari udara
Oksidasi ini berjalan lambat dalam keadaan netral, tetapi apabila keadaan asam bertambah,
maka akan lebih cepat. Sinar matahari pun dapat mempercepat reaksi itu, oleh karena itu ion-
ion Iodida yang diasamkan/tidak diasamkan harus segera dititrasi.
b. Kecepatan menguap dari Iodium
Agar penguapan larut Iodium tidak begitu besar, maka larutan itu seharus dibubuhi KI hingga
berlebih (Konsentrasi I- minimal 4 %), dimana Iodida yang ditambahkan itu mengikat
molekul-molekul Iodium menjadi ion triiodida Karena reaksi ini bolak balik maka suatu
larutan tri iodida pada reaksi-reaksi kimia bereaksi sebagai Iodium murni. Tetapi pada
prakteknya tidak ditambahkan KI dan pada saat titarsi Erlenmeyer tidak di tutup
kemungkinan iodium menguap yang dapat mempengaruhi titik akhir titrasi menjadi terlalu
mencolok, yang seharunya berwarna biru. Oleh karena itu titrasi ini sebaiknya menggunakan
Labu Erlenmeyer bertutup.Selain itu, I2 merupakan zat yang mudah terurai oleh cahaya.
Untuk itu dalam penyimpanannya harus menggunakan botol coklat dan juga pada saat titrasi
harus menggunakan Buret Coklat.
c. Pelarutan sampel
Sampel yang digerus dan dilarutkan tidak melarutkan semua vitamin C yang terkandung
dalam sampel. Melihat struktur vitamin C atau asam askorbat yang mencair pada suhu 190-
192oC sangat dimungkinkan banyak vitamin C yang tidak larut dengan pelarut yang
digunakan pada saat praktek (aquades dingin). Hal ini menyebabkan sangat kecilnya
kandungan vitamin C pada filtrate yang dipipet dan dititrasi.
Dasar dari metode iodimetri adalah bersifat mereduksi vitamin C. vitamin C ( asam
askorbat) merupakan zat pereduksi yang kuat dan secara sederhana dapat dititrasi dengan larutan
baku iodium. Metode iodimetri (titrasi langsung dengan larutan baku iodium 0,1 N) dapat
digunakan pada asam askorbat murni atau larutannya, sehingga kadar vitamin C dalam bawang
putih dapat ditetapkan dengan metode iodimetri (Rohman, 2007). Metode Iodimetri yang
digunakan dalam penetapan kadar vitamin C merupakan suatu metode yang memiliki ketepatan
yang baik karena dihasilkan jumlah titran yang hampir sama banyak pada setiap seri
pengukuranya (Halipah, 2001). Penetapan kadar vitamin C pada sampel dilakukan sebanyak 2
kali replikasi,dengan maksud untuk mengetahui berapa persen kandungan vitamin C pada
sampel. Penetapan kadar vitamin C dengan metode iodimetri ini merupakan reaksi reduksi-
oksidasi (redoks). Dalam hal ini vitamin C bertindak sebagai zat pereduksi (reduktor) dan
sebagai zat pengoksidasi (oksidator). Dalam reaksi ini terjadi transfer elektron dari pasangan
pereduksi ke pasangan pengoksidasi. Asam askorbat dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat,
sedang iodium direduksi menjadi iodide (arida Rahmawati, Choiril Hana, 2012).
Cabai adalah sayuran sekaligus rempah dapur yang hampir selalu hadir pada hidangan
yang kita santap sehari-hari. Sayur dari keluarga terong-terongan ini sangat populer di berbagai
belahan bumi, termasuk Indonesia (Lanny, 2012). Cabai dalam masyarakat biasanya diguakan
sebagai bumbu, sambal dan dimakan bersama gorengan. Proses pemasakan pada cabai juga
berbeda-beda sepertidengan cara digoreng, direbus dan dikukus. Proses pemasakan tersebut akan
berdampak pada kandungan zat gizi pada cabai khususnya vitamain.Vitamin C banyak terdapat
di buah, dan sayuran, salah satunya pada cabai. Vitamin C pada cabai memiliki fungsi sebagai
antioksidan yang baik untuk tubuh (mampu meningkatkan daya tahan tubuh yang diserap oleh
kalsium dalam tubuh, selain itu, Vitamin C juga termasuk yang paling mudah larut dalam air dan
esensial untuk biosintesis kolagen (Rahmawati, 2009).
Cabai merah merupakan tanaman semusim dan dapat tumbuh didataran tinggi maupun di
dataran rendah. Cabai merah (Capsium annuum L.)kaya akan protein, lipid, serat, garam mineral
(Ca, P, Fe, K), vitamin (A, D3, E, C, K, B2, dan B12) dan kapsaisin2. Selain itu, cabai juga dapat
digunakan sebagai diet dan mengobati kanker perut dan usus. Metode yang dikembangkan untuk
menentukan kadar vitamin C adalah metode iodometri. Penelitian yang telah dilakukan tentang
pengukuran kadar vitamin C pada cabai rawit menggunakan metode iodometri. Hasil kadar rata-
rata vitamin C yang diperoleh yaitu 0,0528%.
Asam askorbat yang direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh orang dewasa kira-kira 45
mg/hari untuk 40 g cabai segar. Kebutuhan vitamin C dapat terpenuhi jika konsumsi cabai besar
merah sebanyak 1000 g. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan asam askorbat pada
cabai merah besar dapat digunakan dalam industri farmasi. Cabai merah berpotensi sebagai
sumber vitamin C. Asam askorbat bersifat termolabile. Oleh karena itu konsumsi cabai
disarankan dalam keadaan segar.Hal ini menunjukkan bahwa metode iodimetri mampu
memberikan hasil pengukuran kadar vitamin C yang hampir sama dengan nilai nutrisi yang
terdapat dalam cabai merah.
arida Rahmawati, Choiril Hana, 2012 PENETAPAN KADAR VITAMIN C PADA BAWANG
PUTIH (Allium sativum,L) DENGAN METODE IODIMETRIF