USULAN PENELITIAN
Oleh :
REFLI JUNAIDI
NIM : 1006121470
USULAN PENELITIAN
Oleh :
REFLI JUNAIDI
NIM : 1006121470
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk melaksanakan penelitian
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan
keselamatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul
“Aplikasi Beberapa Dosis Kompos Leguminosa dengan Penggunaan Bio-Aktivator
Trichoderma sp. Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum
Annuum L)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Fifi Puspita, MP sebagai dosen
pembimbing I dan Ir. Armaini, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan, petunjuk dan motivasi sampai selesainya usulan penelitian ini.
Tidak lupa pula buat seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis di dalam
penyelesaian usulan penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Tidak ada
yang pantas diberikan, selain balasan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan kita semua
dalam menghadapi masa depan nanti.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan agar usulan penelitian ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
nilai ekonomi penting di Indonesia dan dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat,
sehingga volume peredarannya di pasaran sangat besar. Secara umum cabai memiliki banyak
kandungan gizi dan vitamin, diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidrat, Kalsium, Vitamin
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) produksi cabai merah di Provinsi Riau pada tahun
2011 adalah 15.909 ton dengan luas areal panen 3.488 hektar dan produktivitas rata-rata 4,56
ton/hektar. Produktivitas cabai di Riau ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
provinsi-provinsi yang ada di Indonesia pada umumnya seperti Sumatera Barat yang mencapai
65.108 ton dengan luas areal panen 8.196 hektar dengan produktivitas rata-rata 7,94 ton/hektar,
sedangkan Sumatera Utara 245.773 ton dengan luas areal panen 22.129 hektar dan produktivitas
Rendahnya produktivitas cabai di Riau salah satunya disebabkan petani cabai yang belum
menggunakan benih cabai varietas unggul, padahal dengan penggunaan varietas unggul tanaman
cabai produksinya bisa mencapai 15-20 ton/ha (Suseno, 2002). Varietas cabai SSP IPB yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan salah satu varietas cabai yang dikeluarkan oleh
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yang memiliki rasa pedas (kandungan kapsaicin
967 ppm) dengan panjang buah 12-15 cm, bobot per buah 8-10 gram, produktivitas 700-800
gram/tanaman dan umur panen 72-78 hari setelah tanam, dimana untuk umur panen varietas ini
Selain itu, rendahnya produktivitas cabai di Riau juga disebabkan penggunaan pupuk
anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk
organik, sehingga dapat merusak tanah (Suseno, 2002). Pupuk anorganik sangat sedikit ataupun
hampir tidak mengandung unsur hara mikro, oleh sebab itu perlu di imbangi dengan penggunaan
pupuk organik atau kompos yang banyak mengandung hara mikro terutama kompos yang berasal
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani
cabai, karna bahan dasar kompos ini mudah didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya,
sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik alternatif yang dapat
Kompos Leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad
renik (mikrobia) yang dalam penelitian ini menggunakan Bio-Aktivator Trichoderma sp.
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun
juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur
hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah, sehingga meningkatkan
peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos leguminosa ini
juga relatif mudah. Keunggulan lainnya adalah mudah terurai di dalam tanah sehingga
mempercepat penyiapan unsur hara bagi tanaman. Oleh sebab itu penggunaan kompos
leguminosa diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Kartini,
2007).
cabai di Riau, disebabkan karena petani cabai yang belum menggunakan benih cabai varietas
unggul, penggunaan pupuk anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus menerus yang tidak di
imbangi dengan pupuk organik, sehingga di asumsikan penggunaan kompos leguminosa yang
memanfaatkan bioaktivator Trichoderma sp. dengan penggunaan varietas cabai SSP IPB,
menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas cabai di
Riau.
Berdasarkan dari penjelasan dan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Aplikasi Beberapa Dosis Kompos Leguminosa dengan Penggunaan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa dosis kompos
leguminosa yang memanfaatkan bioaktivator Trichoderma sp. dan mendapatkan dosis kompos
leguminosa yang terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai
1.3. Hipotesis
Pemberian kompos leguminosa dengan dosis 150 gram/tanaman atau setara dengan 30
ton/ha merupakan pemberian dosis terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan (solanaceae) yang
memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan
menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia, mereka
memanfaatkan tanaman berbuah pedas tersebut sebagai bumbu penyedap masakan (Prajnanta,
1999).
Dari masa ke masa, tanaman cabai mengalami perkembangan. Perkembangan ini bisa
berevolusi dan beradaptasi dari tanaman itu sendiri. Perkembangan penduduk antara lain
menyebabkan peningkatan permintaan akan cabai. Kemajuan teknologi yang ditopang oleh
kemajuan berevolusi dan beradaptasi, antara lain berhasil memurnikan varietas cabai yang ada
(Pracaya, 2001).
sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok, cengis, cengek, dan masih banyak
lagi sebutan lainnya (Prajnanta, 1999). Dalam tata nama ilmiah, menurut Suseno (2002)
tanaman cabai termasuk dalam genus Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut :
Kingdom : Plantae, Divisi : Magnolioyt, Kelas : Magnoliopsida, Sub kelas : Asteridae, Ordo
Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar lateral,
akar lateral mengeluarkan serabut, mampu menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan
melebar sampai 45 cm (Prihmantoro, 2001). Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan
batang berkayu, batang akan tumbuh sampai ketinggian 120 cm, kemudian membentuk banyak
Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang
yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul warna coklat seperti kayu, ini
merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim (Prajnanta, 1999).
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang
berbentuk oval dan ada juga yang berbentuk lonjong. Warna permukaan daun bagian atas
biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan (Prihmantoro, 2001).
Permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau
hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus dan ada pula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang
daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm berbentuk lonjong (Pracaya, 2001).
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu
berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Asteridae
(berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau
bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga
tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan dan ungu. Diameter
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu tanaman terdapat
bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang
sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun
untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena
itu, tanaman cabai yang ditanam dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan
Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki
banyak variasi. Menurut Sutedjo (2002) varietas dengan tipe elongate memiliki rasa yang sangat
pedas, serta memiliki ukuran buah ± 12x0,8 cm, dan memiliki berat 5-6 gram.
Cabai dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl. Tetapi bila udara
sangat dingin sampai embun membeku (frost) mungkin tanaman akan mati (Prihmantoro, 2001).
Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat tumbuh dengan baik, asal mendapat
penyiraman yang cukup, temperatur yang baik untuk cabai adalah sekitar 200-250C. Bila
temperatur sampai 350C maka pertumbuhan kurang baik, sebaliknya bila temperatur di bawah
Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan yang baik
sekitar 600-1250 mm/tahun. Bila curah hujan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,
terbentuknya buah kurang dan banyak buah yang rontok (Prihmantoro, 2001). Tanah yang
tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menyebabkan rontoknya
buah. Kekurangan hujan dan tidak ada pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi
kerdil. Kelembaban yang rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan tinggi,
sehingga tanaman akan kekurangan air. Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih kecil
banyak yang rontok (Suseno, 2002). Tanah yang asam kurang baik untuk pertumbuhan cabai,
maka perlu ditaburi kapur dan pupuk organik, tanah yang baik bila mempunyai (pH) sekitar 6,5
(Wirakusumah, 1999).
2.3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-
Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat bekerja secara sinergis sehingga
mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Jamur Trichoderma sp. dapat mengurangi
bahan organik seperti karbohidrat terutama selulosa ( Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau,
2003).
Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis terhadap patogen tular tanah dan
merupakan salah satu jamur tanah yang termasuk Divisi: Eumycota, Sub divisi:
Trichoderma dan Spesies: Harzianum (Agrios, 1997). Trichoderma sp. secara alami merupakan
parasit yang menyerang banyak jamur patogen tanaman dan merupakan jamur yang terlibat
dalam kompetisi alami sesama jamur. Benang-benang hifa dari jamur patogenik akan terpotong-
potong karna terlilit oleh hifa Trichoderma sp. (Novizan 2002). Menurut Rifai (1969) hifa
Trichoderma sp. bercabang membentuk koloni yang berbentuk atau seperti kapas dan
berhubungan dengan pertumbuhan dan struktur konidiofornya, sebagian koloni membentuk zona
Trichoderma sp. dapat hidup pada kisaran suhu yang cukup luas yaitu pada suhu 15°C-
37°C (Hardar, Harman dan Taylor, 1984). Pertumbuhan optimum dari T.harzanium dan
T.koningi adalah 25°C - 30°C. Pertumbuhan akan lambat pada pH 2-8 (Hardar, Harman dan
Taylor, 1984). Menurut Rifai (1969) Trichoderma sp. berkembang secara optimal pada pH 4,5
dan suhu 25°C. Selain itu jamur Trichoderma sp. mempunyai keunggulan diantaranya mudah
dalam aplikasi, harga terjangkau, tidak menghasilkan racun (toksin), ramah lingkungan, tidak
mengganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah, serta tidak meninggalkan
Trichoderma sp. ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, karna jamur ini dapat
mempercepat proses dekomposisi bahan-bahan organik yang akan digunakan sebagai pembuatan
kompos juga menjadikan kompos yang kaya unsur hara baik makro maupun mikro (Yulensri,
Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa perlakuan Tricho-
kompos pada dosis 30 gram/polybag bibit kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman kelapa sawit dan mengendalikan penyakit G.Boninense. Menurut Puspita dkk (2009)
menyatakan bahwa aplikasi Trichoderma sp. pada dosis 50 gram/polybag ukuran 5 kg dapat
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan oleh petani
cabai karna tanaman leguminosa mudah didapatkan serta tidak banyak mengeluarkan biaya
sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu sumber hara organik alternatif yang dapat
Kompos leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman leguminosa oleh jasad
renik (mikrobia) dengan menggunakan Bio-Aktivator Trichoderma sp. yaitu suatu jasad renik
(mikrobia) dekomposer yang mengandung enzim selulase, enzim (β-Glukanase), proteinase dan
enzim kitinase yang dapat bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses
pelapukan bahan organik atau pengomposan (Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003).
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman,
namun juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah,
mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah sehingga
meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos
non leguminosa karna tanaman leguminosa mempunyai bintil akar, dimana di dalam bintil akar
ini hidup bakteri yang mampu menambat N2 dari udara. Karenanya bintil akar pada tanaman
leguminosa dapat dipandang sebagai sumber hara nitrogen alami (Krishnawati, 2003).
menjadi sumber unsur hara nitrogen bagi ekosistem tanah. Keunggulan lainnya adalah mudah
terurai di dalam tanah sehingga mempercepat penyiapan unsur hara bagi tanaman (Kartini,
2007).
BAB. III BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kampus
Bina Widya km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Waktu
pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, dimulai dari bulan Januari sampai bulan
April 2014.
Bahan yang digunakan antara lain Trichoderma sp, tanah topsoil inceptisol, bibit cabai
kompos leguminosa, pestisida nabati, pupuk kandang sapi, pupuk Urea, pupuk SP36, pupuk TSP,
Alat yang digunakan adalah mesin pencincang atau pencacah leguminosa, cangkul, garu,
parang, timbangan, timbangan digital, timbangan analitik, ayakan, ember plastik, gembor,
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan, pada setiap satuan percobaan
terdiri dari 2 tanaman dan semua tanaman dijadikan sampel, sehingga diperoleh jumlah
Sebagai perlakuan yang diberikan adalah kompos leguminosa (K) yang terdiri dari 5
perlakuan :
K0 = Tanpa pemberian tricho-kompos leguminosa.
K1 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 20 ton/ha setara dengan 100 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K2 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 30 ton/ha setara dengan 150 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K3 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 40 ton/ha setara dengan 200 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
K4 = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 50 ton/ha setara dengan 250 gram/10 kg
tanah (1 polybag).
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dengan model
Yij = µ + ƫi + ɛij
Keterangan :
Hasil data yang diperoleh setelah dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam
dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% (Steel and
Torrie,1994).
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persemaiaan dan Pemeliharaan Bibit
Media persemaian merupakan campuran dari pupuk kandang sapi dan tanah topsoil
inceptisol yang telah diayak dengan perbandingan 1 : 1. Benih yang telah disediakan direndam
terlebih dahulu dalam air hangat dengan suhu 500C selama 10 menit guna untuk melihat biji
yang bernas serta memecah dormansi benih, setelah itu lakukan seleksi benih, benih yang
terapung tidak digunakan dan benih yang tenggelam ditiriskan untuk disemai kedalam media
persemaian yang terbuat dari polybag kecil berukuran 10 cm x 6 cm, penyemaian dilakukan
dengan menanam satu benih pada satu polybag. Bibit yang telah ditanam selanjutnya dilakukan
pemeliharaan dengan melakukan penyiraman pada pagi dan sore hari secara rutin. Pemindahan
bibit ke polybag berukuran 50 cm x 40 cm dilakukan setelah bibit tanaman cabai berumur 38 hari
setelah semai dan ditandai dengan jumlah daun dewasa sebanyak 4-6 lembar.
Persiapan tempat penelitian dilakukan setelah penyemaian benih, tempat penelitian ini
menggunakan Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau, sebelum digunakan terlebih
Medium yang digunakan adalah tanah inceptisol yang diambil dari tanah kebun
percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah,
tanah yang diambil dimasukan kedalam polybag berukuran 50 cm x 40 cm, setelah itu polybag
tanam sebanyak 40% dari dosis perlakuan, 7 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis
perlakuan dan 35 hari setelah tanam sebanyak 30% dari dosis perlakuan. Pemberian dilakukan
dengan mencampur ke lubang tanam pada medium tanam dalam polybag pada aplikasi pertama,
3.4.5. Penanaman
Penanaman dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
Setiap satu lubang tanam pada polybag ditanami satu bibit cabai. Penanaman dilakukan dengan
melepaskan medium dalam polybag pembibitan, bibit beserta tanah dalam polybag dimasukan
3.4.6. Pemeliharaan
3.4.6.1. Penyiraman
Tanaman cabai membutuhkan pengairan yang cukup terutama pada saat fase
pertumbuhan vegetatif dan pembesaran buah, oleh sebab itu dilakukan penyiraman secara rutin
pada pagi dan sore hari dengan dosis penyiraman yang sama per polybag nya.
3.4.6.2. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai apabila ada bibit yang mengalami pertumbuhan
abnormal, layu dan terserang hama atau penyakit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengganti
tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur sama serta memiliki perlakuan yang sama yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah tanam
dan dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
3.4.6.3. Pemupukan
Pada percobaan ini pupuk anorganik diberikan 14 hari setelah tanam yaitu sebanyak 50%
dari rekomendasi yang dianjurkan, dimana pupuk Urea diberikan 2 gram/tanaman, SP36 5
3.4.6.4. Penyiangan
disekitar medium dalam Polybag. Penyiangan dilakukan dengan cara manual dengan mencabut
gulma yang tumbuh di dalam polybag, dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak perakaran
tanaman cabai.
3.4.6.5. Perempelan
tanaman muda. Apabila tidak dilakukan perempelan, tanaman akan mempunyai bentuk yang
kurang baik dan mengurangi kemampuan produksi tanaman. Perempelan dilakukan terhadap
tunas samping yang muncul sebelum pembungaan agar tanaman tumbuh besar terlebih dahulu.
Perempelan dilakukan pada daun-daun tua, bunga pertama dan seluruh tunas yang keluar dari
ketiak daun di bawah percabangan pertama. Perempelan dilakukan pada pagi hari karena tunas
Pemasangan turus dilakukan setelah tanaman cabai berumur 30 hari setelah tanam,
dengan jarak kira-kira 10 cm dari batang tanaman. Tanaman cabai memerlukan turus supaya
nabati berbahan dasar daun tanaman nimba, dilakukan antara pukul 0700–1000.
3.4.7. Panen
Panen dilakukan pada pagi hari terhadap buah cabai yang telah memenuhi kriteria panen.
Adapun kriteria panen meliputi warna cabai sudah merah merata dengan bentuk buah padat atau
tidak lunak. Pemanenan dilakukan dengan cara mendorong tangkai buah keatas atau kearah
berlawanan dari tangkai buah. Pemanenan dilakukan 3 hari sekali sampai 6 kali panen.
3.5. Pengamatan
Umur berbunga diamati dengan cara menghitung jumlah hari yang di butuhkan tanaman
untuk berbunga, mulai dari persemaian hingga muncul nya bunga pertama. Tanaman cabai
dikatakan sudah mencapai umur berbunga bila 50% dari seluruh sampel telah berbunga.
Pengamatan umur panen dilakukan dengan menghitung jumlah hari dari persemaian
hingga mencapai panen pertama. Tanaman cabai dikatakan sudah mencapai umur panen bila
50% dari seluruh sampel telah memiliki buah masak pada percabangan pertama.
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur dari pangkal batang sampai titik
tumbuh tertinggi tanaman. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setelah panen kedua.
3.5.4. Tinggi dikotomus (cm)
Dikotomus adalah percabangan pertama yang muncul dari batang utama. Pengamatan
tinggi dikotomus diukur dari pangkal batang sampai cabang dikotomus. Pengamatan tinggi
batang diukur pada batang utama 5 cm diatas permukaan tanah. Pengamatan diameter batang
Pengamatan lebar tajuk dilakukan dengan cara mengukur dari satu titik ke titik yang lain
pada bagian tajuk terlebar dengan menggunakan meteran. Pengamatan lebar tajuk dilakukan
Pengamatan bobot per buah dilakukan dengan cara menimbang bobot semua buah dan
dibagi dengan jumlah buah dari tanaman sampel mulai dari panen pertama sampai panen
terakhir.
Pengamatan panjang buah dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal buah sampai
pada ujung buah pada 10 buah dari tanaman sampel yang diambil secara acak dari panen pertama
sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya. Pengamatan panjang buah dilakukan setelah
panen kedua.
diameter buah diukur pada 10 buah dari tanaman sampel yang diambil secara acak dari panen
pertama sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya. Pengamatan diameter buah dilakukan
Pengamatan bobot buah pertanaman dilakukan dengan menimbang buah dari panen
pertama hingga panen terakhir. Nilai bobot buah per tanaman didapatkan dengan menjumlahkan
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1997. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan). Gadjah Mada Universitas Press.
Yogyakarta.
Damayanti, 1993. Manfaat dan Analisis Hara Pupuk Organik. Purwakarta Jakarta.
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau. 2003. Sekilas Tentang Pengembangan Pupuk Hijau dengan
Peggunaan Trichoderma sp. dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan.
Pekanbaru.
Hardar, Y.G.E. Harman and A.G. Taylor. 1984. Evaluation Of Trichoderma Koningi and Trichoderma
Harzianum From New York Soil Biological.
IPGRI. 1995. Descriptors for Capsicum (Capsicum spp.). International Plant Genetic Resources Institute
1995. Italia. 51 hal.
Kartini, N.L 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan Vegetative Tanaman
Cabai Rawit. Skripsi. Fakultas pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Kalie, F. 1995. Bertanam Cabai Pada Musim Hujan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mardhiansyah, M dan S.M. Widyastuti. 2007. Potensi Trichoderma Spp. Pada Pengomposan Sampah
Organik Sebagai Media Tumbuh dalam Mendukung Daya Hidup Semai Tusam (Pinus Merkusii
Jung. Et de Vries). Sagu 1 (6):29-23.
Mulat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kompos Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Novizan. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta
Prajnanta, F, 1999. Budidaya Cabai Rawit Hibrida. Panah Merah. Purwakarta. Jawa Barat.
Prihmantoro, H. 2001. Hidroponik Tanaman Semusim untuk Bisnis dan Hoby. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Puspita, F.,Elfina Y. dan Imelda, R. 2007. Aplikasi Dregs dan Trichoderma Sp Terhadap
Perkembangan Penyakit Kelapa Sawit dan Pada Medium Gambut di Pembibitan Utama.
Laporan Penelitian (Tidak dipublikan)
Puspita, F.,Elfina Y. dan Imelda, R. 2007. Aplikasi Dregs dan Trichoderma Psiodokoningi. Untuk
mengendalikan Ganoderma Boninense Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada
Kelapa Sawit di Pembibitan Awal. Artikel Ilmiah sudah di Seminarkan ditingkat Nasional,
Yogyakarta, 2008.
Rifai. M.A. 1969. A Revision Of The Ganus Trichoderma. Mycological Paper, No.16. Common Wealth
Mycological Institute Kew, Surrew, England.56 Hal.
Suseno, S. 2002. Cabai dan tingkat Produktivitas nya, Trubus No.319 Th XXVII. Jakarta.
Sutedjo, M,M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rina Cipta. Jakarta.
Soepandji, 2002. Teknik Perawatan serta Pengendalian Hama dan Penyakit Cabai. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Steel, R.G.D., dan Torrie,J.H. 1994. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometik.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Tarmuzi, 1998. Tata Cara Pengolahan Lahan, Penyiapan Bibit, dan Pemanenan Cabai Hibrida.
Penebar Swadaya. Jakarta
Wirakusumah, 1999. Teknik Budidaya Tanaman Cabai Beserta Pemeliharaanya. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Yulensri, lucida dan henny. 2007. Kesuburan Tanah. Tim Penulis BKPM Budidaya Tanaman Pangan.
Politeknik Pertanian Payakumbuh. Payakumbuh.
Lampiran 1. Jadwal Rencana Kegiatan Penelitian
Bulan
Kegiatan Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persemaiaan dan
√ √ √ √
Pemeliharaan Bibit
Persiapan Tempat
√
Penelitian
Persiapan Medium
√
Tanam
Pemberian
√ √ √
Perlakuan
Penanaman ke
√
polybag
Penyisipan √
Pemasangan turus √
Pemupukan
anorganik setengah √
dosis anjuran
Penyiraman √ √ √ √ √ √ v √ √ √ √ √ √ v √ √
Penyiangan gulma √ √ √
Pengendalian hama √
Panen √ √ √
Pengamatan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
tanaman
Pengolahan data √ √
Lampiran 2. Deskripsi Tanaman Cabai Varietas SSP IPB (Terdaftar No. 65/PVHP/2012)
K2aII
K0bI
K2bII
K0aI
U
K4bII
K4aII
K2bIII
K1aII
K1bII
K2aIII
K1bIII
K1aIII
K4bIII
K4aIII
K3bI
K3aI
60 cm
K3bIII
K3aIII
K1aI
K0bIII
K1bI
K0aIII
50 cm
K0bII
K0aII
K4aI
K3bII
K4bI
K3aII
60 cm
Keterangan :
K0, K1, K2, K3, K4 : Perlakuan
I, II, III : Ulangan
Jarak polybag di dalam unit percobaan : 50 cm
Jarak antar unit percobaan : 60 cm
Lampiran 6. Cara pembuatan pestisida nabati berbahan dasar daun tanaman nimba
3) daun nimba 50 g,
4) Penumbuk/penghalus,
5) Baskom/ember,
6) Sprayer,
7) Penyaring.
Cara pembuatan :
a) Daun nimba sebanyak 50 g ditumbuk halus dan diaduk dengan alcohol 70 % sebanyak 1 cc,
b) Setelah ditumbuk dan diaduk selanjutnya diencerkan dengan 1 liter air aquades,
d) Setelah dilakukan penyaringan, pestisida nabati telah siap di aplikasikan pada tanaman,