Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP RELAKSASI NAPAS DALAM


1. Definisi Relaksasi Nafas Dalam
Menurut Smeltzer & Bare (2002) Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu
bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada
klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain
dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.
2. Tujuan Teknik Relaksasi Napas Dalam
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), menyatakan bahwa tujuan relaksasi
pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran
gas,mencegah atelektasi paru, merilekskan tegangan otot, meningkatkan efesiensi
batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri (mengontrol atau mengurangi nyeri) dan menurunkan kecemasan.
Sedangkan menurut Suddarth dan Brunner (2002), tujuan nafas dalam adalah
untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi
kerja bernafas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi
otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan
yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan,
mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernafas.
3. Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Nyeri
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), Teknik relaksasi nafas dalam dapat
mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf
otonom. Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain
sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang
mendasari penurunan oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf
otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan
homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator
kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi p yang akan merangsang
saraf simpatis sehingga menyebabkan saraf simpatis mengalami vasokonstriksi
yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek spasme
otot yang akhirnya menekan pembuluh darah. Mengurangi aliran darah dan
meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls
nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri
4. Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
a. Fase Orientasi
Pada fase orientasi perawat menyampaikan salam, memperkenalkan diri
menjelaskan tujuan tindakan prosedur relaksasi nafas dalam dan mencuci
tangan
b. Fase kerja
menurut Priharjo (2003) Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas
dalam adalah sebagai berikut :
1) Ciptakan lingkungan yang tenang
2) Usahakan tetap rileks dan tenang
3) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan
udara elalui hitungan 1,2,3
4) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil
merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui
mulut
7) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa
berkurang
8) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
c. Fase terminasi
1) Evaluasi hasil kegiatan
2) Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3) Cuci tangan
4) Dokumentasi
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap
penurunan nyeri.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat
menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme dan iskemic.
b. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat relaksasi melibatkan sistem
otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah
dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.
B. KONSEP NYERI
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yanng aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan. Nyeri diartikan berbeda-beda antarindividu, bergantung pada
persepsinya. Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai persepsi nyeri.
Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak
menyenangkaan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan
adanya suatu kerusakan jaringan jaringan atau faktor lain, sehingga individu
merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari,
psikis dan lain-lain. Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama
pasien yang mengalami nyeri dibanding tenaga profesional perawatan kesehatan
lainnya dan perawat mempunyai kesempatan untuk membantu menghilangkan
nyeri dan efeknya yang membahayakan. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat
dari stimuli fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu, mengkaji
nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dan nyeri
juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu terhadap
nyeri.
2. Klasifikasi Nyeri
Dua kategori dasar dari nyeri yang secara umum diketahui : nyeri akut dan nyeri
kronis.
a. Nyeri akut adalah nyeri yang timbul tiba-tiba dan cepat menghilang yang tidak
memiliki atau melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan otot
umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan
bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Nyeri akut memiliki tujuan yaitu
memperingatkan adanya cedera atau masalah. Intesitas pada nyeri akut yaitu
ringan sampai berat.
b. Nyeri kronis adalah suatu keadan ketidaknyamanan yang dialami individu
yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih dan merupakan nyeri konstan atau
intermiten yang menetap sepanjang suatu periode. Nyeri ini berlangsung di
luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan
dengan penyebab atau cedera spesifik
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Prihardjo (1996) Faktor yang mempengaruhi nyeri dibedakan menjadi
dua, yaitu faktor Internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal
alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat
atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri,
justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Cemas sering kali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan cemas.
4) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri. Klien yang mengalami cedera atau menderita
penyakit kritis sering mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan
perawatan diri dapat menimbulkan tingkat cemas yang tinggi. Nyeri yang
tidak kunjung hilang sering kali menyebabkan psikosis dan gangguan
kepribadian
5) Pengetahuan Nyeri
Dirasakan dan disadari otak, tetapi berlum tentu penderita akan tergangggu
misalnya karrna ia punya pengetahuan tentang nyeri sehingga ia menerimanya
secara wajar.
6) Kelelahan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada klien yang
menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan
tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapt terasa lebih berat lagi.
b. Faktor Eksternal
1) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri
2) Support keluarga dan sosial
Klien yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, tau
perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi kehadiran
orang yang dicintai klien akan menimalkan kesepian dan ketakutan
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya memengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima
oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap
nyeri. Petugas kesehatan sering kali berasumsi bahwa cara yang mereka
lakukan dan apa yang mereka yakini adalah sama dengan cara dan
keyakinan orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mengira
bagaimana klien akan berespons terhadap
4) Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari lingkungan seperti
kebisingan, cahaya yang sangat terang.
5) Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang mermakai akan
mempercepat penurunan nyeri.
4. Menilai skala nyeri
Wong-Baker FACES Pain Rating Scale Skala nyeri yang satu ini tergolong mudah
untuk dilakukan karena hanya dengan melihat ekspresi wajah pasien pada saat
bertatap muka tanpa kita menanyakan keluhannya. Berikut skala nyeri yang kita
nilai berdasarkan ekspresi wajah:
Penilaian Skala nyeri dari kiri ke kanan:

1) Wajah Pertama : Sangat senang karena ia tidak merasa sakit sama sekali.
2) Wajah Kedua : Sakit hanya sedikit.
3) Wajah ketiga : Sedikit lebih sakit.
4) Wajah Keempat : Jauh lebih sakit.
5) Wajah Kelima : Jauh lebih sakit banget.
6) Wajah Keenam : Sangat sakit luar biasa sampai-sampai menangis

Penilaian skala nyeri ini dianjurkan untuk usia 3 tahun ke atas.


0) Skala Nyeri 0-10 (Comparative Pain Scale) 0 = Tidak ada rasa sakit. Merasa
normal.
1) 1 nyeri hampir tak terasa (sangat ringan) = Sangat ringan, seperti gigitan nyamuk.
Sebagian besar waktu Anda tidak pernah berpikir tentang rasa sakit.
2) 2 (tidak menyenangkan) = nyeri ringan, seperti cubitan ringan pada kulit.
3) 3 (bisa ditoleransi) = nyeri Sangat terasa, seperti pukulan ke hidung menyebabkan
hidung berdarah, atau suntikan oleh dokter.
4) 4 (menyedihkan) = Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa sakit dari
sengatan lebah.
5) 5 (sangat menyedihkan) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk, seperti pergelangan
kaki terkilir
6) 6 (intens) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya
sebagian mempengaruhi sebagian indra Anda, menyebabkan tidak fokus,
komunikasi terganggu.
7) 7 (sangat intens) = Sama seperti 6 kecuali bahwa rasa sakit benar-benar
mendominasi indra Anda menyebabkan tidak dapat berkomunikasi dengan baik
dan tak mampu melakukan perawatan diri.
8) 8 (benar-benar mengerikan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak lagi dapat
berpikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika sakit
datang dan berlangsung lama.
9) 9 (menyiksa tak tertahankan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak bisa
mentolerirnya dan sampai-sampai menuntut untuk segera menghilangkan rasa
sakit apapun caranya, tidak peduli apa efek samping atau risikonya.
10) 10 (sakit tak terbayangkan tak dapat diungkapkan) = Nyeri begitu kuat tak
sadarkan diri. Kebanyakan orang tidak pernah mengalami sakala rasa sakit ini.
Karena sudah keburu pingsan seperti mengalami kecelakaan parah, tangan hancur,
dan kesadaran akan hilang sebagai akibat dari rasa sakit yang luar biasa parah.
Pengelompokan:
Skala nyeri 1-3 berarti Nyeri Ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak terganggu)
Skala nyeri 4-6 berarti Nyeri Sedang (menganggu aktifitas fisik)
Skala nyeri 7-10 berarti Nyeri Berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara
mandiri)
Jika kedua skala nyeri di atas digabungkan maka akan menjadi seperti ini:

C. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap
penurunan nyeri. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), teknik relaksasi nafas dalam
dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan
oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan
akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic.
b. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat relaksasi melibatkan sistem otot dan
respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja
atau sewaktu-waktu.

Anda mungkin juga menyukai