Anda di halaman 1dari 4

Jakarta, CNN Indonesia -- Wangi kemenyan semerbak memenuhi Pura Dalem Desa Adat

Geriana Kauh di Kabupaten Karangasem, Pulau Bali, menyambut puluhan gadis yang baru
tiba diantar oleh ibu dan saudarinya.

Wajah para gadis itu terlihat penuh dengan riasan di mata, pipi, bibir, sedangkan di atas kepalanya ada
mahkota yang dibuat dari rangkaian Bunga Gumitir, Bunga Cempaka, Bunga Kertas, Bunga Ratna, dan
kulit jeruk jeruti dibentuk setengah lingkaran.

PILIHAN REDAKSI Pecalang


(petugas
• 'Hantu-Hantu' Pariwisata di Bali keamanan desa)
• Destinasi Wisata yang Mengalami terlihat sigap
Petaka 'Overtourism' mengatur para
• FOTO: Gelora Wisata di Kuta gadis cilik yang
datang berbalut kain putih-kuning itu. Usai dibariskan, mereka dibuat duduk berkelompok di
halaman dalam pura.

Di sebelah para gadis yang nantinya mengemban tugas menarikan suatu ritual sakral, Tari
Rejang Pusung, tampak para ibu mengenakan kebaya berwarna cerah dan para lelaki muda
serta dewasa dengan pakaian serba putih turut duduk berkelompok sembari memegang
instrumen musik kendang dan gamelan.

Tidak lama setelah semua berkumpul, pemangku (pemimpin agama) memulai upacara
Ngusaba Goreng, ritual sakral yang masih dijalankan masyarakat Desa Adat Geriana Kauh
usai masa panen.

Setelah pemangku memulai upacara, para gadis berdiri berbaris dan berjalan lambat
mengitari halaman dalam pura. Sembari berjalan, mereka pun menari sembari menirukan
daun padi yang melengkung dengan mengibaskan selendang. Suara tabuhan gamelan dan
nyanyian mengiringi mereka.

Setiap upacara Ngusaba Goreng, Tari Rejang Pusung biasanya dibawakan tiga kali dari 13
rangkaian ritual. Upacara ditutup dengan rapalan doa dari pemangku dan pemberian air suci
ke penari dan warga.

Penghormatan terhadap alam Bendesa (pemimpin desa adat) Geriana Kauh I Wayan Bratha
(58) menjelaskan upacara Ngusaba Goreng sebagai wujud penghormatan dan syukur warga
terhadap melimpahnya hasil panen dan tanah yang senantiasa subur.

Menurut Bratha, warga Desa Adat Geriana Kauh, memperlakukan sawah, kebun, dan hutan-
hutan bambu sebagai sumber kehidupan yang harus diperlakukan dengan penuh rasa
hormat, bukan sekadar lahan berproduksi untuk mengumpulkan uang.

Adanya penghormatan dan rasa syukur itu pun mempengaruhi cara bertani di Desa Adat
Geriana Kauh.
Bendesa Geriana Kauh I Wayan Bratha menjelaskan bahwa warga desa adat Geriana Kauh
telah menjalankan ritual Tari Sang Hyang Dedari dan Tari Sang Hyang Jaran lebih dari satu
dasawarsa terakhir, sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur terhadap hasil panen
yang melimpah.

Sebagaimana disampaikan Bratha, masyarakat desa yang 99 persen berprofesi sebagai


petani berupaya keras tidak menggunakan penyubur dan pupuk kimia yang diyakini dapat
merusak lingkungan.

Warga Desa Adat Geriana Kauh pun telah berhenti menggunakan pestisida untuk mengusir
hama sejak lebih dari 10 tahun terakhir.

Pestisida, menurut Bratha, punya dampak buruk terhadap keberlangsungan beberapa hewan
yang hidup di sawah. Akibat penggunaan pestisida yang sempat massal pada tahun 1970-an
hingga 1990-an, banyak hewan seperti lindung (belut), biawak, dan beberapa jenis serangga
tidak lagi terlihat.

Warga desa berkeyakinan bahwa keseimbangan hidup antara manusia dan alam akan
terganggu, apabila mereka meneruskan bertani dengan menggunakan pestisida, pupuk
buatan, dan benih hasil rekayasa genetika.

Sawah yang rusak, menurut pengamatan Bratha, tidak hanya memukul sektor perekonomian
warga desa. Namun lebih dari itu, kehidupan sosial masyarakat pun terganggu, karena ritual-
ritual terkait sawah menjadi berhenti dipraktikkan.

Belajar dari pengalaman gagal panen masa silam, lebih dari satu dasawarsa terakhir, warga
Desa Adat Geriana Kauh pun berupaya keras menjaga cara hidup yang meninggikan
keselarasan, di antaranya dengan mempertahankan sawah di tengah ancaman alih fungsi
lahan dan melestarikan beberapa ritual penting, seperti Tari Rejang, Tari Sang Hyang Dedari,
dan Tari Sang Hyang Jaran.

Tiga tarian sakral itu, sejak 2015, telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak
Benda Dunia.

Kian Langka

Cara hidup yang meninggikan keselarasan, sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat Desa
Adat Geriana Kauh, agaknya kian sulit ditemukan di beberapa wilayah Pulau Bali, khususnya
lokasi yang telah menjadi episentrum industri pariwisata massal, misalnya saja, Kuta,
Seminyak, Denpasar, Canggu, serta sebagian Ubud.

Salah satu sebabnya, banyak lahan pertanian dan hutan yang telah beralih fungsi menjadi
kawasan perhotelan, restoran, kafe, swalayan, pusat perbelanjaan, dan arena hiburan.
Tidak hanya itu, di pesisir pantai dan teluk yang mulanya diyakini sebagai kawasan suci, kini
sudah dijejali dengan gedung-gedung hotel dan resort mewah.

Membentengi Kelestarian Alam di Bali dengan Ritual Sakral


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut total penurunan lahan sawah mencapai 500 hektare per
tahun, khusus di Kabupaten Karangasem selama 2011-2016, 12 hektare sawah telah beralih fungsi
menjadi lahan nonsawah.

Sementara itu, di Kota Denpasar, luas sawah pada awal 2018 tersisa 2.444 hektare, menyusut sekitar 20
hektare dari jumlahnya pada 2017 sebanyak 2.464 hektare.

PILIHAN REDAKSI Peneliti yang tengah mendalami Tari


Sang Hyang Dedari dari Universitas
• Destinasi Wisata Populer untuk Backpacking Perdana Indonesia, L.G. Saraswati Putri
• Film 'Bali: Beats of Paradise' Getarkan Filipina mengatakan alih fungsi lahan pertanian
• Bali Jadi Destinasi Wisata Favorit Para Pekerja Digital tidak hanya mengubah kontur alam,
tetapi juga berpengaruh pada kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Bali.

"Saya sempat menemui seorang maestro Tari Bali, Ni Ketut Arini di studionya di Denpasar. Ia dulu
menyebut Tari Sang Hyang Dedari dulu sempat ditarikan di beberapa banjar di Denpasar, saat itu pula,
kota masih dipenuhi banyak sawah. Namun di saat sawahnya menghilang, tariannya pun punah," sebut
Saraswati saat ditemui di Jakarta pada November.
Kesaksian dari Ni Ketut Arini, menurut Saraswati, bermakna bahwa tiap aspek kehidupan masyarakat
Bali saling terkait satu dengan yang lain.

Alhasil, apabila alam dirusak demi kepentingan pembangunan--yang keuntungannya dinikmati hanya
oleh segelintir pemodal, imbasnya tidak hanya kekayaan budaya tari-tarian asli Pulau Bali terancam
punah.

Akan tetapi juga ketidakseimbangan itu rentan memicu konflik horizontal antarmasyarakat.

Tantangan Melestarikan

Bertahan dengan cara hidup yang meninggikan keselarasan, sebagaimana dipraktikkan masyarakat
Geriana Kauh menjadi tantangan tersendiri bagi warga desa, terlebih di tengah desakan industri
pariwisata massal di Pulau Bali.

Industri pariwisata yang saat ini dipraktikkan di Pulau Bali hanya punya satu tujuan, meningkatkan
jumlah kunjungan, menambah infrastruktur yang menunjang kenyamanan turis, walaupun harus
mengorbankan kehidupan warga desa yang bergantung dengan lestarinya sawah, hutan, dan teluk.
Di tengah desakan itu, sekelompok pengabdi masyarakat dari Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DPRM) Universitas Indonesia menginisiasi rangkaian program yang bertujuan membantu
masyarakat Desa Adat Geriana Kauh mempertahankan identitasnya sebagai Desa Budaya yang masih
mempraktikkan cara-cara hidup berkelanjutan.

Di bawah pimpinan Saraswati sebagai pengabdi utama, sejak 2015, tim peneliti dari DRPM UI telah
melakukan upaya pendokumentasian budaya, khususnya Tari Sang Hyang Dedari, dalam sebuah
museum.

Museum, menurut Saraswati, merupakan langkah awal untuk menguatkan identitas Desa Geriana Kauh
sebagai desa budaya.

Ia berpendapat, museum tidak hanya menjadi pusat dokumentasi dan kajian Tari Sang Hyang Dedari,
tetapi sebagai infrastruktur awal pengembangan pariwisata berkelanjutan atau ekowisata (sustainable
tourism) di Desa Adat Geriana Kauh.

Sejalan dengan misi itu, tim DRPM UI pada 2018 telah melakukan pelatihan mengenai ekowisata desa,
pengenalan pemuliaan benih dan permakultur, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di
Desa Adat Geriana Kauh.

"Pelatihan pertama diselenggarakan pada 30 Juni 2018 di Dusun Geriana Kauh terkait dengan
pembekalan mengenai ekowisata desa, khususnya pengelolaan penginapan berbasiskan desa seperti
homestay," sebut Saraswati.

Pada 14 Agustus, pihaknya bermitra dengan Yayasan IDEP menyelenggarakan pelatihan mengenai
permakultur dan pemuliaan benih terhadap warga desa.

Melalui pelatihan tersebut, pihaknya membantu upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Adat
Geriana Kauh untuk menguatkan tradisi agraris serta tradisi pertanian organik yang telah berlangsung
turun-temurun selama ratusan tahun.

Pelatihan tersebut merupakan program jangka panjang yang akan terus dilanjutkan hingga tahun-tahun
berikutnya.

Misalnya pada 2019, fokus tim DRPM UI memperkuat potensi pertanian organik dan eksplorasi
komoditas unggulan di Desa Adat Geriana Kauh, seperti Padi Masa, Salak Madu, dan Bunga Gumitir.

Program tersebut tidak lepas dari kesadaran terhadap pentingnya usaha masyarakat untuk menyelami
hidup yang selaras dengan alam
(ard)

Anda mungkin juga menyukai