Anda di halaman 1dari 12

Makalah Hukum Perdata Internasional

Perkawinan Beda Agama Di Luar Negeri

Oleh : Nunu Septianingrum


E1A017177
Kelas A

Universitas Jenderal Soedirman


Fakultas Hukum
Purwokerto
2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
.
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pasal tersebut sebagai hukum
positif di Indonesia, perkawinan didasarkan pada agama sebagai keyakinan seseorang.
Perkawinan diluar Indonesia diatur dalam Pasal 56 yang menyebutkan bahwa
perkawinan di luar Indonesia adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang
berlaku dimana perkawinan itu dilaksanakan asalkan bagi warga negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan ketentuan yang berlaku di Indonesia yaitu UU Perkawinan.
Sehingga perkawinan yang dilakukan di luar negeri adalah sah status hukum nya jika
mengikuti peraturan hukum dimana perkawinan itu berlangsung. Namun bagaimana
jika perkawinan itu mengandung unsur perbedan kepercayaan?. Indonesia mengakui
sah nya perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri selama perkawinan itu tidak
melanggar ketentuan yang berlaku di Indonesia yaitu UU Perkawinan. Merujuk pada
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum agama atau kepercyaan nya masing – masing.
Maka bagaimana keabsahan nya perkawinan tersebut di Indonesia?
Perkawinan berbeda agama yang dilaksanakan di luar negeri ini merupakan
suatu peristiwa perdata dimana merupakan bagian dari status personal seseorang,
namun melibatkan unsur asing (foreign element) yaitu tempat dimana perkawinan
dilangsungkan merupakan diluar wilayah Indonesia
Hukum Perdata Internasional adalah sekumpulan peraturan yang mengatur
lingkup sifat perdata seseorang secara internasional yaitu terdapat unsur asing di
dalamnya. Meskipun perdata ini artinya privat yang artinya tidak mengandung unsur
publik namun dalam hubungan perdatanya ini seseorang memasukkan unsur asing
kedalamnya yaitu kewarganegaran dan domisili. Seperti hal nya perkawinan yang bisa
dilakukan di tempat yang berbeda atau antara dua orang yang memiliki
kewarganegaraan berbeda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan perkawinan beda agama sebelum adanya UUP ?
2. Bagaimana perkawinan berbeda agama di luar negeri ?
BAB II
PEMBAHASAN

C. Pembahasan
a. Perkembangan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan suatu
hal baru melainkan sudah ada sejak jaman dahulu. Sebelum diundangkannya UU
Perkawinan dan menjadi payung hukum perkawinan di Indonesia, perkawinan
antara dua agama yang berbeda sudah sering dilakukan. Ada perbedaan hukum
antara masing-masing golongan hukum di Indonesia, ada perkawinan menurut
agama Nasrani dengan peraturan tersendiri dalam Ordonansi Peraturan
Perkawinan Indonesia Nasrani, sedangkan untuk orang – orang yang beragama
Islam berlaku ketentuan – ketentuan hukum Islam dan hukum Adat Indonesia1.
Dalam HOCI, Pria Indonesia yang bukan Nasrani memiliki kesempatan untuk
melakukan pilihan hukum pada saat menikah dengan seorang perempuan
Indonesia Nasrani. Ia dapat memilih hukum Nasrani tanpa harus merubah
agamanya menjadi Nasrani.
Pemerintah Hindia Belanda melalui Stb. 1898 No. 158 tentang perkawinan
campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) atau GHR mengatur mengenai
perkawinan beda agama dimana jika dua orang yang berbeda agama hendak
melangsungkan perkawinan, Kantor Catatan Sipil yang akan mencatat
perkawinannya 2 . Setelah diundangkannya UUP perkawinan di Indonesia harus
mengacu pada UU tersebut, sehingga perkawinan campuran ini semakin sulit
dilakukan, hingga muncul berbagai macam cara untuk bisa melangsungkan
perkawinan sesuai dengan yang para pihak kehendaki.

b. Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri


Indonesia dalam peraturan mengenai perkawinan tidak mengatur secara
khusus masalah perkawinan berbeda agama. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu dan ayat (2)

1
S. Gautama. Pengantar Hukum Peradata Internasional. (Bandung : Binacipta, 2012) hlm. 151
2
Sri Wahyuni, Kontroversi Perkawinan Beda Agama, Jurnal Hukum Islam (JHI), Volume 8, Nomor 1, Juni 2010,
hlm. 64
menyebutkan serta tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam Ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan
menurut hukum agamanya masing-masing, hal ini menunjukan bahwa perkawinan
harus didasarkan pada agama masing-masing yang dianut dan hukum yang
berlaku di negara mereka berada, itu berarti dengan adanya pasal tersebut maka
tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945, seperti yang
tertuang dalam penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan.
Perbedaan yang disebutkan dalam UU perkawinan ini lebih dikenal
dengan perkawinan campuran, yang menurut Pasal 57 UU Perkawinan yaitu
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan yang
salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan pihak lainnya
berkewarganegaraan Indonesia. Tidak disebutkan dalam pengertian perkawinan
campuran ini adanya perbedaan agama atau kepercayaan dari masing-masing
pihak, berbeda dengan pengertian campuran pada masa sebelum terbentuknya
UUP yang dapat diartikan sebagai perbedaan kepercayaan karena adanya
penggolongan. Ketiadaan pengaturan mengenai perkawinan beda agama ini
mengakibatkan dilakukannya bentuk penghindaran dari hukum yang berlaku di
Indonesia dengan cara melakukan perkawinan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan dalam Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan menyebutkan bahwa salah
satu larangan perkawinan adalah bagi dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Hal ini merujuk
kepada hukum yang berlaku dalam agama yang dianut, memperbolehkan atau
tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama. Maka dapat kita lihat beberapa
pandangan agama – agama di Indonesia mengenai perkawinan ini.
Agama Islam
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik. Sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) nikah sebelum habis iddah nya…”
(QS. Al Baqarah : 221)
Agama Kristen
Pada prinsipnya Kristen Protestan menghendaki agar penganutnya kawin
dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai
kebahagiaan sehingga sulit apabila tidak seiman
Agama Katholik
Menurut hukum gereja Katholik, ada sejumlah halangan yang membuat
tujuan perkawinan tidak dapat terwujud, salah satunya adalah adanya ikatan
perkawinan yang berbeda gereja dan berbeda agama.
Agama Budha
Perkawinan berbeda agama diperbolehkan asal pengesahan perkawinan
dilakukan menurut cara agama Budha. Tidak harus salah satunya masuk agama
Budha terlebih dulu, tapi kedua mempelai wajib mengucapkan “atas nama Sang
Budha. Dharma dan , Sangka” yang merupakan dewa umat Budha.
Agama Hindu
Perkawinan yang dilakukan menurut agama Hindu tetapi tidak memenuhi
syarat pengesahannya maka dapat dibatalkan, diantaranya yaitu tidak menganut
agama yang sama pada saat upacara perkawinan, atau dalam hal perkawinan antar
agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu3.
Secara garis besar pandangan beberapa agama di Indonesia mengenai
perkawinan beda agama adalah melanggar hukum agama nya. Maka untuk itu,
banyak pasangan yang melaksanakan perkawinan dimana perbedaan agama
bukanlah merupakan sebuah penghalang, yaitu di luar wilayah Indonesia.
UU Perkawinan memang telah mengatur perkawinan diluar wilayah
Indonesia yaitu pada terdapat dalam Pasal 56 UU Perkawinan, menyebutkan
bahwa :
1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan ketentuan UU ini
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka

3
Abdul Halim, Carina Rizqy Ardhani. 2016. Keabsahan Perkawinan Beda Agama DI Luar Negeri Dalam Tinjauan
Yuridis. Moral Kemasyarakatan Vol. 1 No. 1 : 68-69
Pasal ini mendukung adanya keabsahan perkawinan yang dilaksanakan di luar
Indonesia sebagai tindak lanjut dari ayat (2) Pasal 2 UUP ini yang mengatakan
bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan, apabila dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara tersebut, pencatatan setelah dilangsungkannya perkawinan
merupakan suatu bentuk kemudahan yang disediakan oleh pemerintah untuk
mereka yang menikah di luar negeri dan/atau yang dilaksanakan bukan menurut
hukum Indonesia.
Perkawinan beda agama ini kedudukannya diperkuat dengan pencatatan yang
tertera bersama dengan diundangkannya UU Tentang Administrasi Penduduk
pada Pasal 35 huruf (a) yang menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan berlaku
pula bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan. Dijabarkan dalam penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”
adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Hal ini
menunjukan bahwa negara tidak secara khusus mengatur namun tetap
mengakomodir dalam administratif, yaitu dalam bentuk pencatatan perkawinan
agar mendapat perlindungan hukum.

Setidaknya ada empat (4) cara untuk bisa melakukan perkawinan berbeda
agama bagi warganegara Indonesia, yaitu :
1. Meminta penetapan pengadilan
2. Perkawinan dilakukan menurut masing – masing agama
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. Menikah di luar negeri4
Bagi poin keempat ini diketahui bahwa tujuan negara favorit para calon
pengantin adalah Australia dan Singapura, dikarenakan letaknya yang tidak
terlalu jauh dari indonesia serta adanya hukum yang mengatur mengenai
perkawinan beda agama tersebut.

Dalam perspektif HPI, perkawinan beda agama diluar negeri masuk dalam
lingkup permasalahan HPI karena adanya unsur asing (foreign element) yaitu

4
Diana Kusumasari, “Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia”,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/kawin-beda-agama-menurut-hukum-indonesia (diakses pada 25
November 2018, pukul 10.13)
tempat dilangsungkannya perkawinan. Asas-asaa utama yang berkembang dalam
HPI tentang hukum yang harus digunakan untuk mengatur validitas material
suatu perkawinan, adalah :
a. Asas Lex Loci Celebrationis yang bermakna bahwa validitas material
perkawinan harus ditetapkan beradasarkan kaidah hukum dari tempat dimana
perkawinan diresmikan/dilangsungkan
b. Asas yang menyatakan bahwa validitas material suatu perkawinan ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing – masing pihak menjadi
warganegara sebelum perkawinan dilangsungkan
c. Asaa yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing – masing pihak ber-domicile
sebelum perkawinan dilangsungkan
d. Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (Locus
Celebrationis), tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di
dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan5.

Dalam asas diatas, yang sesuai dengan UUP adalah asas keempat dimana
perkawinan sah menurut hukum dimana perkawinan itu berlangsung tetapi tidak
melanggar ketentuan hukum Indonesia, yaitu UUP.

 Contoh Kasus Perkawinan Beda Agama Di Luar Negeri


1. Perkawinan antara Marcel Siahaan (Budha) dan Rima Melati Adams (Islam)
Dalam agama Islam ada dua pendapat mengenai perkawinan beda agama ini, ada
yang membolehkan namun hanya lelaki muslim dengan wanita non muslim yang
merupakan ahlul kitab, dan ada juga yang tidak membolehkan sama sekali. Inilah
yang dipraktekan oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), bahkan diperluas jadi
memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim6.
Keduanya melangsungkan pernikahan di Singapura, dalam status agama yang
berbeda. Meskipun setelahnya, Marcell dinyatakan menjadi seorang mualaf.

5
Bayu Seto. Dasar – Dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 170-171
6
M-3/M-1/Tif. “Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama”,
https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-penyelundupan-hukum-bagi-pasangan-beda-
agama (diakses pada 25 November 2018, pukul 16.45)
2. Perkawinan antara Dimas Anggara (Islam) dengan Nadine Chandrawinata
(Katolik)
Dilaksanakan di Bhutan, Nepal dengan menggunakan upacara Budha. Pasangan
ini memilih untuk melangsungkan pernikahan di luar negeri sebagai bentuk
penghindaran dari hukum perkawinan yang ada di Indonesia, juga melakukan
upacara perkawinan dengan ajaran agama yang keduanya tidak menganut, yaitu
Budha. Seperti yang telah diketahui bahwa agama Budha memperbolehkan
adanya perkawinan beda agama tanpa harus keduanya berpindah agama dulu
menjadi Budha, asalkan upacara perkawinan dilakukan secara Budha.
BAB III

PENUTUP

D. Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
sebagai payung hukum mengenai perkawinan di Indonesia mendasarkan perkawinan
kepada sebuah agama, bukan hanya aspek perdata saja, tetapi juga sosial, ekonomi,
dan budaya.
Mengenai perkawinan berbeda agama yang sudah ada semenjak sebelum
diundangkannya UUP, sebelumnya telah diatur dalam GHR mengenai perkawinan
campuran yang bisa dilangsungkan di Indonesia. Namun setelah dibentuknya UUP
maka seluruh peraturan perkawinan tunduk pada UUP sebagai landasan perkawinan
untuk seluruh warga negara Indonesia. Ketiadaan hukum yang mengatur tentang
perkawinan beda agama membuat para pihak yang ingin melangsungkannya
mengambil cara lain dengan menghindari sistem hukum yang ada di Indonesia yaitu
melangsungkannya di luar negeri karena dianggap paling mudah untuk dilakukan,
namun tentu saja memerlukan biaya yang tidak murah.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama nya masing
masing, seperti yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) UUP ini, maka dapat dikatakan
bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum agamanya itu. Maka untuk setiap
kebasahan perkawinan beda agama yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar
negeri adalah diserahkan kepada agama nya masing – masing.
Negara tidak melarang adanya perkawinan beda agama, hanya saja tidak
mengatur nya. Negara hanya mengakomodir sebuah bentuk administratif bagi setiap
perkawinan yang dilangsungkan bukan di wilayah Indonesia, yaitu pencatatan
perkawinan di kantor pencatatan dimana para pihak tinggal, agar perkawinannya itu
mandapat perlindungan hukum yang kuat. Sesuai dengan Pasal 56 UUP dan Pasal 35
huruf (a) UU Administrasi Kependudukan.
Masalah perkawinan beda agama di luar negeri ini tentu saja masuk dalam
lingkup HPI karena merupakan sebuah masalah perdata yang mengandung unsur
asing di dalamnya yaitu tempat dilangsungkannya perkawinan. Sehingga berlaku juga
hukum asing dalam masalah tersebut dan asas Locus Celebrationis.
E. Daftar Pustaka
Buku

Gautama, S. 2012. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung :


Binacipta

Seto, Bayu. 2001. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti

Jurnal dan Artikel


Dianti, Novina Eky. 2014. “Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia
Di Luar Negeri Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum Dari Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” Privat Law. Nomor 5 : 5-13

Halim, Abdul. Carina Rizky Ardhani. 2016. “Keabsahan Perkawinan Beda Agama Di
Luar Negeri Dalam Tinjauan Yuridis” Moral Kemasyarakatan. Nomor 1 : 67-75

Kamilah, Anita. 2018. “Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilaksanakan Di


Luar Negeri” Peradaban dan hukum Islam. Nomor 1 : 116-127
Sri Wahyuni, Kontroversi Perkawinan Beda Agama, Jurnal Hukum Islam (JHI), Volume 8,
Nomor 1, Juni 2010, hlm. 64

Produk Perundang – undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974

UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Pustaka Maya

Kusumasari, Diana. 2011. Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia.


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl290/kawin-beda-agama-menurut-
hukum-indonesia, diakses 25 November 2018
M-3/M-1/Tif. Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-penyelundupan-
hukum-bagi-pasangan-beda-agama diakses 25 November 2018

Pramesti, Tri Jaya Ayu. 2013. Negara –Negara Yang Membolehkan Perkawinan Beda
Agama. https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ff5a7dfb11ca/negara-
negara-yang-membolehkan-kawin-beda-agama, diakses 23 November 2018

Anda mungkin juga menyukai