PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep dasar teori Kasus Abdominal Pain : Illeus
Paralitik ?
b. Bagaimana asuhan keperawatan pada Kasus Abdominal Pain : Illeus
Paralitik ?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui konsep dasar teori Kasus Abdominal Pain : Illeus
Paralitik.
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada Kasus Abdominal Pain
: Illeus Paralitik
1.4. Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai bahan
pengajaran dan pembelajaran di bidang pendidikan bagi penulis maupun
pembaca.
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Penyebab
Walaupun predisiposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah
abdomen, tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan
risiko terjadinya ileus, di antaranya (Behm, 2003) sebagai berikut.
1. Sepsis
2. Obat-obatan (misalnya: opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia,
hipomagnesemia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas).
4. Infark miokard
5. Pneumonia
6. Trauma (misalnya: patah tulang iga, cedera spina).
7. Bilier dan ginjal kolik.
3
8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.
9. Inflamasi intraabdomen dan peritonitis.
10. Hematoma retroperitonel.
C. Pathway
Pembedahan abdomen,
ketidakseimbangan
elektrolit, infeksi
4
Proses infeksi pada usus
Lanjutan: halus
RESIKO INFEKSI
NYERI
(Price, 2005)
D. Manifestasi Klinis
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung
(abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah
mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada
ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung
pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung,
tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi
timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat
tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan
perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi
peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit
primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.
Gejala klinisnya, yaitu :
1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik).
2. Mual dan mutah.
3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24-48 jam.
4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans
muskuler.
5. Bising usus menghilang.
6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara.
(Brunner and Suddarth, 2002)
E. Klasifikasi
1. Ileus mekanik
a. Lokasi Obstruksi
1) Letak tinggi: Duodenum – Jejenum.
2) Letak tengah: Ileum terminal.
3) Letaak rendah: Colon – sigmoid – rectum.
b. Stadium
1) Parsial: menyumbat lumen sebagian.
2) Simple/ Komplit: menyumbat lumen total.
3) Strangulasi: simple dengan jepitan vasa.
2. Ileus Neurogenik
a. Adinamik: Ileus paralitik.
b. Dinamik: Ileus spastik.
3. Ileus Vaskuler: Intestinal ischemia.
(Brunner and Suddarth, 2002)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen 3 posisi
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus)
memper-lihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya
batas antara air dan udara atau gas (air-fluid level) yang
membentuk pola bagaikan tangga, posisi setengah duduk
untuk melihat Gambaran udara cairan dalam usus atau di luar
usus, misalnya pada abses, Gambaran udara bebas di bawah
diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau abdomen
bawah.
1) Posisi terlentang (supine): sinar dari arah vertikal, dengan
proyeksi antero-posterior (AP);
Hal-hal yang dapat dinilai :
a) Dinding abdomen, yang penting yaitu: lemak
preperitoneal kanan dan kiri baik atau menghilang;
b) Garis psoas kanan dan kiri: baik, menghilang atau
adanya pelembungan (bulging);
c) Batu yang radioopak, kalsifikasi atau benda asing
yang radioopak;
d) Kontur ginjal kanan dan kiri.
e) Gambaran udara usus:
Normal;
6
Pelebaran lambung, usus halus, kolon;
Penyebaran dari usus-usus yang melebar;
Keadaan dinding usus;
Jarak antara dua dinding usus yang
berdampingan.
7
Gambar 6. Batu radioopaq di ginjal kiri
8
Gambar 8. Air fluid level pada ileus obstruksi.
Pasienposisi setengah duduk.
9
Gambar 1. Posisi terlentang, proyeksi AP
10
anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium
tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai
terapi.
c. CT–Scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto
polos abdomen dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan
mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan-
kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–
Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras
kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat
diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran
dan penyebab dari obstruksi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi,
pada urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas
darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.
(Brunner and Suddarth, 2002).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Penderita dipuasakan
c. Kontrol status airway, breathing and circulation.
d. Dekompresi dengan nasogastric tube.
e. Intravenous fluids and electrolyte
f. Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
2. Farmakologis
a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b. Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif
a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali
disertai dengan peritonitis.
b. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi
nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture
usus.
c. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan
teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui
11
laparotomi. (Brunner and Suddarth, 2002)
H. Komplikasi
1. Nekrosis usus.
2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu
lama pada organ intra abdomen.
3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium
sehingga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra
abdomen.
4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani
dengan baik dan cepat.
5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume
plasma.
6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi
abdomen. Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan
kalium dari lambung, serta menimbulkan penurunan klorida dan
kalium dalam darah (Hermawan, 2010).
12
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan
primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam
urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika
langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil.
Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan
sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran
tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam
keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997).
Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada
seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma
yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian
ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment). (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
2. Secondary Survey
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien ileus
paralitik adalah sebagai berikut:
a. Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, agama, alamat, status perkawinan, dan suku
bangsa.
b. Riwayat keperawatan.
1) Riwayat kesehatan sekarang meliputi apa yang dirasakan
klien saat pengkajian.
2) Riwayat kesehatan masa lalu meliputi penyakit yang
pernah diderita, apakah sebelumnya pernah mengalami
penyakit yang sama.
3) Riwayat kesehatan keluarga meliputi apakah dari
keluarga ada yang menderita penyakit yang sama.
13
c. Riwayat Psikososial dan spiritual meliputi pola interaksi,
pola pertahanan pola pertahanan diri, pola kognitif, pola
emosi dan nilai kepercayaan klien.
d. Kondisi lingkungan meliputi bagaimana kondisi lingkungan
yang mendukung kesehatan klien.
e. Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit meliputi pola
nutrisi, pola eliminasi, personal hygiene,pola aktivitas sehari
– hari dan pola aktivitas tidur.
f. Pengkajian fisik dilakukan secara inspeksi, palpasi,
auskultasi, dan perkusi, yaitu:
1) Inspeksi
Inspeksi perut distensi, dapat ditemukan kontur
dan steifung. Benjolan pada region inguinal, femoral dan
skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada
Intussuspsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk
sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka
operasi sebelumnya. Kadang teraba massa seperti pada
tumor, invaginasi, hernia, rectal toucher. Selain itu, dapat
juga melakukan pemeriksaan inspeksi pada :
a) Sistem penglihatan: posisi mata simetris atau
asimetris, kelopak mata normal atau tidak, pergerakan
bola mata normal atau tidak, konjungtiva anemis atau
tidak, kornea normal atau tidak, sclera ikterik atau
anikterik, pupil isokor atau anisokor, reaksi terhadap
otot cahaya baik atau tidak.
b) Sistem pendengaran: daun telinga, serumen, cairan
dalam telinga.
c) Sistem pernafasan: pernafasan dalam atau dangkal,
ada atau tidak batuk, dan pernafasan sesak atau tidak.
d) Sistem hematologi: ada atau tidak pendarahan, warna
kulit.
e) Sistem pencernaan keadaan mulut, gigi, stomatitis,
14
lidah bersih, saliva, warna dan konsistensi feses.
f) Sistem urogenital warna BAK.
g) Sistem integument turgor kulit, ptechiae, warna kulit,
keadaan kulit, keadaan rambut.
2) Palpasi
a) Sistem pencernaan abdomen, hepar, nyeri tekan di
epigastrium.
b) Sistem kardiovaskuler pengisian kapiler.
c) Sistem integumen ptechiae.
3) Auakultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi,
borbor hygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltic
melemah dan sampai hilang.
4) Perkusi
Hipertimpani
5) Rectal Toucher
a) Isi rectum menyemprot : Hirschprung disease.
b) Adanya darah dapat menokong adanya stragulasi,
neoplasma.
c) Feces yang mengeras : skibala.
d) Feces negative : Obstruksi usus letak tinggi
e) Ampula rekti kolap : curiga obstruksi.
f) Nyeri tekan : local atau general peritonitis.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (post op ileus
paralitik).
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan
b.d faktor biologis (mual & muntah).
3. Konstipasi b.d penurunan motilitas traktus
gastrointestinal.
4. Resiko ketidakseimbangan volume cairan b.d
obstruksi intestinal.
5. Resiko infeksi dengan faktor resiko pertahanan
15
tubuh primer yang tidak adekuat (trauma
jaringan).
(NANDA 2015-2017)
C. Intervensi (NCP)
No Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Analgesic Administration
Batasan Karakteristik keperawatan selama ….x 24 jam, □ Tentukan lokasi, karakteristik,
□ Bukti nyeri dengan diharapkan px mampu memenuhi kualitas, dan derajat nyeri sebelum
menggunakan standar KH sebagai berikut : pemberian obat
daftar periksa nyeri NOC : □ Cek riwayat alergi terhadap obat
untuk pasien yang tidak □ Pain Level □ Pilih analgesik yang tepat atau
dapat Kriteria Hasil : kombinasi dari analgesik lebih dari
mengungkapkannya □ Melaporkan gejala nyeri satu jika diperlukan
(mis., Neonatal Infant berkurang □ Tentukan analgesik yang diberikan
Pain Scale, Pain □ Melaporkan lama nyeri (narkotik, non-narkotik, atau
Assesment Checklist for berkurang NSAID) berdasarkan tipe dan
Senior with Limited □ Tidak tampak ekspresi wajah keparahan nyeri
Ability to Communicate) kesakitan □ Tentukan rute pemberian analgesik
□ Diaphoresis □ Tidak gelisah dan dosis untuk mendapat hasil
□ Dilatasi pupil □ Respirasi dalam batas normal yang maksimal
□ Ekspresi wajah nyeri (dewasa: 16-20 kali/menit) □ Pilih rute IV dibandingkan rute IM
(mis., mata kurang untuk pemberian analgesik secara
bercahaya, tampak teratur melalui injeksi jika
kacau, gerakan mata diperlukan
berpencar atau tetap □ Evaluasi efektivitas pemberian
pada satu focus, analgesik setelah dilakukan injeksi.
meringis) Selain itu observasi efek samping
□ Focus menyempit (mis., pemberian analgesik seperti
persepsi waktu, proses depresi pernapasan, mual muntah,
16
berfikir, interaksi dengan mulut kering dan konstipasi.
orang dan lingkungan) □ Monitor vital sign sebelum dan
□ Focus pada diri sendiri sesudah pemberian analgesik
□ Keluhan tentang pertama kali
intensitas menggunakan
standar skala nyeri (mis.,
skala Wong-Baker
FACES, skala analog
visual, skala penilaian
numerik)
□ Keluhan tentang
karakteristik nyeri
dengan menggunakan
standar isntrumen nyeri
(mis., McGill Pain
Questionnaire, Brief
Pain Inventory)
□ Laporan tentang perilaku
nyeri/perubahan aktivitas
(mis., anggota keluarga,
pemberi asuhan)
□ Mengekspresikan
perilaku (mis., gelisah,
merengek, menangis,
waspada)
□ Perilaku distraksi
□ Perubahan pada
parameter fisiologis
(mis., tekanan darah,
frekuensi jantung,
frekuensi pernafasan,
saturasi oksigen, dan
endtidal karbon dioksida
(CO2))
□ Perubahan posisi untuk
menghindari nyerii
□ Perubahan selera makan
□ Putus asa
□ Sikap melindungi area
nyeri
□ Sikap tubuh melindungi
Faktor yang berhubungan :
□ Agens cedera biologis
(mis., infeksi, iskemia,
neoplasma)
□ Agens cedera fisik (mis.,
abses, amputasi, luka
bakar, terpotong,
mengangkat berat,
prosedur bedah, trauma,
olahraga berlebihan)
□ Agens cedera kimiawi
(mis., luka bakar,
17
kapsaisin, metilen
klorida, agens mustard)
18
pasta di dalam rectum KH sebagai berikut : □ Monitor buang air besar termasuk
□ Anoreksia NOC : frekuensi, konsistensi, bentuk,
□ Bising usus hiperaktif □ Eliminasi Usus volume, dan warna, dengan cara
□ Bising usus hipoaktif yang tepat
□ Borborigmi Kriteria hasil : □ Monitor bisisng usus
□ Darah merah pada feses □ Pola eliminasi normal □ Lapor peningkatan frekuensi dan
□ Distensi Abdomen □ Gerakan usus terkontrol atau bising usus bernada tinggi
□ Feses cair □ Warna feses normal □ Lapor berkurangnya bising usus
□ Feses keras dan berbentuk □ Feses lembut dan berbentuk □ Monitor tanda dan gejala
□ Keletihan umum □ Kemudahan BAB konstipasi
□ Massa abdomen yang dapat □ Tekanan sfingter □ Evaluasi inkontinensia fekal
di raba □ Otot untuk mengeluarkan feses seperlunya
□ Massa rektal yang dapat □ Pengeluaran feses tanpa □ Catat masalah BAB yang sudah
diraba bantuan ada sebelumnya BAB rutin , dan
□ Mengejan pada saat □ Suara bising usus normal penggunaan laksatif
defekasi □ Anjurkan anggota pasien atau
□ Mual keluarga untuk mencetat warna,
□ Muntah volume, frekuensi, dan konsistensi
□ Nyeri abdomen tinja
□ Nyeri pada saat defekasi □ Masukkan supositoria rektal, sesuai
□ Nyeri tekan abdomen dengan kebutuhan
dengan teraba resistensi otot □ Mendorong penurunan asupan
□ Nyeri tekan abdomen tanpa makanan pembentuk gas, yang
teraba resistensi otot sesuai
□ Penampilan tidak khas pada
lansia (mis, perubahan pada
status menta,inkontinensia
urinarius,jatuh yang tidak
jelas
penyebabnya,peningkatan
suhu tubuh)
□ Peningkatan tekanan
abdomen
□ Penurunan frekuensi
□ Penurunan volume feses
□ Perkusi abdomen pekak
□ Perubahan pada pola
defekasi
□ Rasa tekanan rektal
□ Sakit kepala
□ Sering flaktus
□ Tidak dapat makan
□ Tidak dapat megeluarkan
feses
19
□ Perubahan lingkungan saat
ini
□ Rata-rata aktivitas fisik
harian kurang dari yang
dianjurkan menurut usia
dan jenis kelamin
Mekanis
□ Abses rektal
□ Fisura anak rektal
□ Gangguan neurologis (mis,
EEG positif, trauma
kepala,gangguan kejang)
□ Hemoroid
□ Kehamilan
□ Ketidakseimbangan
elektrolit
□ Obesitas
□ Obstruksi pasca-bedah
□ Pembesaran prostat
□ Penyakit Hirschsprung
□ Prolapse rektal
□ Rektokel
□ Striktur anak rektal
□ Tumor
□ Ulkus rektal
Farmakologis
□ Agens farmaseutikal
□ Penyalahgunaan laksatif
Fisiologis
□ Asupan cairan tidak cukup
□ Asupan serat tidak cukup
□ Dehidrasi
□ Kebiasaan makan buruk
□ Ketidakadekuatan gigi
geligi
□ Ketidakadekuatan hygiene
oral
□ Penurunan motilitas
traktus gastrointestinal
□ Perubahan kebiasaan
makan (mis.,
makanan,waktu makan)
20
□ Obstruksi intestinal □ Tekanan arteri radial dalam □ Monitor serum dan elektrolit
□ Pancreatitis batas normal □ Monitor TTV
□ Program pengobatan □ Tekanan vena sentral dalam □ Monitor tekanan darah ortostatik
□ Sepsis batas normal dan perubahan ritme jantung
□ Trauma □ Turgor kulit elastis □ Monitor hemodinamik
□ Membran mukosa lembab □ Monitor turgor kulit, membran
□ Hematokrit dalam batas normal mukosa
□ Intake dan output ciran □ Monitor warna dan kualitas urine
seimbang dalam 24 jam □ Monitor tanda-tanda asites
□ Berat badan stabil
□ Tidak ditemukan asites Fluid Manajemen
□ Tidak ada edema di peripheral □ Timbang berat badan pasien dan
catat jika ditemukan berat badan
Hydration yang berkurang
□ Turgor kulit dalam batas normal □ Pertahankan dokumentasi CMCK
□ Membran mukosa lembab yang akurat
□ Urin output dalam batas normal □ Pasang kateter
□ Perfusi jaringan dalam batas □ Monitor status hidrasi
normal □ Monitor hasil lab yang berkaitan
□ Tidak ditemukan mata cekung dengan retensi cairan
□ Tidak terjadi penurunan □ Cek tanda tanda vital
tekanan darah □ Monitor hemodinamik
□ Hematrokit dalam batas normal □ Monitor berat badan pasien
□ Tidak dtemukan penurunan sebelum dan setelah dilakukan
berat badan yang drastis tindakan dialisis
□ Kaji adanya edema
□ Berikan terapi intravena
□ Berikan obat diuretik jika
diperlukan
□ Persiapkan pasien untuk menerima
darah atau komposisinya
□ Berikan transfusi darah atau
komposisi darah jika dperlukan
21
Perubahan pH sekresi tanda dan gejala infeksi bedah atau luka
Stasis cairan tubuh □ Secara konsisten □ Tingkatkan asupan nutrisi yang
Pertahanan tubuh sekunder menunjukkan cukup
tidak adekuat mempertahankan lingkungan
□ Imunosupresi yang bersih
□ Leukopenia □ Secara konsisten
□ Penurunan hemoglobin menunjukkan mencuci tangan
□ Supresi respon inflamasi □ Secara konsisten
(mis., interleukin 6 (IL- menunjukkan menggunakan
6), C-reaktive protein alat pelindung diri
[CRP]) □ Secara konsisten
□ Vaksinasi tidak adekuat menunjukkan melakukan
Pemajanan terhadap imunisasi yang
pathogen lingkungan direkomendasikan
meningkat □ Secara konsisten
□ Terpajan pada wabah menunjukkan memonitor
perubahan status kesehatan
□ Secara konsisten
menunjukkan mengidentifikasi
factor risiko infeksi
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Illeus paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat
perut yang yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai
keluhan utama karena usus tidak dapat bergerak (mengalami
motilitas) dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar.
Penyebab dari ileus paralitik adalah Sepsis, Obat-obatan (misalnya:
opioid, antasid, coumarin, amitriptyline, chlorpromazine), Gangguan
elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia,
hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas), Infark miokard,
Pneumonia, Trauma (misalnya: patah tulang iga, cedera spina),
Bilier dan ginjal kolik, Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.,
Inflamasi intraabdomen dan peritonitis, Hematoma retroperitonel.
23
Manifestasi klinis dari ileus paralitik adalah Distensi yang
hebat tanpa rasa nyeri (kolik), Mual dan mutah, Tak dapat defekasi
dan flatus, sedikitnya 24-48 jam, Pada palpasi ringan perut, ada nyeri
ringan, tanpa defans muskuler, Bising usus menghilang, Gambaran
radiologis : semua usus menggembung berisi udara.
Klasifikasi ileus paralitik aa 3, yaitu: Ileus mekanik, Ileus
Neurogenik, Ileus Vaskuler. Pemeriksaan penunjang pada ileus
paralitik adalah Pemeriksaan radiologi dengan Foto polos abdomen
3 posisi, Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema, CT–Scan,
USG, Pemeriksaan laboratorium
Penatalaksanaan medis paa ileus paralitik adalah Konservatif,
Farmakologis, Operatif.
Komplikasi pada ileus paralitik adalah Nekrosis usus,
Perforasi usus, Peritonitis, Sepsis infeksi, Syok dehidrasi terjadi,
Abses sindrom usus pendek, Gangguan elektrolit.
Primary survey pada kegawatdaruratan ileus paralitik dengan
menggunakan prinsip A, B, C, D dan E.
3.2. Saran
Disarankan kepada penderita ileus paralitik untuk
menghindari faktor pencetus dan resiko yang bisa mengakibatkan
penyakit bertambah parah.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta :
Media Aesculapius
25
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. 2009. Patient
assessment routine medical care primary and secondary
survey. San Mateo County EMS Agency
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II.
Jakarta: EGC
26