Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI KULTUR JARINGAN

“Aklimatisasi dan Penyilangan Anggrek”

Disusun Oleh :
Inarotun Nufus 17030244040
Nilam Cahya Ningrum 17030244048
M Wierdan Syafrilliansah 17030244054
Vira Maulida Wijaya

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbanyakan tanaman secara vegetatif merupakan alternatif untuk
mendapatkan tanaman baru yang mempunyai sifat sama dengan induknya
dalam jumlah besar. Perbanyakan secara vegetatif dengan sistem
konfensional, umumnya masih memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu, saat ini di beberapa negara maju telah banyak dikembangkan suatu
sistem perbanyakan tanaman secara vegetatif yang lebih cepat dengan hasil
yang lebih banyak lagi, yaitu dengan sistem kultur jaringan (Cahyo, 2009).
Kultur jaringan sering disebut juga perbanyakan tanaman secara in
vitro, yaitu budidaya tanaman yang dilaksanakan dalam botol-botol dengan
media khusus dan alat-alat yang serba steril. Sistem perbanyakan tanaman
dengan kultur jaringan ini dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah
yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Tanaman baru yang dihasilkkan
mempunyai sifat-sifat biologis yang sama dengan sifat induknya. Sistem
budidaya jaringan juga memiliki keuntungan lain yaitu penghematan tenaga,
waktu, tempat dan biaya (Cahyo, 2009).
Pelaksanaan kultur jaringan memerlukan perangkat lunak yang
memenuhi syarat kimia, proses fisiologi tanaman (biokimia dan fisika) dan
berbagai macam pekerjaan analitik. Dalam melakukan pelaksanaan kultur
jaringan, pelaksana harus mempunyai latar belakang ilmu-ilmu dasar tertentu
yaitu botani, fisiologi tumbuhan, kimia dan fisika yang memadai. Pelaksana
akan berkecimpung dalam pekerjaan yang berhubungan erat dengan ilmu-
ilmu dasar tersebut. Pelaksana juga dituntut dalam hal ketrampilan kerja,
ketekunan dan kesabaran yang tinggi serta harus bekerja intensif (Sriyanti dan
Wijayani, 1994).
Kultur jaringan sudah diakui sebagai metode baru dalam perbanyakan
tanaman. Saat ini telah dikembangkan tanaman perkebunan dan tanaman
kehutanan melalui teknik kultur jaringan. Terutama untuk tanaman yang
secara ekonomi menguntungkan untuk diperbanyak melalui kultur jaringan,
sudah banyak dilakukan secara industrial. Namun ada beberapa tanaman yang
tidak menguntungkan bila dikembangkan dengan kultur jaringan, misalnya:
kecepatan multiplikasinya terlalu rendah, terlalu banyak langkah untuk
mencapai tanaman sempurna atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan
genetik. (Cahyo, 2009).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara dan teknik aklimatisasi anggrek?
2. Bagaimana cara dan teknik penyilangan anggrek?

C. Tujuan
1. Mengetahui cara dan teknik aklimatisasi anggrek.
2. Mengetahui cara dan teknik penyilangan anggrek.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kultur Jaringan Tumbuhan


Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik mengisolasi
bagian-bagian tanaman (sel, sekelompok sel, jaringan, organ, protoplasma,
tepung sari, ovari dan sebagainya), ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu
untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi
tanaman lengkap yang mempunyai sifat sama seperti induknya dalam suatu
lingkungan yang aseptik (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya teknik ini
juga disebut kultur in vitro (in vitro culture) yang artinya kultur di dalam
wadah gelas (Armini dkk, 1992).
Dasar-dasar dari kultur jaringan tanaman adalah karena adanya teori
totipotensi, konsep Skoog dan Miller, dediferensiasi, kompeten,dan
determinan.Teori totipotensi merupakan teori yang menyatakan bahwa setiap
sel tanaman hidup, mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis
yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh
jika kondisi yang sesuai (Yusnita, 2003).
Proses dediferensiasi, sel yang dewasa dapat kembali muda atau
mengalami peremajaan, sel-sel diinduksi untuk membelah secara intensif, dan
mempunyai pertumbuhan dan potensi pembelahan yang tinggi. Proses
dediferensiasi sel terjadi dari sel eksplan yang sudah terdiferensiasi, sehingga
sel kembali muda (juvenile) dan dapat kembali bersifat meristematik dan
determinan (Sugiyama, 1999).
Pembentukan kalus dapat tejadi jika sel-sel pada eksplan kompeten.
Menurut Sugiyama (1999), pada kulturin vitro, pada tahap pertama yang
terjadi adalah sel pada jaringan eksplan harus memiliki sifat kompeten,
dimana kompeten merupakan kemampuan dari sel atau jaringan untuk
merespon sinyal dari zat pengatur tumbuh yang ditambahkan, sehingga sel
atau jaringan dapat berkembang. Sel yang kompeten mampu memberikan
tanggapan terhadap signal lingkungan atau hormonal yang ada pada media
kultur.
Tahapan kultur jaringan meliputi inisiasi, multiplikasi, perpanjangan
dan induksi akar (pengakaran), dan aklimatisasi. Kegiatan inisiasi meliputi
persiapan eksplan, sterilisasi eksplan hingga mendapatkan eksplan yang bebas
dari mikroorganisme kontaminan. Multiplikasi merupakan tahap perbanyakan
eksplan dengan subkultur (pemindahan eksplan dalam media baru yang berisi
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)) secara berulang-ulang untuk mempertahankan
stok bahan tanaman (eksplan). Pengakaran merupakan kegiatan terakhir
sebelum planlet dipindahkan ke kondisi luar. Aklimatisasi ialah
prosespemindahan/pengadaptasian planlet dari kondisi in vitro ke kondisi
luar/lapangan (Kumar dkk, 2010).
Manfaat Kultur Jaringan Menurut Darmono (2003); Hendaryono dan
Wijayani (1994) manfaat yang bisa didapatkan dari kultur jaringan adalah
bibit dapat diperbanyak dalam jumlah besar dan relatif cepat, unggul, cepat
berbuah, tahan hama dan penyakit, seragam tapi dapat juga menimbulkan
keberagaman, efisiensi tempat dan waktu, tidak tergantung musim, dapat
diperbanyak secara kontinyu, untuk skala besar biaya lebih murah, cocok
untuk tanaman yang sulit beregenerasi, menghasilkan tanaman bebas virus,
menghasilkan bahan bioaktif/metabolit sekunder tanpa menanam di luar atau
di lapang, kultur jaringan sesuai dengan program pemuliaan konvensional
seperti penyelamatan embrio, produksi bahan-bahan sekunder dapat melalui
kultur sel, jaringan, danorgan, misalnya produksi papain dari pepaya, proses
tukar-menukar plasma nutfah menjadi lebih mudah, plasma nutfah bisa
disimpan dalam bentuk sel-sel yang kompeten dalam regenerasi.
Selain memiliki manfaat, teknik kultur jaringan juga mempunyai
beberapa kerugian misalnya munculnya variasi somaklonal yang akan
menyebabkan penyimpangan fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Hal
ini terjadi karena subkultur yang berlebihan serta organogenesis tidak
langsung (perbanyakan dari kalus), konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
digunakan terlalu tinggi. Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
untuk skala massal dapat menggunakan metode perbanyakan tunas (shoot
multiplication) karena cara ini relatif tidak ada kendala yang berarti
(Nursyamsi, 2010). Masalah lain yang banyak dihadapi dalam
mengaplikasikan teknik kultur jaringan, khususnya di Indonesia adalah modal
investasi awal yang cukup besar dan sumberdaya manusia yang menguasai
dan terampil dalam bidang kultur jaringan tanaman masih terbatas..

B. Persyaratan Kultur Jaringan Tumbuhan


a) Media Kultur
Media kultur jaringan telah banyak ditemukan dan dikembangkan
hingga jumlahnya cukup banyak. Penamaan media biasanya sesuai
dengan nama penemunya. Media berisi komponen bahan kimia yang
hampir sama, hanya berbeda dalam besar kadarnya untuk setiap
persenyawaan. Media kultur jaringan mengandung garam-garam mineral
yang terdiri dari unsur hara makro dan mikro, sumber karbon, vitamin,
asam-asam amino, zat pengatur tumbuh dan bahan organik kompleks
(Zulkarnain,2009).
Komposisi unsur penyusun media yang digunakan untuk kultur
jaringan bervariasi tergantung dari jenis tanaman, jenis eksplan, sumber
eksplan dan tujuan kultur. Meskipun demikian komposisi media yang
banyak digunakan untuk kebanyakan tanaman yaitu media MS
(Murashige Skoog) dengan berbagai modifikasi komposisi dan
kombinasinya (Abbas, 2011). Adapula penggunaan media dari bahan-
bahan alami yang dapat mendukung pertumbuhan eksplan dengan
komposisi zat yang dimiliki oleh bahan-bahan tersebut.
b) Eksplan
Eksplan adalah potongan/bagian jaringan yang diisolasi dari
tanaman yang digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro. Eksplan
merupakan potongan tanaman yang diisolasi untuk inisiasi kultur
jaringan. Respon masing-masing eksplan dalam kultur jaringan akan
berbeda. Kemampuan regenerasi eksplan dalam kultur jaringan sangat
dipengaruhi oleh tipe eksplan, varietas eksplan, umur tanaman induk
sumber eksplan, kondisi fisiologis, dan ukuran eksplan (Giarsiana, 2016).
Tipe eksplan merupakan faktor yang penting dalam
mengoptimalkan pelaksanaan kultur jaringan. Tipe eksplan seperti tunas
pucuk, tunas ketiak (aksilar), akar, mata tunas, daun, embrio, dan bakal
biji akan memberikan perbedaan yang signifikan pada pertumbuhan
eksplan (Jabeen dkk, 2005). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan
kandungan hormon pada masing-masing bagian eksplan (Kumar dkk,
2010). Varietas eksplan juga merupakan faktor yang penting dalam
mempengaruhi regenerasi eksplan (Kamal dkk, 2007).
Peluang keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi juga oleh umur
tanaman. Semakin muda tanaman, maka akan semakin besar
keberhasilan dalam kultur jaringan. Jaringan muda (juvenile) memiliki
sel-sel yang aktif membelah dengan kecepatan pembelahan sel yang
tinggi sehingga jaringan muda merupakan bahan eksplan yang baik.
Giarsiana (2016) mengatakan respon eksplan akan menurun seiring
pertambahan umur eksplan.
Kondisi fisiologi eksplan berperan penting dalam keberhasilan
teknik kultur jaringan. Pada umumnya bagian vegetatif lebih siap
beregenerasi daripada bagian generatif. Kondisi fisiologis dari suatu
tanaman bervariasi secara alami, sejalan dengan pertumbuhan tanaman
yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaturan lingkungan tanaman
yang bersih dan higienis, dengan pengubahan status fisiologi tanaman
induk seperti memanipulasi cahaya, suhu, suplai air, suplai hara dan zat
pengatur tumbuh akan mempengaruhi fisiologi eksplan (Zulkarnain,
2009).
Ukuran eksplan menentukan laju kehidupan bahan eksplan.
Eksplan yang berukuran kecil, lebih mudah disterilisasi sehingga akan
memperkecil peluang kontaminasi baik secara internal maupun eksternal,
namun kemampuan beregenerasi juga kecil sehingga diperlukan media
kompleks dalam pertumbuhannya. Semakin besar ukuran eksplan maka
akan semakin besar kemampuan beregenerasi, namun peluang untuk
kontaminasi juga semakin besar (Zulkarnain, 2009).
c) Unsur hara
Kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal eksplan yang dikultur
secara in vitro bervariasi diantara setiap spesies tanaman. Bagian
tanaman dari jaringan yang berbeda diperlukan komposisi nutrien yang
berbeda untuk dapat tumbuh dengan baik. Komposisi nutrien tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Senyawa Organik
Senyawa organik adalah sumber nitrogen karena pada
umumnya tanaman yang dikultur secara in vitro mampu menyintesis
vitamin meskipun jumlahnya tidak mencapai optimal. Penggunaan
medium cair pada tempat kultur yang statis dalam kultur jaringan
tanaman akan menyebabkan eksplan tenggelam dan mati karena
kekurangan oksigen. Untuk menghindari hal tersebut, media
kultur jaringan dipadatkan dengan menggunakan agar. Agar
merupakan polisakarida yang diperoleh dari rumput laut, media
yang padat dapat memudahkan dalam penanaman eksplan.
Konsentrasi agar yang umum digunakan adalah 0,8-1,0% jika
konsentrasi terlalu tinggi akan menyebabkan media terlalu padat dan
nutrien tidak dapat berdifusi dengan eksplan (Abbas, 2011).
Pemadataan media kultur banyak digunakan karena dapat
mempertahankan kultur agar tetap hidup. Meskipun demikian agar
bukan merupakan bahan nutrisi media. Penggunaan agar juga sering
menimbulkan masalah karena agar sering kali tidak murni.
Berdasarkan nutrisinya, agar mengadung unsur Ca, Mg dan unsur
lain yang dapat menyebabkan eksplan keracunan unsur tertentu
(Abbas,2011).
2. Senyawa Anorganik
Senyawa anorganik seperti unsur mineral adalah sangat
penting untuk kehidupan tanaman contohnya Mg adalah bagian dari
klorofil, Ca adalah unsur pokok dari dindingsel, N adalah bagian
yang penting dari asam amino, vitamin, protein dan asam nukleat.
Fe, Zn dan Mo merupakan bagian dari enzim tertentu. Disamping C,
H dan O terdapat 12 unsur yang esensial untuk pertumbuhan
tanaman seperti nitrogen, fosfor, sulfur, kalsium, potasium,
magnesium, besi, mangan, tembaga, seng, boron dan molibdenum.
Enam unsur dari yang pertama termasuk unsur makro dan yang
lainnya adalah unsur mikro (Gardner, 1985).
3. Hormon Pertumbuhan
Zat pengatur tumbuh (ZPT) penting ditambahkan kedalam
medium untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik. ZPT yang telah
banyak digunakan untuk kultur jaringan adalah kelompok auksin,
sitokinin dan giberelin (Abbas, 2011).
Giberelin terdiri dari banyak jenis (± 20) yang diketahui,
tetapi yang umum digunakan adalah GA3. Giberelin dilaporkan
menstimulasi pertumbuhan planlet secara normal. Faktor yang paling
bervariasi dan perlu disesuaikan dengan kebutuhan tanaman adalah
ZPT seperti auksin dan sitokinin baik dari jenisnya maupun
komposisi dan konsentrasinya (Abbas, 2011).
Sitokinin merupakan hormon yang berperan untuk
pembelahan sel, dominasi apikal dan diferensiasi tunas. Pemberian
sitokinin kedalam medium menyebabkan pembelahan sel dan
diferensiasi tunas adventif dari kalus menjadi organ. Jenis sitokinin
yang banyak digunakan pada kultur jaringan adalahBAP,2- ip dan
kinetin (Abbas, 2011).
Auksin dapat membantu dalam perpanjangan batang,
internode, tropism, apikal dorman, absisi dan perakaran. Dalam
kultur jaringan auksin digunakan untuk pembelahan sel dan
dideferensiasi akar. Jenis auksin yang banyak digunakan adalah IBA,
NAA, NOA,2,4,5-T,p- CPA dan 2,4-D (Abbas, 2011).

C. Aklimatisasi
Penyesuaian bibit dari botol kultur ke lingkungan baru di luar botol
kultur dikenal dengan nama aklimatisasi. Penyesuaian bibit dalam botol
kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu tahapan penting yang
harus dilalui dalam kultur in vitro. Menurut Pierik (1987), aklimatisasi adalah
masa adaptasi planlet dari dalam botol kultur yang bersifat heterotrof menjadi
autotrof, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro. Anggrek
merupakan salah satu contoh penerapan kultur jaringan yang dilakukan
berkelanjutan. Aklimatisasi anggrek sering dilakukan namun terkendala
masalah yang terjadi karena beberapa faktor (Dwiati, 2014) di antaranya:
1. Pada habitat aslinya tanaman anggrek bersifat epifit. Tanaman anggrek
tumbuh menempel pada batang atau ranting pohon. Oleh karena itu,
pemindahan bibit anggrek dari botol ke media pot sebenarnya telah
menempatkan bibit anggrek pada lingkungan yang kurang sesuai dengan
habitat aslinya.
2. Bibit anggrek yang dikembangkan menggunakan teknik kultur in vitro
memiliki kondisi lingkungan yang aseptik. Bibit anggrek selama berada
di dalam botol kultur mensintesis bahan organik untuk kebutuhan
pertumbuhannya berasal dari bahan anorganik yang tersedia di dalam
media tumbuh. Oleh karena itu, apabila bibit anggrek dipindahkan dari
botol kultur ke luar botol kultur yakni di dalam pot, maka bibit anggrek
dipaksa untuk dapat mensintesis sendiri bahan organiknya yang berasal
dari bahan anorganik di dalam pot.
3. Karena ada perbedaan faktor lingkungan yang terdapat di antara habitat
asli anggrek dan habitat pot atau antara habitat di dalam botol kultur
dengan habitat pot, maka bibit anggrek yang ditumbuhkan di dalam pot
memerlukan proses penyesuaian. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan
menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi bibit
anggrek selama berada di luar botol kultur.

D. Penyilangan
Persilangan artinya mengawinkan dua jenis tanaman yang berlainan.
Tujuan persilangan ialah untuk mengumpulkan dua sifat yang baik dari kedua
jenis tanaman induk untuk memperoleh kombinasi sifat yang diinginkan
(Henuhili, 2012).
Pada tanaman anggrek bunganya mempunyai struktur yang khusus,
sehingga penyerbukan sendiri (selfing) tidak mungkin dilakukan.
Penyerbukan dapat terjadi karena bantuan serangga atau manusia. Sifat ini
menyebabkan timbulnya keinginan manusia untuk mencoba menyilangkan
tanaman anggrek dengan lainnya. Persilangan pada anggrek menyebabkan
timbulnya banyak sekali hibrida dengan bunga yang mempunyai corak, warna
dan bentuk yang sangat beragam (Henuhili, 2012).
Untuk melakukan persilangan sebaiknya dipilih bunga betina yang
sudah mekar 4 hari. Pemilhan induk harus mengenal sifat dominan resesif
masing-masing tanaman. Persilangan dapat dilakukan antara bunga itu
sendiri, untuk menghasilkan tanaman homozigot. Penyerbukan pada anggrek
sangat mudah, yaitu dengan jalan memindahkan pollinia atau pollinaria ke
dalam stigma bunga anggrek yang telah masak (Henuhili, 2012). Cara
menyilangkan ada 2 cara menurut Henuhili (2012), yaitu :
1. Pollinaria yang mempunyai perekat, disentuh dengan menggunakan
tusuk gigi atau jarum preparat supaya menempel pada tusuk gigi/jarum
preparat, setelah itu pollinaria diletakkan pada stigma.
2. Pollinia yang tidak mempunyai perekat, disentuh dengan tusuk
gigi/jarum preparat dijatuhkan pada kertas yang sudah disiapkan. Tusuk
gigi kemudian dimasukkan ke dalam lubang stigma supaya ujungnya
terkena lendir. Dengan lendir pada ujung tusuk gigi pollinia dapat
diambil, dibawa dan diletakkan pada stigma.
Untuk menghindari terjadinya gangguan oleh serangga yang mungkin
membawa pollinia ke stigma yang sudah diserbuki lebih dahulu, bunga yang
sudah disilangkan ditutup plastik transparan, diberi kode nama kedua induk
jantan dan betina dan tanggal penyerbukan dilakukan.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Praktikum kultur jaringan tumbuhan dimulai dengan aklimatisasi
planlet pada hari Rabu, 6 Maret 2019 dilanjutkan dengan penyilangan
anggrek pada hari Senin, 25 Maret 2019. Pengamatan aklimatisasi dan
penyilangan anggrekdilakukan setiap hari hingga tanggal 9 April 2019.
Praktikum dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung C9 Jurusan
Biologi FMIPA Unesa.

B. Alat dan Bahan


1) Aklimatisasi Planlet
Alat :
- Nampan plastik
- Pinset, pengaduk kawat/kaca
- Pot komunitas, diameter 20 cm
- Baskom
Bahan :
- Bibit anggrek/planlet
- Arang, sabut kelapa
- Moss
- Fungisida
- Kertas label
- Kantung plastik gula
2) Penyilangan Anggrek
Alat :
- Tusuk gigi
- Pinset
- Kawat
- Pensil
Bahan :
- Tanaman anggrek yang berbunga 2 jenis
- Kertas label

C. Langkah Kerja
1) Aklimatisasi Planlet
a) Bahan dan alat yang akan digunakan seperti arang yang telah
dihancurkan kecil-kecil serabut kelapa yang telah disisir dan pot
direndam dalam larutan fungisida (2 sendok dalam 1 liter air) selama
± 2 jam dan diletakkan pada nampan.
b) Planlet yang ada di dalam botol kultur dikeluarkan dengan cara
memasukkan air dan mengguncang perlahan sehingga planlet terpisah
dari agar, dengan menggunakan kawat yang ujungnya telah
dibengkokkan mengambil planlet satu persatu pada bagian batang
sehingga daun tidak rusak, planlet dibersihkan dari medium dan daun
maupun akar yang telah rusak di dalam baskom yang berisi air.
c) Setelah planlet bersih dari kotoran planlet direndam dalam larutan
pestisida selama ± 1 jam kemudian ditiriskan di atas kertas koran.
d) Menyiapkan pot komunitas yang diisi dengan arang dan sabut kelapa.
e) Menata satu persatu planlet yang bagian bawahnya telah dibalut
dengan serabut kelapa dan ditata serapat mungkin.
f) Pot komunitas yang berisi planlet penuh ditutup menggunakan plastik
gula dengan tujuan menjaga kelembapan eksplan yang terbiasa dalam
keadaan lembab dan diaklimatisasi sehingga eksplan dapat hidup pada
lingkungan biasa.
g) Lakukan perawatan, penyiraman dan pengamatan dan hitung berapa
persen keberhasilan aklimatisasi yang dilakukan.
2) Penyilangan Anggek
a) Bunga anggek yang sudah mekar selama ± 4 hari, diambil serbuk
sarinya dengan menggunakan tusuk gigi atau pinset, kemudian serbuk
sarinya diletakkan di putik.
b) Proses penyilangan ini dapat dilakukan pada tanaman sendiri, pada
anggrek yang sama jenisnya maupun pada anggrek yang berbeda
jenisnya.
c) Anggrek yang telah disilangkan diberi label dan ditulis menggunakan
pensil dan label digantung dengan kawat pada tangkai bunga,
penulisan dilakukan dengan menuliskan jenis anggrek putik berasal
kemudian tanda silang dan jenis serbuk sari berasal dan tanggal
persilangan.
d) Lakukan pengamatan terhadap bunga yang disilangkan.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Hasil dan Analisis


Tabel 1. Pengamatan Aklimatisasi Anggrek
Tanggal Pengamatan
Jumlah
06-03-2019 13-03-2019 20-03-2019 27-03-2019 03-04-2019 09-04-2019
Anggrek
4 4 4 4 4 4
yang hidup
4 4 4 4 4 4

Pada praktikum “Aklimatisasi Anggrek” didapatkan hasil bahwa planlet


anggrek tumbuh baik pada media aklimatisasi yang terdiri atas arang dan
sabut kelapa serta penambahan mos pada ‘community pot’ atau kompot
hingga pengamatan ke-6. Awal aklimatisasi, jumlah planlet sebanyak 4
planlet dan semua tumbuh baik sampai pengamatan ke-6.

Tabel 2. Pengamatan Persilangan Anggrek


Tanggal Pengamatan
Hasil
25-03-2019 01-04-2019 09-04-2019
Pengamatan
Bunga Segar Bunga Layu Bunga Rontok

Pada praktikum “Penyilangan Anggrek” didapatkan hasil bahwa


penyilangan putik bunga anggrek dengan polen bunga anggrek tidak berhasil
dilakukan. Tujuan dilakukan penyilangan untuk menciptakan varietas dari
bunga anggrek yang dikehendaki. Ketidakberhasilan dari praktikum ini
ditandai dengan bunga anggrek layu pada minggu ke-2 setelah dilakukan
penyilangan. Kemudian disusul rontoknya bunga pada minggu ke-3.

B. Pembahasan
1. Aklimatisasi Anggrek
Berdasarkan hasil dan analisis data di atas diketahui bahwa arang
kayu digunakan untuk sumber karbon, antibakteri, antioksidan yang
dianalogikan sebagai media tanah untuk merangsang pembentukan dan
pertumbuhan akar serta menegakkan batang tubuh anggrek. Penambahan
mos atau pakis yang dikeringkan berfungsi untuk lebih mengikat air
sehingga mampu menjaga kelembaban air pada media pertumbuhannya
(Dwiati, 2014).
Menurut Livy Winata (2009) sabut kelapa mengandung unsur
kalsium, magnesium, kalium, nitrogen dan fosfor, unsure hara yang
terkandung didalamnya dapat membantu pertumbuhan tanaman anggrek
mulai pertumbuhan akar, pertumbuhan daun, kandungan klorofil, dan
dapat mempengaruhi level hormon.
Proses aklimatisasi dilakukan bertahap supaya bibit anggrek hasil
kultur in vitro dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan, baik suhu,
kelembaban, maupun cahaya. Menurut Pierik (1987), tanaman hasil kultur
in vitro memiliki lapisan lilin (kutikula) yang belum berkembang
sempurna, jaringan pengangkut belum berkembang sempurna, akar belum
bisa berfungsi dengan baik, stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak
menutup ketika penguapan tinggi). Keadaan ini menyebabkan pucuk-
pucuk bibit anggrek sangat peka terhadap transpirasi, serangan cendawan
dan bakteri. Saat pemindahan tanaman ke kondisi normal atau dalam
media pakis, mos atau kompos, harus dilakukan secara bertahap dan
menghindari infeksi dari fungi dan bakteri karena tanaman hasil kultur in
vitro belum bisa beradaptasi dengan patogen yang biasa ditemukan di
lingkungan luar.
Dwiati (2014) menyatakan pemberian fungisida diperlukan untuk
mencegah serangan jamur, pembersihan media secara benar juga
mengurangi resiko serangan. Penanaman dilakukan ke dalam pot
komunitas, karena pot komunitas bisa menampung setidaknya 4 bibit
anggrek.. Keberhasilan proses aklimatisasi dalam pot komunitas relatif
lebih tinggi, karena letak bibit anggrek saling berdekatan, uap air di sekitar
tanaman cukup banyak, sehingga kelembaban lebih terjaga bila
dibandingkan dengan kondisi dalam pot tunggal. Pada tahap awal
kelembaban sangat perlu dijaga, pemberian hara tambahan dapat dilakukan
menggunakan air dan pupuk daun dengan cara disemprotkan.
Jumlah planlet dalam satu pot komunitas sebanyak 4 planlet dan
tidak ada planlet yang mengalami browning atau layu. Hal ini dikarenakan
intensitas penyemprotan air untuk kelembaban air dan penyinaran sinar
matahari yang cukup untuk fotosintesis membuat planlet tumbuh dengan
baik.

2. Penyilangan Anggrek
Berdasarkan hasil dan analisis data di atas diketahui bahwa
ketidakberhasilan dari penyilangan anggrek dikarenakan dalam
penyilangan satu tangkai bunga yang berisi 8 kuntum dilakukan
penyilangan sebanyak 6 kuntum sekaligus. Penyilangan anggrek pada
umunya dilakukan maksimal hanya 3-4 kuntum dalam satu tangkai apabila
jumlahnya sekitar 8-10 kuntum. Penyilangan hanya dapat dilakukan 50-
60% dari tiap perbungaan untuk mencegah kehabisan sumber makanan
bagi tanaman sebagai konsekuensi terjadi aborsi buah anggrek (Melendez-
Ackerman, et al., 2000)
Keberhasilan penyerbukan pada anggrek menurut Henuhili (2012)
tergantung pada
1. Pertumbuhan tanaman induk jantan maupun tanaman induk betina yang
sehat akan menghasilkan gamet yang sehat juga.
2. Penyimpanan pollinia/pollinaria yang terlalu lama akan menyebabkan
kegagalan penyerbukan.
3. Anggrek yang berpollinia sebaiknya dikawinkan dengan yang
berpollinia juga, demikian juga yang berpollinaria dengan yang
berpollinaria.
4. Bunga anggrek yang gynosteniumnya panjang sebaiknya dipakai untuk
induk jantan, yang pendek untuk induk betina.
5. Pada musim hujan, bunga yang sudah dikawinkan sebaiknya
diselubungi dengan plastik transparan.
6. Temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah menyebabkan
kegagalan penyerbukan.
7. Penyerbukan sebaiknya dilakukan pada siang bila cuaca agak kering.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan data yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa :
- Pada teknik aklimatisasi anggrek, didapatkan hasil yaitu pada
pengamatan ke-6 tidak ada planlet yang layu dari empat planlet
yang ada didalam pot komunitas. Hal ini dikarenakan intensitas
penyemprotan air untuk kelembaban air dan penyinaran sinar
matahari yang cukup untuk fotosintesis membuat planlet tumbuh
dengan baik.
- Pada teknik penyilangan anggrek, terjadi ketidakberhasilan
dalam penyilangan dimana pada pengamatan ke-1 bunga masih
segar, pada pengamatan ke-2 bunga layu, dan pada pengamatan
ke-3 bunga rontok
-
B. Saran
Praktikan harus lebih berhati-hati dalam melakukan penyilangan,
selain temperatur hal lain yang perlu diperhatikan yaitu banyaknya jumlah
kuntum yang disilangkan. Dalam penyilangan satu tangkai bunga yang
berisi 8 kuntum dilakukan penyilangan sebanyak 6 kuntum sekaligus.
Penyilangan anggrek pada umunya dilakukan maksimal hanya 3-4 kuntum
dalam satu tangkai apabila jumlahnya sekitar 8-10 kuntum.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas,B. 2011.Prinsip Dasar Teknik Kultur Jaringan.Bandung:Alfabeta.


Armini, A.N. M., Wattimena dan L.W. Gunawan, 1992. Perbanyakan Tanaman
Bioteknologi Tanaman Laboratorium Kultur Jaringan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor.
Cahyo H. 2009. Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium Sp. di
Pembudidayaan Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Skripsi. Surakarta :
Fakultas Pertanian UNS.
Darmono, D.W. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta: Penebar
Swadaya. dalam Gunawan, Iwan. 2007. Perlakuan Sterilisasi Eksplan
Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum Beccarii Rchb.F) dalam Kultur In
Vitro. Skripsi, IPB.
Dwiati. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Income Smoothing. Tesis.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Gardner,F.P. 1985. PhysiologyofCrop Plants.TheLowaStateUniversityPress.
Giarsiana Handoyowati. 2016. Ketahanan Kultur Kencur. Agroteknologi F.
Pertanian.
Livy Winata. 2009. Budidaya Anggrek. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Kultur Jaringan (Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Media). Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Henuhili, V. 2012. Kultur Jaringan Tumbuhan. Petunjuk Praktikum FMIPA UNY.
Yogyakarta.
Jabeen, M., Bano, Z., Rahim dan Ilahi. I. 2005. Callus Inductions and
Regeneration In Seed Explants Of Rice (Oryza sativa cv SWAT-II).
Journal Botany Pakistan. (5) : 829-836.
Kamal, D. M., A. H. Tambunan, S. T. Soekarto, Radite Praeko A. S. 2007.
Pengaruh Suhu Media Pembeku Terhadap Efisiensi Eksergi dan Laju
Pembekuan. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 21 : 145-156.
Kumar, O.A., Tata, S.S., and Rupavati, T. 2010. In Vitro Induction of
Callusogenesis in Chili Peppers (Capsicum annuum L.). International
Journal of Current Research. 3:42-45.
Melendez-Ackermann, J.L., Thomas, P.M.and Camilla Tulloch, J.F.
Contemporary orthodontics.St. Louis, Toronto, London: The C.V. Mosby
Co; 2000. p. 4, 9, 43-6, 47-9.
Nursyamsi. 2010. Teknik Kultur Jaringan sebagai Alternatif Perbanyakan
Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Lahan. Prosiding Ekspose 2010.
Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Wageningen: Martinus
Nijhoff Publishers.
Sriyanti, D.P. & Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:
Yayasan Kansius. hal.18-83.
Sugiyama, M. 1999. Organogenesis In Vitro.Current Opinion in Plant
Biology2:61-64.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Jakarta: Agro Media Pustaka.
Zulkarnain, H. 2009.KulturJaringan Tanaman. Jakarta: BumiAksara.

Anda mungkin juga menyukai