Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“SKIZOFREN”

DISUSUN OLEH :

NURISKI

RINI A

PRIYANTI M

NURUL ISMI TJENE

SUCI GITA ASTRIYANI

SHAFARINA

HIJRHWATI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Palu, Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………….

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….


1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………….
1.3 Tujuan masalah……………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………..

II.I defines skizofren………………………………………………………………


II.2 Epidemiologi skizofren……………………………………………………….
II.3 Etiologi skizofren………………………………………………………………
11.4 Patofisiologi skizofren………………………………………………………..
11.5 Faktor resiko skizofren………………………………………………………
11.6 Klasifikasi skizofren………………………………………………………….
11.7 Patogenesis……………………………………………………………………
11.8 Tanda/Gejala dan diagnose…………………………………………………..
11.9 Pronosis-Monitoring………………………………………………………….
11.10 Tata laksana
1. terapi farmakologi (sertakan algoritma)………………………………..
2. Terapi non farmakologi…………………………………………………
11.11 Pembahasan Kasus…………………………………………………………
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………..

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Gangguan iniditandai


dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi,halusinasi, gangguan
kognitif, dan persepsi, dan gejala-gejala lainnya. Gejalaskizofrenia ini akan menyebabkan
pasien skizofrenia mengalami penurunanfungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani
hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain.

Prevelensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 persen dan biasanya timbul
pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang berusialebih dini. Skizofrenia adalah
gangguan mental yang cukup luas dialami diIndonesia, dimana sekitar 99 %( pasien rumah
sakit ji)a di Indonesia adalah penderita Skizofrenia. Skizofrenia ini tidak hanya menimbulkan
penderitaan bagi penderitanya, tetapi juga bagi orang-orang terdekatnya.biasanya
keluargalahyang terkena dampak hadirnya Skizofrenia di keluarga mereka. Sehingga
pengetahuan tentang skizofrenia dan pengenalan tentang gejala-gejala munculnyaskiofrenia
oleh keluarga dan lingkungan sosialnya akan sangat membantu dalam pemberian penanganan
pasien penderita skizofrenia lebih dini sehingga akanmencegah berkembangnya gangguan
mental yang sangat berat ini.
B. Rumusan Masalah

I. Bagaimana defines skizofren ?


2.Bagaimana Epidemiologi skizofren?
3.Bagaimana Etiologi skizofren ?
4.Bagaimana Patofisiologi skizofren ?
5.Bagaimana Faktor resiko skizofren ?
6.Bagaimana Klasifikasi skizofren ?
7.BagaimanaPatogenesis ?
8.Bagaimana Tanda/Gejala dan diagnose ?
9.Bagaimana Pronosis-Monitoring ?
10. Bagaimana Tata laksana ?
1. terapi farmakologi (sertakan algoritma)
2. Terapi non farmakologi
11. Bagaimana pembahasan kasus ?

C. Tujuan Masalah

I. Mengetahui defines skizofren


2.MengetahuiEpidemiologi skizofren
3.Mengetahui Etiologi skizofren
4.Mengetahui Patofisiologi skizofren
5.Mengetahui Faktor resiko skizofren
6.Mengetahui Klasifikasi skizofren
7.Mengetahui Patogenesis
8.Mengetahui Tanda/Gejala dan diagnose
9.Mengetahui Pronosis-Monitoring
10. Mengetahui Tata laksana
1. terapi farmakologi (sertakan algoritma)
2. Terapi non farmakologi
11. Mengetahui pembahasan kasus
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisis Skizofren
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku.Pemikiran penderita skizofrenia seringkali tidak
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian keliru, efek yang datar atau tidak
sesuai, dan memiliki gangguan pada aktivitas motorik yang bizzare (Davidson, 2006).
World Health Organization (WHO) menyebutkan 7 dari 1000 populasi penduduk
dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 – 35 tahun, merupakan penderita
skizofrenia. Hal ini berarti 24 juta penduduk dunia adalah penderita skizofrenia.
Sedangkan jumlah penderita skizofrenia di Indonesia telah mencapai 2,5 persen dari
total penduduk (Sigit, 2001). Di Indonesia, 80 persen penderita gangguan mental
skizofrenia tidak diobati. Sebagian penderita gangguan ini menjadi tidak produktif,
bahkan ditelantarkan sebagai psikotik yang berkeliaran di jalan-jalan. Psikolog Tjipto
Susana (Anna, 2011) menyatakan berdasarkan survei Kementrian Sosial tahun 2008,
penderita skizofrenia di Indonesia ada 650.000 orang dan sekitar 30.000 orang
dipasung dengan alasan agar tidak membahayakan orang lain atau menutupi aib
keluarga.

B.Epidemiologi skizofren
Menurut WHO jika 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa
maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa.Satu dari
empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar
450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan
mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa.
Salah satu gangguan jiwa Psikosa Fungsional yang terbanyak adalah
Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka 10prevalensi
Skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2% hingga 2,0% tergantung di daerah atau
negara mana studi itu dilakukan. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun
sekitar 0,01% (Lesmanawati, 2012). Data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi
pasien gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak
adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6
per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012).Di
Indonesia sendiri, kasus klien dengan Skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan
1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25 tahun mendatang akan mencapai3/1000
penduduk (Hawari, 2001)

C.Etiologi skizofren
Etiologi terjadinya skizofrenia belum diketahui secara pasti. Diduga penyebabnya
adalah :

1)Faktor genetik, meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul
kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor epigenetik, seperti virus atau
infeksi lain selama kehamilan, menurunnya auto-immuneyang mungkin disebabkan
infeksi selama kehamilan, berbagai macam komplikasi kandungan dan kekurangan
gizi yang cukup berat (Hawari, 2006).

2)Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor serotonin, faktor


neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan neurotoksik selama kehamilan dan
kelahiran (Sadock dan Sadock, 2007).

3)Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi penyalahgunaan obat,


pendidikan yang rendah, dan status ekonomi (Carpenter, 2010).

4)Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita skizofrenia
ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan pemeriksaan dengan Ctscan (Sadock
dan Sadock, 2007).

5)Faktor psikososial dan sosiokultural (Supratiknya, 2003).

D. Patofisiologi skizofren

Patofisiologi skizofrenia adanyaketidakseimbangan neurotransmiter di otak,


terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin (Sadock, 2015).Namun, proses
patofisiologi skizofreniamasih belum diketahui secara pasti. Secara umum, penelitian-
penelitian telah menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan penurunan volume
otak, terutama bagian temporal (termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk
substansia alba dan grisea. Dari sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara
konsisten menunjukkan kelainan adalah daerah hipokampus dan parahipokampus
(Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008).

E. Faktor resiko skizofren


1. Genetik
Sejauh ini, faktor risiko skizofrenia yang paling utama adalah genetik
alias riwayat keluarga.Namun sebetulnya, tidak ada satu gen pun yang terbukti
menyebabkan skizofrenia secara langsung. Para ilmuwan menduga bahwa hal
ini lebih mungkin disebabkan oleh mutasi gen tertentu.

Karena itulah, seseorang dapat mengalami skizofrenia meskipun tidak


ada satupun anggota keluarga yang pernah atau sedang mengidap
skizofrenia.Begitu pun sebaliknya, Anda bisa saja tidak mengalami skizofrenia
meskipun ayah atau ibu Anda pernah mengidapnya.

2.Stres

Meski tidak secara langsung meningkatkan risiko skizofrenia, orang


lami stres berkepanjangan dapat mengalami gangguan mental akut. Hal ini
umumnya terjadi pada orang-orang yang mengalami trauma masa kecil,
sehingga efek halusinasinya akan terbawa sampai ia dewasa dan mengganggu
kesehatan mentalnya.

Kebanyakan pengidap skizofrenia mengalami trauma karena kehidupan


masa kecilnya penuh dengan kekerasan alias abusive.Mereka sering kali tidak
mendapatkan dukungan untuk keluar dari masalahnya sehingga lama-lama
menjadi stres dan penuh tekanan.Akibatnya, risiko skizofrenia cenderung sulit
dihindari.
Walau begitu, tidak sedikit pula pengidap skizofrenia yang berasal dari
kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh dukungan.Jadi, tidak tepat
rasanya untuk mengatakan bahwa kondisi rumah yang penuh kekerasan sudah
pasti meningkatkan faktor risiko skizofrenia.

Yang perlu diingat, semakin tinggi tingkat stres seseorang, maka


semakin tinggi pula risiko seseorang mengalami gangguan mental, tak
terkecuali skizofrenia.

3. Perbedaan struktur otak

Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang menderita skizofrenia


memiliki struktur otak yang berbeda sejak lahir. Dilansir dari National Institute
of Mental Health (NIMH), para ahli mengungkapkan bahwa ada
ketidakseimbangan antara kadar dopamin dan glutamat, dua senyawa kimia
atau neurotransmitter, pada otak penderita skizofrenia.

Selain terbawa sejak lahir, perkembangan otak yang terjadi selama


masa pubertas juga dapat memicu gejala psikotik yang mengarah pada
skizofrenia. Apalagi bila salah satu keluarga Anda memiliki riwayat
skizofrenia, maka Anda semakin berisiko tinggi mengalami gangguan mental
yang sama.

F. Klasifikasi skizofrenia

1.Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala
utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terjadi.

Jenis ini timbul secara perlahan.Pada permulaan mungkin penderita kurang


memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia
semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi
pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin
akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2004).

2. Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2004)
permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara
15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini.Waham dan halusinasi
banyak sekali.

3. Skizofrenia Katatonik
Menurut Maramis (2004), skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau
stupor katatonik.

4. Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia
dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia
simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia.Tidak demikian halnya
dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2004).

5.Episode Skizofrenia Akut


Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut.Dalam keadaan ini timbul perasaan
seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah.Semuanya seakan-akan
mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari
enam bulan penderita sudah baik.Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut
tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya,
(Maramis, 2004).
6. Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala
primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan
ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia, (Maramis, 2004).

7.Skizofrenia Skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat
menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala
mania.Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin
juga timbul lagi serangan (Maramis, 2004).

G.Patogenesis skizofren

1) Peran dopamin Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh


terlalu banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin,
dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur
mesolimbik dan mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur
mesolimbik bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya
aktivitas dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan
afektif. Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang mempunyai mekanisme kerja
dan fungsi masing-masing, yaitu :
a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal ganglia.
b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke sistem limbik
c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke frontal cortex
d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari. Hipotesis dopamin
inilah yang menyebabkan sebelum tahun 1990an, pengembangan obat antipsikotik
difokuskan secara eksklusif pada agen dengan aktivitas utama yang berlokasi pada
reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat antipsikotik tipikal, yang merupakan antagonis
reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat mengurangi gejala-gejala
positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga berkaitan dengan efek samping
neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala ekstrapiramidal. Selain itu agen ini
memiliki keterbatasan untuk gejala negatif dan kognitif .
2) Peran serotonin Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan
aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang
mendukung peran potensial serotonin dalam memperantarai efek antipsikotik obat
datang dari interaksi anatomi dan fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi
dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari dorsal dan median
raphe nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel dopaminergik dalam Ventral
Tegmental Universitas Sumatera Utara Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari
otak tengah. Saraf serotonergik dilaporkan berujung langsung pada sel-sel
dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di
jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A. Secara umum, penurunan
aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan aktivitas dopamin. Interaksi antara
serotonin dan dopamin, khususnya reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme
obat psikotik atipikal dan rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5- HT1A juga meningkatkan fungsi
dopaminergik (Ereshefsky., 1999). 3) Peranan glutamat Disfungsi sistem
glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis reseptor N-metil-D-
Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada orang sehat
menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif yang
terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai baik gejala negatif
dan positif serta defisit kognitif skizofrenia.

H. Tanda/Gejala dan diagnose

 Halusinasi: mendengar atau melihat hal-hal imajiner yang dalam kenyataan tidak
ada
 Delusi: keyakinan liar yang palsu
 Paranoia: takut bahwa orang lain sedang merencanakan melawan atau hendak
menyakiti Anda
 Gejala kognitif Skizofrenia: gejala ini sangat menegangkan dan mengganggu
kemampuan untuk menjalani hidup normal. Seseorang dengan skizofrenia akan
terganggu dari segi pengambilan keputusan, tindakan sehari-hari (misal suka jalan-
jalan sambil telanjang, suka keluyuran tanpa tujuan, suka menyiram tubuhnya
dengan air, dan sebagainya)

Beberapa tanda-tanda, seperti kurangnya kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari dan


penarikan dari kegiatan sosial, dapat menyerupai depresi.
Diagnosis Skizofrenia :

Tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk menemukan skizofrenia, sehingga dokter


biasanya mendasarkan diagnosa pada riwayat dan gejala seseorang. Dokter pertama
akan menyingkirkan penyebab medis lainnya. Dalam remaja, kombinasi sejarah
keluarga dan perilaku tertentu dapat membantu memprediksi skizofrenia awal.
Perilaku ini termasuk menarik diri dari kelompok sosial dan mengekspresikan
kecurigaan yang tidak biasa, tapi itu tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
Mendiagnosis skizofrenia didasarkan pada mengamati pola tindakan pasien. Tapi
dokter menggunakan tes tertentu untuk memastikan tidak ada penyakit fisik lain yang
mendasari. Psikiater dan psikolog menggunakan teknik khusus untuk mendiagnosa
penyakit mental seperti skizofrenia. Untuk mendiagnosa skizofrenia, pertama dokter
akan menyingkirkan penyakit medis yang mungkin bisa menyebabkan perubahan
perilaku. Setelah penyebab medis tidak ditemukan, penyakit psikotik seperti
skizofrenia bisa dipertimbangkan.

I.Prognosis-Monitoring

Prognosis :
•Prognosis cukup baik jika : onset lebih lambat, pemicunya diketahui, sejarah pre-
morbid bagus, dan ada dukungan keluarga  20-30% mungkin bisa kembali normal
•Kurang lebih 20-30 % mungkin akan mengalami gejala sedang
•40 – 60% mungkin tidak akan kembali normal seumur hidupnya

Monitoring :
1. Monitoring Subyektif: gejala dari pasien, (apakah pasien masih merasa tertekan, sering
melamun, bicara sendiri, dan sering mengamuk) Obyektif : tidak ada.
2. Monitoring perawatan di rumah sakit untuk menurunkan stres pada pasien dan
membantu pasien menyusun aktivitas harian mereka dalam terapinya
3. Monitoring penggunaan obat antipsikotik atipikal pada pasien, untuk melihat
perkembangan terapi farmakologi yang diberikan berupa efek samping yang terjadi
4. Monitoring gejala dan pengobatan : monitoring yang hati-hati dapat meyakinkan pasien
untuk minum dan mengidentifikasi secara dini tanda-tanda timbulnya relaps sehingga
pencegahan dapat dilakukan.
J. Bagaimana Tata laksana
Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang
terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik
sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok
bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan
terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3
kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer
atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine)
a. Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional.
Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping
yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
· Haldol (haloperidol) 5. Stelazine ( trifluoperazine)
· Mellaril (thioridazine) 6. Thorazine ( chlorpromazine)
· Navane (thiothixene) 7. Trilafon (perphenazine)
· Prolixin (fluphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic.
Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien
yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik
konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan
untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional.Kedua, bila pasien mengalami
kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka
waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot
formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di
dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan.Sistem depot formulation ini tidak
dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
b. Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya
berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia,
antara lain :
· Risperdal (risperidone)
· Seroquel (quetiapine)
· Zyprexa (olanzopine)
c. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang
pertama. Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil)
dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek
samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%),
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan
infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel
darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
b. Psikoterapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat


diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan di
mana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali
pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan
catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita


sebelum sakit (Pramorbid), adapun macam psikoterapi adalah sebagai berikut :

1) Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan


motivasi agar penderita tidak putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.

2) Psikoterapi Re-edukatif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang


maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu.

3) Psikoterapi Re-konstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-


konstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi pribadi utuh
seperti semula sebelum sakit.

4) Psikoterapi Kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif


(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-
nilai moral etika, mana yang baik dan buruk.

5) Psikoterapi Psiko-dinamik, dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan


proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya
untuk mencari jalan keluarnya.

6) Psikoterapi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang


terganggu (maladatif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).

7) Psikoterapi keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan


keluarganya.

c. Terapi Psikososial

Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi


dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri
tidak tergantung pada orang lain, sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat.
d. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita Skizofrenia dimaksudkan


gejala patologis dengan pola sentral keagamaan dapat diluruskan, dengan demikian
keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali di jalan yang benar
K.Pembahasan Khusus
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Gangguan
iniditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau,
delusi,halusinasi, gangguan kognitif, dan persepsi, dan gejala-gejala lainnya.
Prevelensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 persen dan biasanya
timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang berusialebih dini.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami diIndonesia, dimana
sekitar 99 %( pasien rumah sakit ji)a di Indonesia adalah penderita Skizofrenia.
Skizofrenia ini tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi penderitanya, tetapi juga
bagi orang-orang terdekatnya.biasanya keluargalahyang terkena dampak hadirnya
Skizofrenia di keluarga mereka. Sehingga pengetahuan tentang skizofrenia dan
pengenalan tentang gejala-gejala munculnyaskiofrenia oleh keluarga dan lingkungan
sosialnya akan sangat membantu dalam pemberian penanganan pasien penderita
skizofrenia lebih dini sehingga akanmencegah berkembangnya gangguan mental yang
sangat berat ini.
Menurut WHO jika 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa
maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa.Satu dari
empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar
450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan
mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa.
Salah satu gangguan jiwa Psikosa Fungsional yang terbanyak adalah
Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka 10prevalensi
Skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2% hingga 2,0% tergantung di daerah atau
negara mana studi itu dilakukan. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun
sekitar 0,01% (Lesmanawati, 2012). Data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi
pasien gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak
adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6
per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012).Di
Indonesia sendiri, kasus klien dengan Skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan
1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25 tahun mendatang akan mencapai3/1000
penduduk (Hawari, 2001)
BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
A. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku. Pemikiran penderita skizofrenia seringkali
tidak berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian keliru, efek yang datar atau
tidak sesuai, dan memiliki gangguan pada aktivitas motorik yang bizzare
(Davidson, 2006).
B. Patofisiologi skizofrenia adanyaketidakseimbangan neurotransmiter di otak,
terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin (Sadock, 2015). Namun, proses
patofisiologi skizofreniamasih belum diketahui secara pasti. Secara umum,
penelitian-penelitian telah menemukan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan
penurunan volume otak, terutama bagian temporal (termasuk mediotemporal),
bagian frontal, termasuk substansia alba dan grisea
DAFTAR PUSTAKA
Arif, I.S., 2006, Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien, Bandung

Dipiro.JT., 2006, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York

Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2. Surabaya.


Airlangga University Press

Anda mungkin juga menyukai