Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun
ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas
aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu sendiri
terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sangat tidak menutup
kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni.

Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang
terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum.
Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan
kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan
solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada
aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.

Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-
Quran yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islamsangat jelas sekali
menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang jujur
dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan
sedekah kepada mereka yang kurang beruntung.

Dalam perbankan syariah kita telah mengenal bahwa didalamnya tidak memakai
prinsip bunga melainkan prinsip bagi hasil, yang mana prinsip bagi hasil dalam perbankan
syariah ini dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu; al-musyarakah, al-mudharabah, al-
muzara’ah dan al-musaqah. Didalam makalah ini akan dijelaskan tentang akad mudharabah.

Bank syariah juga mengadakan pembiayaan dalam bentuk jual beli, berbeda dengan
bank konvensional yang tidak ada transaksi jual beli, didalam bank syariah ada 3 macam,
yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-istisna dan bai’ as-salam.

Mudharabah merupakan satu pembahasan yang banyak diungkap dalam kitab-kitab fiqh
klasik. Dewasa ini, wacana tentang Mudharabah menjadi semakin mencuat seiring
perkembangan perbankan syari’ah. Dalam lembaga perbankan syari’ah itu, Mudharabah
menjadi salah satu kunci penting dalam kajian-kajian lebih komprehensif mengenai
perbankan syari’ah. Apa yang dikenal dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif sistem
bunga dalam perbankan konvensional, sejatinya, dari term Mudharabah ini.

Semua rasanya sepakat bahwa Mudharabah mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan


dan perwujudan prinsip keadilan dalam sebuah usaha ekonomi. Heterogenitas tingkat
kemakmuran hidup manusia bagian dari realitas kehidupan yang tak terbantahkan sepanjang
masa. Mudharabah ada untuk memberikan kesempatan agar heterogenitas itu tidak terlampau
curam menghubungkan golongan kaya dengan masyarakat miskin. Namun, eksistensinya

1
dalam dunia modern belum menampakan kontribusi yang signifikan. Perbankan syari’ah
sebagai penopang Mudharabah tidak dapat berbuat banyak untuk memberdayakannya. Ada
apa dengan Mudharabah Dan mengapa dengan perbankan syari’ah dalam prakteknya.

Bahasa arab merupakan bahasa suci al-Qur’an Arab adalah salah satu bahasa tertua di
dunia. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang awal mula munculnya bahasa Arab.
Teori pertama menyebutkan bahwa manusia pertama yang melafalkan bahasa Arab adalah
Nabi Adam’alaihissalâm. Analisa yang digunakan Nabi Adam alaihissalam (sebelum turun
ke bumi) adalah penduduk surga, dan dalam suatu riwayat dikatakan bahwa bahasa penduduk
surga adalah bahasa Arab, maka secara otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi
Adamalaihissalam adalah bahasa Arab dan tentunya anak-anak keturunan Nabi
Adam alaihissalam pun menggunakan bahasa Arab. Itulah salah satu sebab bahasa arab
menjadi bahasa suci al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Mudharabah ?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Mudharabah ?
3. Bagaimana jika Mudharabah itu batal dilakukan ?

C. Tujuan Masalah
Makalah ini dibuat dengan tujuan selain memenuhi tugas kuliah dan dengan tujuan agar
Mahasiswa mengetahui apa itu Mudharabah, Rukun dan Syarat Mudharabah serta
Pembatalan Mudharabah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mudharabah
Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ‫ ) ضرب‬yang berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah, karena pekerja
(mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk menjalankan bisnis. Sedangkan
perjalanan dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (‫[)ِ ضرب ِفي أاْل َ أرض‬1].
ِ Allah SWT
berfirman :
”Dan mereka yang lain berjalan diatas bumi untuk menuntut karunia Allah SWT.” (Al-
Muzammil : 20)

Dalam bahasa Iraq (penduduk Iraq) menamakannya mudharabah, sedangkan penduduk


Hijaz menyebutnya qiradh.[2] Qiradh berasal dari kata al-qardhu, yang berarti al-qath’u
(potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungannya.

Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah. Di dalam Al-Quran, kata
mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan istilah mudharabah. Al-Quran hanya
menyebutkannya secara musytaq dari kata dharaba yang terdapat sebanyak 58 kali.

Beberapa ulama memberikan pengertian mudharabah atau qiradh sebagai berikut:


Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau
sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik
harta dan pihak lain pemilik jasa”.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah: ”Akad perwakilan, di mana pemilik
harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas dan perak)”.

Imam Hanabilah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ”Ibarat pemilik harta


menyerahakan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian
dari keuntungan yang diketahui”.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ” Akad yang menentukan


seseorang menyerahakan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan”.
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:
“Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarhakan dan keuntungan bersama-
sama.”

3
Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa
Mudharabah ialah: “Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalmnya
diterima penggantian.”

Sayyid Sabiq berpendapat, Mudharabah ialah “akad antara dua belah pihak untuk salah
satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan
dibagi dua sesuai dengan perjanjian”.
Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah ”Akad keuangan untuk dikelola
dikerjakan dengan perdagangan.”

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah pemilik modal
(shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola modal (mudharib), dengan
syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai
dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan
ditanggung shahibul maal.

Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.

Secara terminologi, merujuk Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan


Mudharabah (Qiradh), mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang
pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha
dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam literatur
lain, Mudharabah adalah Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan
sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/diusahakan.
Laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.

B. Landasan Hukum
Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam islam berdasarkan Al-
Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.[3]
1. Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain :
”Dan mereka yang lain berjalan diatas bumi untuk menuntut karunia Allah
SWT.” (QS. Al-Muzammil : 20)
“Apabila telah ditunaikan sholat, bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah
karunia Allah SWT.” (QS. Al-Jumu’ah : 10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu”(QS. Al-Baqarah : 198)
2. As-Sunah
Di antara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW. Bersabda yang artinya :

4
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan,
melakukan qiradh (memberi modal pada orang lain), dan yang mencampurkan gandum
dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)
3. Ijma’
Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jamaah
dari sahabat yang menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut
tidak ditentang oleh sahabat lainnya.[4]
4. Qiyas
Mudharabah di qiyaskan Al-Musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun).
Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada juga yang kaya. Di satu sisi, banyak orang
kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang
mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan
antara lain untuk memenuhi kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka.

C. Rukun dan Syarat Mudharabah


Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah :
1. Harta atau Modal
a. Modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang, maka
barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau
sejenisnya).
b. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
c. Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya melakukan usaha.
2. Keuntungan
a. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin
dihasilkan nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas
prosentasinya.
b. Kesepakatan rasio prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam
kontrak.
c. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau
sebagian modal kepada shahib al-mal.

Sedangkan menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1. Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola
dana/pengusaha/mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh (berumur
15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki kemampuan untuk
diwakili dan mewakili.
2. Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (mal), usaha
(berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut),
keuntungan;
3. Sighat, yakni serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan
terima/ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik modal
(qabul).

5
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi enam yaitu :
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4. Maal, yaitu harta pokok atau modal.
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6. Keuntungan.

D. Sebab-sebab Batalnya Mudharabah.


Mudharabah menjadi batal karena hal-hal berikut:
1. Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu syarat yang tidak
dipenuhi, sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan modalMudharabah untuk bisnis
perdagangan, maka dalam keadaan seperti ini mudharib berhak mendapatkan upah atas kerja
yang dilakukannya, karena usaha yang dilakukannya atas izin pemilik modal dan mudharib
melakukan suatu pekerjaan yang berhak untuk diberi upah. Semua laba yang dihasilkan dari
usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal. Jika terjadi kerugian maka pemilik
modal juga yang menanggungnya. Karena mudharib dalam hal ini berkedudukan sebagai
buruh dan tidak dapat dibebani kerugian kecuali karena kecerobohannya.
2. Pengelola atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam
memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Jika
seperti itu dan terjadi kerugian maka, pengelola berkewajiban untuk menjamin modal karena
penyebab dari kerugian tersebut.
3. Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah akan menjadi
batal.[6] Jika pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan
modal kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan kepada
ahli warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang wafat itu pengelola
usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu kepada ahli warisnya dengan tetap
membagi keuntungan yang dihasilkan berdasarkan prosentase jumlah yang sudah disepakati.
Jika Mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh (barang dagangan), maka
pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena yang demikian itu
merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan penjualan, sedangkan pemilik
modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa menjualnya, karena si pengelola mempunyai
hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya kecuali dengan menjualnya.
Demikian menurut madzhab Asy Syafi’i dan Hambali.

E. Jenis - Jenis Mudharabah


Secara umum mudharabah terbagi kepada dua jenis: mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama
antara shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salafus
Saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al maa syi’ta (lakukan sesukamu) dari
shahib al-mal yang member kekuasaan yang sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah

6
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/
specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharibdibatasi
denganbatasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali
mencerminkan kecenderungan uymum si shahib al-mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

F. Hikmah Mudharabah
Islam mensyariatkan mudharabah dan membolehkannya sebagai kemudahan bagi
manusia. Sebagian mereka memiliki harta tetapi tidak memiliki kemampuan mengelolanya.
Di sisi lain, terdapat orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mampu mengelolanya hingga
berkembang. Karena itu, islam membolehkan transaksi ini agar setiap orang mendapatkan
manfaat dari yang lain.

Hikmah yang terkandung dalam persaingan dagang yang dikehendaki oleh syari’ Yang
Maha Bijaksana adalah dalam rangka menghilangkan hinanya kefakiran dan kemiskinan
darisi fakir, menumbunkan cinta dan kasih saying serta persatuan diantara manusia. Yaitu,
apabila seseorang mempunyai harta dan ia mendapatkan orang lain mampu untuk
mengembangkan harta itu dengan perdagangan, serta ia mempunyai keuntungan yang besar,
lalu keduanya sepakat atas hal itu. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengandung faedah
bagi si pemilik harta.

Yang pertama, pahala yang besar dari Allah SWT, karena dia telah mengangkat kehinaan,
kefakiran, dan kemiskinan dari si miskin, kalau bukan karena pertolongan dia, maka si
miskin itu akan tetap beradaa dalam kesulitan. Dan jika dia memang kaya, maka hal itu
mengandung satu faedah, yaitu saling tukar manfaat diantara mereka berdua.

Yang kedua, pengembangan harta dan pertambahan kekayaan, adapun si fakir maka telah
hilang darinya kesulitan bekerja yang akhirnya dia mampu untuk melangsungkan hidup dan
tidak menjadi beban bagi masyarakat. Hal itu juga mempunyai faedah lain yaitu menjadikan
kejujuran sebagai syiar dan kebenaran sebagai selimut yang membuat banyak orang menjadi
senang dan banyak konsumennya. Sehingga, mungkin dalam jangka waktu yang relative
singkat dia menjadi kaya, dimana sebelumnya dia fakir. Dan ini semua adalah hikmah-
hikmah yang agung dari Allah Yang Maha Bijaksana.

G. Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka,
kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga tergantung pada
keadaan.

Karena pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta,
maka pengelola modal merupakan wakilpemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, dan
kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek wakalah).

Ketika harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta tersebut berada di bawah kekuasaan
pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut berkedudukan
sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia tidak

7
wajib menggantinya. Bila kerusakan timbul karena karena kelalaian pengelola, ia wajib
menanggungnya.

Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam
pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena
bersama-sama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.

Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta pengelola mengambil
upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap sebagai
ijarah (sewa-menyewa).

Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah


disepakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang
terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab. Ghasab
adalah min al-kabair.

H. Biaya Pengelolaan Mudharabah


Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan
(daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan
mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta
(modal) tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karean mungkin saja biaya tersebut
sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.

Namun, jika pemilik modal mengijinkan pengelola untuk membelanjakan modal


mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut
sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik
berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya
cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.

I. Tindakan Pengelola Pasca Kematian Pemilik Modal


Jika pemilik modal meninggal, seketika akad mudharabah menjadi batal. Ketika
mudharabah menjadi batal, maka pengelola tidak lagi memiliki hak untuk menggunakan uang
modal. Apabial ia menggunakannya setelah ia mengetahui kematian pemilik dan tanpa seijin
para ahli warisnya, berarti ia menggunakan hak milik orang lain tanpa izin, dan ia harus
menggantinya. Kemudian, apabila tindakannya mendapatkan keuntungan, maka keuntungan
tersebut untuk kedua belah pihak.

Ibnu Taimiyah berkata, “Hukum ini yang diambil Umar bin Khaththab ra. berkenaan
dengan harta yang dipinjam oleh kedua putranya dari baitul mal dan digunakan untuk
berdagang tanpa adanya hak kepemilikan. Karena itu, Umar menjadikannya sebagai
mudharabah.

Ketika mudharabah menjadi batal dan keuntungan masih berupa barang dagangan, maka
kedua pihak bisa menjualnya atau membaginya secara langsung, karena barang tersebut
adalah hak mereka berdua.

8
Apabila pengelola setuju agar keuntungan yang berupa barang dijual, sedangkan pemilik
modal tidak setuju, maka pemilik modal harus dipaksa agar ia setuju. Ini adalah pendapat
mazhab Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.

J. Syarat Kehadiran Pemilik Modal pada Saat Pembagian Laba


Ibnu Rusyd berkata, “Seluruh ulama bersepakat bahwa pihak pengelola mudharabah tidak
boleh mengambil bagian keuntungan kecuali di hadapan pemilik modal. Mereka juga
bersepakat bahwa kehadiran pemilik modal adalah syarat pembagian keuntungan sekaligus
syarat pengelola boleh mengambil bagian keuntungannya. Dan dianggap tidak cukup
pembagian keuntungan hanya berdasarkan bukti dan lain sebagainya.”

K. Hukum - Hukum Laba (Keuntungan)


a. Syarat-syarat Keuntungan
Keuntungan dalam sistem penanaman modal (bagi hasil) ini dipersyaratkan sebagai
berikut:
Hendaknya diketahui secara jelas. Dalam transaksi ditegaskan presentase tertentu bagi
investor dan pengelola modal. Keuntungan itu juga dibagikan dengan presentase yang
sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan
sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka
itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi
keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga kerja sama itu harus diberhentikan
dalam keuntungan yang demikian kecil sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem
investasi. Dan yang lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat
presentase tertentu dari modalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini.
Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui system penanaman modal ini
dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, “Banyak kalangan ulama yang kami
kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap batal kalau salah seorang
diantara kedua belah pihak atau kedu-keduanya menetapkan presentase tertentu untuk tidak
diputar dalam usaha.
b. Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan
Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keuntungan dalam usaha berbasis
penanama modal ini yang kami ringkaskan sebagai berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesempatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung
oleh pemilik modal saja.
Pembagian keuntungan antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman
modal itu adalah berdasarkan kesempatan mereka berdua, namun hanya pemilik modal saja
yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga.
Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal,
dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memiliki kekuasaan dalam hal itu,
sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.
2. Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal
Artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali
modal yang ada, karena keuntungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi
tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keuntungan di satu sisi dan kerugian
atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu

9
dengan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan
kesepakatan.
3. Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian
Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya
keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir
masa perjanjian. Oleh sebab itu, tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil
bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan
pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak
diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini
Alasan tidak dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan
kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:
Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk
menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal.
Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak
terjaga.
Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk
mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.
4. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan
perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang
dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersifat permanen sebelum diberakhirkannya
perjanjian dan seluruh bentuk usaha disaring bersama yang ada. Adapun sebelum itu,
keuntungan yang dibagikan itu pun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi
kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa
dua macam:
Pertama, perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerja sama antara kedua belah pihak.
Kedua, perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan
aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, dimana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti
harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ‫ ) ضرب‬yang berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan
kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah, karena pekerja
(mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk menjalankan bisnis. Sedangkan
perjalanan dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (‫ضرب ِفي أاْل َ أرض‬
Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam islam berdasarkan Al-
Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.

Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah :


1. Harta atau Modal
2. Keuntungan

Rukun mudharabah menurut Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi lima yaitu :
1. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4. Maal, yaitu harta pokok atau modal.
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6. Keuntungan

Jenis-jenis Mudharabah
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama
antara shahib al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/
specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah.

Pembatalan Mudharabah
a. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
b. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.

11
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syarbini, Muhammad, Mugni Al-Muhtaj, Juz II
Syafei, Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001)
Al-Kasani, Alauddin, Bada’i As-Syana’i fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VI
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Asep Sobari, Fiqih Sunah, (Jakarta : Al-I’tishom, 2008)

[1] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, 309


[2] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001) , 223
[3] Ibid, 224
[4] Alauddin Al-Kasani, Bada’i As-Syana’i fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VI, 79
[5] Muhammad Asy-Syarbini, Juz II, 310
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Asep Sobari, Fiqih Sunah, (Jakarta : Al-I’tishom, 2008),
385

Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah Ash-Shawi. 2008. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:
Darul Haq.
Al-Jurjawi, Syaikh ‘Ali Ahmad. 2003. Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah.
Jakarta Selatan: Mustaqim.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunah. Jakarta Timur: Al-I’tishom.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai