Anda di halaman 1dari 24

PAPER ANESTESI

TETRALOGY OF FALLOT
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Anestesi Di
Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Pembimbing :
dr. M. Winardi S Lesmana Sp. An.

Disusun oleh :
Hendarti Hutami Wulandari
17360174

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ANESTESI


RSU HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobilalamin atas rahmat dan ridho dari-NYA sehingga penulis

dapat menyelesaikan paper dengan judul “Tetralogy Of Fallot”. Proses penulisan ini

dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, maka tidak lupa saya

mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. M. Winardi S Lesmana, Sp, An selaku pembimbing dalam

melaksanakan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) SMF Ilmu Kedokteran

Anastesi Rs.Umum Haji Mina Medan, Sumatera Utara.

2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan paper ini baik secara

langsung ataupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari katasempurna,

oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Medan, Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul........................................................................................... 1
Kata Pengantar .......................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................. 6
2.2 Epidemiologi ........................................................................ 7
2.3 Etiologi................................................................................. 8
2.4 Patofisiologi ......................................................................... 14
2.5 Gambaran Hemodinamik ..................................................... 15
2.6 Klasifikai .............................................................................. 16
2.7 Manifestasi Klinis ................................................................ 18
2.8 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 19
2.9 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 22
2.10 Komplikasi ........................................................................... 22
2.11 Penatalaksanaan ................................................................... 22
2.12 Prognosis .............................................................................. 22

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan ............................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di seluruh dunia penyakit jantung pada anak terus menjadi masalah kesehatan
utama pada masyarakat. Baik itu penyakit jantung bawaan maupun yang didapat.
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin. Terjadinya PJB masih belum jelas namun dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Terdapat kecenderungan timbulnya beberapa PJB dalam satu
keluarga. Pembentukan jantung janin yang lengkap terjadi pada akhir trimester
pertama potensial dapat menimbulkan gangguan jantung.
Secara garis besar PJB dibagi dalam 2 kelompok: PJB non-sianotik dan PJB
sianotik.. Empat hal paling sering ditemukan pada neonatus dengan PJB adalah
sianosis, takipnea, frekuensi jantung abnormal dan bising jantung.
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian
rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung
darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat aliran pirau dari
kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan–kaki dalah
penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat bila reduce haemoglobin
yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %.
Salah satu bentuk PJB sianotik yang paling banyak ditemukan adalah
Tetralogi Fallot. Angka kejadiannya sekitar 5-7% dari seluruh penyakit jantung
bawaan. Kelainan Tetralogi Fallot mula-mula dilaporkan pada tahun 1672, tetapi
Fallot pada tahun 1888 menguraikan sekelompok penderita dengan stenosis
pulmonal; dekstro-posisi pangkal aorta; defek septum ventrikel; hipertrofi ventrikel

4
kanan. Kecuali selama umur minggu-minggu pertama, Tetralogi Fallot merupakan
bentuk penyakit jantung utama yang menyebabkan sianosis. Sembilan persen bayi
yang ditemukan dengan penyakit jantung berat pada umur tahun pertama menderita
Tetralogi Fallot (0,196-0,258/1000 kelahiran hidup).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetralogi Fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Kelainan yang
terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang dari bagian
infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga ventrikel. Sebagai
konsekuensinya, didapatkan adanya empat kelainan anatomi sebagai berikut :
• Defek Septum Ventrikel (VSD)
Yaitu lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel. VSD pada TOF biasanya
besar dan berada pada posisi subaortik, tapi kadang meluas ke subpulmonik apabila
septum infudibulumnya tidak ada. Katup pulmonal hampir selalu terlibat dalam
obstruksi; daun katup menebal dan melekat ke dinding arteri pulmonalis.
• Stenosis pulmonal
Terjadi karena penyempitan katup pembuluh darah yang keluar dari ventrikel kanan
menuju paru, bagian otot dibawah katup juga menebal dan menimbulkan
penyempitan.
• Aorta overriding
Terjadi akibat pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri mengangkang
sekat ventrikel, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari ventrikel kanan
• Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan
Terjadi karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal.

6
.

Gambar 1. Gambaran kelainan jantung pada tetralogi Fallot

2.2 Epidemiologi

Tetralogi Fallot timbul pada 3-6 per 10.000 kelahiran dan menempati urutan
keempat penyakit jantung bawaan pada anak setelah defek septum ventrikel, defek
septum atrium dan duktus arteriosus persisten, atau lebih kurang 10-15 % dari seluruh
penyakit jantung bawaan. Diantara penyakit jantung bawaan sianotik, Tetralogi Fallot
merupakan 2/3 nya. Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan yang paling
sering ditemukan yang ditandai dengan sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke
kiri. Angka kejadian antara bayi laki-laki dan perempuan sama.

7
2.3 Etiologi

Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui secara
pasti. Diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktor–faktor tersebut
antara lain :

Faktor endogen

 Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom

 Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan

 Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus,


hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan

Faktor eksogen

 Riwayat kehamilan ibu : minum obat-obatan tanpa resep dokter,


(thalidomide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin,
jamu), saat hamil mengkonsumsi alkohol (alkoholik), menderita
diabetes.

 Ibu menderita penyakit infeksi : rubella.

 Pajanan terhadap sinar –X.

 Kelainan ini sering ditemukan pada bayi dengan kehamilan ibunya


diatas usia 40 tahun.

Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang
terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90% kasus
penyebab adalah multifaktor. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab
harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu ke delapan

8
kehamilan pembentukan jantung janin sudah selesai. Tetralogi Fallot lebih sering
ditemukan pada anak-anak yang menderita sindroma Down.

2.4 Patofisiologi

Mulai akhir minggu ketiga sampai minggu keempat kehidupan intrauterin,


trunkus arteriosus terbagi menjadi aorta dan A. Pulmonalis. Pembagian berlangsung
sedemikian, sehingga terjadi perputaran seperti spiral, dan akhirnya aorta akan
berasal dari posterolateral sedangkan pangkal A. Pulmonalis terletak antero-medial
Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang
abnormal (overriding), timbulnya infundibulum yang berlebihan pada jalan keluar
ventrikel kanan, serta terdapatnya defek septum ventrikel karena septum dari trunkus
yang gagal berpartisipasi dalam penutupan foramen interventrikel. Dengan demikian
dalam bentuknya yang klasik, akan terdapat 4 kelainan, yaitu defek septum ventrikel
yang besar, stenosis infundibular, dekstroposisi pangkal aorta dan hipertrofi ventrikel
kanan. Kelainan anatomi ini bervariasi luas, sehingga menyebabkan luasnya variasi
patofisiologi penyakit.
Secara anatomis Tetralogi Fallot terdiri dari septum ventrikel subaortik yang
besar dan stenosis pulmonal infundibular. Terdapatnya dekstroposisi aorta dan
hipertrofi ventrikel kanan adalah akibat dari kedua kelainan terdahulu. Derajat
hipertrofi ventrikel kanan yang timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal.
Overriding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah ke arah anterior
mengarah ke septum. Derajat overriding ini lebih mudah ditentukan secara
angiografis daripada waktu pembedahan atau otopsi. Klasifikasi overriding menurut
Kjellberg: (1) Tidak terdapat overriding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah
ke belakang ventrikel kiri; (2) Pada overriding 25% sumbu aorta ascenden ke arah
ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap ke ventrikel kanan;
(3) Pada overriding 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga 50% orifisium
aorta menghadap ventrikel kanan; (4) Pada overriding 75% sumbu aorta asdenden
mengarah ke depan ventrikel kanan, septum sering berbentuk konveks ke arah

9
ventrikel kiri, aorta sangat melebar, sedangkan ventrikel kanan berongga sempit.
Derajat overriding ini bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis
menentukan besarnya pirau kanan ke kiri.
Pengembalian vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan berlangsung
normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis pulmonalis,
maka darah akan dipintaskan melewati cacat septum ventrikel tersebut ke dalam
aorta. Akibatnya terjadi ketidak-jenuhan darah arteri dan sianosis menetap. Aliran
darah paru-paru, jika dibatasi hebat oleh obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, dapat
memperoleh pertambahan dari sirkulasi kolateral bronkus dan kadang dari duktus
arteriosus menetap.

2.5 Gambaran Hemodinamik

Pada, Tetralogi Fallot perubahan hemodinamik ditentukan oleh besarnya


defek septum ventrikel dan derajat penyempitan stenosis pulmonal. Pada waktu
sistole, tekanan ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama. Karena tekanan ventrikel kiri
diatur oleh baroreseptor karotis, maka tekanan ventrikel kanan tidak pernah
melampaui tekanan sistemik. Inilah sebabnya mengapa pada Tetralogi Fallot jarang
terjadi gagal jantung pada masa anak. Karena tidak terdapat beban volume tambahan
maka jantung hanya sedikit membesar.

Aliran darah paru ditentukan oleh: (1) obstruksi akibat stenosis pulmonal yang
relatif menetap, (2) tingginya tekanan ventrikel kanan yang relatif tetap pula, (3)
tahanan vaskular sistemik yang berubah-ubah.

Secara hemodinamik yang memegang peranan adalah VSD dan stenosis


pulmonal. Dan dari kedua kelainan ini yang terpenting adalah stenosis pulmonal.
Misalnya, VSD sedang kombinasi dengan stenosis pulmonal ringan, tekanan pada
ventrikel kanan masih rendah daripada tekanan pada ventrikel kiri. Shunt akan
berjalan dari kiri ke kanan. Bila anak dan jantung semakin besar karena pertumbuhan,

10
defek pada sekat ventrikel relatif lebih kecil, tetapi derajat stenosis menjadi lebih
berat, arah shunt dapat berubah. Pada suatu saat dapat terjadi tekanan ventrikel kanan
sama dengan ventrikel kiri, meskipun defek pada setum ventrikel besar, shunt tidak
ada. Tetapi bila keseimbangan ini terganggu, misalnya karena melakukan pekerjaan,
isi sekuncup bertambah, tetapi obstruksi pada ventrikel kanan tetap, tekanan pada
ventrikel kanan lebih tinggi daripada tekanan pada ventrikel kiri, shunt menjadi kanan
ke kiri dan terjadilah sianosis. Jadi gejala klinis sangat bergantung pada derajat
stenosis dan besarnya defek sekat. Sianosis sendiri tidak akan memberikan banyak
keluhan selama konsumsi oksigen total masih normal.

Kadang-kadang darah dari atrium kanan dapat masuk ke atrium kiri melalui
foramen ovale yang terbuka karena tekanan pada atrium kanan menjadi lebih besar
daripada tekanan pada atrium kiri.

Keadaan hipoksia akan menimbulkan mekanisme kompensasi berupa


timbulnya sirkulasi kolateral dan terjadinya polisitemia. Gejala hipoksia biasanya
mulai timbul pada usia 18 bulan. Untuk pembentukan sirkulasi kolateral diperlukan
waktu bertahun-tahun, sedangkan positemia sudah dapat terjadi sejak bayi. Sianosis
kadang tidak tampak pada bulan-bulan pertama. Pada waktu anak bangun tidur
malam atau tidur siang, atau sesudah makan, atau pada waktu menangis, sianosis
bertambah jelas.

Sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi hipoksia, anak yang sudah


dapat berjalan akan jongkok (squatting), setelah melakukan aktivitas fisis. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi alur balik dari ekstremitas bawah yang saturasi
oksigennya rendah, dan kadar CO2 serta laktatnya tinggi. Peningkatan tahanan
sistemik dengan jongkok, juga akan memperbaiki oksigenasi paru.

11
2.6 Klasifikasi

Secara klinis kelainan ini dibagi menurut derajat beratnya kelainan, yaitu
sebagai berikut:

1. Penderita tidak sianosis, kemampuan kerja normal.

2. Sianosis timbul pada waktu kerja, kemampuan kerja kurang.

3. Sianosis timbul pada waktu istirahat, kuku berbentuk gelas arloji, bila kerja fisik
sianosis bertambah, juga ada dispnea.

4. Sianosis dan dispnea sudah ada pada waktu istirahat, ada jari tabuh.

Dalam masa 2 tahun biasanya gejal-gejala lebih memburuk sehingga kasus


dari golongan 1 dapat bergeser sampai golongan 3. Ada juga kemungkinan perbaikan
klinis, tetapi jarang, bila ada pelebaran anastomosis antara pembuluh darah yang
keluar dari aorta dan yang dari a. pulmonalis

2.7 Manifestasi Klinik

Cyanotic Spell (serangan sianosis terjadi akibat meningkatnya pirau kanan ke


kiri yang tiba-tiba, maka terjadi penurunan aliran darah ke paru yang berakibat
hipoksemia berat).

Pada serangan sianosis yang khas, bayi atau anak menjadi distres, paling
sering pada waktu pagi, tidak perlu rangsangan dari luar. Dengan menangis anak
menjadi tidak dapat didiamkan, hiperneu dan semakin biru. Pada bayi, keterangan
tentang adanya sianosis sangat bergantung pada pengamatan ibunya. Ada orang tua
penderita yang tidak terlalu menaruh perhatian pada anaknya sehingga adanya
sianosis ringan tidak diperhatikan. Pada bayi memang keluhan sianosis sangat ringan.
Bila bayi ada sianosis berat, ada kecenderungan bahwa ada atresi jalan keluar pada
ventrikel kanan (infundibulum dan atresi arteri pulmonalis). Akan tetapi, ketika

12
sianosis mulai tampak, sianosis ini makin lama makin kelihatan jelas. Pada anak ini
disamping keluhan sianosis, orang tuanya juga melaporkan adanya dispneu, kelelahan
dan pertumbuhan terlambat. Serangan sianosis ditemukan paling sering pada bayi
yang baru mulai berjalan. Sesudah 4 sampai 5 tahun, serangan tidak sering lagi tetapi
bukan tidak diketahui. Serangan yang paling mengherankan terjadi pada bayi yang
karena hemoglobinnya rendah atau kadar oksigen arteri istirahat yang tinggi, atau
keduanya, tidak tampak sianosis.

Gejala hipoksia biasanya mulai timbul pada umur 18 bulan. Pada waktu anak
bangun tidur malam atau bangun tidur siang atau sesudah makan atau pada waktu
menangis, sianosis bertambah jelas. Anak menjadi dispneu dan pucat, hilang
kesadaran dan apnea, kadang-kadang menjadi kaku. Kehilangan kesadaran dapat agak
lama sehingga anak seperti dalam keadaan meninggal. Sebab-sebab terjadinya
serangan hipoksia diduga karena otot infundibulum ventrikel kanan berkontraksi,
sehingga aliran darah ke dalam paru berkurang. Untuk mengatasi keadaan ini,
biasanya lutut anak ditekuk pada dada, dan ini dimaksudkan untuk memperbesar
tahanan pada sirkulasi besar, dan mengurangi jumlah darah vena yang kembali ke
jantung dari ekstremitas inferior. Dengan demikian, dapat diharapkan mengurangi
tahanan pada infundibulum.

Anak yang sudah dapat berjalan sering menunjukkan gejala sering jongkok
(squatting = hocken (Jerman)). Bila berjalan sekitar 20-50 m, anak ini lalu jongkok,
kegiatan ini selalu dikerjakan berulang-ulang. Jongkok ini maksudnya sama dengan
usaha kita menekuk lutut seperti diatas, dan ternyata mengurangi gejala seperti
dispnea.

Pada pemeriksaan, biasanya sianosis terlihat terutama pada kulit dan mukosa.
Jari-jari berbentuk, seperti trommel (jari tabuh), kuku seperti gelas arloji, dan
ginggiva hiperplasi. Takipnea pada saat istirahat dan bertambah berat pada saat kerja
fisik sedikit saja. Vena jugularis biasanya terisi penuh sehingga kelihatan sedikit

13
menonjol, dan gelombang A (gelombang Atrium) jelas kelihatan. Sering dapat
terdengar suara ke-2, yaitu suara penutupan katub aorta, suara pertama normal.
Getaran kadang-kadang dapat diraba sepanjang linea parasternal kiri, tetapi jarang
teraba pada fosa suprasternalis.

Pada auskultasi sangat khas. Bisingnya ada 2 macam, yaitu bising sistolik
keras dengan nada rendah terdengar terkeras pada sela iga 4 linea parasternalis kiri
(bising VSD) dan bising sistolik ejeksi dengan nada sedang, berbentuk fusiform
dengan amplitudo maksimum pada akhir sistol dan berakhir dekat dengan suara ke-2.
Bising ke-2 ini adalah bisisng stenosis pulmonal. Pada stenosis ringan, bising ke-2 ini
akan lebih keras dengan ampitudo maksimum pada akhir sistole, suara ke-2 masih
membelah. Sedang bila stenosisnya berat, bisingnya lemah dan terdengar pada
permulaan sistole. Suara ke-2 keras dan biasanya tunggal (A2), P2 tidak terdengar.
Bising diastolik tidak ada. Bila terjadi pertumbuhan pembuluh darah kolateral, dapat
terdengar bising kontinu pada punggung.

Pada beberapa penderita, hepar sedikit membesar. Bila hepar ditekan, vena
jugularis akan tampak lebih berisi. Fenomena ini disebut juga dengan fenomena
Hepato-jugular reflux merupakan petunjuk bahwa atrium kanan dan vena-vena penuh
darah.

2.8 Pemeriksaan Fisik

Pasien mengalami sianosis sehingga akan terlihat biru, pucat, dengan


pernapasan Kusmaull. Pada anak besar terdapat gejala squatting (jongkok) setelah
pasien beraktivitas. Dalam posisi jongkok, anak merasa lebih nyaman karena aliran
balik dari tubuh bagian bawah berkurang sehingga menyebabkan kenaikan saturasi
oksigen arteri.
Pada auskultasi didapatkan bunyi jantung I normal, sedangkan bunyi jantung II
biasanya tunggal (yakni A2). Terdengar bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal,

14
yang makin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi. Bising ini merupakan
bising stenosis pulmonal.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

a. Elektrokardiografi (EKG)

Elektrokardiografi menunjukkan deviasi sumbu ke kanan dan hipertrofi ventrikel


kanan. Tanpa penemuan ini diagnosa tetralogi Fallot, dengan atau tanpa atresia
pulmonalis, meragukan. Bila ada stenosis pulmonal minimal dengan dengan shunt
dari kiri ke kanan yang besar. Elektrokardiogram dapat menunjukkan hipertrofi
biventrikular. Sumbu superior ke kiri memberi kesan tetralogi fallot dengan defek
kanal atrioventrikular.

b. Rontgen thorax

Secara klasik sinar x dada menunjukkan ukuran jantung normal dengan


pengurangan vaskularisasi paru. Biasanya segmen batang atresia pulmonalis adalah
defisien. Karena shunt dari kiri ke kanan yang berlebihan vaskularisasi pulmonal
mungkin bertambah dan jantung membesar dan tidak dapat dibedakan dari tanda-
tanda yang ditemukan pada bayi dengan sekat ventrikel. Pada atresia pulmonal dan
sirkulasi kolateral berlebihan, jantung mungkin agak lebih besar daripada normal
tetapi segmen batang arteri pulmonalis biasanya tidak ada. Tidak ada segmen batang
arteri pulmonalis menjadikan jantung tampak seperti sepatu, diberi nama Coeur en
sabot. Biasanya, bila arkus aorta ke kanan, ia dengan mudah terlihat pada foto dada
biasa. Kadang-kadang gambaran vaskularisasi yang tidak tampak biasa pada foto
dada dikenali sebagai sirkulasi kolateral.

15
Gambar 2. Foto AP pasien tetralogi fallot. Didapatkan gambaran khas coer en sabot (sepatu
kayu), serta corakan vaskular paru yang berkurang

c. Ekokardiografi

Pada ekokardiografi adalah mungkin memperagakan sekat ventrikel, khas


konoventrikular dengan deviasi anterior sekat infundibulum. Akar aorta besar dan
mengarah ke kanan bervariasi overriding. Saluran keluar pulmonal yang menyempit
biasanya dengan mudah ditampakkan dan obstruksi dapat dengan mudah
didokumentasikan dengan teknik Doppler. Sekarang dimungkinkan bagi
ekokardiografer mengenali defek sekat ventrikel tambahan pada bagian lain sekat
ventrikel dengan teknik doppler berwarna dan anatomi arteria koronaria sering dapat
dilihat dengan cukup baik untuk mengenali kelainan cabang-cabang konus di dalam
saluran air keluar ventrikel kanan pada titik dimana irisan bedah mungkin diperlukan.
Stenosis pulmonal perifer proksimal dan hipoplasia relatif pembuluh darah pulmonal
sentral dapat ditampakkan. Belum ada data yang cukup untuk merekomendasikan
bahwa koreksi bedah Tetralogi Fallot yang dilakukan dengan informasi diagnostik
anatomik yang didasarkan seluruhnya atas ekokardiografi, tetapi sangat mungkin
bahwa hal ini akan terjadi tidak lama lagi.

Pandangan subsifoid dan parasternal paling jelas menampakkan defek sekat


ventrikel, aorta yang menggeser ke kanan (overriding), dan obstruksi saluran aliran

16
ke luar ventrikel kanan. Cabang arteria pulmonalis biasanya terlihat pada pandangan
sumbu pendek parasternal dan suprasternal. Anatomi arteria koronaria kiri dapat
terlihat pada pandangan sumbu pendek parasternal atau pandangan sumbu-panjang
yang ditujukan ke arah bahu kiri.

Sayangnya, ketika penderita menjadi lebih tua dan lebih besar, ketajaman
ekokardiografi menghilang dan angiokardiografi menjadi keharusan.

d. Kateterisasi Jantung dan Angiokardiografi

Kateterisasi jantung tidak diperlukan pada Tetralogi Fallot, bila dengan


pemeriksaan ekokardiografi sudah jelas. Kateterisasi biasanya diperlukan sebelum
tindakan bedah koreksi dengan maksud untuk: 1) mengetahui defek septum ventrikel
yang multiple; 2) mendeteksi kelainan a. koronaria; 3) mendeteksi stenosis pulmonal
perifer.

e. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin penting pada setiap penyakit jantung bawaan


sianotik, untuk rnenilai perkembangan penyakit. Hemoglobin dan hematokrit
merupakan indikator yang cukup baik untuk derajat hipoksemia. Peningkatan hemo-
globin dan hematokrit ini merupakan mekanisme kompensasi akibat saturasi oksigen
yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan antara 16-18 g/dl, sedangkan
hematokrit antara 50-65 % . Bila kadar hemoglobin dan hematokrit melampaui batas
tersebut timbul bahaya terjadinya kelainan trombo-emboli, sebaliknya bila kurang
dari batas bawah tersebut berarti terjadi anemia relatif yang harus diobati.

2.10 Komplikasi

a. Polisitemia

Hal ini merupakan akibat dari keadaan hipoksia sehingga menimbulkan kompensasi
berupa timbulnya sirkulasi kolateral. Akibat yang ditimbulkan dengan terjadinya

17
polisitemia dapat meningkatkan hematokrit sehingga viskositas darah meninggi yang
dapat menimbulkan trombositopenia sehingga mempengaruhi mekanisme pembekuan
darah. Polisitemia dapat menimbulkan kelainan pada mata, yaitu retinopati berupa
pelebaran pembuluh darah retina.

b. Asidosis metabolik.

Asidosis metabolik sebagai akibat hipoksia hebat akan menyebabkan bertambah


lamanya serangan sianotik ini.

c. Trombosis otak dan abses otak

Biasanya terjadi pada vena serebralis atau sinus dura dan kadang-kadang pada arteria
serebralis, lebih sering bila ada polisitemia berat. Mereka juga dapat dipercepat oleh
dehidrasi. Trombosis paling sering pada penderita diatas usia 2 tahun.

d. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung sangat jarang terjadi pada penderita tetralogi fallot. Namun tanda ini
dapat terjadi pada bayi muda dengan tetralogi fallot ‘merah’ atau asianotik. Karena
derajat penyumbatan pulmonal menjelek bila semakin tua. Gejala-gejala gagal
jantung mereda dan akhirnya penderita sianosis, sering pada umur 6-12 bulan.
Penderita pada saat ini beresiko untuk bertambahnya serangan hipersianotik.

2.11 Penatalaksanaan

Tatalaksana Tetralogi Fallot berupa perawatan medis serta tindakan bedah.


Pada penderita yang mengalami serangan sianotik maka terapi ditujukan untuk
memutuskan rantai patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara:

a) Posisi lutut ke dada (knee-chest position). Dengan posisi ini diharapkan aliran
darah ke paru bertambah karena peningkatan afterload aorta akibat penekukan
arteri femoralis.

18
b) Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau IV untuk menekan pusat
pernafasan dan mengatasi takipnea.

c) Bikarbonas natrikus 1 meq/kgBB IV untuk mengatasi asidosis.

d) Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini bukan karena


kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke paru yang berkurang.
Dengan usaha diatas diharapkan anak tidak lagi takipnea, sianosis berkurang
dan anak menjadi tenang.

e) Propanolol 0,01-0,25 mg/kg intravena perlahan-lahan untuk menurunkan


denyut jantung sehingga serangan dapat diatasi. 1 mg IV merupakan dosis
standar pada dewasa. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml cairan dalam spuit,
dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila serangan belum teratasi sisanya
diberikan perlahan dalam 5 sampai 10 menit berikutnya, isoproterenol harus
disiapkan untuk mengatasi efek overdosis.

f) Ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan. Preparat ini bekerja
dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan juga sebagai sedatif.

g) Vasokonstriktor seperti phenilephrine 0,02 mg/kg IV meningkatkan resistensi


vaskular sistemik sehingga aliran darah ke paru meningkat.

h) Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penanganan sianosis. Volume darah juga dapat mempengaruhi tingkat
obstruksi. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan curah jantung,
sehingga aliran darah ke paru bertambah dan aliran darah sistemik membawa
oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.

Langkah selanjutnya:

1. Propanolol oral 2-4 mg/kg/hari dapat digunakan untuk mencegah serangan


dan menunda tindakan bedah.

19
2. Bila ada defisiensi zat besi segera diatasi dengan pemberian preparat besi

3. Hindari dehidrasi.

Sedangkan untuk tindakan bedah terdapat 2 pilihan pada Tetralogi Fallot.


Pertama adalah koreksi total (menutup VSD dan reseksi infundibulum), dan kedua
bedah paliatif pada masa bayi untuk kemudian dilakukan koreksi total kemudian.
Pada Tetralogi Fallot golongan 1 tidak perlu terapi. Operasi pada golongan ini
menimbulkan lebih banyak resiko daripada hasilnya. Pada anak dibawah umur 6
tahun dengan golongan 3 dan 4 (BB < 10 kg) perlu dilakukan operasi paliatif. Operasi
paliatif ini merupakan operasi pertolongan sebelum dilakukan koreksi total.

Indikasi prosedur operasi paliatif :

- Neonatus dengan TF-PA

- Bayi dengan hipoplastik anulus pulmonal yang memerlukan ‘patch


transanulus’

- Bayi < 3 bulan dengan sianosis berat

- Bayi < 3 bulan dengan spell yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan

Operasi koreksi total dilakukan pada usia sejak lahir hingga 2 tahun. Operasi
koreksi total pada bayi dan anak dengan berat badan yang masih rendah mengandung
banyak resiko. Operasi paliatif umumnya membuat anastomosis antara aorta dan a.
Pulmonalis. Sehingga diharapkan darah dari aorta mengalir ke dalam a. Pulmonalis.
Paru akan mendapat cukup darah sehingga jumlah darah yang dioksigenasi lebih
banyak. Ada beberapa macam teknik bedah paliatif :

a. Anastomosis Blalock-Taussig: menghubungkan salah satu a.


Subklavia dan salah satu a. Pulmonalis. Hubungan ini dapat secara end
to side dapat juga secara end to end.

20
b. Anastomosis Pott: menghubungkan sisi sama sisi antara a. Pulmonalis
kiri dengan aorta desendendi luar perikardium. Anastomosis
Waterson: menghubungkan sisi sama sisi antara a. Pulmonalis kanan
dengan aorta asendens.

Tatalaksana Tetralogi Fallot yang telah disepakati di Indonesia:

Gambar 3. Algoritma tatalaksana Tetralogi Fallot


Keterangan: BTS: Blalock Taussig shunt, PDA stent: patent ductus arteriosus stenting, Kath:
kateterisasi
2.12 Prognosis.

Tanpa operasi prognosis tidak baik. Rata-rata mencapai umur 15 tahun, tapi
semua ini bergantung kepada besar kelainan. Ancaman pada anak dengan TF adalah
abses otak pada umur 2-3 tahun. Gejala neurologis disertai demam dan leukositosis

21
memberikan kecurigaan akan adanya abses otak. Anak dengan TF cenderung untuk
menderita perdarahan banyak karena mengurangnya trombosit dan fibrinogen
kemungkinan timbulnya endokarditis bakterialis selalu ada.

22
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kombinasi kelainan kongenital yang dikenal sebagai Tetralogi Fallot
antara lain defek septum ventrikuler, pembesaran aorta, stenosis katup
pulmonal, dan hipertrofi ventrikel kanan. Kelainan yang nantinya
menyebabkan sianosis terutama akibat stenosis pulmonal dan defek
septum ventrikel. Tekanan ventrikel kanan yang lebih tinggi
menyebabkan darah balik yang tidak mengandung oksigen mengalir ke
ventrikel kiri yang bertekanan lebih rendah melalui defek septum
ventrikel, dan dialirkan ke seluruh tubuh. Keadaan ini mengakibatkan
hipoksia jaringan dan sianosis. Anak dengan tetralogi fallot umumnya
akan mengalami keluhan spell hypoxic, sesak saat beraktivitas, berat
badan bayi yang tidak bertambah, dan sianosis. Pemeriksaan yang
dilakukan antara lain pemeriksaan darah, foto thorax, elektrokardiografi,
ekokardiografi.

Pasien dengan Tetralogi Fallot adalah pro operatif. Tanpa operasi,


prognosis akan buruk dan mengakibatkan bermacam-macam komplikasi,
terutama jika anak sudah besar. Bila anak pada masa bayi atau neonatus
sangat sianotik, maka sementara dapat dilakukan tindak bedah paliatif
berupa operasi Blalock-Taussig, yaitu membuat hubungan pintas antara
sirkulasi pulmonal dengan sistemik ekstrakardial, sehingga hanya sedikit
darah arteri yang bercampur dengan darah vena. Hubungan ini dapat
dilakukan dengan anastomosis arteri subklavia kiri ke arteri pulmonalis
kiri, ataupun dari aorta ke arteri pulmonalis. Tindakan paliatif ini tidak
memerlukan bedah jantung terbuka.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Fyler, D. C. 1996. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
2. Behrman, Kliegman, and Jenson. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. USA: W.B. Saunders.
3. Markum, A. H. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
5. Anonymous. 2007. Tetralogy of Fallot. National Heart Lung and Blood
Institute. Cites at: www.nhlbi.nih.gov.
6. Ontoseno, T., Poewodibroto, S., dan Rahman, M. A. 2007. Tetralogi Fallot
dan Serangan Sianosis. Cites at: www.pediatrik.com.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2005. Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
8. Madiyono, Rahayuningsih, dan sukardi. 2005. Penanganan Penyakit Jantung
pada Bayi dan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

24

Anda mungkin juga menyukai