Anda di halaman 1dari 4

1.Silahkan diskusikan, bagaimanakah cara untuk meningkatkan penerimaan negara ?

Menurut anda, apakah pajak berperan penting dalam penerimaan negara ?


meningkatkan penerimaan negara diperlukan pencapai pertumbuhan yang inklusif,
Indonesia perlu menghabiskan lebih baik terutama di bidang pendidikan,
membelanjakan lebih banyak di area prioritas � infrastruktur, Kesehatan, bantuan
sosial � dan mengumpulkan lebih banyak pendapatan dengan cara yang efisien dan
ramah bagi pertumbuhan untuk mendukung peningkatan pembelanjaan. Ini akan
memerlukan:
#mengalokasikan lebih lanjut pengeluaran di dalam sektor
#terus meningkatkan efektivitas belanja dan transfer Antarpemerintah kunci
#memperluas basis pajak
#meningkatkan efisiensi, kesederhanaan dan ekuitas pajak yang ada
#Penguatan administrasi pendapatan.

data yang saya jadikan acuan sebagai


berikut:https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/keterangan-pers-
penerimaan-perpajakan-hingga-akhir-februari-2018-tumbuh-semakin-baik/
pentingnya kebijakan fiskal untuk membina pertumbuhan inklusif. Selama 15 tahun
terakhir, kebijakan fiskal telah berkontribusi positif terhadap pertumbuhan
Indonesia melalui stabilitas makroekonomi, tetapi telah kurang berhasil dalam
mengurangi ketidaksetaraan.
Hingga akhir Februari 2018, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2018 semakin baik dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Pendapatan
Negara hingga akhir Februari 2018 mengalami pertumbuhan sebesar 17,1 persen, lebih
tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun
2017 sebesar 9,4 persen. Perbaikan pertumbuhan Pendapatan Negara tersebut terjadi
di semua komponen penerimaan negara, yaitu Penerimaan Pajak, Kepabeanan dan Cukai,
serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Realisasi penerimaan Pajak periode Januari-Februari 2018 tercatat sebesar Rp153,4


triliun (10,77 persen dari APBN 2018), tumbuh 13,48 persen secara year-on-year
(atau tumbuh 14,81 persen jika tidak memperhitungkan penerimaan uang tebusan Tax
Amnesty tahun 2017). Kondisi tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
pertumbuhan penerimaan pajak periode yang sama tahun 2017 yang sebesar 8,60 persen
(atau 7,33 persen tanpa Tax Amnesty). Peningkatan yang sangat signifikan dari
pertumbuhan penerimaan pajak tersebut menunjukkan terjadinya percepatan momentum
kegiatan ekonomi yang sangat nyata.

Pertumbuhan positif tersebut disumbangkan oleh pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai


(PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas yang tumbuh masing-masing sebesar 18,02
persen dan 12,27 persen. Tren positif ini melanjutkan pertumbuhan positif yang
berhasil dicapai pada bulan Januari 2018. Untuk periode Januari-Februari, kinerja
pertumbuhan penerimaan pajak ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015,
sehingga menciptakan rekor baru pertumbuhan tertinggi selama empat tahun terakhir.

Pertumbuhan Penerimaan Pajak yang positif tersebut ditopang oleh hampir seluruh
jenis pajak utama yang tumbuh double-digit, yaitu PPN Impor tumbuh 24,50 persen;
PPh Pasal 21 tumbuh 17,15 persen; PPN Dalam Negeri tumbuh 16,15 persen; PPh Final
tumbuh 12,64 persen; PPh Orang Pribadi tumbuh 10,58 persen; dan PPh Badan tumbuh
7,74 persen. Hal ini memberikan sinyal positif adanya perbaikan aktivitas ekonomi
dari perspektif Penerimaan Pajak. Kinerja positif Penerimaan Pajak juga tercermin
dari penerimaan sektor usaha utama seperti perdagangan dan industri pengolahan yang
tumbuh signifikan, masing-masing sebesar 33,56 persen dan 13,25 persen. Kinerja
positif kedua sektor utama ini tidak lepas dari masih tingginya aktivitas impor di
awal tahun 2018, sejalan dengan data pertumbuhan nilai impor di bulan Januari 2018
yang mencapai 26,44 persen. Di sisi lain, pertumbuhan devisa impor tercapai sebesar
26,36 persen yang didominasi peningkatan devisa impor kelompok komoditas bahan
baku/barang penolong serta barang modal yang tumbuh positif 28,45 persen dan 25,53
persen kemudian diikuti barang konsumsi sebesar 19,10 persen. Capaian ini
mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh dengan baik, dari sisi produksi
maupun konsumsi.

Kinerja positif penerimaan PPN Dalam Negeri pada awal 2018 juga didukung oleh
adanya kombinasi antara pertumbuhan nilai penerimaan dan jumlah pembayar pajak.
Penerimaan PPN Dalam Negeri yang sifatnya sukarela (voluntary payment) pada periode
Januari-Februari 2018 tumbuh 10 persen atau lebih tinggi dibandingkan periode yang
sama tahun 2017 yang tumbuh 8,8 persen. Jumlah Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran PPN Dalam Negeri (masa) juga mengalami peningkatan sebesar 7,4 persen.

Peningkatan kegiatan perdagangan internasional juga tercermin pada Penerimaan


Kepabeanan dan Cukai. Membaiknya perekonomian global dan kenaikan harga komoditas
mendorong kenaikan penerimaan Kepabeanan dan Cukai, yang hingga akhir Februari 2018
mencapai Rp7,4 triliun (3,8 persen dari APBN 2018) atau tumbuh 16,51 persen, lebih
tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang tumbuh minus 21,8 persen.
Dari sisi Bea Masuk, realisasi bulan Februari 2018 sebesar Rp530,06 miliar masih
menjadi yang tertinggi diantara penerimaan lain, bukan hanya pertumbuhan yoy tahun
ini saja, bahkan terhadap pertumbuhan yoy pada Februari 2017.

Dalam rangka meningkatkan Penerimaan Perpajakan, Pemerintah telah menyinergikan


kinerja Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, antara
lain melalui penggabungan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) menjadi Single ID; secondment antar-pejabat untuk memperkuat integrasi
serta harmonisasi; dan sinergi di Pusat Logistik Berikat (PLB) dalam menyediakan
fasilitas kepada seluruh instansi Pemerintah terkait. Sinergi tersebut difokuskan
untuk kemudahan prosedural dan insentif fiskal agar tercapai peningkatan tax base
terhadap importir barang berisiko tinggi.

Dampak kenaikan harga minyak dunia dirasakan melalui pajak minyak dan gas (PPh
Migas) serta PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Migas. Hingga akhir Februari 2018, PPh
Migas mencapai Rp7,8 triliun atau sebesar 20,45 persen dari target APBN 2018.
Sementara, PNBP SDA Migas mencapai Rp16,19 triliun atau 20,15 persen dari target
APBN 2018. Realisasi PNBP tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 60,69 persen jika
dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu,
realisasi penerimaan Bagian Laba BUMN sebesar Rp50 juta mengalami pertumbuhan
sebesar 150,1 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatkan rata-rata harga Indonesian Crude
Price (ICP) lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam asumsi APBN berimplikasi pada
potensi peningkatan belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Selama
ini, Pemerintah masih mensubsidi solar, Elpiji 3 kg, dan listrik untuk golongan
pelanggan kurang mampu. Pemerintah memahami bahwa ketika semua dampak kenaikan
harga minyak dunia dikonversikan ke kenaikan harga BBM dan listrik domestik, hal
ini berpotensi meningkatkan inflasi yang dapat berakibat pada pelemahan konsumsi,
kenaikan suku bunga, dan pelemahan nilai tukar, yang pada akhirnya akan memperlemah
investasi dan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan angka kemiskinan.

Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan yang tepat antara (i)
beban yang ditanggung Pemerintah melalui peningkatan belanja subsidi BBM dan
listrik, (ii) beban yang ditanggung oleh BUMN (PT Pertamina dan PT PLN), dan (iii)
beban yang akan ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk pembelian BBM nonsubsidi.
Pemerintah akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan tren penurunan angka
kemiskinan agar tidak terganggu oleh kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, komitmen belanja APBN tercermin pada realisasi belanja Februari
2018. Sampai dengan akhir Februari 2018, realisasi Belanja Pemerintah Pusat tumbuh
24,1 persen atau mencapai Rp127,6 triliun (8,8 persen dari APBN 2018), yang terdiri
atas Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp55,2 triliun (6,5 persen dari pagu
APBN 2018) dan Belanja Non K/L sebesar Rp72,4 triliun (11,9 persen dari pagu APBN
2018). Realisasi ini lebih tinggi dari realisasi pada periode yang sama tahun 2017,
baik secara persentase maupun nominal.

Belanja Bantuan Sosial juga meningkat siginifikan hingga mencapai 18 persen dari
pagunya, disebabkan percepatan penyaluran Program Keluarga Harapan dan pencairan
Penerima Bantuan Iuran tiga bulan di muka. Pekerjaan fisik untuk pembangunan
infrastruktur yang terkait belanja modal juga terus dipacu. Hingga Februari 2018,
sekitar Rp61 triliun belanja modal telah dikontrakkan, dari pagu sebesar Rp203,9
triliun. Disamping itu, untuk realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)
sampai dengan akhir Februari 2018 telah mencapai Rp121,5 triliun atau setara dengan
15,9 persen dari alokasi TKDD dalam APBN.

Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan belanja yang sifatnya produktif dan
merupakan investasi bagi generasi masa depan. Belanja produktif seperti
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial itu tidak dapat
ditunda pelaksanaannya untuk menghindari kerugian dan biaya recovery yang lebih
besar lagi yang harus ditanggung generasi mendatang.

Untuk mendukung belanja produktif tersebut, hingga akhir bulan Februari 2018
Pemerintah telah berhasil menutup defisit yang diamanatkan melalui pembiayaan utang
sebesar Rp56,5 triliun yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)
neto sebesar Rp48,20 triliun dan pengadaaan Pinjaman neto sebesar Rp8,33 triliun.
Pembiayaan utang tersebut berhasil diperoleh dengan biaya yang semakin rendah,
seiring dengan membaiknya fundamental perekonomian dan peringkat kredit Indonesia
yang baru saja juga mendapat kenaikan oleh lembaga Rating and Investment
Information, Inc. (R&I). Hal ini juga membawa dampak langsung pada meningkatnya
minat dan kepercayaan investor terhadap instrumen keuangan Indonesia.

Pada akhir Februari 2018, Pemerintah berhasil menerbitkan Green Global Sukuk
sebesar USD1,25 miliar untuk membiayai proyek yang bersifat pelestarian lingkungan
hidup. Penerbitan Green Global Sukuk yang merupakan pertama di dunia oleh sebuah
negara ini merupakan bagian dari penerbitan Global Sukuk yang berhasil membukukan
oversubscription hingga 2,4 kali dari yang diterbitkan. Hal ini semakin menegaskan
komitmen Pemerintah dalam pengembangan pasar keuangan syariah tidak hanya di level
domestik, tetapi juga di pasar keuangan global. Dalam upaya untuk mendukung
pembiayaan APBN tersebut, Pemerintah melakukannya secara terukur, mengutamakan
efisiensi biaya, dan selaras dengan upaya pengembangan pasar keuangan. Hingga akhir
Februari 2018, posisi utang Pemerintah masih terjaga pada level 29,2 persen
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)*), masih di bawah batas yang ditetapkan dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60
persen.

Kedepan, Pemerintah akan terus mengoptimalkan penerimaan pajak, realisasi belanja,


serta pembiayaan defisit yang sehat untuk tetap mendukung pertumbuhan ekonomi yang
optimal. Pemerintah mewaspadai beberapa potensi risiko, seperti kenaikan harga
minyak mentah dunia dan kenaikan Fed Fund Rate yang berimplikasi pada pertumbuhan
ekonomi, inflasi, serta dampaknya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah
akan terus memantau perkembangan dan menyiapkan mitigasi risiko untuk memastikan
dampak negatif yang minimal bagi perekonomian. Pemerintah juga tetap memiliki
komitmen kuat untuk menjaga disiplin anggaran dan tingkat defisit APBN agar tidak
melampaui target UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN Tahun Anggaran 2018, yaitu
sebesar 2,19 persen dari PDB.

*) Menggunakan angka estimasi PDB nominal hingga akhir Februari 2018.

2.Silahkan diskusikan, menurut anda apakah Tax amnesty dianggap efektif untuk dapat
meningkatkan penerimaan negara ?
Keberhasilan program amnesti pajak sejauh ini merupakan upaya yang disambut untuk
meningkatkan pendapatan pajak Indonesia. Tetapi jika Indonesia ingin meningkatkan
pendapatan pajak, maka harus menemukan cara untuk secara agresif memperluas basis
pajaknya.

Indonesia memiliki populasi sekitar 260.000.000 orang tetapi hanya 26.000.000 yang
terdaftar sebagai pembayar pajak. Angka yang rendah ini telah memberikan kontribusi
terhadap defisit anggaran negara, diperkirakan mencapai US $25 miliar pada 2017
atau sekitar 2,41% dari total PDB.

Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendidik
masyarakat mengenai kepatuhan pajak. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah
menghubungkan kepatuhan pajak dengan konsep moral dan agama � agama memainkan
peranan penting dalam masyarakat Indonesia. Religiusitas mungkin mempengaruhi
kebiasaan orang, dan mungkin membuat individu enggan untuk terlibat dalam
penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai