Anda di halaman 1dari 10

KONSERVASI dan REHABILITASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT

Konservasi Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano


Sebagai Habitat Buaya Muara

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Nama Kelompok : 1. Alfiqi Maulana (E1I017009)


2. Yola Wulandari (E1I017030)
3. Hence Mahyarani P (E1I017024)
4. Chantika Rachma M (E1I017042)
5. Meggi Masmag (E1I017049)

Kelas : IKL A dan IKL B

Dosen Pengampuh : 1. Aradea Bujana Kusuma, S. Si., M. Si


2. Dewi Purnama , S. Pi., M. Si
3. Dr. Yar Johan, S. Pi., M. Si

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS PERTANIAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
kasih–Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konservasi
Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Sebagai Habitat Buaya Muara” tepat pada
waktunya. Proses penyusunan makalah ini melibatkan banyak pihak terkait. Untuk itu,
tim penyusun mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan
dengan tulus, terutama kepada :
1. Allah SWT. yang telah memberikan kelancaran dalam penyusunan makalah
dengan judul “Konservasi Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Sebagai
Habitat Buaya Muara”
2. Bapak Aradea Bujana Kusuma, S. Si., M. Si, bapak Dr. Yar Johan, S. Pi., M. Si
dan Ibu Dewi Purnama, S. Pi., M. Si selaku dosen pembimbing mata kuliah
Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hayati Laut.
3. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik materil dan moril.
4. Teman – teman Mahasiswa/i Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu yang telah
mendukung dan memotivasi tim penyusun.
5. Semua kepada pihak yang telah mendukung .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna kesempurnaan karya tulis ini di masa yang akan datang. Semoga
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, Februari 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i


Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan.............................................................................................. 2
1.4 Manfaat............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Remotely Operated Vehicle (ROV) .................................... 3
2.2 Remotely Operated Vehicle (ROV .................................................. 4
2.3 Klasifikasi Remotely Operated Vehicle (ROV) .............................. 4
2.4 Kontruksi dari Remotely Operated Vehicle (ROV)......................... 6
2.5 Perancangan Sistem Remotely Operated Vehicle (ROV) ............... 12
2.6 Pemrograman Remotely Operated Vehicle (ROV) ......................... 14

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...................................................................................... 15
3.2 Saran ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Enggano merupakan sebuah pulau kecil terluar, yang terletak di perairan
Samudra Hindia. Secara geografis, Pulau Enggano terletak pada posisi 05°31'13” LS dan
102°16'00” BT. Berdasarkan administrasi P. Enggano masuk wilayah Kabupaten
Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Kawasan P. Enggano (termasuk beberapa pulau-
pulau kecil yaitu P. Dua, P. Merbau, P. Bangkai, P. Satu dan P. Karang) terdiri dari
sebuah kecamatan dengan 6 desa yaitu Desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok
dan Banjarsari (Sukimin, 2009). Jarak Pulau Enggano ke Ibu Kota Provinsi Bengkulu
mencapai 90 mill laut atau ± 166,68 km, sedangkan jarak terdekat ke kota Kaur,
Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu 60 mil laut atau ± 111,12 km (Ta’alidin dkk., 2003).
Secara ekologis, Pulau Enggano sebagai pulau kecil mempunyai sumberdaya
alam yang dominan berupa ekosistem yang ada di wilayah pesisir. Ekosistem yang dapat
ditemukan di wilayah pesisir dan mempunyai potensi sumber daya alam penting antara
lain adalah ekosistem mangrove (Dirjen P3K DKP, 2002).
Mangrove adalah tumbuhan kayu atau kelompok makhluk hidup di antara daratan
dan lautan yang dipengaruhi pasang surut air laut (Pangestuti, 2013). Luas mangrove
yang ada di Pulau Enggano ± 141,78 ha (141,478 km2) (Purba, 2003). Luasan Magrove
Enggano ini berkurang tiap tahunnya yang diakibatkan karena adanya penebangan hutan
mangrove oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga dan pembangunan pemukiman
warga. Hal tersebut dikarenakan pertimbangan ekonomi masyarakat Enggano lebih
dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup. Oleh karena itu pemanfaatan yang tak
terkendali menyebabkan luasan ekosistem ini semakin berkurang. Hal tersebut
berdampak pada tidak seimbangnya fungsi ekosistem mangrove di Pulau Enggano.
Mangrove memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi secara fisik maupun
fungsi secara ekologis. Secara fisik mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari
abrasi pantai dan juga sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut.
Secara ekologi, mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning ground dan
nursery ground berbagai organisme (Bengen, 2000; Wibisono, 2005; Jhonnerie, 2007) .
Salah satu organisme yang hidup pada ekosistem mangrove di Pulau Enggano adalah
buaya muara. Buaya muara hidup pada daerah sungai, muara hingga laut (Britton, 2002).
Buaya muara memiliki ukuran yang lebih besar dibanding buaya air tawar yaitu
pada rahang dan ukuran gigi serta moncong spesies ini cukup lebar. Mereka memiliki
warna yang bervariasi dari warna abu-abu hingga hijau tua terutama pada buaya dewasa,
sedangkan buaya muda berwarna lebih kehijauan dengan bercak hitam dan belang pada
ekornya. Buaya Muara pada umumnya memiliki panjang tubuh (termasuk ekor) mulai
dari 2,5 hingga 5,5 meter. Namun ukuran dewasa bahkan ada yang bisa mencapai hingga
12 meter (Neil, 1946; Gans, 1985). Buaya terbesar pernah ditemukan di wilayah
Indonesia yakni di Sangatta, Kalimantan Timur dimana Bobotnya mencapai 200 kg.
Hewan ini biasanya hidup berkelompok dan menunggu mangsa di muara-muara
atau pertemuan satu sungai dengan sungai lainnya. Buaya akan mendekati bibir sungai
ketika air mulai pasang. Buaya ini biasa keluar dari sarang pada sore hingga malam hari
untuk mencari mangsa. Buaya muara mampu melompat keluar dari air untuk menyerang
mangsanya. Bahkan bilamana kedalaman air melebihi panjang tubuhnya, buaya muara
mampu melompat serta menerkam secara vertikal mencapai ketinggian yang sama
dengan panjang tubuhnya.
Kerusakan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove, dapat mengganggu
populasi hewan ini. Pada populasi buaya muara enggano, buaya sering keluar dari
habiatatnya dan mengganggu penduduk. Hal ini dimungkinkan karena habitat hewan ini
telah terganggu oleh manusia. Buaya muara sering ditemukan di jalan-jalan, halaman
rumah penduduk dan juga sering tertangkap pada bubu nelayan. Tak sedikit buaya yang
mati karena konflik dengan masyarakat ini. Padahal, buaya muara termasuk dalam
kategori hewan yang dilindung. Oleh karena itu perlu dilakukannya konservasi Ekosistem
mangrove yang ada di Pulau Enggano untuk menjaga habitat dari buaya muara ini agar
tetap ada dan lestari.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari pembuatan makalah dengan judul ’Konservasi Ekosistem
Mangrove di Pulau Enggano Sebagai Habitat Buaya Muara’ adalah sebagai berikut:
1. Apa itu Konservasi?
2. Apa itu Mangrove?
3. Apa saja Fungsi Serta Kerusakan Ekosistem Mangrove yang Berdampak pada
Habitat Buaya Muara?
4. Bagaimaan Strategi Konservasi Ekosistem Mangrove?
5. Bagaimana Upaya Penanganan Konservasi Ekosistem Mangrove yang
Berdampak Kepada Kelestarian Habitat Buaya Muara ?

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari pembuatan makalah dengan judul ’Konservasi Ekosistem
Mangrove di Pulau Enggano Sebagai Habitat Buaya Muara’ adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu Konservasi?
2. Untuk mengetahui apa itu Mangrove?
3. Untuk mengetahui Fungsi Serta Kerusakan Ekosistem Mangrove yang
Berdampak pada Habitat Buaya Muara?
4. Untuk mengetahui Strategi Konservasi Ekosistem Mangrove?
5. Untuk megetahui Upaya Penanganan Konservasi Ekosistem Mangrove yang
Berdampak Kepada Kelestarian Habitat Buaya Muara ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konservasi
Ditinjau dari bahasa, konservasi berasal dari kata conservation, dengan pokok kata
to conserve (Bhs inggris) yang artinya menjaga agar bermanfaat, tidak punah/lenyap atau
merugikan. Sedangkan sumber dalam alam sendiri merupakan salah satu unsur dari
lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non
hayati, serta seluruh gejala keunikan alam, semua ini merupakan unsur pembentuk
lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :
1. Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang
berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang
sama tingkatannya.
2. Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber
daya alam (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi
kiamia atau transformasi fisik.
3. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.
4. Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara
keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan
lingkungan alaminya.
Dari sedikit uraian tersebut diatas, maka konservasi sumber daya alam dapat
diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam yang dapat menjamin pemanfaatannya
secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragamannya.

2.2 Mangrove
Mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang memiliki peranan yang
sangat penting, bukan hanya bagi kehidupan manusia tetapi juga bagi hewan – hewan
yang hidupnya bergantung di daerah kawasan mangrove. Mangrove hanya dapat tinggal
di daerah pantai yang selalu tergenang air laut yang pasang surut. Hutan mangrove
merupakan vegetasi yang mampu tumbuh pada pantai yang terlindung. Susunan jenis dan
kerapatan tegakan pada wilayah mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan kondisi tanah
Dalam pertumbuhannya, mangrove memiliki beberapa faktor lingkungan penting yang
harus diperhatikan diantaranya yaitu salinitas, temperatur, pH, musim, pasang surut air
laut dan saluran air. Selain itu yang memberi pengaruh penting lainnya yaitu substrat atau
sedimen.
Mangrove atau hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata
rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan.
Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat
produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi
berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut. Keadaan ini
menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti
ikan, udang, moluska, bauaya muara dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan
sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat
tumbuh. Hutan mangrove sebagai pendaur zat hara, karena dapat memproduksi sejumlah
besar bahan organik yang semula terdiri dari daun, ranting dan lainnya. Kemudian jatuh
dan perlahan-lahan menjadi serasah dan akhirnya menjadi detritus. Proses ini berjalan
lambat namun pasti dan terus menerus sehingga hasil proses pembusukan ini merupakan
bahan suplai makanan biota air (Haloho, 2014).
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem
mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik
sebagai berikut:
1. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal
dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
2. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang
pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi
vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;
3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah)
yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan
lumpur;
4. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan
terdingin lebih dari 20ºC;
5. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
6. Arus laut tidak terlalu deras;
7. Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
8. Topografi pantai yang datar/landai.

2.3 Fungsi dan Kerusakan Ekosistem Mangrove yang Berdampak pada


Habitat Buaya Muara
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi
produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas
ekosistem pesisir (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove
adalah sebagai berikut:
1. Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung,
biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti
anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
2. Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang
dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
3. Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota
perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut
lainnya;
4. Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan
limbah organik;
5. Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan
kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai
atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
6. Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
7. Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .
Ekosistem mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar terutama melalui
kegiatan reklamasi dan polusi. Waryono (1973) ; Saenger et al. (1983), dan Kusmana
(1993) melaporkan bahwa ada tiga sumber utama penyebab kerusakan ekosistem
mangrove, yaitu: (a) pencemaran, (b) penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan
(c) konversi ekosistem mangrove yang kurang mempertimbangkan factor lingkungan
menjadi bentuk lahan yang berfungsi non-ekosistem seperti pemukiman, pertanian,
pertambangan, dan pertabakan.
Dampak dari kerusakan ekosistem mangrove tersebut dapat mengganggu populasi
hewan ini terganggu. Pada populasi buaya muara enggano, buaya sering keluar dari
habiatatnya dan mengganggu penduduk. Buaya muara sering ditemukan di jalan-jalan,
halaman rumah penduduk dan juga sering tertangkap pada bubu nelayan. Jika habitat
tempat hidup buaya muara terebut tidak diganggu ataupun dirusak, maka buaya muara
tersebut tidak akan mengganggu dan keluar dari habitat aslinya.

2.4 Strategi Konservasi Ekosistem Mangrove


Sumberdaya alam yang merupakan perwujudan dari keserasian ekosistem dan
keserasian unsur-unsur pembentuknya perlu dijaga dan dilestarikan sebagai upaya
menjamin keseimbangan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang sejahtera
secara berkesinambungan. Kebijaksaan ini dituangkan dalam strategi konservasi, yaitu :
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya
proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya;
2. Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah, yaitu menjamin
terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia;
3. Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya, yaitu dengan mengatur dan
mengendalikan cara-cara pemanfaatannya, sehingga mencapai manfaat yang optimal
dan berkesimnambungan.
Adapun beberapa tujuan dari konservasi mangrove untuk kelestarian habitat
buaya muara adalah :
1. Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya.
2. Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah.
3. Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai
ekonomi.
4. Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan
penelitian.
5. Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
6. Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap
lingkungannya.
Menurut Waryono (1973) bahwa ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan
status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan
peruntukan sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka
margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi jalur
hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan ekosistem
wisata mangrove.
Ekosistem mangrove sebagai cagar alam dan suaka margasatwa berfungsi
terutama sebagai pelindung dan pelestari keanekaragaman hayati. Kriteria kawasan cagar
alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta tipe ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit penyusunnya
mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau
belum diganggu oleh manusia, mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau
mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta
keberadaannya memerlukan konservasi.
Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan yang ditunjuk merupakan tempat
hidup dan perkembangbiakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasinya, memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi, merupakan tempat dan
kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan/atau mempunyai luas yang cukup sebagai
habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Ekosistem perlindungan alam, berfungsi terutama sebagai pelindung hidrologi
dan pelindung pantai serta habitat biota pantai. Jalur hijau ekosistem mangrove adalah
ekosistem mangrove yang ditetapkan sebagai jalur hijau di daerah pantai dan di tepi
sungai, dengan lebar tertentu yang diukur dari garis pantai dan tepi sungai, yang berfungsi
mempertahankan tanah pantai dan kelangsungan biotanya. Oleh karena itu jalur hijau
ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai ekosistem lindung dan atau ekosistem suaka
alam.

2.5 Upaya Penanganan Konservasi Ekosistem Mangrove yang Berdampak


Pepada Kelestarian Habitat Buaya Muara
Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan lain sudah pasti
akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di daerah tersebut salah
satunya adalah terganggunya habitat buaya muara. Untuk menghindari hal tersebut yang
perlu dilakukan adalah :
1. Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar
pertimbangan terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan lahan
mangrove diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman.
2. Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai dasar
untuk perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya.
3. Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan;
4. Pengkajian tentang peralihan mangrove menjadi pertambakan atau penggunaan lain
harus didasarkan pada : (1). Kesesuaian lahan untuk tambak (masalah tanah sulfat
masam, gambut, pasir) atau penggunaan lain. (2). Pasang surut dan sumber air tawar.
(3). Pensyaratan jalur hijau. (4). Sistem perlindungan kawasan dan kawasan ekosistem
lindung. (5). Dampak terhadap lingkungan. (6). Infra struktur seperti pasar,
ketersedian bibit dan lain-lain. (7). Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar
keinginan membuat tambak berkurang. (8). Penetapan beberapa areal mangrove
sebagai kawasan lindung.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai