Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UAS

MATA KULIAH ETIKA PROFESI


ETIKA PROFESI AHLI LINGKUNGAN

Disusun Oleh:
Nama : FIRLY FEBRIANNE SAVITRI
NIM : 114150028
Kelas :B

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2017
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Studi Kasus
Klimatologis Daerah Gunungkidul dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga kami berterima kasih pada dosen mata kuliah klimatologi yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah keimanan dan
ketaqwaan kita tentang akhlak terhadap orangtua. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Demikian makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya.

Yogyakarta, 3 Desember 2016

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan iklim saat ini sudah terjadi secara global, sudah banyak kajian mengenai
perubahan iklim tersebut salah satunya adalah IPCC yang sedikit mengemukakan bahwa
pemanasan global dapat menyebabkan salah satu kejadian dari adanya pemanasan global
tersebut adalah fenomena kekeringan atau kemarau panjang. Menurut Dirjen Sumber Daya Air
Kementerian Pekerjaan Umum sudah terjadi pergeseran musim yang cenderung menuju kepada
kekeringan, musim kering yang mundur 1 bulan menyebabkan panjang musim kering pada tahun
2012 bertambah panjang. Hal ini juga akibat dari adanya perubahan iklim tersebut. Kejadian
kekeringan juga sudah menjadi fenomena yang terjadi tiap tahun di Kabupaten Gunungkidul,
seperti pada tahun 2011 menurut Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, setidaknya
tercatat 15 kecamatan mengalami krisis air, kemudian menurun pada tahun 2012 sebanyak 10
Kecamatan. Pada akhirnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Surat
Keputusan No. 309/Kep/2012 tentang kekeringan yang berlaku mulai dari 2 Agustus 2012 sampai
31 Oktober 2012. Kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari karst Gunung Sewu. Karst
Gunung Sewu berkembang di batuan karbonat yang relatif tebal yang memungkinkan
perkembangan bentukan karst bawah tanah, akan tetapi batuan dasar yang impermeabel tidak
begitu dalam. Hal ini merupakan salah satu karakteristik Kabupaten Gunung Kidul yang
menyebabkan daerah ini dinilai rentan terhadap kekeringan. Karena apabila terjadi musim
kemarau di atas normal maka kekeringan akan sangat mudah terjadi, hal ini dikarenakan
cadangan air tanah dangkal relatif sedikit dibandingkan daerah lainnya akibat dari tipisnya solum
tanah pada daerah karst ini.

B. Rumusan masalah

Berpijak dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada
penulisan makalah ini adalah : Bagaimana upaya meningkatkan manajemen bencana
kekeringan di Daerah Gunungkidul?

C. Tujuan

Mengetahui lebih tentang metode manajemen bencana kekeringan yang lebih baik di
daerah gunungkidul.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi akibat dari efek rumah kaca sudah sangat memengaruhi
iklim secara global. IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi
rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik
dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama
100 tahun terakhir (1906-2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.740C,
dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan.

Peningkatan suhu global atau adanya fenomena pemanasan global salah satunya adalah
diakibatkan dari meningkatnya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas
dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh
bumi (Rajagukguk dan Ridwan, 2001). Konsentrasi gas karbondioksida (CO2) juga
merupakan salah satu gas rumah kaca yang menjadi sebuah perangkap panas di atmosfer.
Konsentrasi gas CO2 di atmosfer meningkat secara drastis setelah revolusi industri terjadi di
negara besar. Meningkatnya gas-gas rumah kaca tersebut mengakibatkan beberapa fenomena
yang terjadi di lapisan atmosfer salah satunya adalah fluktuasi curah hujan yang tinggi dan
meningkatnya temperatur.

2.2 Kekeringan

Kekeringan merupakan kejadian alam yang berlangsung secara alami, biasanya terjadi
pada musim kemarau dimana ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan
seharihari. Menurut International Glossary of Hyrology (WMO 1974) dalam Pramudia
(2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa
kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi
terganggu secara serius. Sedangkan Soenarno dan Syarief (1994) menyatakan bahwa
kekeringan menunjukkan dampak dari suatu kondisi dinamis baik kualitas maupun kuantitas
air yang tersedia (supply side) yang tidak dapat memenuhi jumlah dan kualitas air yang
dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian terdapat
interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam.

Kekeringan memiliki dampak positif dan negatif, namun dalam kehidupan sehari-hari
kekeringan lebih banyak memiliki dampak negatif daripada positif. Baharsjah dan Fagi
(1995) mengatakan bahwa kekeringan merupakan faktor penghambat pertumbuhan produksi
padi yang selanjutnya mempengaruhi perekonomian nasional. Sebagian wilayah Indonesia
kekeringan merupakan suatu masalah yang harus dihadapi hampir setiap tahun. Seperti yang
terjadi pada tahun 1994, kekeringan di pulau Jawa telah menghancurkan 290.457 ha tanaman
padi atau sekitar 79% dari luas total seluruh Indonesia (Boer dan Las, 1997).
2.3 Penentuan Kekeringan Meteorologis

Dalam penentuan kekeringan meteorologis banyak metode yang digunakan, salah


satunya adalah dengan melihat hygromenes. Hygromenes ini merupakan fenomena cuaca
atau iklim yang bersifat dinamis dimana hygromenes memiliki dimensi ruang dan waktu.
Dalam penentuan hygromenes biasanya digunakan paramater curah hujan dan
evapotranspirasi.

Metode penentuan kekeringan meteorologis ini antara lain Palmer Droght Severity Index
(PDSI) yang menggabungkan dua parameter biofisik, yaitu karakteristik iklim dan tanah,
kemudian klasifikasi Oldeman yang dilandasi oleh kebutuhan air tanaman pertanian,
selanjutnya Standardized Precipitation Index (SPI) yang berdasarkan perhitungan statistik
probalistik distribusi gamma dan contoh terakhir adalah hygromenes Mohr.

Hygromenes Mohr diawali pada tahun 1933 ketika Mohr mengajukan klasifikasi iklim
berdasarkan curah hujan. Hygromenes Mohr ini didasarkan pada jumlah bulan kering dan
jumlah bulan basah yang dihitung sebagai nilai rata-rata dalam waktu yang lama. Bulan
kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (jumlah curah hujan lebih kecil
dari jumlah penguapan). Bulan lembab adalah bulan dengan curah hujan 60-100 mm, dan
bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan
melebihi angka evaporasi) (Nawawi, 2001). Kemudian Sobirin (1989) dalam penelitiannya
memodifikasi klasifikasi hygromenes Mohr menjadi bulan sangat kering adalah bulan dengan
CH kurang dari 20 mm. Bulan kering adalah bulan dengan CH antara 20 – 60 mm. Bulan
lembab adalah bulan dengan CH antara 60 – 100 mm. Bulan basah adalah Bulan dengan CH
antara 100 – 200 mm dan bulan sangat basah yaitu bulan dengan CH lebih dari 200 mm.

2.4 Klimatologi Daerah Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dari Propinsi Daerah


Istimewa Yogyakarta (DIY), terletak antara 7°46’30”- 8°12’00” LS dan 110°20’00” -
110°50’00” BT, terletak 39 Km tenggara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas
wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah
Propinsi DIY. ini, merupakan kabupaten terluas di Propinsi DIY Ketinggian Kabupaten
Gunungkidul bervariasi mulai dari 0 – 1000 m di atas permukaan laut. Hampir sebagian besar
Kabupaten Gunungkidul memiliki ketinggian 100 – 500 m yaitu hampir 90% dari luas
Kabupaten Gunungkidul. Untuk kemiringan lereng, Kabupaten Gunungkidul juga memiliki
variasi yang tinggi. Berdasarkan analisis data tingkat kemiringan lereng 0 – 2 % memiliki
luasan 18 % dari keseluruhan luas Kabupaten, 15 – 40 % sebesar 39 % dan diatas 40 %
hampir 16 % dan sisanya 2 –15 % sebesar 3 %. Secara umum Kabupaten Gunungkidul
dapat dibagi 3 zona fisiografis berdasarkan kondisi topografinya, yaitu:

• Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200 – 700 m di atas
permukaan air laut. Keadaannya berbukit-bukit dan terdapat sungai di atas tanah dan sumber-
sumber air tanah serta dapat digali sumur dengan kedalaman 6-12 m. Jenis tanah vulkanik
lateristik dengan bantuan induk dasiet dan andesiet. Wilayah ini meliputi Kecamatan Patuk,
Gedangsari, Nglipar, Ngawen, Semin, dan Ponjong bagian utara.
• Zona Tengah, disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari dengan ketinggian
150 – 200 m di atas permukaan air laut. Apabila kemarau panjang masih terdapat sumber
mata air. Jenis tanahnya berupa margaliet. Di zona ini terdapat air tanah dengan kedalaman
60 – 120 m di bawah permukaan tanah. Wilayah ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari,
Karangmojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara.

• Zona Selatan, disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu dengan ketinggian


100 – 300 m di atas permukaan air laut. Batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur
dengan ciri khas berbukit-bukit kerucut (conical limestone) dan merupakan kawasan karst.
Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah. Zona selatan meliputi Kecamatan
Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong
bagian selatan, dan Semanu bagian selatan.

Curah hujan merupakan parameter dalam menentukan kejadian kekeringan, salah satu
indikator untuk melihat kerentanan kekeringan meteorologis adalah panjang atau durasi dan tingkat
kekeringannya. Semakin lama dan tinggi tingkat kekeringannya makan akan semakin rentan daerah
tersebut terhadap kekeringan. Dalam penelitian ini dibuat empat klasifikasi yaitu 2-3 bulan kering, 3
bulan kering dan sangat kering, 4 Bulan kering dan sangat kering dan > 4 bulan kering dan sangat
kering. Klasifikasi 4 bulan kering dan sangat kering mendominasi daerah penelitian, sebanyak 64
desa termasuk klasifikasi ini. Paling sedikit dijumpai di daerah penelitian adalah klasifikasi > 4 bulan
kering dan sangat kering yaitu sebanyak 12 desa. Semakin panjang dan tinggi tingkat kekeringannya
maka akan semakin rentan terhadap kekeringan, karena pasokan air dari hujan tidak mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari, terlebih ketika bulan kering panjang dan tingkat kekeringannya cukup
tinggi. wilayah 2 – 3 bulan kering dapat ditemui di 29 desa. Klasifikasi ini tersebar di selatan bagian
timur dan utara bagian timur. Wilayah 3 bulan kering dan sangat kering di daerah penelitian dapat
dijumpai di 39 desa, ditemukan tersebar di bagian barat daerah penelitian.

Masing-masing parameter dalam penelitian ini tentu memiliki kontribusi dalam menentukan
kerentanan terhadap kekeringan di daerah penelitian. Sesuai dengan persepsi dari pakar, maka
dapat dihasilkan bobot dengan menggunakan software Expert Choice 11 dari tiap parameter. Curah
hujan sebagai paramater tertinggi sebesar 28,8 %. Selanjutnya adalah kemiskinan penduduk yang
mempunyai persentase sebesar 17,6 %. Jarak desa ke Ibukota Kabupaten memiliki persentase
sebesar 12 % dan penggunaan tanah 9,6 %. Kemudian tingkat kelerengan memiliki persentase
sebesar 8,3 %. Jaringan PDAM dalam metode AHP ini persentasenya sebesar 7,5 %. Kepadatan
penduduk mempunyai persentase 6,9 % dan beban tanggungan hidup sebesar 5,8 %. Prioritas
terakhir adalah tingkat pendidikan dengan persentase sebesar 3,4 %. Dari keseluruhan parameter di
atas, dapat dihitung kembali berdasarkan aspek dari keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan
adaptasi. Keterpaparan kerentanan terhadap kekeringan berdasarkan hasil pengolahan skor
keterpaparan, dapat dibuat tiga klasifikasi yaitu rendah (< 1), sedang (1 – 1,5) dan tinggi > 1,5.
Semakin tinggi tingkat keterpaparan suatu wilayah terhadap kekeringan maka akan semakin tinggi
pula tingkat kerentananannya. Wilayah keterpaparan sedang mendominasi daerah penelitian yaitu
sebanyak 67 desa. Kemudian wilayah keterpaparan tinggi tidak jauh berbeda dengan wilayah
keterpaparan rendah sebanyak 58 desa dan terakhir keterpaparan rendah, hanya berjumlah 19 desa.

Sensitivitas kerentanan terhadap kekeringan dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kelas,
yaitu skor rendah (< 0,5), sedang (0,5 – 0,75), tinggi (0,75 – 1) dan tinggi (> 1). Semakin tinggi
sensitivitas suatu wilayah maka semakin tinggi pula kerentanan wilayah tersebut terhadap
kekeringan. wilayah dengan persentase tertinggi adalah sensitivitas tinggi (0,5 – 0,75) dengan jumlah
desa 58 desa dan terendah adalah sensitivitas sangat tinggi (> 1) yang hanya berjumlah 14 desa.

Kapasitas adaptif kerentanan terhadap kekeringan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga
kelas, yaitu skor rendah (< 0,15), sedang (0,15 – 0,2) dan tinggi (> 0,2). Semakin tinggi kapasitas
adaptif suatu wilayah maka semakin rendah kerentanan wilayah tersebut terhadap kekeringan.
wilayah dengan persentase tertinggi adalah kapasitas adaptif tinggi (> 0,2) dengan jumlah desa 79
desa dan terendah adalah kapsitas adaptif sedang (0,15 – 0,2) sebanyak 30 desa tidak jauh berbeda
dengan kelas rendah (< 0,15) yaitu 35 desa.

Kerentanan wilayah terhadap kekekeringan sangat tinggi dan sedang mendominasi di daerah
penelitian dengan jumlah desa mencapai 43 dan 42 desa. Sedangkan kerentanan tinggi sebanyak 37
desa dan rendah hanya sebanyak 22 desa. Wilayah kerentanan rendah yang dapat dijumpai di 22
desa tersebar di tengah bagian barat dan timur bagian selatan daerah penelitian. Wilayah ini tingkat
keterpaparannya cukup rendah, panjang bulan kering tidak melebihi 3 bulan serta persentase
tingkat kemiskinan cukup rendah. Selain itu, wilayah ini memiliki sensitivitas yang cukup rendah
terhadap kekeringan dilihat dari persentase luasan penggunaan tanah ladang, tegalan, sawah tadah
hujan dan sawah 1 kali padi/tahun cukup rendah. Wilayah kerentanan sedang dapat dijumpai di 42
desa, persebarannya hampir sama dengan klasifkikasi rendah yaitu di tengah bagian barat dan timur
bagian selatan dari daerah penelitian. Kemudian kerentanan wilayah terhadap kekeringan tinggi
ditemui di 37 desa yang tersebar di bagian tengah dan utara daerah penelitian. Kerentanan wilayah
terhadap kekeringan sangat tinggi dapat ditemui di 43 desa. Wilayah dengan kerentanan sangat
tinggi ini mengelompok di selatan bagian barat dan sebagian tengah serta tersebar di utara daerah
penelitian, selain itu wilayah ini mempunyai kondisi keterpaparan dan sensitivitas yang tinggi
terhadap kekeringan terutama tingkat kemiskinan dan panjang bulan keringnya panjang serta
tingkat kekeringannya tinggi, namun kapasitas adaptif nya dalam hal ini adalah tingkat pendidikan
masih cukup rendah dan ketersediaan jaringan pipa PDAM belum menjangkau wilayah ini, selain itu
wilayah kerentanan sangat tinggi ini termasuk ke dalam fisiografis karst gunung sewu dan
pegunungan vulkanik Batur Agung dimana pada kedua wilayah fisiografis tersebut sangat sulit
memperoleh air pada musim kemarau.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, durasi bulan kering terpendek dapat
dijumpai di 29 desa yang berada di selatan bagian timur dan sedikit di utara bagian timur, wilayah ini
memiliki tingkat kekeringan yang rendah. Sedangkan wilayah dengan durasi bulan kering terpanjang
dapat ditemui di 12 desa yang mengelompok di bagian utara bagian timur dengan panjang bulan
kering > 6 bulan, wilayah ini memiliki tingkat kekeringan yang tinggi. Wilayah dengan kerentanan
rendah mengelompok di zona Ledok Wonosari yang memiliki ketersediaan air tanah yang cukup
baik. Kerentanan wilayah terhadap kekeringan sedang yang meliputi 42 desa terletak di bagian
utara, tengah dan selatan bagian timur. Kerentanan terhadap kekeringan tinggi, wilayahnya tersebar
di selatan bagian tengah dan barat serta mengelompok di tengah bagian timur. Wilayah kerentanan
sangat tinggi dapat ditemui di 43 desa yang tersebar di selatan bagian barat dan sebagian tengah
daerah penelitian dimana wilayah kerentanan sangat tinggi ini merupakan Zona Pegunungan Batur
Agung dan Karst Gunung Sewu.

Anda mungkin juga menyukai